Sabtu, 27 Juni 2015

HAVING BABIES? WHY NOT?! {SPECIAL RAMADHAN #B}

X
X
X
X

Suara gaduh membuatnya segera terjaga dari tidur siangnya bersama kembar kesayangannya. Pendengarannya yang begitu peka membuatnya langsung tersadar suara itu mengarah pada kamar sebelah. Dia menoleh ke tempat Ify tadi berbaring. Sudah kosong. Langsung saja ia beranjak dari ranjang dan melangkah cepat setengah berlari meninggalkan kamar. Dia nyaris jantungan menemukan Ify sedikit lagi akan jatuh terduduk dengan beberapa alat make up berserakan. Segera ia menarik tubuh mungil itu dalam dekapan. Pegangan Ify pada meja rias terlepas begitu dia menahan tubuhnya. Berganti melingkarkan tangan pada lehernya. Cepat dia membawa Ify ke ranjang. Mendudukkannya dengan bersandar pada kepala ranjang.
“Minum.” titahnya mengulurkan segelas air pada Ify.
“Puasa Kak.” lirih Ify sambil mengangkat tangan.
“Ck… batalin puasanya sekarang.” decaknya kesal.
Ify masih menggeleng membuatnya antara sadar tak sadar mengembalikan segelas air itu ke atas nakas dengan setengah membanting. Membuat air di dalamnya menyeruak sedikit. Sudah seminggu lebih bulan ramadhan. Selama rentang waktu seminggu lebih itu pula dia tak bosan meminta Ify untuk tak melanjutkan puasa karena usia kandungan yang masih dalam usia rawan. Namun seminggu itu pula Ify menolak permintaannya. Dia tak masalah Ify turut sahur karena siapa lagi yang akan menyiapkan sahur selain istrinya? Tapi yang dia masalahkan Ify yang turut menjalankan ibadah puasa. Di hari pertama puasa Ify memang tak berpuasa, namun di hari selanjutnya wanita itu bertekad untuk puasa karena merasa dirinya baik-baik saja dan menemani Masya-Rasya yang tengah belajar puasa. Tapi bagaimana dengan anak mereka di dalam kandungannya yang baru memasuki usia 4 bulan itu?
“Aku udah bilang berapa kali. Jangan puasa dulu. Kamu gak kasihan sama anak kita di dalam perutmu itu?” ketusnya menyingkir dari tepi ranjang.
Bersandar pada tembok dekat meja rias. Melipat tangan di depan dada dengan tatapan tajam menghunus kedua mata wanitanya.
“Tapi Ify gak papa, Kak.” rengek Ify menunduk menyuarakan decakan lebih keras darinya.
“Iya kamu tahu kalau kamu gak papa. Tapi dengan anak kita gimana? Kamu jangan egois Fy.”
Ify makin menunduk. Tak berani menoleh karena dengan lirikan singkat saja dia ngeri akan tatapan Rio yang seolah akan membunuhnya. Dia juga salah, tapi dia ingin puasa. Dia merasa terlalu sayang untuk melewatkan bulan ramadhan ini dengan tidak berpuasa penuh. Tidak bisa menikmati suasana buka puasa yang sebenarnya. Trus dia juga tak enak jika tak berpuasa di depan anak-anak yang berpuasa. Kembar kesayangannya itu semangat sekali berpuasa walaupun banyak tak puasanya terlebih jika mereka aktif sekali di hari itu.
“If-If-Ify malu sama Allah, Kak. Ify ngejalani sunnah sholat terawih tapi yang wajib malah gak Ify lakuin.” tuturnya mengeluarkan alasan yang lain.
“Ya Tuhan Ify. Allah maha tahu. Kamu sedang hamil. Ada nyawa seorang anak, rezeki dari Allah di dalam perut kamu. Allah tahu kalau kamu gak puasa itu karena kamu harus memberi nutrisi untuk membuatnya tetap memiliki kehidupan. Kalau kamu puasa? Anak kita makan apa? Kamu tega membuat dia kekurangan nutrisi di dalam sana? Secara gak kamu sadari malah kamu menyiksa dia dan bisa-bisa membunuhnya secara perlahan. Kamu tahu kan Allah sangat mengutuk ciptaannya yang berbuat keji seperti itu. Kamu seorang dokter Fy. Seharusnya kamu lebih paham dari aku mengenai hal ini. ”
“Iya Ify ngerti, Kak. Tapi kan kalau selama Ify baik-baik aja boleh puasa Kak.”
Rio mendengus ketara. Tersenyum miring, menatapnya sinis.
“Kamu ngerasa baik-baik aja? Nahan mual tiap hari itu baik-baik aja? Pusing di pertengahan sore itu dikatakan baik-baik aja? Tubuh hampir terhuyung itu yang namanya baik-baik aja?” tandasnya dengan suara benar-benar rendah.
Ify mendongak. Mulutnya menganga. Shock, kenapa Rio tahu dengan kondisinya selama puasa padahal dia mati-matian menyembunyikan itu semua serapi mungkin. Saat mual itu muncul dia sering bersembunyi di dalam kamar mandi si kembar. Seperti sekarang ini dia menyembunyikan mualnya dengan menjauh dari Rio. Juga kepalanya yang cenat-cenut dia biasanya langsung membaringkan tubuh. Berhubung dia keburu ketahuan, jadi begini deh. Sedangkan saat merasa tubuhnya tak kuasa berdiri tegak, dia memanfaatkan benda-benda tertentu yang bisa menyangga tubuhnya. Itu pun ia lakukan tanpa sepengetahuan Rio. Lantas bagaimana Rio….?
“Kaget kenapa aku tahu?” tanya Rio seakan tahu isi pikirannya.
Berjalan menghampiri ranjang. Membungkukkan badan. Masih menjaga jarak, Rio mendongakkan wajahnya agar menatapnya.
“Aku kenal kamu gak cuma 1-2 jam. Aku kenal kamu 11 tahun lamanya. Setiap gerak-gerik kamu aku tahu maknanya. Jadi, jangan macam-macam nyembunyiin sesuatu dari aku. Selama seminggu ini aku diam menunggu kamu menunjukkan kondisi kamu yang kamu bilang baik-baik saja itu sampai pada batas kemampuan. Well, kamu ketahuan.”
Mendengar semua perkataan Rio terlebih yang barusan, emosi negatif Ify muncul dengan cepat. Akankah Rio tidak bisa mengerti kondisinya yang tengah hamil itu sensitif sekali tapi dengan teganya melontarkan kalimat-kalimat seperti itu? Dengan nada tak bersahabat pula. Dengan gerakan tak terduga dan juga tak menyangka, dia menepis kasar gelas yang kembali diulurkan Rio. Membuat pria itu mundur beberapa langkah.
“ALYSSA!”
Mata Rio melotot penuh. Benar-benar geram dengan yang Ify lakukan. Dia nyaris mengangkat telapak tangannya kalau tak cepat-cepat ia tahan dengan mengepal sekuat tenaga. Hal itu tak luput dari pandangan Ify. Dia langsung memalingkan muka saat tangan Rio akan bergerak kasar merespon kelakuannya. Dia sakit hati akan perkataan Rio. Dia tak suka dengan setiap kalimat yang Rio ucapkan terkesan menyudutkannya. Seperti menandainya sebagai ibu yang tak berperasaan. Sebagai ibu yang tega membuat anaknya tersiksa. Mungkin dia tak akan menangkap ucapan Rio seperti itu jika lelaki itu berkata lembut penuh kesabaran seperti biasanya tiap kali menghadapinya yang keras kepala. Kemana Rio-nya? Ya, tiap manusia punya batas kesabaran Fy. Suara batinnya yang lain menyentak.
Sedangkan Rio. Mati-matian menahan tubuhnya tetap berjaga jarak dengan Ify agar tak bertindak kasar. Dia tak habis pikir Ify akan seperti ini. Akankah wanitanya tak paham jika dia begitu mengkhawatirkan keadaannya dan anak mereka? Dia tahu jika nada bicaranya terlalu keras dan sangat ketus, tapi bagaimana lagi? Dia dalam kondisi berpuasa –ya walaupun seharusnya pada saat puasa kita harus menahan sifat manusia yang membawa keburukan. Susah untuk mengendalikan diri. Apalagi dia menahan kegeramannya selama seminggu lewat –lebih tepatnya rentang seminggu di mana Ify memilih berpuasa.
“Kamu mau apa sekarang? Tetap mau puasa?” tanyanya mulai menurunkan nada suaranya.
 Walaupun Rio merasa dalam pengucapannya biasa saja, tapi bagi Ify tetap terdengar ketus dan tak peduli. Semakin membangkitkan keberaniannya menentang Rio. Sekali lagi, lupa kah Rio dengan keadaanya yang sangat sensitive ini?
“Nggak! Kakak puas?” jawabnya nyolot.
“Ya Tuhan Alyssa. Aku nyuruh kamu gak puasa untuk kebaikanmu sendiri. Bukan untuk menambah beban kamu berhutang puasa.”
Ify mendengus. “Iya-iya. Udah kan? Puas kan?” jawabnya senewen memandang Rio bengis.
Rio geleng-geleng kepala. Kesambet setan apa istrinya ini. Bukannya saat bulan ramadhan setan itu dikerangkeng? Dia maju di sela-sela pecahan gelas. Mengulurkan tangan. Ify sudah akan memalingkan muka saat dia menangkup wajah itu. Ditepuknya beberapa kali kedua pipi Ify sebagai pengganti hasratnya menampar pipi Ify tadi. Sekaligus menyadarkan Ify. Namun bukannya sadar, dia malah didorong dengan kasar oleh Ify. Pantatnya akan menyentuh pecahan gelas jika ia tak segera memegang kepala ranjang.
“Astaghfirullah Alyssa.”
“Apa? Ngapain nyentuh-nyentuh. Gak usah sok lembut deh. Tadi aja bentak-bentak.”
Rio kembali melotot. Apa-apaan Ify ini? Dia sudah akan memberi pelajaran mulut Ify yang bacot sembarangan ketika pintu kamar terbuka dan memunculkan kedua anaknya yang menatapnya dan Ify sambil mengucek mata. Kebangun karena suaranya yang menggelegar tadi sepertinya. Ify mengambil kesempatan itu untuk bersembunyi di balik selimut. Tak tahu kenapa hari ini emosinya meledak-ledak. Biasanya jika bertengkar atau sekedar adu bacot dengan Rio dia cepat merasa bersalahnya. Sedangkan sekarang malah merasa gedhek terhadap Rio.
“Ayah kenapa?” tanya Rasya berjalan menghampiri Rio dengan menggandeng adiknya yang masih mengerjap-ngerjap menahan ngantuk.
Dia mengangkat tangannya saat langkah mereka mendekati pecahan gelas.
“Abang sama Adek bangun karena suara Ayah ya?” tanyanya mengalihkan perhatian keduanya. Berjalan mendekati dan menggendong membawanya ke ranjang melewati sisi tempat tidur yang lain.
“Iya Yah. Masih ngantuk.” jawab Masya. Rasya hanya mengangguk.
“Abang sama Adek bobok lagi di sini ya. Ayah beresin pecahan gelas dulu.” titahnya langsung mendapat anggukan. Anak kecil ini aja gampang nurutnya. Kenapa yang udah punya anak jadi sulit dikasih tahu?
Dia mengangkat selimut yang digunakan Ify. Sepasang mata wanitanya terpejam –pura-pura tidur. Pelan, ia membaringkan Rasya dan Masya bergantian. Memasang kembali selimut hingga dagu keduanya. Lantas berbalik membersihkan pecahan gelas ulah dari istrinya tercinta. Kemunculan keduanya seketika menekan emosinya dengan mudah. Mereka mengingatkannya bahwa Ify sedang dalam keadaan sensitif akut saat ini. Kehamilan kedua Ify sangat berbeda dari sebelumnya. Jika di kehamilan pertama, emosinya dipermainkan oleh khawatiran Ify akan kehamilannya, kehamilan kedua ini emosinya dibuat naik-turun karena susah diaturnya. Di tambah ketepatan di bulan ramadhan. Sabar-sabar.
Dia menoleh kembali ke arah ranjang memastikan Masya-Rasya setelah pecahan gelas tadi seluruhnya ia bersihkan. Tatapannya bertabrakan dengan Ify yang memandangnya datar. Dia langsung buang muka. Berlalu dengan menenteng kresek berisi pecahan gelas. Tak mau kemarahannya semakin menjadi.
***
Dia jadi bimbang sendiri sekarang. Memilih tak peduli atau segera memasak untuk wanitanya yang beberapa menit lalu menguji emosinya. Hufft… akhirnya dia berlalu menuju dapur. Memilih untuk tetap menaruh perhatian pada Ify. Untung saja dia ingat ada anaknya di dalam kandungan Ify. Kalau cuma Ify sendiri ya ngapain? Wanita itu membuatnya kesal. Seharusnya Ify lebih dulu bersikap baik padanya. Astaghfirullah Rio. Ify itu istrimu dan istrimu sedang mengandung anakmu sekarang. Ingatnya dalam hati.
Sambil menghela nafas berkali-kali menguapkan rasa kesal, dia membuka lemari es mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan membuat makanan yang sederhana. Sudah lama rasanya tak menyentuh alat-alat dapur semenjak Ify mulai bisa memasak. Dia sekarang lebih sering menunggu Ify menyiapkan makanannya. Membantu pun hanya memotong-motong sayur ala kadarnya atau sekedar cuci piring. Lantas diperiksanya isi magic com. Lebih dari cukup, untuk berbuka nanti juga masih ada lebihnya.
Hanya membutuhkan waktu 45 menit baginya membuat sup dengan campuran potongan ayam dan sosis dan menggoreng telur mata sapi. Di angkatnya panci berukuran sedang itu menuju meja makan. Menyendok nasi dan menaruhnya pada piring oval kesayangan Ify. Baru menuangkan sup dan meletakkan telur mata sapi di tengah-tengah piring.
Dia membuka pelan pintu kamarnya. Ify meringkuk dengan tangan memeluk si kembar. Berjalan menghampiri sisi ranjang yang ditempati Ify. Menaruh sepiring nasi beserta lauk pauk dan segelar air yang dibawanya di atas nakas. Sebelum menyentuh Ify, dia menarik dan menghembuskan nafas kuat-kuat menghilangkan kekesalan yang muncul lagi saat memasuki kamar.
Dengan duduk di tepi ranjang, dicongkannya tubuh melihat wajah Ify yang damai tidak seperti saat tengkar tadi –yang membuatnya ingin sekali mengulek(?) wajah Ify. Dia lebih mendekatkan muka melihat lebih jelas setiap inchi wajah Ify. Tampak bekas aliran air mata di kedua pipi wanitanya. Membuat seluruh sisa-sisa kekesalannya terangkat penuh. Kalau masih menangis setelah bertengkar dengannya, dia yakin Ify menyesal telah membuatnya marah. Tapi, bisa saja wanita itu menangis untuk menguapkan kekesalan terhadapnya bukan? Rio menggeleng pelan. Membantah suara itu. Dia sangat memahami Ify. Jika bertengkar dengannya, gadis itu akan nangis saat rasa sesal itu datang, dan akan terus menggerutu kalau masih menyimpan kesal.
“Dear.” panggilnya berbisik -takut membuat Masya-Rasya turut terjaga- sambil menepuk pelan pipi Ify.
Ify menggeliat pelan. Membalik tubuh. Mendapati Rio memandangnya dengan senyuman hangat. Setengah sadar, dia merubah posisi menjadi bersandar. Membalas pandangan Rio dengan enggan.
“Makan ya?” pinta Rio sambil meraih piring tak jauh dari sebelahnya.
“Kakak gak marah?” tanyanya mulai membuang keengganannya.
Rio hanya tersenyum. Mulai menyendok nasi dan lauk. Mengulurkannya pada Ify.
“Mau aku marah?” jawabnya balik bertanya.
Ify menggeleng, “Maaf.” tuturnya sungguh-sungguh.
Rio mengangguk. Memintanya untuk segera menyambut suapannya.
“Ify minum dulu Kak. Haus.”
Dengan sigap Rio mengambil segelas air dan menyerahkan padanya.
“Jangan lupa doa.” pesan Rio yang ia balas dengan anggukan.
Dia mendengar kekehan Rio saat meneguk isi gelas penuh napsu. Haus gila. Mana ditambah nangis lagi. Nangis karena takut Rio tak mengacuhkannya. Nangis karena menyesal telah menepis gelas tadi dengan kasar. Untung saja tak sampai melukai Rio. Bisa-bisa tak tak berhenti menangis 7 hari 7 malam jika itu sampai terjadi. Selain itu, pastinya dia nangis karena baru sadar kalau perbuatannya salah setelah Rio berlalu dari kamar. Kalau gak ingat sekarang puasa udah dia berikan Rio pelukan dan ciuman.
Gak papa sih kayaknya ya? Kan dia memeluk dan mencium Rio tanpa napsu, tapi dengan kasih sayang. Nyeh-_- loe gak lupa kan kalau tiap Rio meluk loe ataupun sebaliknya, tuh cowok pasti unsur napsunya muncul walaupun dikit. Loe mau jadi setan? Hehehe.
“Enak? Gak aku cicipin soalnya. Asal nakar dan aku jarang masak juga bikin kaku.” tanya Rio setelah dia menelan hasil masakannya.
“Enak kok. Cuma kalau ditambah garam dikit lebih enak. Maaf ya Kak, Ify makan di depan Kakak. Mana disuapin lagi. Sini biar Ify makan sendiri.” jawabnya mengulurkan tangan.
“Gak papa, Dear. Biar aku suapin. Lama aku gak nyuapin kamu. Lagian gak masalah kamu makan di depan aku. Secara hukum juga gak ada yang salah makan di depan orang yang berpuasa. Cuma secara etika pergaulan saja seseorang sebaiknya makan dan minum jauh dari orang berpuasa. Intinya gak ada dosa, kecuali kamu sengaja godain aku buat makan juga.” terang Rio sambil tetap menyuapinya.
Dia hanya bisa mengangguk mengerti serta terkekeh pelan. Tak bisa berkata apa lagi. Terenyuh total mendapati Rio masih memperlakukannya baik setelah tengkar singkat tadi. Seperti biasa jika perasaan bersalah itu muncul dan dalam situasi berhadapan dengan Rio, dia menunduk dalam memainkan jemarinya. Minta maaf pun merasa percuma walau Rio menyambut permohonan maafnya dengan baik tadi. Tak akan bisa langsung membuat rasa bersalahnya pergi.
Di hadapan Ify, dengan setia Rio menahan senyumnya. Fase Ify yang seperti ini setelah bertengkar dengannya tak cuma sekali ia lihat. Karena sering itulah, dia menggunakan taktik yang seperti ini untuk membimbing Ify jika wanitanya itu sudah benar-benar keras kepala. Di ajak tengkar dulu, baru diperlakukan lembut lagi. Bisa saja masalah tadi tak ia bawa pada medan pertengkaran, namun mengingat Ify sepertinya masih keukeuh dengan keras kepalanya, terpaksa dia menggunakan taktik itu. Tak tega sebenarnya membuat Ify sering merasa bersalah.
“Besok dan seterusnya gak usah puasa ya.” titahnya lagi.
Ify membuka mulut tapi rahangnya kembali mengatup cepat. Mengangguk. Dia tahu Ify akan mengeluarkan rengekan agar dia memberinya kelonggaran diperbolehkan berpuasa.
“Boleh puasa kalau benar-benar sehat. Bukan pura-pura sehat.” ucapnya memberi yang diinginkan Ify.
Di hadapannya wajah muram tadi langsung cerah. Kepala wanitanya mengangguk-angguk kuat. Memasang senyum lebar. Ya Tuhan, bagaimana dia tega membuat istri mungilnya ini murung? Wajah malaikatnya seketika meruntuhkan segala kekesalannya.
“Aku mohon lain kali jangan bandel lagi. Seenggaknya selama kamu hamil. Aku gak mau bentak kamu. Ngajak kamu tengkar. Apalagi harus di depan anak kita ini” mohonnya mengusap perut Ify pelan.
Ify mengangguk lemah. Merasa benar-benar bersalah sudah. Dia yang lebih tahu mengenai kehamilan. Dia yang begitu paham mengenai perkembangan janin di dalam perutnya. Dia yang amat tahu jika setiap perkataan dan kondisi dirinya serta sikap orang-orang berarti di sekitarnya sangat mempengaruhi psikologis janinnya. Dia tahu, tapi mengapa mengabaikannya? Ibu macam apa dia? Reflek dia mengusap-usap perutnya. Mengucapkan kata maaf berulang.
Setelah itu, dia beralih pada Rio. Meraih tangan kanan Rio yang sudah tak memegang piring setelah dia menghabiskan makananannya. Mengusap punggung telapak tangan kokoh itu sebelum menciumnya. Melafalkan maaf di sela-sela manahan isak.
“Maaf. Maafin Bunda, Yah. Maaf Bunda udah nentang Ayah. Maaf Bunda udah berbuat kasar ke Ayah tadi. Maaf  juga Bunda sempat menyimpan kesal ke Ayah. Maaf---”
“Ssttt. Udah. Bunda udah Ayah maafin. Jangan nangis. Ayah juga salah gak bisa nahan emosi Ayah. Udah ya.” potongnya dengan meletakkan telunjuk kirinya di depan bibir Ify.
At least, sore itu mereka saling mengungkapkan penyesalan masing-masing. Berusaha kedepannya tidak akan lengah dengan sifat buruk manusia yang susah sekali menahan napsu untuk melakukan tindakan-tindakan buruk dan berujung dosa terlebih saat dipancing. Menentang suami itu dosa kan? Berkata kasar pada istri itu tak luput dari dosa pula kan?
***
Dia dan Rio sepakat membeli saja untuk berbuka. Sejak pagi tadi Rio memintanya untuk tidak masak. Rio mengusahakan dirinya untuk tiba lebih cepat dari biasanya. Jika jam 5 pria itu baru terdengar salamnya dari dalam rumah, maka sore ini jam setengah 4 sudah menyapanya dan anak-anak dan mengajak untuk pergi ke bazar ramadhan yang berlokasi di taman tak jauh dari kompleks mereka. Seperti pesanan pria itu saat menghubunginya tadi, Rio meminta dia dan anak-anak sudah dalam keadaan siap untuk pergi. Dan di sinilah mereka sekarang. Berjalan memasuki kerumunan orang-orang yang meramaikan bazar. Sigap dia dan Rio menggendong si kembar saat jarak bazar mulai dekat. Rasya dalam pelukannya, Masya dengan ddekap oleh Rio. Dia mencari aman memilih menggendong Rasya mengingat perempuannya pasti tidak akan anteng seperti anak lelakinya.
“Abang mau makan apa?” tanyanya dengan mendekatkan bibir dekat telinga karena hiruk pikuk orang-orang yang menjajakan dagangan maupun yang akan memburu dagangan.
“Ikan itu Bunda.” jawab Rasya langsung menunjuk barisan ikan yang dimaksud.
Merasa dagangannya sebentar lagi akan laku, pemilik ikan yang ditunjuk Rasya langsung mengajaknya untuk segera ke sana. Dia menoleh pada Rio yang sedari tadi merangkul pinggangnya dengan tangannya yang tak memeluk Masya. Rio mengedikkan dagunya ke arah pedagang dan melangkah sambil menarik pinggangnya.
“Yang mana, Bang?” tanyanya lagi saat berada di hadapan jejeran ikan panggang yang terbungkus mika.
“Loh? Ya terserah Eneng atuh.”
Ify menepuk jidat. Meringis. Bang yang dia maksud itu anaknya.
“Maksud saya anak saya, Mas. Abang mau yang mana?”
Ganti si penjual yang meringis tertahan. Rio hanya tersenyum tipis memandang pemuda yang ia perkirakan usianya lebih muda darinya. Dia mencium pipi Masya merasakan tawa yang ia tahan menunjukkan tanda-tanda untuk dikeluarkan. Punggung Ify membungkuk agar Rasya mudah menyentuhkan telunjuk mungilnya pada pilihannya. Kepala anaknya menoleh kanan-kiri berulang sampai akhirnya memilih bungkus mika ukuran besar di dalamnya terdapat seekor gurami panggang dengan ukuran cukup besar. Tangannya merayap hingga nyaris ke bagian perut Ify  meminta istrinya untuk segera menegakkan tubuh –tak berlama-lama membungkuk. Ify langsung paham, dia menyerahkan ikan gurami itu pada si pedagang yang sudah menyediakan kresek di tangan kanannya.
“Adek juga mau? Atau beli yang lain?” tanya Ify pada Masya yang sibuk mengamati sekitar.
“Sayang, Bunda tanya tuh.” tegurnya mengarahkan wajah Masya pada Ify dengan lembut.
“Masya mau Bunda. Abang mau, Masya mau.” jawab anaknya langsung kembali melanjutkan kegiatan pengamatannya.
“Berapa Mas?” tanyanya sambil mengeluarkan uang yang sudah disiapkan tanpa membuka dompet di belakang sakunya dan menyerahkannya pada Ify.
“Tiga lima ribu.” jawab si mas-mas yang tak berhenti menatap Ify dengan minat.
Padahal Ify sudah berpenampilan benar-benar apa adanya. Tanpa make up dengan rambut dikepang. Mengenakan dress panjang biru polos longgar deng perut buncit terlihat di balik dressnya. Dia memang meminta Ify untuk tak mengenakan make up –cukup pelembab- selain menghadiri acara penting. Tapi tetap saja Ify itu Barbie wanna be walau polosan gitu. Masih mampu mengalihkan mata-mata lelaki di sekitar mereka. Oleh karena itu sedari tadi dia mengamit pinggang Ify sangat posesif.
“Terima kasih, Mas.” ucap Ify lengkap dengan senyum ramahnya.
Makanan utama telah dikantongi. Mereka kembali melanjutkan perjalanan mengikuti barisan stan bazar. Setengah perjalanan, menu buka puasa yang dijajakan rata-rata sama. Hanya beda kemasan dan beda harga sepertinya. Suara melengking Masya membuat dia dan Ify berhenti di depan stan yang memamerkan coklat dengan beragam bentuk kartun.
“Mau itu, Yah.” rengek Masya.
“Gak mau, Bunda.” ganti Rasya merengek.
“Masya mau Abang harus mau.”
“Gak mau, Adekkk.”
“Ab---”
“Kalian ini ya, kapan hari itu Ayah bilang harus akur. Masya lupa yang Ayah bilang? Gak semua yang Masya mau itu diturut---”
Belum selesai Rio bicara, perempuannya menyembunyikan wajah di lekukan lehernya. Menangis sesenggukan. Tangan mungil itu memukul punggungnya berkali-kali. Terpaksa dia menggandeng Ify menepi hingga tangis Masya mereda. Mereka mengambil tempat di bangku yang terletak di tengah-tengah taman mengelilingi kolam ikan dengan air mancur di pusatnya.
“Udah Sayang, cup ya.” bujuknya mengusap-usap rambut Masya yang diikat dua.
“Masya hiks mau hiks coklat itu, Yah hiks.” rengek Masya tak beranjak dari lehernya.
 “Beli coklatnya yang di mini market aja ya?”
Kali ini Ify yang membujuknya. Mengusap pipi Masya yang dialiri air mata setelah wajah gadis itu dipaksa menjauh dari leher Rio. Di pangkuannya, Rasya turut mengusap tangan Masya. Dia terpaksa tak bisa menuruti permintaan Masya. Rasya pun tahu bahwa dia dan Rio tak akan mengizinkan Masya mendapatkannya. Anak lelakinya sempat ia beritahu mengenai makanan yang harus dihindari. Bukannya tak percaya dengan coklat-coklat seperti itu, tapi dia hanya melakukan pencegahan.
“Gak mau, Bun. Yang di mini market gak lucu, yang itu lucu. Masya mau yang itu Bunnn.” makin hebatlah rengekan Masya membuatnya garuk-garuk kepala bingung.
Rio terkekeh. Sambil menyamankan posisi Masya yang sudah berpangku padanya, dia menoleh.
“Bingung ya ngadepin Masya kalau udah ngerengek kayak gini? Itu yang aku rasain waktu kamu ngerengek-rengek kayak Masya gini.” bisiknya di telinga Ify dengan suara yang hanya didengar oleh Ify, yang langsung saja dia menerima sikutan keras.
Dia menahan tawa melihat wajah Ify yang memerah. Lantas bangkit dari bangku. Menurunkan Masya dari gendongan. Berjongkok mencengkram kedua bahu Masya.
“Kita beli coklat yang di mini market, terus kita bikin sama-sama di rumah dengan bentuk yang lebih lucu. Gimana?” tawarnya pada Masya yang masih mengerucutkan bibir dengan kedua tangan mengusap air mata.
Hidung pesek Masya kembang-kempis tanda anak itu sedang berfikir keras. Tak lama senyum mengembang di wajah Masya. Kepala Masya mengangguk-angguk semangat. Dia kembali berdiri. Memutar tubuh menghadap Ify dan Rasya yang memandangnya. Senyum miring tercetak di wajahnya melihat Ify cemberut. Wanitanya sering kali ngambek karena merasa Masya lebih nurut padanya.
“Yuk Bunda, Abang. Kita ke mini market sekarang.” ajaknya mengulurkan tangan pada keduanya. Masya mengikuti gerakan tangannya.
“Rasya diturunin aja, Bun.” ucapnya melihat Ify sepertinya tetap akan menggendong Rasya.
Masih memasang wajah merenggut, Ify menurunkan Rasya dari gendongannya. Masya langsung menggandeng abangnya setelah melepas pegangan pada tangan ayahnya. Kedua bocah itu lantas berlari-lari kecil mendahuluinya dan Ify. Tetap mempertahankan senyum miringnya dia mengamit pinggang Ify.
“Gak usah cemberut gitu kek, Bun. Bukan Masya yang nurut sama Ayah, tapi Bunda aja kurang pintar ngebujuk Masya yang manjanya kayak Bunda.”
Bukannya menghibur, Rio malah semakin membuatnya merenggut. Gemas, dia menghadiahi perut keras Rio dengan cubitan kecil. Pria itu tertawa puas. Membalas cubitannya dengan mengacak-acak kepangannya. Tawa Rio membuat kedua anaknya berhenti berlari dan berbalik. Merasa jarakanya terlampau jauh menurut ukuran mereka, Masya-Rasya kembali berlari kecil ke arahnya dan Rio. Dengan kedipan mata Rio mengisyaratkannya untuk segera menangkap tubuh mungil itu ketika keduanya tepat di depan mata. Dia tersenyum. Enyah sudah kekesalannya. Dia mengangguk dan langsung saja mengangkat tubuh Rasya seperti yang Rio lakukan pada Masya. Menggelitik perut mereka dengan ciuman lalu mendekapnya dalam gendongan. Suara tawa terdengar keras membuat beberapa orang di sekitar mereka mengalihkan perhatian.
Bahagia itu benar-benar sederhana. Memperlakukan sebaik mungkin yang Tuhan anugerahkan misalnya.
***


3 komentar:

  1. Wow keren aku suka kalau ada pertenkaran gini, jadi tambah ao sweet pasti nanti, tp masih kurang wow lagi hahaha

    Bener, ini kependekan aku tunggu lanjutannya ya, semangat terus :D

    BalasHapus
  2. kak cerita Miss Jutek Ketemu cinta yg ada di FB gak bisa dibuka. Kalau boleh copy ke blog dong kak, please aku pengen banget bacanya.
    Seriusan kak yg di FB gak bisa dibuka..

    BalasHapus