Senin, 29 Februari 2016

HAVING BABIES? WHY NOT?! #Z (ENDING)


PART SEBELUMNYA...
@
@
@
@
@
Cengkraman Rio terlepas. Kalimat terakhir Ify merupakan tamparan sangat keras untuknya. Tanpa kata, dia berbalik meninggalkan kamar. Tinggalkan aku jika kamu tidak bahagia denganku. Dulu Ify menangis histeris saat dia mengucapkannya ketika mereka dirundung masalah, sekarang Ify yang malah mengingatkannya atas pernyataan sakral itu. Perasaan takut menyergap Rio erat. Dia tak mau kehilangan partner dalam ibadahnya meningkatkan iman dan menyiapkan bekal untuk akhirat. Dia tak akan meninggalkan Ify, begitu pula sebaliknya.
Waktu berlalu cepat. Ify bukan lagi seorang gadis dengan pikiran sederhananya dulu yang hanya berisi tentangnya dan pendidikan. Ify bukan lagi gadis 17 tahun yang belum mampu memutuskan sesuatu dengan sendirinya. Ify telah menjadi wanita anggun dengan kedewasaannya dalam bersikap. Ify sekarang adalah sosok wanita yang semakin matang menetapkan suatu putusan untuk dirinya sendiri dan untuk mereka.
Suara mobil meninggalkan pekarangan terdengar samar-samar. Ify menahan tubuhnya yang kembali lemas pada besi jendela. Mengingat betapa liarnya pergerakan Rio, membuatnya menyesal telah mengingatkan janji pria itu. Dia takut Rio malah salah mengambil makna atas maksud dari dia mengucapkan kalimat yang dulu membuatnya hancur seketika saat Rio mengatakannya. Awas saja jika lelaki itu kembali bersama pengacara dan lembaran surat yang tak akan pernah dia mau harus membumbuhi tanda tangannya di sana.
Kamu juga bego, Ify! Kalau tak mau sampai berpisah, ngapain kamu mancing-mancing! Ya, Tuhan... dia hanya ingin dengan berkata seperti itu akan membuat Rio menyadari kesalahannya dan mengembalikan keadaan seperti semula sebelum masalah ini hadir. Membersihkan identitasnya atau ‘mengembalikan’ hasil internsip yang diperoleh dengan cara bangsat seperti itu. Bukan yang lain. Segera Ify keluar dari kamar untuk menyusul Rio sesuai dengan arah-arah dugaannya.
“Anak-anak ikut Kak Rio, Mbok?” tanyanya dari anak tangga kelima dari lantai dasar pada asisten rumah tangga yang berjalan menuju dapur.
“Nggak, Non. Anak-anak di lapangan futsal, Non.”
Ify mengangguk saat wanita paruh baya itu pamit menuju halaman belakang. Si kembar dan kakaknya berada di lapangan futsal yang berukuran khusus untuk anak-anak mereka dibuat di halaman samping rumah. Ray yang membongkar separuh luas garasi itu untuk dijadikan lapangan futsal sehari setelah mereka menetap di Jakarta.
Pelan dan amat hati-hati, Ify menyelesaikan pijakannya pada anak tangga. Tak mau grusa-grusu dan mencelakakan kandungannya. Cukup minggu lalu dia mengabaikan kehadiran calon buah hatinya karena menggilai emosi. Ify melangkah menuju pintu utama yang setengah terbuka. Mencari sosok Anto yang telah stand by di bawah. Dia tahu karena mobil yang dibawa Rio tadi adalah mobil yang dikendarai Anto untuk mengantar Ray. Terlalu banyak yang ia pikirkan, membuatnya lupa kalau antara teras dan pekarangan terdapat 3 anak tangga. Dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjengkang. Pantatnya membentur keras keramik beranda. Dalam setengah sadarnya dia mendengar teriakan memanggilnya.
Maha baik Allah yang langsung mengirimnya teguran. Pada undakan yang lebih pendek dari anak-anak tangga menuju lantai dua tadi, dia diberi lengah oleh-Nya.
***
PART Z (ENDING)...
@
@
@
@
Telah berlalu satu jam, pria di hadapannya masih terus berpidato panjang dengan topik mengupas letak kekeliruan yang ia perbuat. Masih bersandar nyaman di sofa, dia sedikit enggan mendengarkan secara seksama. Dia ke sini butuh pandangan baru dalam menyikapi masalah yang tengah digelutinya. Bukan untuk semakin mendapat penghakiman. Baru setelah pria itu sadar telah memunculkan cukup busa di sudut kiri bibir, Rio melepas sandarannya.
“Di awal gue bilang minta apa Vin? Selama kurang lebih satu jam, gue belum nemuin satu pun dari kalimat loe bikin gue punya pandangan baru terhadap masalah gue.”
Di hadapannya, ingin rasanya Alvin melempar bogeman pada wajah datar Rio. Rupanya dia tak mau menekan keinginannya. Tanpa terbaca oleh lawan, bogeman mentahnya mendarat ganteng di pipi kanan Rio. Biar saja. Biar setan yang sekarang menguasai Rio segera enyah. Agar Rio segera sadar akan perbuatannya.
“BANGSAT!” teriak Rio yang tersungkur di bawah sofa setelah krah bajunya ditarik Alvin dan secara tiba-tiba memberinya bogeman.
“Otak loe mana? Tumben loe bego? Mending loe sholat dulu sana biar setan di telinga loe pada pergi. Percuma gue ngasih pandangan ini itu kalau loe gak nerima.”
Alvin geram. Bagaimana tidak geram. Mati-matian dia menyusun kalimat untuk membuka mata Rio agar lebih jeli melihat masalahnya mengingat Rio yang sekarang bukanlah Rio yang saat SMA masih mudah menerima saran dari orang-orang. Pengetahuan, pengalaman, dan usia yang lebih dari mereka sahabatnya membuat laki-laki itu cukup susah menerima saran orang lain, karena pola pikir yang telah terbentuk mengatakan bahwa pandangan orang lain tidak lebih baik darinya. Begitu yang Alvin lihat.
Di dalam kamar dekat ruang tamu, Via yang mendengar dua manusia dengan karakter nyaris sama itu hanya bisa bergerak-gerak gelisah. Kedua tangannnya sibuk mengirimkan pesan pada sahabatnya melalui WA, Line, BBM, bahkan inbox IG karena tak ada sahutan sama sekali. Bahkan pesannya tak terbaca. Untung saja Zavin sedang dibawa mertuanya. Kalau di sini, pasti sekarang dia kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan Zavin.
“Ify kemana sih? Aduhhh... suaminya gak berhenti ngamuk disini kan gak lucu.” gerutunya yang sekarang menelpon Ify ketika telinganya menangkap suara gaduh yang lebih parah.
Panggilan pertama tak terjawab.
Panggilan kedua endingnya masih opertor yang menjawab.
Panggilan ketiga tetap sama.
Sivia nyerah. Debar jantungnya menjadi mendengar bunyi saling lempar bogem terus terdengar. Gila ya, mereka itu sudah bukan lagi ABG masih saja kelakuannya itu. Dia mau melerai tapi cukup tahu diri. Dia juga mikir-mikir, mana mau dia menerima bogeman salah sasaran yang nantinya melenyapkan sementara wajah cantiknya. Ntar Alvin kabur lagi. Astaga Sivia...
“Ify istri gue. Gue berhak atas dia.”
Glekkk... Dari posisinya ini saja Sivia menelan ludah susah mendengar nada yang digunakan Rio dalam pengucapannya. Rio ini minta dirukiyah. Alvin menasehatinya panjang lebar, balasan Rio tetap saja sama. Gue berhak atas Ify.
“Oke-oke loe berhak atas Ify. Sekarang gue tanya, terus mau loe gimana? Loe mau jadiin Ify janda? Silahkan. Mumpung loe masih punya hak.”
Sivia menepuk jidatnya. Alvin bangke. Kenapa malah ikut-ikutan gak waras. Belum dia selesai menghembuskan nafas, suara tendangan lebih dahsyat terdengar. Dengan langkah terseok-seok Sivia keluar dari persembunyian. Dia menahan nafas melihat Alvin tersungkur dekat pintu utama. Alvin sih, sudah tahu Rio sedang kesetanan malah makin disetanin.
“Jaga omongan loe!” geram Rio.
Sivia mendelik tajam pada Alvin yang malah memasang senyum remeh. Nyari mati si Alvin.
“Loe gak berfikir dengan loe yang langsung ninggalin rumah ngebuat Ify mikir loe lagi ngurus proses perubahan status Ify sebagai janda?”
Sivia memasang muka cengo. Dia kira Alvin akan semakin menaikkan kemunculan sisi binatangnya Rio, ternyata si Rio malah jinak. Tampak tubuh Rio menegang. Masih berdiri di depan Alvin yang sudah terduduk di lantai. Sivia akan menghampiri saat benda canggih di tangannya berbunyi. Suara yang cukup susah untuk mengenalinya. Sekarang ganti dia yang menegang. Setengah bergetar dia menjauhkan smartphone dari telinganya.
“Yoo...” lirihnya berusaha keras menahan tangis.
“Calon anak loe meninggal.”
 Katakan sekarang apa yang harus Rio lakukan.
***
Rio menghujat pengendara-pengendara di depannya. Jakarta macet sudah biasa. Tapi kali ini dia tak bisa untuk menganggapnya biasa. Entah keberapa kalinya Rio mengantam stir tak berdosa dalam cengkraman kuatnya. Dia sampai bingung bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini. Untuk segera bergerak dari keterpakuannya tadi, dia menunggu Alvin menampar pipinya keras yang perihnya terasa hingga sekarang. Dia menolak kasar saat Alvin menawarkan diri menjadi supirnya menuju rumah sakit yang dikatakan Sivia.
Tunggu. Sepertinya ada yang terlewatkan sejak tadi. Segera Rio merogoh saku celana mencari barang yang penting saat ini. Bodoh. Bahkan dompet pun tak ia temukan. Smartphone dan dompet yang sudah sepaket tak ia kantongi. Pantas saja dia tak menerima kabar apa-apa.
Astaga... sekuat tenaga Rio menahan diri untuk tak menekan klakson. Dia tahu diri dengan tak membuat kegaduhan di  jalan. Dia ingin segera tiba di rumah sakit yang sudah cukup dekat dari posisinya. Merasa akan terjebak lebih lama lagi, Rio memutar stir ke arah posisinya sekarang. Menepikan mobil begitu saja. Cuaca cukup panas menyapa kulit setengah gelapnya. Dengan langkah panjang, Rio melewati satu-persatu barisan mobil yang bisa bergerak kurang lebih satu meter setiap setengah jamnya.
***
“Kemana saja kamu?!”
Tamparan sebelum kalimat itu disuarakan terasa hambar bagi Rio. Dia terdiam di hadapan sang mama yang memasang wajah tak bersahabat. Di belakang Mama Manda, Deva memandangnya prihatin. Tanpa bermaksud menjadi anak yang kurang ajar, Rio melangkah melewati Mama Manda menimbulkan omelan berkelanjutan dari mamanya untuk sekarang ia anggap angin.
Di dalam ruangan, Ify memasang tampang terkejut melihatnya. Dia berjalan cepat menghampiri wanitanya yang berbaring di ranjang pasien memandangnya takut. Berdiri diam di samping ranjang Ify. Sepasang matanya membalas tatapan Ify. DIa sendiri tak mengerti arti tatapannya, yang jelas rasa takut semakin tergambar dalam sepasang bola mata Ify.
“Ma-maaf.”
Bukan ini yang mau Rio dengar. Dia balik badan. Baru beberapa langkah suara gaduh terdengar di balik punggung. Teriakan mama di depan pintu membuatnya tak berkutik. Dia berjalan mundur setelah memutar tubuh melihat pemandangan mengenaskan di belakang punggungnya.
Dengan tenaga tersisa, Ify mencoba meraih tangan Rio sebelum laki-laki itu meninggalkannya. Namun kejadian tubuhnya mendarat pada lantai putih itu begitu cepat. Dia berontak saat Mama Manda mendekapnya. Rio hanya memandangnya datar yang lalu pergi tanpa ucap. Dia lelah untuk kembali menangis, tapi ia ingin. Ia ingin dengan tangisannya seluruh bebannya terangkat, dan balik pada keadaan di mana mereka masih baik-baik saja.
“Ma, Kak Rio, Ma. Kak Rio pergi. Kak Rio----hiks”
Perih pada bekas jarum infus yang terlepas karena gerakannya, nyeri di beberapa persendian tak berhasil mengalihkan perhatiannya dari Rio yang benar-benar pergi. Ify menggoyang-goyangkan tubuhnya mencegah para perawat dan mama Manda memindahkannya kembali pada ranjang. Dia mau mengejar Rio. Dia mau meminta maaf pada Rio atas sikapnya. Dia ingin mendapat maaf dari Rio karena tak bisa menjaga calon anak mereka. Rasa sakit selama dan setelah proses kuret rasanya tak sebanding dengan saat menerima kenyataan bahwa tak sedikitpun dia menemukan wajah khawatir Rio melihatnya.
Dia baru saja kehilangan mutiara kecil mereka. Dia tak akan mau untuk kehilangan Rio.
***
Dalam setengah sadarnya, Rio memandang dua sosok yang menghajarnya habis-habisan di taman rumah sakit yang sepi pada siang hari. Rasa sakit bekas bogeman yang dihadiahkan oleh Alvin belum mereda, ditimpali lagi oleh adik kandung dan iparnya. Dia mengangkat sebelah tangan menandakan bahwa dia menyerah, meminta agar mereka menyudahi aksinya. Rio terbatuk saat Ray menendang perutnya sebelum pergi meninggalkan taman.
“Kalau loe udah bosen sama Ify, biar gue yang nikahin dia. Gue gak nyangka loe bisa sebrengsek ini, Kak.”
Itulah kalimat terakhir Ray setelah membuat perutnya nyeri. Tertinggal Deva yang duduk di bangku taman sebelah dia berbaring lemah bersandar pada batang pohon. Pemuda itu menggelengkan kepala menyaksikan suami saudara perempuannya yang  mungkin mati kalau sekali atau dua kali mereka melayangkan tinjuan maupun tendangan.
Dia tak tahu masalah keduanya, namun melihat bagaimana tak acuhnya Rio pada Ify tadi mengingat betapa protectivenya Rio pada kakaknya, sukses membuat dia tak bisa diam saja. Bayangkan saja, melihat Ify terkena sayatan pisau membuat Rio tak berhenti mengomel 2 hari 2 malam, tadi bahkan Ify terjatuh dari ranjang pasien dengan darah dari tangan yang terinfus mengalir cukup banyak, Rio hanya memandang sebentar lalu pergi dari ruangan. Belaga tuli terhadap teriakan Ify yang bahkan terdengar sampai di kamar sebelah. Ada apa dengan kakak iparnya yang sangat ia tahu begitu mencintai Ify.
“Kak Ify baru selesai dikuret. Dokter melarangnya untuk bergerak terlalu banyak mengingat jahitannya belum kering.” tuturnya mengandung lebih dari satu makna tersirat.
Beberapa saat dia menunggu reaksi Rio, sebelum melangkah pergi. Dia tak akan langsung memberondong Rio dengan banyak pertanyaan. Pukulan-pukulan darinya dan Ray serta entah siapa ia tak tahu ketika Rio datang dengan wajah lebam sebagian, cukup untuk Rio hari ini. Dia dan Ray hanya bisa menyadarkan Rio sebatas pukulan dan pembicaraan sedikit mengingat Rio akan mentah jika pria lebih muda darinya yang menasehati. Biarkan saja untuk urusan ceramah dan sebagainya dilakukan oleh mereka-mereka yang lebih tua dan berhak untuk melakukan intervensi terhadap rumah tangga kakaknya.
***
Ergh... Sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya, dengan langkah terseok-seok Rio keluar dari masjid rumah sakit. Perasaannya mulai tenang. Keadaan dirinya yang sekarang inilah yang dia butuhkan untuk beberapa jam lalu. Meluapkan keluh kesah. Mengadu kesalahan-kesalahan yang telah ia perbuat. Meminta petunjuk jalan keluar yang tepat. Menyerukan seluruh isi hati dan pikirannya pada sang pemilik alam.
Tubuhnya seakan berteriak meminta untuk diistirahatkan. Berjalan panjang setengah berlari dengan jarak kurang lebih 3 kilometer dalam keadaan badan setelah perang  bersama Alvin. Belum selesai di sana, kembali ia dianugrahkan pukulan ringan hingga berat. Rasanya tulang-tulangnya pada retak.
Sakit yang memeluknya membawanya pada ingatan akan kalimat Deva sebelum berlalu meninggalkannya di taman sendirian. Butuh setengah jam lebih untuknya dapat mengumpulkan energi dan bangkit dari posisinya setengah terbaring di batang pohon. Beberapa pengunjung rumah sakit memandangnya bermacam-macam ketika melewati koridor utama. Dia tak peduli, yang jelas dia ingin segera memeluk-Nya. Bersujud di hadapan-Nya mengisi kekuatan.
Kak Ify baru selesai dikuret. Dokter melarangnya untuk bergerak terlalu banyak mengingat jahitannya belum kering.
Masih di dalam masjid, Rio kembali terduduk. Menenangkan diri. Menekan perasaan sesak akan rasa bersalahnya yang percuma. Berapa kali dia begini? Berapa kali dia baru merasakan sesal setelah melakukan kebejatan. Bisakah rasa bersalah itu datang di awal agar dia tidak sering khilaf?
Dia pergi memang karena marah. Marah karena ucapan maaf Ify yang menghantamnya digunakan Ify untuk menyambutnya. Merasa telah menguasai diri, segera dia beranjak.
“Belum mati loe?” pertanyaan sarkasme dari Ray saat dia muncul dari balik lift rumah sakit dan mendekat ke ruangan di mana Ify berbaring.
Rio tetap melenggang.
“Ma, please.” pintanya melihat sang mama yang akan menghalanginya untuk bertemu Ify.
Orang-orang ini pada kurang piknik atau bagaimana? Ini urusan rumah tangga mereka. Kenapa banyak sekali yang melakukan campur tangan? Bersyukur Mama Gina berada di pihaknya. Di hadapannya, Ify tengah dikerubungi oleh dokter dan beberapa perawat. Dia bersandar di ambang pintu, menunggu.
Rio mengubah niat, dia memilih mengikuti langkah dokter berhijab itu ke ruangannya saat pemeriksaan Ify usai. Dokter yang direkomendasikan oleh dokter Niar hanya memberinya senyuman saat pertanyaan paling dasar tak bisa ia tahan sampai tiba di ruangan.
“Lusa Ibu Ify sudah boleh pulang. Alhamdulillah tidak ada yang menghambat selama proses kuret tadi. Tapi, untuk beberapa bulan ke depan, diusahakan istri anda jangan sampai hamil dulu, Pak Rio. Setiap dua minggu sekali check up untuk melihat kondisi rahim Ibu Ify.”
Rio mengangguk, “Kira-kira butuh berapa bulan pemulihan total, Dok?” tanya Rio bingung menggunakan kata untuk mengungkapkan maksudnya.
Namun sepertinya wanita dewasa di depannya paham kemana arah pertanyaannya tampak dari senyum yang tercetak. Dia masih dengan mimik wajahnya yang datar.
“Tiga sampai 6 bulan, Pak Rio. Tergantung Ibu Ifynya.”
***
Kemunculan Rio dari balik pintu menghentikan obrolannya dengan sang mama dan mama mertua. Ify memasang wajah memohon pada keduanya dengan sopan untuk memberikannya waktu bersama Rio. Lelakinya semakin memperpendek jarak saat para mama keluar kamar. Dia mengulurkan kedua tangan ke udara mengisyaratkan Rio untuk segera memeluknya. Dia tak akan mengawali pertemuan mereka dengan kekeliruannya lagi. Dia tak mau langsung to the point.
“Sayang Ayah.” bisiknya dengan nada manja di telinga kanan Rio setelah pria itu mendekapnya.
Rio tak menyahut. Memilih diam dan menikmati tubuhnya yang terasa rontok tengah dipulihkan oleh pelukan Ify. Di hirupnya kuat-kuat aroma tubuh Ify yang sampai saat ini masih memabukkannya. Dia memejamkan mata seraya menenggelamkan diri dalam dekapan hangat sang istri. Dia merindukan pelukan sejenis ini. Pelukan yang sarat akan kasih sayang murni dari hati, bukan selama ini yang hanya didominasi kepuasan diri.
Ify mengusap-usap punggung lebar itu merasakan gerakan bibir menyentuh permukaan kulit lehernya. Menjawab setiap ucapan penyesalan Rio yang disuarakan begitu lirih. Jika kalian bertanya mengapa dia mudah luluh pada Rio. Jawabannya karena cinta. Klise memang. Tapi itulah sebenarnya. Dia tak mau mengelaknya. Melihat wajah Rio yang susah dikenali karena bekas luka yang belum kering, warna lebam, dan langkah gontai saat menghampirinya sukses menghancurkan pertahannya untuk tetap dingin pada Rio. Dia cukup punya hati dengan tak menambah hukuman untuk Rio.
“Maafin Ify juga gak bisa jaga calon baby kita.” lirih Ify ketika Rio mulai mengurai pelukan.
Dia tak mengingat apa-apa lagi setelah terakhir mendengar teriakan menyerukan namanya. Dia sadar dan sudah berbaring di ruangan serba putih dengan aroma yang sangat akrab dengannya. Tak ada lagi rasa nyeri yang menyerangnya sebelum ia pingsan, dan shock saat menyentuh perutnya sudah tak ada lagi gundukan(?). Perut buncitnya telah rata. Sang mama mertua saat itu langsung memeluknya yang sudah menangis meraung. Meminta maaf karena harus mengambil hak Rio sebagai suami untuk memutuskan pilihan yang diberikan dokter. Hatinya semakin menangis baru menyadari bahwa tak ada Rio di ruangan luas itu. Hanya Mama Manda. Pemikiran buruk telah membombardir dirinya habis-habisan. Apakah Rio benar-benar menghapus status pernikahan mereka di pengadilan agama? Apakah Rio benar-benar melepasnya? Pemikiran itu semakin kuat saat melihat Rio muncul dengan wajah kakunya dan mengabaikan dirinya yang berusaha menggapai hingga terjatuh. Mengabaikan setiap luka luar yang biasanya Rio tanggapi berlebihan. Dia telah menganggap bahwa kebahagiaannya akan sirna.
“Kita kirim doa buat dia.” putus Rio tak mau mengungkit kesedihan yang mendalam itu lagi dan membangkitkan emosi-emosi negatif mereka mengingat kejadian sebelum sang calon anak pergi.
Ify tersenyum manis. Di tangkupnya wajah Rio. Menarik mendekati wajahnya. Mulai dari kening, ia kecup mesrah. Turun ke sepasang kelopak mata Rio yang menutup ketika kecupannya mendarat di sana. Lanjut pada hidung Rio, dan berakhir dengan lumatan singkat pada bibir Rio yang membengkak di sudut kanan-kirinya.
“Bunda. Sayang. Ayah.”
***
Rio kewalahan kedua tangannya ditarik oleh Rama dan si kembar. Baru dua hari tak bertemu bundanya, membuat mereka sangat tak sabar untuk segera bertatap muka. Badannya yang masih menyisakan rasa sakit di beberapa bagian, membuatnya susah untuk mengimbangi. Tarikan di tangannya terlepas saat mereka bertemu sosok Deva yang baru keluar dari ruangan Ify. Seperti seakan menemukan petunjuk jalan, ketiganya berlari kencang meninggalkannya yang berjalan pelan.
“OM DEVA, BUNDA MANA?” suara cempreng Masya yang sudah berada dalam gendongan Deva.
“Tuh di dalam, lagi makan.” jawab Deva sambil tak berhenti menciumi wajah Masya yang membuat anak perempuannya tersipu-sipu.
“Turun Om.” rengek Masya menggerak-gerakkan kaki kecinya.
“Nggak.” tolak Deva menggoda perempuannya.
“AYAHHH... OM DEVAAA. BUNDAAA... OM DEVAAA. ABANG, KAKAK RAMAAA... OM DEVA.” jerit Masya meminta tolong untu dibebaskan dari kurungan Deva.
“Om Deva bawa Masya ke Bunda.” bujuk Deva agar anak kakaknya yang paling cantik tetap berada di gendongannya.
“Gak mau. Masya mau sama Abang sama Kakak Rama sama Ayah. Ayahhh.”
Mau tak mau Deva menurunkan Masya agar tak menangis. Makin besar, makin cengeng anak perempuan satu ini. Gara-gara sering dimanja kali ya. Dua saudaranya laki-laki dan pasti dia menerima perlakuan lebih dari mereka. Belum lagi Rio yang akhir-akhir ini lebih memanjakan Masya.
“BUNDAAA...”
Deva geleng-geleng kepala meninggalkan depan ruangan kakaknya dirawat. Paduan suara dimulai. Pasti sebentar lagi akan ada pembagian nada –saling sahut menyahut melontarkan kata. Masya suara satunya, Rasya suara dua, dan Rama suara tiga. Pahamlah ya apa yang ia maksudkan, dan ia pastikan Ify kelimpungan harus menjawab yang mana dahulu. Dari pada mendengar keberisikan khas anak-anak itu, lebih baik dia cepat-cepat meninggalkan rumah sakit dan menjemput calon istrinya.
“Dedek Masya, Abang, Kakak Zavin sama Kakak Rama mana Bun? Kok perut Bunda gak ada?”
Maksudnya kempes kali Sya? Hahaha.
Ify tersenyum lembut, dia mengangsurkan piring kosongnya pada Rio yang bersedia meletakkannya di meja. Menggeser duduknya agar anak-anaknya bisa sejajar dengannya dengan bantuan Rio.
“Dedek meninggal.”
Wajah si kembar terlihat bingung. Ify menggaruk-garuk kepalanya.
“Kak Rama tahu, Bun. Dedek pasti ke tempat Ibu sama Bapak Kak Rama. Di surganya Allah. Di sana.” Rama menyela sambil menunjuk langit di luar jendela.
“Ya kan, Bun, Yah? Kata guru ngaji Kak Rama dulu gitu.” tambah Rama meminta persetujuan.
Ify mengangguk, mengusap-usap rambut Rama –laki-laki yang sekarang memasang senyum lebarnya seperti biasa.
“Terus kapan balik?” Rasya menimpali.
“Kata guru ngaji Kak Rama, kalau sudah di sana gak bisa balik. Nanti kita yang nemui mereka di sana. Jadi dedek Masya, Abang, Kakak Zavin, dan Kak Rama nunggu di sana.”
Obrolan itu terus berlanjut. Rama sangat pintar di meladeni pertanyaan-pertanyaan si kembar. Rupanya ilmu yang diperoleh guru ngajinya sangat dicernanya mudah dan baik. Mungkin juga karena mengalami sendiri. Kesempatan kesibukan anak-anak mereka dimanfaatkan Rio untuk membicarakan hal penting pada Ify.
“Aku sudah bertemu dengan Bu Dhe dan Pak Dhenya Rama dari pihak ayah Rama. Sedangkan dari pihak ibu ternyata ibu Rama anak tunggal---”
Ify langsung menyela, “Mereka izinin kita ambil alih pengasuhan Rama kan, Kak?”
“Jangan dipotong dulu Adik Ify yang Kakak sayang.” gemas Rio menjawil hidung bangir Ify.
Ify hanya nyengir. Rio menghela nafas sebelum kembali menuturkan.
“Mereka mengizinkan dengan syarat, dan aku mewajarkan mereka melakukannya. Mereka kurang berada. Aku sudah mengurus semuanya termasuk perjanjian untuk tidak mengambil Rama dari kita suatu hari nanti---”
“Kak tapi kan itu kesannya---”
“Sayang?!” tegur Rio menatap kesal.
“Aku sudah memperbaiki niat menjadi niat beramal saat memenuhi syarat mereka. In shaa allah barokah.” lanjutnya.
Rio juga tidak bodoh dengan tak memikirkan arti setiap tindakannya dalam merespon sanak saudara yang masih dimiliki Rama. Dia sudah berkonsultasi dengan keluarganya maupun keluarga Ify. Kesannya kan seperti mereka menjual Rama dan dia membelinya. Jika dia memperbaiki niat sebelum memenuhi permintaan mereka, in shaa allah berkah. Maafkan jika dia salah. Dia hanya tak ingin Rama dijadikan subjek eksploitasi anak oleh mereka.
“Mmm... kalau soal internsip?” cicit Ify menunduk memainkan jemarinya.
“Apa?”
Ify mendongak, menggeleng. Ify berharap Rio tak mendengar suaranya yang amat sangat pelan. Apalagi anak-anak mereka masih heboh.
“Dokter bilang masa pemulihan kamu 3 sampai 6 bulan baru boleh hamil lagi. Tapi aku inginnya kamu hamil setelah balik dari kalimantan. Semoga Allah meridhoi dan menjabah setiap keinginan kita.”
Mata Ify membelalak. What? Tunggu---
“Jadi?” tanya Ify memastikan dengan mata berbinar.
Rio mengangguk dengan senyum meyakinkannya. “Salah satu anak kita bisa ikut kamu. Tapi kayaknya pasti si kembar yang nempel sama kamu. Biar Rama sama aku yang bolak-balik nanti.”
Tak peduli dengan posisi infusnya yang rawan copot, Ify langsung memeluk perut Rio di samping kiri ranjangnya. Dia sangat bersyukur dengan kabar-kabar gembira ini. Coba saja Rio langsung berubah begini tanpa harus mereka merasakan kehilangan yang membuat satu sama lain intropeksi. Tapi kalau tak ada keadaan yang berada pada zona tak nyaman, pasti tak akan ada yang berubah, dan pasti mereka masih dengan keras kepalanya masing-masing untuk memutuskan jalan keluar sepihak. Kali ini memang sifatnya sepihak- tetap Rio yang menentukan. Tapi setidaknya disetujui bersama.
“Aku tetap ingin punya anak banyak, Dear.” rengek Rio dalam bisikannya di telinga kanannya.
“Iya.”

Having Babies? Why Not?! End (29-02-2016; 23.56)
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar