Sabtu, 27 Februari 2016

HAVING BABIES? WHY NOT?! #Y


PART SEBELUMNYA...
@
@
@
@
@
“KIDI?” lirihnya dalam hati bertanya-tanya.
Ify menutup kembali pintu rumah. Berjalan menuju sofa keluarga sambil memandang amplop yang ia bolak-balik. Baru membuka amplop paling atas setelah mendaratkan pantatnya di badan sofa.
Lembar pernyataan lulus UKDI (Uji Kompetensi Dokter Indonesia).
Lembar fotocopy buku tabungan.
Lembar fotocopy surat nikah.
Dan, tunggu-tunggu-tunggu. Kok ini? Kok berkas-berkas pendaftaran program internsipnya dikembalikan? Detak jantung Ify tiba-tiba bergemuruh. Dengan tangan bergetar, Ify membuka amplop satunya untuk memperoleh kepastian karena kemungkinan-kemungkinan buruk dalam dugaannya semakin menguat.
DEGH...
Ify meremas lembaran-lembaran di atas pangkuannya mencari pegangan agar tetap bertahan dalam lemahnya setelah melihat isi ampolop kedua. Nafasnya semakin memburu. Sesak dalam dadanya kembali hadir dengan kapasitas yang sama saat menangkap obrolan Rio via telepon seminggu lalu.
“..... pastikan istri saya mendapatkan hasil internsipnya tanpa harus mengulang pelaksanaan. Saya tunggu—”
Dia sangat mengingat setiap kata yang keluar dan menyakitinya. Sekali lagi mungkin bagi mereka yang memuja sebuah hasil dibanding proses, pasti berpikir bahwa hal ini biasa saja. It’s nothing, but not for her. Dia paling benci sesuatu hal yang didapat dengan cara instan. Dia paling tak suka jika harus menskip proses yang wajib ia lakukan untuk meraih cita-citanya. Bukankah Rio pernah bilang padanya, sesulit apapun pasti bisa dilakukan. Kalau begini, hanya Rio yang bisa melakukan. Sedangkan dia yang seharusnya bertanggung jawab, tak berdaya apa-apa selain menerima dengan tampang bodoh. Bangsat!
Ify pikir dengan peristiwa kecelakaan sebagai teguran dari Tuhan atas kelalaian mereka membuat Rio menghentikan tindakannya. Dia pikir tanpa dia memohon, Rio sudah lebih dulu mengalah. Dia pikir dengan melihat bagaimana murkanya dia saat itu menyadarkan Rio bahwa dia tak pernah mau diperlakukan seperti ini. Tak mau dibantu dengan cara begitu. Dia pikir— terlalu banyak pemikiran yang bertolak belakang dengan kenyataan membuatnya kembali menuai kekecewaan.
Ini teguran buatmu Ify! Ini tamparan pengingat buatmu Ify!? Batinnya berteriak.
Seakan mengejeknya yang sudah bertahun-tahun serumah, seranjang, dan se-se yang lain bersama Rio masih membuatnya tak mengenal dan akrab terlalu dalam dengan kepribadian Rio. Bukankah dia sendiri yang bilang bahwa Rio memiliki ketangkasan yang jempol parah dalam berpikir dan bertindak terhadap keadaan yang bermasalah. Bukankah dia yang berkata bahwa Rio lebih liar dari yang mereka bayangkan. Tapi dia tak menyangka Rio akan berlaku seperti itu pula dalam mengambil alih tanggung jawabnya. Kalau sudah begini, dia merasa menjadi orang yang tak pernah pantas menyandang status dokternya. Ya Tuhan, Kak Rio.
***
PART Y...
@
@
@
@
“Abang, Kakak! Bajunya lekas dipakai.” tegur Rio pada Rasya dan Rama yang tengah seru bermain perang-perangan baju.
Kedua bocah laki-laki itu dengan hanya mengenakan celana jeans pendeknya berteriak-teriak menyemangati diri sendiri untuk saling mengalahkan lawan. Rasya yang biasanya malas sekali untuk bergerak, semenjak kedatangan Rama mulai terlihat aktif. Sesama laki-laki berdampak pada kesamaan dalam ketertarikan terhadap suatu permainan menjadi penambah keaktifan Rasya.
Sehari-dua hari dia dan Ify berpikir bahwa Rama juga pendiam seperti Rasya, namun setelah  beberapa hari beradaptasi dengan keluarga mereka ternyata Rama sangatlah aktif. Dia sering kali dibuat nahan nafas karena kelakuannya. Tiba-tiba loncat dari ketinggian 5 meter. Lari-lari di halaman depan. Herannya Rama tak pernah menangis jika mengalami kecelakaan ringan karena ulahnya itu. Malah menunjukkan gigi-giginya yang sebagian rusak karena tak terawat dengan baik.
“Masya mau baju ini, Yahhh.” ucap Masya setelah dia memasang pakaian dalam Masya.
Masya menunjuk salah satu dress di antara pakaiannya yang lain tergantung di dalam lemari setinggi pinggang Rio. Tak banyak kata, Rio langsung meraih dres selutut dengan bawahan mengembang motif bunga-bunga kecil nan lucu dan segera mengenakannya ke tubuh Masya. Gerakan tangan Rio berubah pelan saat perut Masya tiba-tiba sedikit menghambat dress tersebut terpasang sempurna. Gila. Baru dapat sebulan beli, sudah nyaris tak muat di tubuh gempal Masya.
“Mau ganti yang lain aja?” tawarnya yang disahut dengan gelengan kepala.
“Masya cantik pakai baju ini, Ayaaahhh.” ucap Masya menyingkir dari hadapan Rio dan berputar-putar menggemaskan memamerkan gaunnya.
Rio tertawa renyah, “Iya, putri Ayah cantik sekali.”
“Masya mau sisir sendiri, Yah.” tolak Masya saat ia mulai menyentuhkan sisir di puncak kepala Masya.
Rio tak melawan. Membiarkan perempuannya heboh sendiri dengan sisir dan bedak bayi taburnya di depan meja rias khusus berukuran kecil yang bersebelahan dengan meja rias Ify. Bergumam macam-macam mengomentari sendiri penampilannya. Setelah memastikan Masya tak mengalami kesulitan, dia beralih pada kedua jagoannya yang tak mengindahkan tegurannya. Langsung saja dia berjalan cepat ke arah mereka dan membawa keduanya dalam gendongan. Kemudian didaratkan dengan mulus di atas ranjang. Menggelitik pinggang mereka masing-masing sebagai hukuman.
“Ayah bilang apa tadi?” katanya setelah menghentikan hukuman, berkacak pinggang di depan Rama dan Rasya yang terengah-engah.
Melihat senyuman lebar Rasya-Rama, Rio mana kuat mempertahankan wajah garangnya. Dia mengulurkan tangan untuk disambut oleh mereka. Tanpa menunggu perintah, kedua laki-laki itu segera mengenakan pakaiannya sambil bercengkrama ringan. Suara benda jatuh mengarahkan perhatian ketiganya ke sumber suara. Wadah bedak tabur Masya tergeletak di lantai kamar.
“Hey stop!” seru Rio melihat Masya yang memungut bedaknya yang bertaburan di lantai dengan kelima jari mungilnya yang lalu ditempelkan ke wajahnya.
Aih... Anak gadisnya satu ini.
***
Suara-suara di ruangan sebelah yang menunjukkan interaksi Rio dengan anak-anak mereka perlahan menghilang. Terakhir ia dengar Rio meminta mereka untuk segera menuju dapur. Mengisi ulang kembali energi setelah digunakan untuk berenang. Di sini, di kamar tamu yang diubah menjadi ruang kerja oleh Rio, dia menatap lurus ke arah pemandangan luar jendela lebar. Memperhatikan orang-orang di sekitar kediaman Haling menjalankan aktivitasnya. Pandangannya dari penjual roti keliling berpindah pada seorang gadis berpenampilan semi-semi resmi memasuki jazz tipe keluaran terbaru setelah menyalami punggung telapak seorang wanita paruh baya. Sesaat perasaan itu datang. Perasaan yang tak pernah terbesit dalam pikirannya akan hadir. Perasaan menyesal.
Katakan dia mengkhianati kalimatnya yang mengatakan bahwa dia bersyukur sebagai anak seorang pengusaha telah bersuami di usianya masih muda. Memperoleh kasih sayang yang dapat menutupi kurangnya jumlah yang seharusnya didapat dari orang tua. Katakanlah dia berkhianat dengan pernyataannya selama ini yang digunakan sebagai jawaban tetap dan pasti ketika mereka-mereka terinspirasi atas kisah cintanya. Dia telah sampai. Dia telah sampai pada ambang batas bertahan dalam kenyamanan yang secara tersirat bersifat menekan. Menekan pergerakannya sebagai wanita di masa produktif atau berkarya.
Rio bukanlah suami yang melarang dirinya untuk berkarya. Memang benar. Tapi ketahuilah dengan cara seperti itu baginya Rio telah menghambat jalannya untuk ke sana. Rio yang bertindak, dia yang menerima hasil tindakannya. Dia tak bisa merasakan bagaimana keseruan menghadapi hal-hal yang mencounter selama dia bertindak, berproses. Dia memperoleh pelajaran hidup dari mana? Ilmu hidup apa saja yang bisa dia amalkan dan bermanfaat bagi orang-orang.
Ify menepuk ulu hatinya berulang berharap rasa sesak ini tertekan dalam-dalam sampai ia tak merasakan. Ia ingin berdamai dengan kenyataan ini. Ia ingin meresponnya dengan santun dan anggun. Tapi apa daya, dia wanita biasa. Dia hanyalah seorang istri Mario yang tak punya daya apa-apa. Seseorang di mana permainan hidupnya dimainkan oleh orang yang berhak atas dia, dan dia hanya bisa menerima hasilnya. Terlalu mendramatisirkah dia? Maaf... sekali lagi dia wanita yang amat sangat biasa.
“Loh Dear? Kok di sini?”
Ify masih berada pada posisi yang sama. Tak menoleh sejak terdengar suara pintu terbuka, terdapat jeda beberapa menit Rio mengeluarkan suara. Sampai ketukan kaki terdengar mendekat, tak membuat Ify hanya sekedar menolehkan kepala mengalihkannya dari pemandangan di luar jendela.
Rio bisa merasakan hawa tak sedap di antara dia dan Ify. Baru ketika manik matanya menemukan dua amplop coklat yang menggantung dalam genggaman Ify, dia tahu pemicu hawa tak sedap kali ini. Masih dengan gayanya yang santai, kalem, seperti tak terjadi apa-apa ia letakkan kedua lengannya melingkari tubuh Ify. Menumpu dagunya pada pundak Ify dan turut menatap mengikuti arah pandang istrinya, setelah memberikan kecupan di pelipisnya.
Ify tetap diam. Tak menolak maupun menyambut hangat. Mimik wajahnya pun sama. Tak ada lirikan mata ke arahnya. Benar-benar tak ada reaksi sedikit pun. Sedikit ia memberi tekanan pada dagunya untuk  memancing Ify yang tiap kali jika mereka dalam posisi seperti ini selalu sakit dan lelah pada pundak menjadi keluhan yang lalu dijadikan sebagai alasan menyudahi pelukannya. Namun, tetap tak ada respon. Tubuh Ify seakan terasa kaku seperti sebuah manekin. Mendadak rasa takut menyapanya.
“Dear?” panggilnya.
“Iya.”
Huftt... dia bersyukur Ify mau menjawabnya. Semakin dia menyamankan dekapannya.
“Gak jadi berangkat?” tanyanya.
“Nggak.” jawaban singkat dengan nada sama datarnya.
“Kenapa?” tanyanya lagi, menoleh memandang wajah Ify yang masih kaku mengarah ke depan.
“Gak kenapa.”
Jika adu mulut diselimuti emosi, tindakan merajuk seperti seminggu lalu tak membuat Rio mengerti, biarkan dia mengikuti alur yang yang diinginkan Rio. Menjadi wanita penurut tanpa sedikitpun melakukan pembangkangan.       Bukan seperti dia selama ini yang baru patuh setelah membangkang.
“Sayang?”
“Iya.”
Jika saat marah dia hanya akan menjawab berupa dehaman. Sekarang dia melakukan perubahan.
“Kamu kenapa?”
Pertanyaan bodoh inilah yang dia nantikan sebagai senjata. Baru dia menoleh. Membalas pandangan Rio yang menatapnya khawatir. Persetan dengan tatapan itu. Perlahan namun pasti, senyum miringnya tercetak sangat jelas, dan dia siap untuk menjawab.
“Bukannya ini yang kamu mau? Kamu mau aku menjadi wanitamu yang murni penurut tanpa protes apapun, bukan? Mengikuti dengan baik alur yang kamu buat sedemikian rupa dan sesuai keinginanmu. Aku awali dari sekarang. See? You get it.
Aku-kamu. Rio menelan ludah. Cukup mengerikan juga berhadapan dengan Ify yang mengekspresikan amarahnya dalam bentuk yang berbeda dari biasanya. Bukan lagi Ify yang secara gamblang menunjukkan kemurkaannya. Secara tak sadar lingkaran tangannya terlepas. Belum sempat beradaptasi dengan keterkejutannya, wanita di hadapannya kembali berucap yang lebih mengejutkan.
“Cabut semua berkas mengenai statusku sebagai dokter baru. Bersihkan semua yang terkait dengan itu. Termasuk hapus nama aku dalam barisan sarjana kedokteran 5 tahun lalu. Aku kasih kamu waktu seminggu.”
Setelah berkata yang cukup menguras tenaga untuk mengumpulkan keyakinannya berkata demikian, Ify menyerahkan kedua amplop dalam genggamannya pada Rio. Berjalan pelan seiring perasaan campur aduk membuatnya sesak semakin menyerang. Dia ingin berendam sekarang. Menekan kekecewaan yang luar biasa dan mencoba ikhlas menerima lembaran lama telah ia putuskan untuk terkubur dalam-dalam. Tak akan ada lagi Alyssa Haling, S.Ked. Tak akan ada lagi panggilan dokter sebelum penyebutan namanya. Tak kan terdengar lagi pujian dokter cantik padanya. Dia akan menjadi Ify yang berstatus sebagai suami seorang Mario dan ibu bagi anak-anak mereka.
Cengkraman di pergelangan kanannya menghentikan langkah yang akan meninggalkan ruangan. Dia mendongak menatap Rio yang sudah berdiri menjulang di hadapannya. Sebelah alisnya terangkat seolah bertanya.
“Maksud kamu apa?”
Jika biasanya dia akan menjawab dengan kembali melempar pertanyaan yang bersifat provokatif, untuk sekarang dia taubat.
“Aku minta kamu dalam waktu seminggu bersihkan semua berkas mengenai statusku sebagai dokter baru termasuk hapus namaku di barisan para sarjana kedokteran 5 tahun lalu.” jawabnya tenang dengan senyuman.
“Apa salahnya kamu menerima ini?” geram Rio menunjukkan kedua amplop dalam genggamannya tepat di depan mata Ify.
“Bagiku, sesuatu yang diawali dengan baik, sangat tidak etis jika diakhiri dengan cara bejat seperti itu.”
Rio semakin geram. Bejat Ify bilang? Kata bejat yang Ify gunakan sebagai gambaran atas tindakannya? Tak ada yang lebih sopan kah? Bangsat! Sudah lupa sepertinya Ify dalam kehidupan mereka, dia berstatus sebagai suami.
“Aku cuma minta sesuatu yang kecil seperti itu, kamu marah? Bahkan aku belum meminta kamu menghapus status kita di pengadilan agama.” tambah Ify lantas melenggang melewati Rio yang mendadak kaku.
Remasan pada amplop coklat itu semakin menjadi. Di lemparnya kuat hasil tindakannya yang sudah tak berbentuk. Berjalan cepat meninggalkan ruangan, dan langsung memasuki kamar. Tampak pada tepi ranjang, Ify tertunduk. Kedua bahunya bergetar. Telapak tangannya menangkup muka dalam-dalam. Menangis tanpa suara.
Wanita. Kalau sudah tahu hal yang dilakukannya memberi sakit, dan memberatkan hati, atas dasar apa kalian tetap melakukannya. Berhentilah menyakiti diri sendiri dengan memaksakan jalan keluar yang sebenarnya tak harus dipilih.
“Jangan kamu jadikan masalah sepele ini petaka rumah tangga kita.”
Ify tak langsung secara terang bereaksi. Kedua telapak tangannya yang menumpu muka perlahan mengepal. Tak ada lagi tangisan. Baru kali ini dia dengan mudah menghentikan tangisannya. Betapa hebat amarahnya sekarang menguasai dirinya. Kendalikan diri, Ify. Tetap stay cool seperti tadi.
“Aku tanya kamu, bagaimana perasaan kamu mendapat jabatan CEO tanpa usaha? Bagaimana perasaan kamu saat tahu kalau perusahaan kamu naik daun cukup pesat karena adanya intervensi dari almarhum Papa yang melebih batas BANTUAN?”
Ify beranjak dari posisi duduknya. Melangkah mendekat dan berdiri tepat sejengkal dengan posisi Rio. Mendongak menatap sepasang mata tajam terarah padanya.
“Ngomong apa kamu?!”
Wajah Rio makin-makin tampak geram. Senyum miringnya tercetak. Katakan dia kurang ajar pada suami.
“Kamu sangat cerdas hanya untuk sekedar mengartikan lebih dalam setiap kalimatku.” balasnya langsung mendapat cekalan cukup kuat di pergelangannya.
Dalam hati Ify mulai tersenyum menerima reaksi Rio.
“Sudah paham gimana rasanya? Masih mau bilang kalau masalah ini sepele?” tanyanya membalas tatapan Rio lebih menantang.
Laki-laki paling tidak suka mendapat tatapan menantang dari wanita, terlebih wanita itu adalah orang tersayang mereka. Bagi mereka, hal itu menggoreskan harga dirinya, dan Ify sudah kesekian kali melakukannya setiap mereka berada dalam medan perang. Dampaknya Rio murka.
Melihat Rio masih diam dengan mulut terkatup rapat, Ify melanjutkan kalimatnya. Tak peduli dampaknya nanti. Dia masih yakin bahwa Rio tak akan menggunakan fisik –walaupun pernah nyaris- dalam mengakhiri ‘pembicaraan’ mereka kali ini.
“Kakak memang memiliki kekuasaan, tapi tolong jangan gunakan itu pada Ify yang sedang menempuh jalan untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk sekitar. Dua kali Kakak melakukan ini. Pertama, saat Ify akan menjalani koas. Semua urusan koas, Kakak yang handle sampai Ify diperlakukan special. Kedua, ini yang paling parah. Setidaknya yang pertama Ify berproses di dalamnya. Sekarang? Tanpa Ify melakukan apa-apa, hasil sudah ditangan. Bisakah Kakak merasakan apa yang Ify rasakan sekarang? Pernahkah Kakak berfikir bahwa yang Kakak lakukan benar-benar meremehkan Ify, seakan Kakak mengklaim bahwa Ify tak punya daya apa-apa untuk kepentingan Ify sendiri. Ify kecewa Kak. Ify kecewa dengan Kakak dan diri Ify sendiri. Ini kali pertama Ify merasakan kecewa yang sungguh dahsyat, sampai membuat Ify meminta Kakak untuk menarik identitas Ify sebagai dokter. Bahkan, Ify nyaris mempertimbangkan pernyataan Kakak di awal kita menikah dulu.”
Ify memberi jeda, “ Tinggalkan aku jika kamu tidak bahagia denganku.”
Cengkraman Rio terlepas. Kalimat terakhir Ify merupakan tamparan sangat keras untuknya. Tanpa kata, dia berbalik meninggalkan kamar. Tinggalkan aku jika kamu tidak bahagia denganku. Dulu Ify menangis histeris saat dia mengucapkannya ketika mereka dirundung masalah, sekarang Ify yang malah mengingatkannya atas pernyataan sakral itu. Perasaan takut menyergap Rio erat. Dia tak mau kehilangan partner dalam ibadahnya meningkatkan iman dan menyiapkan bekal untuk akhirat. Dia tak akan meninggalkan Ify, begitu pula sebaliknya.
Waktu berlalu cepat. Ify bukan lagi seorang gadis dengan pikiran sederhananya dulu yang hanya berisi tentangnya dan pendidikan. Ify bukan lagi gadis 17 tahun yang belum mampu memutuskan sesuatu dengan sendirinya. Ify telah menjadi wanita anggun dengan kedewasaannya dalam bersikap. Ify sekarang adalah sosok wanita yang semakin matang menetapkan suatu putusan untuk dirinya sendiri dan untuk mereka.
Suara mobil meninggalkan pekarangan terdengar samar-samar. Ify menahan tubuhnya yang kembali lemas pada besi jendela. Mengingat betapa liarnya pergerakan Rio, membuatnya menyesal telah mengingatkan janji pria itu. Dia takut Rio malah salah mengambil makna atas maksud dari dia mengucapkan kalimat yang dulu membuatnya hancur seketika saat Rio mengatakannya. Awas saja jika lelaki itu kembali bersama pengacara dan lembaran surat yang tak akan pernah dia mau harus membumbuhi tanda tangannya di sana.
Kamu juga bego, Ify! Kalau tak mau sampai berpisah, ngapain kamu mancing-mancing! Ya, Tuhan... dia hanya ingin dengan berkata seperti itu akan membuat Rio menyadari kesalahannya dan mengembalikan keadaan seperti semula sebelum masalah ini hadir. Membersihkan identitasnya atau ‘mengembalikan’ hasil internsip yang diperoleh dengan cara bangsat seperti itu. Bukan yang lain. Segera Ify keluar dari kamar untuk menyusul Rio sesuai dengan arah-arah dugaannya.
“Anak-anak ikut Kak Rio, Mbok?” tanyanya dari anak tangga kelima dari lantai dasar pada asisten rumah tangga yang berjalan menuju dapur.
“Nggak, Non. Anak-anak di lapangan futsal, Non.”
Ify mengangguk saat wanita paruh baya itu pamit menuju halaman belakang. Si kembar dan kakaknya berada di lapangan futsal yang berukuran khusus untuk anak-anak mereka dibuat di halaman samping rumah. Ray yang membongkar separuh luas garasi itu untuk dijadikan lapangan futsal sehari setelah mereka menetap di Jakarta.
Pelan dan amat hati-hati, Ify menyelesaikan pijakannya pada anak tangga. Tak mau grusa-grusu dan mencelakakan kandungannya. Cukup minggu lalu dia mengabaikan kehadiran calon buah hatinya karena menggilai emosi. Ify melangkah menuju pintu utama yang setengah terbuka. Mencari sosok Anto yang telah stand by di bawah. Dia tahu karena mobil yang dibawa Rio tadi adalah mobil yang dikendarai Anto untuk mengantar Ray. Terlalu banyak yang ia pikirkan, membuatnya lupa kalau antara teras dan pekarangan terdapat 3 anak tangga. Dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjengkang. Pantatnya membentur keras keramik beranda. Dalam setengah sadarnya dia mendengar teriakan memanggilnya.
Maha baik Allah yang langsung mengirimnya teguran. Pada undakan yang lebih pendek dari anak-anak tangga menuju lantai dua tadi, dia diberi lengah Oleh-Nya.
***

3 komentar:

  1. Nyesek yg bener bener nyesek. jangan pisah dongg, galau mulu wkwk. akhirnya update juga wkwk. penasaran nih kelanjutannya, jangan lama lama thor. semangat terosss nulisnya. *kalobisabesoklanjut* wkwk

    BalasHapus
  2. Rasakan tuh rio, biar dia berfikir kesalahannya, lagian gag semua hal bisa diandalkan dengan kekuasaan, aku ngerti maksud rio baik, tapi caranya yang salah,

    Tapi jangan bikin mereka pisah beneran ya, kasih rio pelajaran aja biar dia sadar apa yang udah dilakukan biar enggak overprotektif terus,

    Lanjut ya jangan lama-lama, takut jamuran nunggunya, hehe semangat terus, aku selalu menunggu :)

    BalasHapus
  3. Asik ada konflik, sering sering aja konflik biar makin greget bhaks

    BalasHapus