X
X
X
X
Suara gaduh membuatnya segera terjaga dari tidur siangnya bersama
kembar kesayangannya. Pendengarannya yang begitu peka membuatnya langsung
tersadar suara itu mengarah pada kamar sebelah. Dia menoleh ke tempat Ify tadi
berbaring. Sudah kosong. Langsung saja ia beranjak dari ranjang dan melangkah
cepat setengah berlari meninggalkan kamar. Dia nyaris jantungan menemukan Ify
sedikit lagi akan jatuh terduduk dengan beberapa alat make up berserakan.
Segera ia menarik tubuh mungil itu dalam dekapan. Pegangan Ify pada meja rias
terlepas begitu dia menahan tubuhnya. Berganti melingkarkan tangan pada
lehernya. Cepat dia membawa Ify ke ranjang. Mendudukkannya dengan bersandar
pada kepala ranjang.
“Minum.” titahnya mengulurkan segelas air pada Ify.
“Puasa Kak.” lirih Ify sambil mengangkat tangan.
“Ck… batalin puasanya sekarang.” decaknya kesal.
Ify masih menggeleng membuatnya antara sadar tak sadar
mengembalikan segelas air itu ke atas nakas dengan setengah membanting. Membuat
air di dalamnya menyeruak sedikit. Sudah seminggu lebih bulan ramadhan. Selama rentang
waktu seminggu lebih itu pula dia tak bosan meminta Ify untuk tak melanjutkan puasa
karena usia kandungan yang masih dalam usia rawan. Namun seminggu itu pula Ify
menolak permintaannya. Dia tak masalah Ify turut sahur karena siapa lagi yang
akan menyiapkan sahur selain istrinya? Tapi yang dia masalahkan Ify yang turut
menjalankan ibadah puasa. Di hari pertama puasa Ify memang tak berpuasa, namun
di hari selanjutnya wanita itu bertekad untuk puasa karena merasa dirinya
baik-baik saja dan menemani Masya-Rasya yang tengah belajar puasa. Tapi
bagaimana dengan anak mereka di dalam kandungannya yang baru memasuki usia 4
bulan itu?
“Aku udah bilang berapa kali. Jangan puasa dulu. Kamu gak kasihan
sama anak kita di dalam perutmu itu?” ketusnya menyingkir dari tepi ranjang.
Bersandar pada tembok dekat meja rias. Melipat tangan di depan
dada dengan tatapan tajam menghunus kedua mata wanitanya.
“Tapi Ify gak papa, Kak.” rengek Ify menunduk menyuarakan decakan
lebih keras darinya.
“Iya kamu tahu kalau kamu gak papa. Tapi dengan anak kita gimana?
Kamu jangan egois Fy.”
Ify makin menunduk. Tak berani menoleh karena dengan lirikan
singkat saja dia ngeri akan tatapan Rio yang seolah akan membunuhnya. Dia juga
salah, tapi dia ingin puasa. Dia merasa terlalu sayang untuk melewatkan bulan
ramadhan ini dengan tidak berpuasa penuh. Tidak bisa menikmati suasana buka
puasa yang sebenarnya. Trus dia juga tak enak jika tak berpuasa di depan
anak-anak yang berpuasa. Kembar kesayangannya itu semangat sekali berpuasa
walaupun banyak tak puasanya terlebih jika mereka aktif sekali di hari itu.
“If-If-Ify malu sama Allah, Kak. Ify ngejalani sunnah sholat
terawih tapi yang wajib malah gak Ify lakuin.” tuturnya mengeluarkan alasan
yang lain.
“Ya Tuhan Ify. Allah maha tahu. Kamu sedang hamil. Ada nyawa
seorang anak, rezeki dari Allah di dalam perut kamu. Allah tahu kalau kamu gak
puasa itu karena kamu harus memberi nutrisi untuk membuatnya tetap memiliki
kehidupan. Kalau kamu puasa? Anak kita makan apa? Kamu tega membuat dia
kekurangan nutrisi di dalam sana? Secara gak kamu sadari malah kamu menyiksa
dia dan bisa-bisa membunuhnya secara perlahan. Kamu tahu kan Allah sangat
mengutuk ciptaannya yang berbuat keji seperti itu. Kamu seorang dokter Fy.
Seharusnya kamu lebih paham dari aku mengenai hal ini. ”
“Iya Ify ngerti, Kak. Tapi kan kalau selama Ify baik-baik aja
boleh puasa Kak.”
Rio mendengus ketara. Tersenyum miring, menatapnya sinis.
“Kamu ngerasa baik-baik aja? Nahan mual tiap hari itu baik-baik
aja? Pusing di pertengahan sore itu dikatakan baik-baik aja? Tubuh hampir
terhuyung itu yang namanya baik-baik aja?” tandasnya dengan suara benar-benar
rendah.
Ify mendongak. Mulutnya menganga. Shock, kenapa Rio tahu dengan
kondisinya selama puasa padahal dia mati-matian menyembunyikan itu semua serapi
mungkin. Saat mual itu muncul dia sering bersembunyi di dalam kamar mandi si
kembar. Seperti sekarang ini dia menyembunyikan mualnya dengan menjauh dari
Rio. Juga kepalanya yang cenat-cenut dia biasanya langsung membaringkan tubuh.
Berhubung dia keburu ketahuan, jadi begini deh. Sedangkan saat merasa tubuhnya
tak kuasa berdiri tegak, dia memanfaatkan benda-benda tertentu yang bisa
menyangga tubuhnya. Itu pun ia lakukan tanpa sepengetahuan Rio. Lantas
bagaimana Rio….?
“Kaget kenapa aku tahu?” tanya Rio seakan tahu isi pikirannya.
Berjalan menghampiri ranjang. Membungkukkan badan. Masih menjaga
jarak, Rio mendongakkan wajahnya agar menatapnya.
“Aku kenal kamu gak cuma 1-2 jam. Aku kenal kamu 11 tahun lamanya. Setiap gerak-gerik
kamu aku tahu maknanya. Jadi, jangan macam-macam nyembunyiin sesuatu dari aku.
Selama seminggu ini aku diam menunggu kamu menunjukkan kondisi kamu yang kamu
bilang baik-baik saja itu sampai pada batas kemampuan. Well, kamu ketahuan.”
Mendengar semua perkataan Rio terlebih yang barusan, emosi negatif
Ify muncul dengan cepat. Akankah Rio tidak bisa mengerti kondisinya yang tengah
hamil itu sensitif sekali tapi dengan teganya melontarkan kalimat-kalimat
seperti itu? Dengan nada tak bersahabat pula. Dengan gerakan tak terduga dan
juga tak menyangka, dia menepis kasar gelas yang kembali diulurkan Rio. Membuat
pria itu mundur beberapa langkah.
“ALYSSA!”
Mata Rio melotot penuh. Benar-benar geram dengan yang Ify lakukan.
Dia nyaris mengangkat telapak tangannya kalau tak cepat-cepat ia tahan dengan
mengepal sekuat tenaga. Hal itu tak luput dari pandangan Ify. Dia langsung
memalingkan muka saat tangan Rio akan bergerak kasar merespon kelakuannya. Dia
sakit hati akan perkataan Rio. Dia tak suka dengan setiap kalimat yang Rio
ucapkan terkesan menyudutkannya. Seperti menandainya sebagai ibu yang tak berperasaan.
Sebagai ibu yang tega membuat anaknya tersiksa. Mungkin dia tak akan menangkap
ucapan Rio seperti itu jika lelaki itu berkata lembut penuh kesabaran seperti
biasanya tiap kali menghadapinya yang keras kepala. Kemana Rio-nya? Ya, tiap manusia punya batas kesabaran Fy. Suara
batinnya yang lain menyentak.
Sedangkan Rio. Mati-matian menahan tubuhnya tetap berjaga jarak
dengan Ify agar tak bertindak kasar. Dia tak habis pikir Ify akan seperti ini.
Akankah wanitanya tak paham jika dia begitu mengkhawatirkan keadaannya dan anak
mereka? Dia tahu jika nada bicaranya terlalu keras dan sangat ketus, tapi
bagaimana lagi? Dia dalam kondisi berpuasa –ya walaupun seharusnya pada saat
puasa kita harus menahan sifat manusia yang membawa keburukan. Susah untuk
mengendalikan diri. Apalagi dia menahan kegeramannya selama seminggu lewat
–lebih tepatnya rentang seminggu di mana Ify memilih berpuasa.
“Kamu mau apa sekarang? Tetap mau puasa?” tanyanya mulai
menurunkan nada suaranya.
Walaupun Rio merasa dalam
pengucapannya biasa saja, tapi bagi Ify tetap terdengar ketus dan tak peduli.
Semakin membangkitkan keberaniannya menentang Rio. Sekali lagi, lupa kah Rio
dengan keadaanya yang sangat sensitive ini?
“Nggak! Kakak puas?” jawabnya nyolot.
“Ya Tuhan Alyssa. Aku nyuruh kamu gak puasa untuk kebaikanmu
sendiri. Bukan untuk menambah beban kamu berhutang puasa.”
Ify mendengus. “Iya-iya. Udah kan? Puas kan?” jawabnya senewen
memandang Rio bengis.
Rio geleng-geleng kepala. Kesambet setan apa istrinya ini.
Bukannya saat bulan ramadhan setan itu dikerangkeng? Dia maju di sela-sela
pecahan gelas. Mengulurkan tangan. Ify sudah akan memalingkan muka saat dia
menangkup wajah itu. Ditepuknya beberapa kali kedua pipi Ify sebagai pengganti
hasratnya menampar pipi Ify tadi. Sekaligus menyadarkan Ify. Namun bukannya
sadar, dia malah didorong dengan kasar oleh Ify. Pantatnya akan menyentuh
pecahan gelas jika ia tak segera memegang kepala ranjang.
“Astaghfirullah Alyssa.”
“Apa? Ngapain nyentuh-nyentuh. Gak usah sok lembut deh. Tadi aja
bentak-bentak.”
Rio kembali melotot. Apa-apaan Ify ini? Dia sudah akan memberi
pelajaran mulut Ify yang bacot sembarangan ketika pintu kamar terbuka dan
memunculkan kedua anaknya yang menatapnya dan Ify sambil mengucek mata.
Kebangun karena suaranya yang menggelegar tadi sepertinya. Ify mengambil
kesempatan itu untuk bersembunyi di balik selimut. Tak tahu kenapa hari ini
emosinya meledak-ledak. Biasanya jika bertengkar atau sekedar adu bacot dengan
Rio dia cepat merasa bersalahnya. Sedangkan sekarang malah merasa gedhek
terhadap Rio.
“Ayah kenapa?” tanya Rasya berjalan menghampiri Rio dengan
menggandeng adiknya yang masih mengerjap-ngerjap menahan ngantuk.
Dia mengangkat tangannya saat langkah mereka mendekati pecahan
gelas.
“Abang sama Adek bangun karena suara Ayah ya?” tanyanya
mengalihkan perhatian keduanya. Berjalan mendekati dan menggendong membawanya
ke ranjang melewati sisi tempat tidur yang lain.
“Iya Yah. Masih ngantuk.” jawab Masya. Rasya hanya mengangguk.
“Abang sama Adek bobok lagi di sini ya. Ayah beresin pecahan gelas
dulu.” titahnya langsung mendapat anggukan. Anak kecil ini aja gampang
nurutnya. Kenapa yang udah punya anak jadi sulit dikasih tahu?
Dia mengangkat selimut yang digunakan Ify. Sepasang mata wanitanya
terpejam –pura-pura tidur. Pelan, ia membaringkan Rasya dan Masya bergantian.
Memasang kembali selimut hingga dagu keduanya. Lantas berbalik membersihkan pecahan
gelas ulah dari istrinya tercinta. Kemunculan keduanya seketika menekan
emosinya dengan mudah. Mereka mengingatkannya bahwa Ify sedang dalam keadaan
sensitif akut saat ini. Kehamilan kedua Ify sangat berbeda dari sebelumnya.
Jika di kehamilan pertama, emosinya dipermainkan oleh khawatiran Ify akan
kehamilannya, kehamilan kedua ini emosinya dibuat naik-turun karena susah
diaturnya. Di tambah ketepatan di bulan ramadhan. Sabar-sabar.
Dia menoleh kembali ke arah ranjang memastikan Masya-Rasya setelah
pecahan gelas tadi seluruhnya ia bersihkan. Tatapannya bertabrakan dengan Ify
yang memandangnya datar. Dia langsung buang muka. Berlalu dengan menenteng
kresek berisi pecahan gelas. Tak mau kemarahannya semakin menjadi.
***
Dia jadi bimbang sendiri sekarang. Memilih tak peduli atau segera
memasak untuk wanitanya yang beberapa menit lalu menguji emosinya. Hufft… akhirnya
dia berlalu menuju dapur. Memilih untuk tetap menaruh perhatian pada Ify.
Untung saja dia ingat ada anaknya di dalam kandungan Ify. Kalau cuma Ify
sendiri ya ngapain? Wanita itu membuatnya kesal. Seharusnya Ify lebih dulu
bersikap baik padanya. Astaghfirullah
Rio. Ify itu istrimu dan istrimu sedang mengandung anakmu sekarang. Ingatnya
dalam hati.
Sambil menghela nafas berkali-kali menguapkan rasa kesal, dia membuka
lemari es mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan membuat makanan yang
sederhana. Sudah lama rasanya tak menyentuh alat-alat dapur semenjak Ify mulai
bisa memasak. Dia sekarang lebih sering menunggu Ify menyiapkan makanannya.
Membantu pun hanya memotong-motong sayur ala kadarnya atau sekedar cuci piring.
Lantas diperiksanya isi magic com. Lebih dari cukup, untuk berbuka nanti juga
masih ada lebihnya.
Hanya membutuhkan waktu 45 menit baginya membuat sup dengan campuran
potongan ayam dan sosis dan menggoreng telur mata sapi. Di angkatnya panci
berukuran sedang itu menuju meja makan. Menyendok nasi dan menaruhnya pada
piring oval kesayangan Ify. Baru menuangkan sup dan meletakkan telur mata sapi
di tengah-tengah piring.
Dia membuka pelan pintu kamarnya. Ify meringkuk dengan tangan
memeluk si kembar. Berjalan menghampiri sisi ranjang yang ditempati Ify.
Menaruh sepiring nasi beserta lauk pauk dan segelar air yang dibawanya di atas
nakas. Sebelum menyentuh Ify, dia menarik dan menghembuskan nafas kuat-kuat
menghilangkan kekesalan yang muncul lagi saat memasuki kamar.
Dengan duduk di tepi ranjang, dicongkannya tubuh melihat wajah Ify
yang damai tidak seperti saat tengkar tadi –yang membuatnya ingin sekali
mengulek(?) wajah Ify. Dia lebih mendekatkan muka melihat lebih jelas setiap
inchi wajah Ify. Tampak bekas aliran air mata di kedua pipi wanitanya. Membuat
seluruh sisa-sisa kekesalannya terangkat penuh. Kalau masih menangis setelah
bertengkar dengannya, dia yakin Ify menyesal telah membuatnya marah. Tapi, bisa saja wanita itu menangis untuk
menguapkan kekesalan terhadapnya bukan? Rio menggeleng pelan. Membantah
suara itu. Dia sangat memahami Ify. Jika bertengkar dengannya, gadis itu akan
nangis saat rasa sesal itu datang, dan akan terus menggerutu kalau masih
menyimpan kesal.
“Dear.” panggilnya berbisik -takut membuat Masya-Rasya turut
terjaga- sambil menepuk pelan pipi Ify.
Ify menggeliat pelan. Membalik tubuh. Mendapati Rio memandangnya
dengan senyuman hangat. Setengah sadar, dia merubah posisi menjadi bersandar. Membalas
pandangan Rio dengan enggan.
“Makan ya?” pinta Rio sambil meraih piring tak jauh dari
sebelahnya.
“Kakak gak marah?” tanyanya mulai membuang keengganannya.
Rio hanya tersenyum. Mulai menyendok nasi dan lauk. Mengulurkannya
pada Ify.
“Mau aku marah?” jawabnya balik bertanya.
Ify menggeleng, “Maaf.” tuturnya sungguh-sungguh.
Rio mengangguk. Memintanya untuk segera menyambut suapannya.
“Ify minum dulu Kak. Haus.”
Dengan sigap Rio mengambil segelas air dan menyerahkan padanya.
“Jangan lupa doa.” pesan Rio yang ia balas dengan anggukan.
Dia mendengar kekehan Rio saat meneguk isi gelas penuh napsu. Haus
gila. Mana ditambah nangis lagi. Nangis karena takut Rio tak mengacuhkannya.
Nangis karena menyesal telah menepis gelas tadi dengan kasar. Untung saja tak
sampai melukai Rio. Bisa-bisa tak tak berhenti menangis 7 hari 7 malam jika itu
sampai terjadi. Selain itu, pastinya dia nangis karena baru sadar kalau
perbuatannya salah setelah Rio berlalu dari kamar. Kalau gak ingat sekarang
puasa udah dia berikan Rio pelukan dan ciuman.
Gak papa sih
kayaknya ya? Kan dia memeluk dan mencium Rio tanpa napsu, tapi dengan kasih
sayang. Nyeh-_- loe gak lupa kan kalau
tiap Rio meluk loe ataupun sebaliknya, tuh cowok pasti unsur napsunya muncul
walaupun dikit. Loe mau jadi setan? Hehehe.
“Enak? Gak aku cicipin soalnya. Asal nakar dan aku jarang masak
juga bikin kaku.” tanya Rio setelah dia menelan hasil masakannya.
“Enak kok. Cuma kalau ditambah garam dikit lebih enak. Maaf ya Kak,
Ify makan di depan Kakak. Mana disuapin lagi. Sini biar Ify makan sendiri.” jawabnya
mengulurkan tangan.
“Gak papa, Dear. Biar aku suapin. Lama aku gak nyuapin kamu.
Lagian gak masalah kamu makan di depan aku. Secara hukum juga gak ada yang
salah makan di depan orang yang berpuasa. Cuma secara etika pergaulan saja
seseorang sebaiknya makan dan minum jauh dari orang berpuasa. Intinya gak ada
dosa, kecuali kamu sengaja godain aku buat makan juga.” terang Rio sambil tetap
menyuapinya.
Dia hanya bisa mengangguk mengerti serta terkekeh pelan. Tak bisa
berkata apa lagi. Terenyuh total mendapati Rio masih memperlakukannya baik
setelah tengkar singkat tadi. Seperti biasa jika perasaan bersalah itu muncul
dan dalam situasi berhadapan dengan Rio, dia menunduk dalam memainkan
jemarinya. Minta maaf pun merasa percuma walau Rio menyambut permohonan maafnya
dengan baik tadi. Tak akan bisa langsung membuat rasa bersalahnya pergi.
Di hadapan Ify, dengan setia Rio menahan senyumnya. Fase Ify yang
seperti ini setelah bertengkar dengannya tak cuma sekali ia lihat. Karena
sering itulah, dia menggunakan taktik yang seperti ini untuk membimbing Ify
jika wanitanya itu sudah benar-benar keras kepala. Di ajak tengkar dulu, baru
diperlakukan lembut lagi. Bisa saja masalah tadi tak ia bawa pada medan
pertengkaran, namun mengingat Ify sepertinya masih keukeuh dengan keras
kepalanya, terpaksa dia menggunakan taktik itu. Tak tega sebenarnya membuat Ify
sering merasa bersalah.
“Besok dan seterusnya gak usah puasa ya.” titahnya lagi.
Ify membuka mulut tapi rahangnya kembali mengatup cepat.
Mengangguk. Dia tahu Ify akan mengeluarkan rengekan agar dia memberinya
kelonggaran diperbolehkan berpuasa.
“Boleh puasa kalau benar-benar sehat. Bukan pura-pura sehat.”
ucapnya memberi yang diinginkan Ify.
Di hadapannya wajah muram tadi langsung cerah. Kepala wanitanya
mengangguk-angguk kuat. Memasang senyum lebar. Ya Tuhan, bagaimana dia tega
membuat istri mungilnya ini murung? Wajah malaikatnya seketika meruntuhkan
segala kekesalannya.
“Aku mohon lain kali jangan bandel lagi. Seenggaknya selama kamu
hamil. Aku gak mau bentak kamu. Ngajak kamu tengkar. Apalagi harus di depan
anak kita ini” mohonnya mengusap perut Ify pelan.
Ify mengangguk lemah. Merasa benar-benar bersalah sudah. Dia yang
lebih tahu mengenai kehamilan. Dia yang begitu paham mengenai perkembangan
janin di dalam perutnya. Dia yang amat tahu jika setiap perkataan dan kondisi
dirinya serta sikap orang-orang berarti di sekitarnya sangat mempengaruhi
psikologis janinnya. Dia tahu, tapi mengapa mengabaikannya? Ibu macam apa dia?
Reflek dia mengusap-usap perutnya. Mengucapkan kata maaf berulang.
Setelah itu, dia beralih pada Rio. Meraih tangan kanan Rio yang
sudah tak memegang piring setelah dia menghabiskan makananannya. Mengusap
punggung telapak tangan kokoh itu sebelum menciumnya. Melafalkan maaf di
sela-sela manahan isak.
“Maaf. Maafin Bunda, Yah. Maaf Bunda udah nentang Ayah. Maaf Bunda
udah berbuat kasar ke Ayah tadi. Maaf
juga Bunda sempat menyimpan kesal ke Ayah. Maaf---”
“Ssttt. Udah. Bunda udah Ayah maafin. Jangan nangis. Ayah juga
salah gak bisa nahan emosi Ayah. Udah ya.” potongnya dengan meletakkan telunjuk
kirinya di depan bibir Ify.
At least, sore itu mereka saling mengungkapkan penyesalan
masing-masing. Berusaha kedepannya tidak akan lengah dengan sifat buruk manusia
yang susah sekali menahan napsu untuk melakukan tindakan-tindakan buruk dan
berujung dosa terlebih saat dipancing. Menentang suami itu dosa kan? Berkata
kasar pada istri itu tak luput dari dosa pula kan?
***
Dia dan Rio sepakat membeli saja untuk berbuka. Sejak pagi tadi
Rio memintanya untuk tidak masak. Rio mengusahakan dirinya untuk tiba lebih
cepat dari biasanya. Jika jam 5 pria itu baru terdengar salamnya dari dalam
rumah, maka sore ini jam setengah 4 sudah menyapanya dan anak-anak dan mengajak
untuk pergi ke bazar ramadhan yang berlokasi di taman tak jauh dari kompleks
mereka. Seperti pesanan pria itu saat menghubunginya tadi, Rio meminta dia dan
anak-anak sudah dalam keadaan siap untuk pergi. Dan di sinilah mereka sekarang.
Berjalan memasuki kerumunan orang-orang yang meramaikan bazar. Sigap dia dan
Rio menggendong si kembar saat jarak bazar mulai dekat. Rasya dalam pelukannya,
Masya dengan ddekap oleh Rio. Dia mencari aman memilih menggendong Rasya
mengingat perempuannya pasti tidak akan anteng seperti anak lelakinya.
“Abang mau makan apa?” tanyanya dengan mendekatkan bibir dekat
telinga karena hiruk pikuk orang-orang yang menjajakan dagangan maupun yang
akan memburu dagangan.
“Ikan itu Bunda.” jawab Rasya langsung menunjuk barisan ikan yang
dimaksud.
Merasa dagangannya sebentar lagi akan laku, pemilik ikan yang
ditunjuk Rasya langsung mengajaknya untuk segera ke sana. Dia menoleh pada Rio
yang sedari tadi merangkul pinggangnya dengan tangannya yang tak memeluk Masya.
Rio mengedikkan dagunya ke arah pedagang dan melangkah sambil menarik
pinggangnya.
“Yang mana, Bang?” tanyanya lagi saat berada di hadapan jejeran
ikan panggang yang terbungkus mika.
“Loh? Ya terserah Eneng atuh.”
Ify menepuk jidat. Meringis. Bang yang dia maksud itu anaknya.
“Maksud saya anak saya, Mas. Abang mau yang mana?”
Ganti si penjual yang meringis tertahan. Rio hanya tersenyum tipis
memandang pemuda yang ia perkirakan usianya lebih muda darinya. Dia mencium
pipi Masya merasakan tawa yang ia tahan menunjukkan tanda-tanda untuk
dikeluarkan. Punggung Ify membungkuk agar Rasya mudah menyentuhkan telunjuk
mungilnya pada pilihannya. Kepala anaknya menoleh kanan-kiri berulang sampai
akhirnya memilih bungkus mika ukuran besar di dalamnya terdapat seekor gurami
panggang dengan ukuran cukup besar. Tangannya merayap hingga nyaris ke bagian
perut Ify meminta istrinya untuk segera
menegakkan tubuh –tak berlama-lama membungkuk. Ify langsung paham, dia
menyerahkan ikan gurami itu pada si pedagang yang sudah menyediakan kresek di
tangan kanannya.
“Adek juga mau? Atau beli yang lain?” tanya Ify pada Masya yang
sibuk mengamati sekitar.
“Sayang, Bunda tanya tuh.” tegurnya mengarahkan wajah Masya pada
Ify dengan lembut.
“Masya mau Bunda. Abang mau, Masya mau.” jawab anaknya langsung
kembali melanjutkan kegiatan pengamatannya.
“Berapa Mas?” tanyanya sambil mengeluarkan uang yang sudah
disiapkan tanpa membuka dompet di belakang sakunya dan menyerahkannya pada Ify.
“Tiga lima ribu.” jawab si mas-mas yang tak berhenti menatap Ify
dengan minat.
Padahal Ify sudah berpenampilan benar-benar apa adanya. Tanpa make
up dengan rambut dikepang. Mengenakan dress panjang biru polos longgar deng perut
buncit terlihat di balik dressnya. Dia memang meminta Ify untuk tak mengenakan
make up –cukup pelembab- selain menghadiri acara penting. Tapi tetap saja Ify
itu Barbie wanna be walau polosan gitu. Masih mampu mengalihkan mata-mata
lelaki di sekitar mereka. Oleh karena itu sedari tadi dia mengamit pinggang Ify
sangat posesif.
“Terima kasih, Mas.” ucap Ify lengkap dengan senyum ramahnya.
Makanan utama telah dikantongi. Mereka kembali melanjutkan
perjalanan mengikuti barisan stan bazar. Setengah perjalanan, menu buka puasa
yang dijajakan rata-rata sama. Hanya beda kemasan dan beda harga sepertinya.
Suara melengking Masya membuat dia dan Ify berhenti di depan stan yang
memamerkan coklat dengan beragam bentuk kartun.
“Mau itu, Yah.” rengek Masya.
“Gak mau, Bunda.” ganti Rasya merengek.
“Masya mau Abang harus mau.”
“Gak mau, Adekkk.”
“Ab---”
“Kalian ini ya, kapan hari itu Ayah bilang harus akur. Masya lupa
yang Ayah bilang? Gak semua yang Masya mau itu diturut---”
Belum selesai Rio bicara, perempuannya menyembunyikan wajah di
lekukan lehernya. Menangis sesenggukan. Tangan mungil itu memukul punggungnya
berkali-kali. Terpaksa dia menggandeng Ify menepi hingga tangis Masya mereda.
Mereka mengambil tempat di bangku yang terletak di tengah-tengah taman
mengelilingi kolam ikan dengan air mancur di pusatnya.
“Udah Sayang, cup ya.” bujuknya mengusap-usap rambut Masya yang
diikat dua.
“Masya hiks mau hiks coklat itu, Yah hiks.” rengek Masya tak
beranjak dari lehernya.
“Beli coklatnya yang di
mini market aja ya?”
Kali ini Ify yang membujuknya. Mengusap pipi Masya yang dialiri
air mata setelah wajah gadis itu dipaksa menjauh dari leher Rio. Di
pangkuannya, Rasya turut mengusap tangan Masya. Dia terpaksa tak bisa menuruti
permintaan Masya. Rasya pun tahu bahwa dia dan Rio tak akan mengizinkan Masya
mendapatkannya. Anak lelakinya sempat ia beritahu mengenai makanan yang harus
dihindari. Bukannya tak percaya dengan coklat-coklat seperti itu, tapi dia
hanya melakukan pencegahan.
“Gak mau, Bun. Yang di mini market gak lucu, yang itu lucu. Masya
mau yang itu Bunnn.” makin hebatlah rengekan Masya membuatnya garuk-garuk
kepala bingung.
Rio terkekeh. Sambil menyamankan posisi Masya yang sudah berpangku
padanya, dia menoleh.
“Bingung ya ngadepin Masya kalau udah ngerengek kayak gini? Itu
yang aku rasain waktu kamu ngerengek-rengek kayak Masya gini.” bisiknya di
telinga Ify dengan suara yang hanya didengar oleh Ify, yang langsung saja dia
menerima sikutan keras.
Dia menahan tawa melihat wajah Ify yang memerah. Lantas bangkit
dari bangku. Menurunkan Masya dari gendongan. Berjongkok mencengkram kedua bahu
Masya.
“Kita beli coklat yang di mini market, terus kita bikin sama-sama
di rumah dengan bentuk yang lebih lucu. Gimana?” tawarnya pada Masya yang masih
mengerucutkan bibir dengan kedua tangan mengusap air mata.
Hidung pesek Masya kembang-kempis tanda anak itu sedang berfikir
keras. Tak lama senyum mengembang di wajah Masya. Kepala Masya
mengangguk-angguk semangat. Dia kembali berdiri. Memutar tubuh menghadap Ify
dan Rasya yang memandangnya. Senyum miring tercetak di wajahnya melihat Ify
cemberut. Wanitanya sering kali ngambek karena merasa Masya lebih nurut
padanya.
“Yuk Bunda, Abang. Kita ke mini market sekarang.” ajaknya
mengulurkan tangan pada keduanya. Masya mengikuti gerakan tangannya.
“Rasya diturunin aja, Bun.” ucapnya melihat Ify sepertinya tetap
akan menggendong Rasya.
Masih memasang wajah merenggut, Ify menurunkan Rasya dari
gendongannya. Masya langsung menggandeng abangnya setelah melepas pegangan pada
tangan ayahnya. Kedua bocah itu lantas berlari-lari kecil mendahuluinya dan
Ify. Tetap mempertahankan senyum miringnya dia mengamit pinggang Ify.
“Gak usah cemberut gitu kek, Bun. Bukan Masya yang nurut sama
Ayah, tapi Bunda aja kurang pintar ngebujuk Masya yang manjanya kayak Bunda.”
Bukannya menghibur, Rio malah semakin membuatnya merenggut. Gemas,
dia menghadiahi perut keras Rio dengan cubitan kecil. Pria itu tertawa puas.
Membalas cubitannya dengan mengacak-acak kepangannya. Tawa Rio membuat kedua
anaknya berhenti berlari dan berbalik. Merasa jarakanya terlampau jauh menurut
ukuran mereka, Masya-Rasya kembali berlari kecil ke arahnya dan Rio. Dengan
kedipan mata Rio mengisyaratkannya untuk segera menangkap tubuh mungil itu
ketika keduanya tepat di depan mata. Dia tersenyum. Enyah sudah kekesalannya. Dia
mengangguk dan langsung saja mengangkat tubuh Rasya seperti yang Rio lakukan
pada Masya. Menggelitik perut mereka dengan ciuman lalu mendekapnya dalam
gendongan. Suara tawa terdengar keras membuat beberapa orang di sekitar mereka
mengalihkan perhatian.
Bahagia itu
benar-benar sederhana. Memperlakukan sebaik mungkin yang Tuhan anugerahkan
misalnya.
***
Wow keren aku suka kalau ada pertenkaran gini, jadi tambah ao sweet pasti nanti, tp masih kurang wow lagi hahaha
BalasHapusBener, ini kependekan aku tunggu lanjutannya ya, semangat terus :D
Panjangin dong kak
BalasHapuskak cerita Miss Jutek Ketemu cinta yg ada di FB gak bisa dibuka. Kalau boleh copy ke blog dong kak, please aku pengen banget bacanya.
BalasHapusSeriusan kak yg di FB gak bisa dibuka..