PART SEBELUMNYA...
@
@
@
@
@
“KIDI?” lirihnya
dalam hati bertanya-tanya.
Ify menutup
kembali pintu rumah. Berjalan menuju sofa keluarga sambil memandang amplop yang
ia bolak-balik. Baru membuka amplop paling atas setelah mendaratkan pantatnya
di badan sofa.
Lembar
pernyataan lulus UKDI (Uji Kompetensi Dokter Indonesia).
Lembar
fotocopy buku tabungan.
Lembar
fotocopy surat nikah.
Dan,
tunggu-tunggu-tunggu. Kok ini? Kok berkas-berkas pendaftaran program
internsipnya dikembalikan? Detak jantung Ify tiba-tiba bergemuruh. Dengan
tangan bergetar, Ify membuka amplop satunya untuk memperoleh kepastian karena
kemungkinan-kemungkinan buruk dalam dugaannya semakin menguat.
DEGH...
Ify meremas
lembaran-lembaran di atas pangkuannya mencari pegangan agar tetap bertahan
dalam lemahnya setelah melihat isi ampolop kedua. Nafasnya semakin memburu.
Sesak dalam dadanya kembali hadir dengan kapasitas yang sama saat menangkap
obrolan Rio via telepon seminggu lalu.
“..... pastikan istri saya mendapatkan hasil
internsipnya tanpa harus mengulang pelaksanaan. Saya tunggu—”
Dia sangat
mengingat setiap kata yang keluar dan menyakitinya. Sekali lagi mungkin bagi
mereka yang memuja sebuah hasil dibanding proses, pasti berpikir bahwa hal ini
biasa saja. It’s nothing, but not for
her. Dia paling benci sesuatu hal yang didapat dengan cara instan. Dia
paling tak suka jika harus menskip proses yang wajib ia lakukan untuk meraih
cita-citanya. Bukankah Rio pernah bilang padanya, sesulit apapun pasti bisa
dilakukan. Kalau begini, hanya Rio yang bisa melakukan. Sedangkan dia yang
seharusnya bertanggung jawab, tak berdaya apa-apa selain menerima dengan
tampang bodoh. Bangsat!
Ify pikir
dengan peristiwa kecelakaan sebagai teguran dari Tuhan atas kelalaian mereka
membuat Rio menghentikan tindakannya. Dia pikir tanpa dia memohon, Rio sudah
lebih dulu mengalah. Dia pikir dengan melihat bagaimana murkanya dia saat itu
menyadarkan Rio bahwa dia tak pernah mau diperlakukan seperti ini. Tak mau
dibantu dengan cara begitu. Dia pikir— terlalu banyak pemikiran yang bertolak
belakang dengan kenyataan membuatnya kembali menuai kekecewaan.
Ini teguran buatmu Ify! Ini tamparan
pengingat buatmu Ify!? Batinnya berteriak.
Seakan
mengejeknya yang sudah bertahun-tahun serumah, seranjang, dan se-se yang lain
bersama Rio masih membuatnya tak mengenal dan akrab terlalu dalam dengan
kepribadian Rio. Bukankah dia sendiri yang bilang bahwa Rio memiliki
ketangkasan yang jempol parah dalam berpikir dan bertindak terhadap keadaan
yang bermasalah. Bukankah dia yang berkata bahwa Rio lebih liar dari yang
mereka bayangkan. Tapi dia tak menyangka Rio akan berlaku seperti itu pula
dalam mengambil alih tanggung jawabnya. Kalau sudah begini, dia merasa menjadi
orang yang tak pernah pantas menyandang status dokternya. Ya Tuhan, Kak Rio.
***
PART Y...
@
@
@
@
“Abang,
Kakak! Bajunya lekas dipakai.” tegur Rio pada Rasya dan Rama yang tengah seru
bermain perang-perangan baju.
Kedua bocah
laki-laki itu dengan hanya mengenakan celana jeans pendeknya berteriak-teriak
menyemangati diri sendiri untuk saling mengalahkan lawan. Rasya yang biasanya
malas sekali untuk bergerak, semenjak kedatangan Rama mulai terlihat aktif. Sesama
laki-laki berdampak pada kesamaan dalam ketertarikan terhadap suatu permainan
menjadi penambah keaktifan Rasya.
Sehari-dua
hari dia dan Ify berpikir bahwa Rama juga pendiam seperti Rasya, namun
setelah beberapa hari beradaptasi dengan
keluarga mereka ternyata Rama sangatlah aktif. Dia sering kali dibuat nahan
nafas karena kelakuannya. Tiba-tiba loncat dari ketinggian 5 meter. Lari-lari
di halaman depan. Herannya Rama tak pernah menangis jika mengalami kecelakaan
ringan karena ulahnya itu. Malah menunjukkan gigi-giginya yang sebagian rusak
karena tak terawat dengan baik.
“Masya mau
baju ini, Yahhh.” ucap Masya setelah dia memasang pakaian dalam Masya.
Masya
menunjuk salah satu dress di antara pakaiannya yang lain tergantung di dalam
lemari setinggi pinggang Rio. Tak banyak kata, Rio langsung meraih dres selutut
dengan bawahan mengembang motif bunga-bunga kecil nan lucu dan segera
mengenakannya ke tubuh Masya. Gerakan tangan Rio berubah pelan saat perut Masya
tiba-tiba sedikit menghambat dress tersebut terpasang sempurna. Gila. Baru
dapat sebulan beli, sudah nyaris tak muat di tubuh gempal Masya.
“Mau ganti
yang lain aja?” tawarnya yang disahut dengan gelengan kepala.
“Masya
cantik pakai baju ini, Ayaaahhh.” ucap Masya menyingkir dari hadapan Rio dan
berputar-putar menggemaskan memamerkan gaunnya.
Rio tertawa
renyah, “Iya, putri Ayah cantik sekali.”
“Masya mau
sisir sendiri, Yah.” tolak Masya saat ia mulai menyentuhkan sisir di puncak
kepala Masya.
Rio tak
melawan. Membiarkan perempuannya heboh sendiri dengan sisir dan bedak bayi
taburnya di depan meja rias khusus berukuran kecil yang bersebelahan dengan
meja rias Ify. Bergumam macam-macam mengomentari sendiri penampilannya. Setelah
memastikan Masya tak mengalami kesulitan, dia beralih pada kedua jagoannya yang
tak mengindahkan tegurannya. Langsung saja dia berjalan cepat ke arah mereka
dan membawa keduanya dalam gendongan. Kemudian didaratkan dengan mulus di atas
ranjang. Menggelitik pinggang mereka masing-masing sebagai hukuman.
“Ayah bilang
apa tadi?” katanya setelah menghentikan hukuman, berkacak pinggang di depan
Rama dan Rasya yang terengah-engah.
Melihat
senyuman lebar Rasya-Rama, Rio mana kuat mempertahankan wajah garangnya. Dia
mengulurkan tangan untuk disambut oleh mereka. Tanpa menunggu perintah, kedua
laki-laki itu segera mengenakan pakaiannya sambil bercengkrama ringan. Suara
benda jatuh mengarahkan perhatian ketiganya ke sumber suara. Wadah bedak tabur
Masya tergeletak di lantai kamar.
“Hey stop!” seru Rio melihat Masya yang
memungut bedaknya yang bertaburan di lantai dengan kelima jari mungilnya yang
lalu ditempelkan ke wajahnya.
Aih... Anak
gadisnya satu ini.
***
Suara-suara
di ruangan sebelah yang menunjukkan interaksi Rio dengan anak-anak mereka
perlahan menghilang. Terakhir ia dengar Rio meminta mereka untuk segera menuju
dapur. Mengisi ulang kembali energi setelah digunakan untuk berenang. Di sini,
di kamar tamu yang diubah menjadi ruang kerja oleh Rio, dia menatap lurus ke
arah pemandangan luar jendela lebar. Memperhatikan orang-orang di sekitar
kediaman Haling menjalankan aktivitasnya. Pandangannya dari penjual roti
keliling berpindah pada seorang gadis berpenampilan semi-semi resmi memasuki jazz tipe keluaran terbaru setelah
menyalami punggung telapak seorang wanita paruh baya. Sesaat perasaan itu
datang. Perasaan yang tak pernah terbesit dalam pikirannya akan hadir. Perasaan
menyesal.
Katakan dia mengkhianati kalimatnya yang mengatakan bahwa dia
bersyukur sebagai anak seorang pengusaha telah bersuami di usianya masih muda.
Memperoleh kasih sayang yang dapat menutupi kurangnya jumlah yang seharusnya
didapat dari orang tua. Katakanlah dia berkhianat dengan pernyataannya selama
ini yang digunakan sebagai jawaban tetap dan pasti ketika mereka-mereka
terinspirasi atas kisah cintanya. Dia telah sampai. Dia telah sampai pada
ambang batas bertahan dalam kenyamanan yang secara tersirat bersifat menekan.
Menekan pergerakannya sebagai wanita di masa produktif atau berkarya.
Rio bukanlah suami yang melarang dirinya untuk berkarya. Memang benar.
Tapi ketahuilah dengan cara seperti itu baginya Rio telah menghambat jalannya
untuk ke sana. Rio yang bertindak, dia yang menerima hasil tindakannya. Dia tak
bisa merasakan bagaimana keseruan menghadapi hal-hal yang mencounter selama dia bertindak, berproses.
Dia memperoleh pelajaran hidup dari mana? Ilmu hidup apa saja yang bisa dia
amalkan dan bermanfaat bagi orang-orang.
Ify menepuk ulu hatinya berulang berharap rasa sesak ini tertekan
dalam-dalam sampai ia tak merasakan. Ia ingin berdamai dengan kenyataan ini. Ia
ingin meresponnya dengan santun dan anggun. Tapi apa daya, dia wanita biasa.
Dia hanyalah seorang istri Mario yang tak punya daya apa-apa. Seseorang di mana
permainan hidupnya dimainkan oleh orang yang berhak atas dia, dan dia hanya
bisa menerima hasilnya. Terlalu mendramatisirkah dia? Maaf... sekali lagi dia
wanita yang amat sangat biasa.
“Loh Dear? Kok di sini?”
Ify masih berada pada posisi yang sama. Tak menoleh sejak
terdengar suara pintu terbuka, terdapat jeda beberapa menit Rio mengeluarkan
suara. Sampai ketukan kaki terdengar mendekat, tak membuat Ify hanya sekedar
menolehkan kepala mengalihkannya dari pemandangan di luar jendela.
Rio bisa merasakan hawa tak sedap di antara dia dan Ify. Baru
ketika manik matanya menemukan dua amplop coklat yang menggantung dalam
genggaman Ify, dia tahu pemicu hawa tak sedap kali ini. Masih dengan gayanya
yang santai, kalem, seperti tak terjadi apa-apa ia letakkan kedua lengannya
melingkari tubuh Ify. Menumpu dagunya pada pundak Ify dan turut menatap
mengikuti arah pandang istrinya, setelah memberikan kecupan di pelipisnya.
Ify tetap diam. Tak menolak maupun menyambut hangat. Mimik wajahnya
pun sama. Tak ada lirikan mata ke arahnya. Benar-benar tak ada reaksi sedikit
pun. Sedikit ia memberi tekanan pada dagunya untuk memancing Ify yang tiap kali jika mereka
dalam posisi seperti ini selalu sakit dan lelah pada pundak menjadi keluhan yang
lalu dijadikan sebagai alasan menyudahi pelukannya. Namun, tetap tak ada
respon. Tubuh Ify seakan terasa kaku seperti sebuah manekin. Mendadak rasa
takut menyapanya.
“Dear?” panggilnya.
“Iya.”
Huftt... dia bersyukur Ify mau menjawabnya. Semakin dia menyamankan
dekapannya.
“Gak jadi berangkat?” tanyanya.
“Nggak.” jawaban singkat dengan nada sama datarnya.
“Kenapa?” tanyanya lagi, menoleh memandang wajah Ify yang masih
kaku mengarah ke depan.
“Gak kenapa.”
Jika adu mulut diselimuti emosi, tindakan merajuk seperti seminggu
lalu tak membuat Rio mengerti, biarkan dia mengikuti alur yang yang diinginkan
Rio. Menjadi wanita penurut tanpa sedikitpun melakukan pembangkangan. Bukan seperti dia selama ini yang baru
patuh setelah membangkang.
“Sayang?”
“Iya.”
Jika saat marah dia hanya akan menjawab berupa dehaman. Sekarang
dia melakukan perubahan.
“Kamu kenapa?”
Pertanyaan bodoh inilah yang dia nantikan sebagai senjata. Baru
dia menoleh. Membalas pandangan Rio yang menatapnya khawatir. Persetan dengan
tatapan itu. Perlahan namun pasti, senyum miringnya tercetak sangat jelas, dan
dia siap untuk menjawab.
“Bukannya ini yang kamu mau? Kamu mau aku menjadi wanitamu yang
murni penurut tanpa protes apapun, bukan? Mengikuti dengan baik alur yang kamu
buat sedemikian rupa dan sesuai keinginanmu. Aku awali dari sekarang. See? You get it.”
Aku-kamu. Rio menelan ludah. Cukup mengerikan juga berhadapan
dengan Ify yang mengekspresikan amarahnya dalam bentuk yang berbeda dari
biasanya. Bukan lagi Ify yang secara gamblang menunjukkan kemurkaannya. Secara
tak sadar lingkaran tangannya terlepas. Belum sempat beradaptasi dengan
keterkejutannya, wanita di hadapannya kembali berucap yang lebih mengejutkan.
“Cabut semua berkas mengenai statusku sebagai dokter baru.
Bersihkan semua yang terkait dengan itu. Termasuk hapus nama aku dalam barisan
sarjana kedokteran 5 tahun lalu. Aku kasih kamu waktu seminggu.”
Setelah berkata yang cukup menguras tenaga untuk mengumpulkan
keyakinannya berkata demikian, Ify menyerahkan kedua amplop dalam genggamannya
pada Rio. Berjalan pelan seiring perasaan campur aduk membuatnya sesak semakin
menyerang. Dia ingin berendam sekarang. Menekan kekecewaan yang luar biasa dan
mencoba ikhlas menerima lembaran lama telah ia putuskan untuk terkubur
dalam-dalam. Tak akan ada lagi Alyssa Haling, S.Ked. Tak akan ada lagi
panggilan dokter sebelum penyebutan namanya. Tak kan terdengar lagi pujian
dokter cantik padanya. Dia akan menjadi Ify yang berstatus sebagai suami
seorang Mario dan ibu bagi anak-anak mereka.
Cengkraman di pergelangan kanannya menghentikan langkah yang akan
meninggalkan ruangan. Dia mendongak menatap Rio yang sudah berdiri menjulang di
hadapannya. Sebelah alisnya terangkat seolah bertanya.
“Maksud kamu apa?”
Jika biasanya dia akan menjawab dengan kembali melempar pertanyaan
yang bersifat provokatif, untuk sekarang dia taubat.
“Aku minta kamu dalam waktu seminggu bersihkan semua berkas
mengenai statusku sebagai dokter baru termasuk hapus namaku di barisan para sarjana
kedokteran 5 tahun lalu.” jawabnya tenang dengan senyuman.
“Apa salahnya kamu menerima ini?” geram Rio menunjukkan kedua
amplop dalam genggamannya tepat di depan mata Ify.
“Bagiku, sesuatu yang diawali dengan baik, sangat tidak etis jika
diakhiri dengan cara bejat seperti itu.”
Rio semakin geram. Bejat Ify bilang? Kata bejat yang Ify gunakan
sebagai gambaran atas tindakannya? Tak ada yang lebih sopan kah? Bangsat! Sudah
lupa sepertinya Ify dalam kehidupan mereka, dia berstatus sebagai suami.
“Aku cuma minta sesuatu yang kecil seperti itu, kamu marah? Bahkan
aku belum meminta kamu menghapus status kita di pengadilan agama.” tambah Ify
lantas melenggang melewati Rio yang mendadak kaku.
Remasan pada amplop coklat itu semakin menjadi. Di lemparnya kuat
hasil tindakannya yang sudah tak berbentuk. Berjalan cepat meninggalkan
ruangan, dan langsung memasuki kamar. Tampak pada tepi ranjang, Ify tertunduk.
Kedua bahunya bergetar. Telapak tangannya menangkup muka dalam-dalam. Menangis
tanpa suara.
Wanita. Kalau sudah tahu hal yang dilakukannya memberi sakit, dan
memberatkan hati, atas dasar apa kalian tetap melakukannya. Berhentilah
menyakiti diri sendiri dengan memaksakan jalan keluar yang sebenarnya tak harus
dipilih.
“Jangan kamu jadikan masalah sepele ini petaka rumah tangga kita.”
Ify tak langsung secara terang bereaksi. Kedua telapak tangannya
yang menumpu muka perlahan mengepal. Tak ada lagi tangisan. Baru kali ini dia
dengan mudah menghentikan tangisannya. Betapa hebat amarahnya sekarang
menguasai dirinya. Kendalikan diri, Ify.
Tetap stay cool seperti tadi.
“Aku tanya kamu, bagaimana perasaan kamu mendapat jabatan CEO
tanpa usaha? Bagaimana perasaan kamu saat tahu kalau perusahaan kamu naik daun
cukup pesat karena adanya intervensi dari almarhum Papa yang melebih batas
BANTUAN?”
Ify beranjak dari posisi duduknya. Melangkah mendekat dan berdiri
tepat sejengkal dengan posisi Rio. Mendongak menatap sepasang mata tajam
terarah padanya.
“Ngomong apa kamu?!”
Wajah Rio makin-makin tampak geram. Senyum miringnya tercetak.
Katakan dia kurang ajar pada suami.
“Kamu sangat cerdas hanya untuk sekedar mengartikan lebih dalam
setiap kalimatku.” balasnya langsung mendapat cekalan cukup kuat di
pergelangannya.
Dalam hati Ify mulai tersenyum menerima reaksi Rio.
“Sudah paham gimana rasanya? Masih mau bilang kalau masalah ini
sepele?” tanyanya membalas tatapan Rio lebih menantang.
Laki-laki paling tidak suka mendapat tatapan menantang dari
wanita, terlebih wanita itu adalah orang tersayang mereka. Bagi mereka, hal itu
menggoreskan harga dirinya, dan Ify sudah kesekian kali melakukannya setiap
mereka berada dalam medan perang. Dampaknya Rio murka.
Melihat Rio masih diam dengan mulut terkatup rapat, Ify
melanjutkan kalimatnya. Tak peduli dampaknya nanti. Dia masih yakin bahwa Rio
tak akan menggunakan fisik –walaupun pernah nyaris- dalam mengakhiri
‘pembicaraan’ mereka kali ini.
“Kakak memang memiliki kekuasaan, tapi tolong jangan gunakan itu
pada Ify yang sedang menempuh jalan untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk
sekitar. Dua kali Kakak melakukan ini. Pertama, saat Ify akan menjalani koas.
Semua urusan koas, Kakak yang handle sampai
Ify diperlakukan special. Kedua, ini
yang paling parah. Setidaknya yang pertama Ify berproses di dalamnya. Sekarang?
Tanpa Ify melakukan apa-apa, hasil sudah ditangan. Bisakah Kakak merasakan apa
yang Ify rasakan sekarang? Pernahkah Kakak berfikir bahwa yang Kakak lakukan
benar-benar meremehkan Ify, seakan Kakak mengklaim bahwa Ify tak punya daya
apa-apa untuk kepentingan Ify sendiri. Ify kecewa Kak. Ify kecewa dengan Kakak
dan diri Ify sendiri. Ini kali pertama Ify merasakan kecewa yang sungguh dahsyat,
sampai membuat Ify meminta Kakak untuk menarik identitas Ify sebagai dokter.
Bahkan, Ify nyaris mempertimbangkan pernyataan Kakak di awal kita menikah
dulu.”
Ify memberi jeda, “ Tinggalkan
aku jika kamu tidak bahagia denganku.”
Cengkraman Rio terlepas. Kalimat terakhir Ify merupakan tamparan
sangat keras untuknya. Tanpa kata, dia berbalik meninggalkan kamar. Tinggalkan aku jika kamu tidak bahagia
denganku. Dulu Ify menangis histeris saat dia mengucapkannya ketika mereka
dirundung masalah, sekarang Ify yang malah mengingatkannya atas pernyataan
sakral itu. Perasaan takut menyergap Rio erat. Dia tak mau kehilangan partner
dalam ibadahnya meningkatkan iman dan menyiapkan bekal untuk akhirat. Dia tak
akan meninggalkan Ify, begitu pula sebaliknya.
Waktu berlalu cepat. Ify bukan lagi seorang gadis dengan pikiran
sederhananya dulu yang hanya berisi tentangnya dan pendidikan. Ify bukan lagi
gadis 17 tahun yang belum mampu memutuskan sesuatu dengan sendirinya. Ify telah
menjadi wanita anggun dengan kedewasaannya dalam bersikap. Ify sekarang adalah
sosok wanita yang semakin matang menetapkan suatu putusan untuk dirinya sendiri
dan untuk mereka.
Suara mobil meninggalkan pekarangan terdengar samar-samar. Ify
menahan tubuhnya yang kembali lemas pada besi jendela. Mengingat betapa liarnya
pergerakan Rio, membuatnya menyesal telah mengingatkan janji pria itu. Dia
takut Rio malah salah mengambil makna atas maksud dari dia mengucapkan kalimat
yang dulu membuatnya hancur seketika saat Rio mengatakannya. Awas saja jika
lelaki itu kembali bersama pengacara dan lembaran surat yang tak akan pernah
dia mau harus membumbuhi tanda tangannya di sana.
Kamu juga
bego, Ify! Kalau tak mau sampai berpisah, ngapain kamu mancing-mancing! Ya, Tuhan...
dia hanya ingin dengan berkata seperti itu akan membuat Rio menyadari
kesalahannya dan mengembalikan keadaan seperti semula sebelum masalah ini
hadir. Membersihkan identitasnya atau ‘mengembalikan’ hasil internsip yang
diperoleh dengan cara bangsat seperti itu. Bukan yang lain. Segera Ify keluar
dari kamar untuk menyusul Rio sesuai dengan arah-arah dugaannya.
“Anak-anak ikut Kak Rio, Mbok?” tanyanya dari anak tangga kelima
dari lantai dasar pada asisten rumah tangga yang berjalan menuju dapur.
“Nggak, Non. Anak-anak di lapangan futsal, Non.”
Ify mengangguk saat wanita paruh baya itu pamit menuju halaman
belakang. Si kembar dan kakaknya berada di lapangan futsal yang berukuran
khusus untuk anak-anak mereka dibuat di halaman samping rumah. Ray yang
membongkar separuh luas garasi itu untuk dijadikan lapangan futsal sehari
setelah mereka menetap di Jakarta.
Pelan dan amat hati-hati, Ify menyelesaikan pijakannya pada anak
tangga. Tak mau grusa-grusu dan
mencelakakan kandungannya. Cukup minggu lalu dia mengabaikan kehadiran calon
buah hatinya karena menggilai emosi. Ify melangkah menuju pintu utama yang
setengah terbuka. Mencari sosok Anto yang telah stand by di bawah. Dia tahu karena mobil yang dibawa Rio tadi adalah
mobil yang dikendarai Anto untuk mengantar Ray. Terlalu banyak yang ia
pikirkan, membuatnya lupa kalau antara teras dan pekarangan terdapat 3 anak
tangga. Dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjengkang. Pantatnya membentur
keras keramik beranda. Dalam setengah sadarnya dia mendengar teriakan
memanggilnya.
Maha baik Allah yang langsung mengirimnya teguran. Pada undakan
yang lebih pendek dari anak-anak tangga menuju lantai dua tadi, dia diberi
lengah Oleh-Nya.
***
Nyesek yg bener bener nyesek. jangan pisah dongg, galau mulu wkwk. akhirnya update juga wkwk. penasaran nih kelanjutannya, jangan lama lama thor. semangat terosss nulisnya. *kalobisabesoklanjut* wkwk
BalasHapusRasakan tuh rio, biar dia berfikir kesalahannya, lagian gag semua hal bisa diandalkan dengan kekuasaan, aku ngerti maksud rio baik, tapi caranya yang salah,
BalasHapusTapi jangan bikin mereka pisah beneran ya, kasih rio pelajaran aja biar dia sadar apa yang udah dilakukan biar enggak overprotektif terus,
Lanjut ya jangan lama-lama, takut jamuran nunggunya, hehe semangat terus, aku selalu menunggu :)
Asik ada konflik, sering sering aja konflik biar makin greget bhaks
BalasHapus