Sabtu, 05 Juli 2014

NIKAH DINI?? WHY NOT?? SPECIAL RAMADHAN

NIKAH DINI SPECIAL RAMADHAN

Suara merdu milik Ify membaca firman Allah yang terkumpul menjadi satu dalam kitab suci al-qur’an, menggema seluruh sudut kamar. Di hadapannya, Rio menyimak setiap bacaan al-qur’an yang keluar dari mulutnya. Sesekali menatapkan pelan ujung jari itu ke bagian lengan bawahnya yang tertutup mukenah, saat dia keliru dalam melafalkan firman Allah tersebut.
“Itu gak usah didengung samar gitu, Sayang.”
Untuk yang kesekian kalinya Rio menegur Ify. Dahi Ify mengernyit. Dia mendongak. Menatap Rio dengan tatapan ‘apa lagi? Udah betul kok.’
“Kok bisa gak dengung sih? Nun mati ketemu (wau) kan dengung, Kak. Idgham bigunnah kan ini, Kak?” burunya. Bola matanya bolak-balik melihat Rio dan apa yang yang ia baca bergantian.
Rio tersenyum tipis, “Kalau dalam satu kata seperti ini hukum bacaannya bukan lagi idgham bigunnah. Tapi izh-har mutlaq . Jadi gak pake’ didengung samar.”
Ify diam. Melihat lebih jeli lagi. Iya sih ini dalam satu kata. Tapi… Dia membaca lagi bagian itu. Sinwanun. Siwwanun. Enakan yang pertama.
“Bukan karena enak atau nggaknya pas baca, Dear. Masak kamu lupa sih hukum bacaan izh-har mutlaq. Masak lupa sih? Bukannya di SMP atau SMA, tajwid diungkit-ungkit terus?”
Ify meringis. Mengalihkan pandangan dari al-qur’an pada Rio yang menatapnya apa yah. Menyuruh untuk mengingat-ngingat.
“Makanya tiap ngaji itu, ilmu-ilmu yang didapat seperti gharib, tajwid dan lainnya yang berhubungan dengan bagaimana membaca firman Allah dengan baik dan benar, diterapin. Jangan cuma dibuat menuhin otak aja. Membaca qur’an diikuti dengan ilmu-ilmunya itu wajib bagi kita sebagai orang mukmin, karena hal itu berpengaruh dalam pemaknaan isi al-qur’an. Kalau panjang pendeknya gak diperhatiin. Ada hamzah dibuat gak pengaruh apa-apa dan yang lain-lain. Arti ayat yang seharusnya begini, jadi begitu. Yang seharusnya memuji Allah, malah menghujat hanya karena salah dalam pelafalannya.”
Lagi-lagi Ify meringis. Dia menggaruk tengkuk belakangnya. Harus lebih hati-hati nih. Dia sudah tahu ilmu-ilmunya. Jangan sampai pas tahu itu salah pelafalan, malah diabaikan. Kembali dia melanjutkan membaca dengan Rio terus menyimak. Kegiatan selepas sholat maghrib yang amat menyenangkan it uterus berlanjut. Beribadah bersama istri tercinta. Mendekatkan diri pada yang kuasa. Mencari ridho masuk surga bersama.
***
Malam minggu ini adalah malam pertama terawih. Telah lama menantikan suasana bulan suci  ramadhan, Ify ,enyambut antusias. Apalagi bulan ramadhan tahun ini dia berstatus sebagai istri seorang Mario. Menjadi gadis mandiri, dewasa, dan memiliki tanggung jawab besar. Ceritanya begitu! Masih gadis loh ya. She is still virgin.
“Udah siap?”
Ify memutar bola mata. Dia sudah dari tadi berdiri di teras. Menunggu seseorang yang baru bersuara itu. Mereka siap untuk menuju masjid di ujung komplek. Sejak selesai tadarus bersama setellah sholat maghrib –seperti biasanya-, dia ngotot pergi ke masjid sebelum adzan isya’ berkumandang. Hitung-hitung waktu selama menuju masjid dijadikan salah satu alternatif bersilaturahmi dengan warga sekitar. Menyapa lebih lama. Ciri khas menjadi penghuni komplek kan sifat individualnya kuat. Jadi sosialisasinya kurang.
“Udah siap dari tadi, Kakak. Kak Ro aja yang lama. Dandan mulu sih.”
Kelopak mata Rio membuka lebar. Hanya sebentar, selanjutnya dia terkekeh. Muka bete’ Ify seperti biasa sangat menggemaskan. Pipinya itu loh digembul-gembulin dan bibirnya dimajuin beberapa centi. Kalau tak ingat dia dan Ify sudah punya wudhu, wajah ify kemungkinan tidak selamat dari terkaman tangan jahilnya. Tapi gak papa deh ya, kerjain dikit. Waktu masih kurang 15 menit menuju isya’. Kerjain ah kerjain. Ngerjainnya seperti biasa, ngelaba dikit. Itu mumpung bibir Ify nantangin.
Niat awal akan menutup pintu, terurung. Pandangannya tak lepas dari mata Ify. Mata gadis itu tak fokus padanya, melirik sisi kanan-kiri bergantian. Menjadi keuntungan tersendiri bagi Rio. Setelah pintu terbuka kembali cukup lebar, dia melangkah lebih dekat menyisakan setengah meter dari kedudukan Ify. Setengah membungkuk, dia mendaratkan kecupan singkat itu di bibir manyun Ify. Lantas secepat kilat dia ngacir.
“ASTAGHFIRULLAHAL’ADZIM KAK RIOOOOOOOO.” teriak Ify setelah sadar ada yang menyentuh bibir mungilnya.
Dia baru sadar dan teriak setelah tahu apa dan siapa yang menyentuhnya, saat menangkap sosok Rio sudah berlari ke dalam rumah. Berbalik di perbatasan akhir ruang tamu. Senyum jahilnya dimain-mainin. Menjulurkan lidah padanya.
“Terima kasih, Sayang. Manis. Aku suka.”
***
“Alyssaaaa.” rajuk Rio yang berjalan di samping gadis yang ia rayu.
“Mohon maaf lahir batin.”
Ify masih bergeming. Tak ada niatan untuk merespon walaupun ada minat. Terus berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Dia kesal sama Rio. Perasaan loe kesal mulu sama suami loe Fy? Dosa! Rio sih mancing-mancing emosi. Rumah-rumah udah pada sepi penghuni. Kebanyakan sudah ke masjid. Rio buang-buang waktu. Ify mendengus.
“Ya ampun, Sayang. Aku ngomong didengar donk. Di jawab juga. Aku cium lagi nih kalau diamin aku.”
Ify berhenti melangkah. Dengan tegas, dia menoleh pada Rio. “Kakak… Ify gak suka deh kalau Kak Rio udah begini. Bikin kesal Ify, ujung-ujungnya Ify juga yang ngerasa bersalah udah kesal sama suami Ify sendiri. Kakak rese’ tahu gak sih. Bikin dosa Ify ke Kakak gak berhenti diproduksi.”
 “Ya Allah… Alyssa. Maafin Kak Rio ya. Gak lagi deh, untuk malam ini aja tapi.” Ucap Rio langsung ngacir.
Ify mendelik. “KAK RIO JANGAN KABUR.”
Alhasil mereka kejar-kejaran ala-ala india. Untung saja, jalanan di kompleknya sepi. Baru terlihat ramai saat mendekati area masjid. Keduanya berhenti. Ukuran cewek seorang Ify, mengatur nafas mati-matian. Sedangkan Rio, santai berdiri di sampingnya. Ify menegakkan tubuhnya. Melipat tangan di depan dada.
“Kak Rio ngeselin.”
“Dek Ify gemesin.”
“Kak Rio bikin emosi.”
“Dek Ify bikin napsu.”
“KAKAK.”
“Hushh berisik… I love you, Adek.”
Sudah deh kalau begini Ify tak berkutik. Menyibukkan diri dengan memilin-milin ujung mukenahnya. Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam. Menyembunyikan wajahnya yang memerah. Di sampingnya, Rio berusaha menahan senyum. Mereka telah tiba di depan masjid. Dia menyambut sapaan para ibu dan bapak yang lewat di hadapannya akan memasuki halaman depan masjid. Kebanyakan dari mereka, dia mengenal baik.
“Assalamualaikum Ify, Kak Rio.”
Suara lembut seorang gadis membuat Ify mendongak. Menjawab salam. Rosa. Anak gadis dari Pak bandi, tetangga dekatnya. Rumah Rosa hanya berjarak 3 rumah dari kediamannya. Gadis manis berusia lebih tua setahun darinya itu muncul dari arah yang sama dengannya. Dia langsung mengambil langkah mendekati Rosa, dan mengamit lengan gadis itu.
“If-Ify sama Rosa ya, Kak.” izinnya.
Rio tersenyum lembut, “Iya. Jangan lepas dari Rosa. Aku gak mau nyari kalau kamu hilang.”
“Oke, Kak! Ify ke dalam ya. Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam.”
Setelahnya, Ify langsung menarik Rosa memasuki halaman depan masjid. Rio mengikuti bersama pemuda seusianya. Sepertinya kenalan baru Rio di komplek ini. Dia dan Rosa mengambil jalur kiri menuju tempat khusus wanita. Daerah teras masjid sudah full. Tak ada celah kosong. Separuh halaman depan masjid juga mulai terisi penuh. Akhirnya, dia dan Rosa mengambil shaf mendekati pagar masjid.
“Anginnya bandel di sini Kak Ros.”  gerutu Ify.
“Ya mau gimana lagi, Fy? Udah penuh. Malam pertama terawih memang begini.” ujar Rosa yang sudah duduk di atas sejadahnya.
Ify juga melakukan hal yang sama. Duduk bersila. Kedua tangannya menggosok kedua lengan atasnya beberapa kali. Dingin. Matanya menyapu seluruh sudut masjid. Rata-rata para ibu beserta anaknya memenuhi teras masjid. Tak berapalama suara iqhomah terdengar. Dengan gerakan hampir serentak seluruh jamaah masjid berdiri.
***
“Kalau dipikir-pikir, kenapa tiap malam pertama tarawih selalu ramai ya Kak? Apa karena keutamaan malam pertama tarawih, dosa-dosa orang yang beriman keluar darinya pada malam pertama seperti hari dilahirkan ibunya? Padahal kan keutamaan di malam-malam tarawih selanjutnya gak kalah sama malam pertama.” tanya Ify.
Keduanya saat ini tiba di dekat rumah mereka. Selepas doa selesai sholat witir, dia dan Rosa lebih dulu meninggalkan halaman. Sempat mengantri karena gadis-gadis yang baru gedhe itu berebutan mencari alas kaki mereka. Cenderung terburu-buru. Terjadi percekcokan juga. Kalau tak salah dengar, ada yang tertukar. Lumayan dibuat judul sinetron, sandal yang tertukar di halaman masjid. Dia menunggu Rio tak jauh dari gerbang masjid. Rosa ijin pulang terlebih dahulu. Ketika sosok Rio itu muncul seorang diri, berlari-lari kecil dia mengahmpiri. Gerakannya terhenti saat melihat beberapa gadis remaja tiba-tiba mengerubungi suaminya. Mengulurkan tangan. Bermaksud bersalaman, tapi modus ingin merasakan bagaimana bersentuhan dengan Rio. Emang deh ya, pesona suaminya ini tak bisa dielakkan oleh kaum hawa usia berapapun. Di tambah pakai baju koko plus sarung plus kopiah seperti itu. Gantengnya naik level. Ibarat maicih, mungkin kegantengan Rio mencapai level 10. Anak-anak itu baru bubar setelah Rio berbicara sedikit. Sekejap mereka melihatnya dengan mata menyipit. Membuang muka padanya. Berlalu dengan tidak sopan. Terlihat sekali kan modusnya? Sialan.
“Aku juga gak tahu pastinya sih. Kalau dilihat oleh mata orang awam, sepertinya ramainya masjid di malam pertama tarawih itu menunjukkan betapa antusiasnya umat muslim menyambut ramadhan. Untuk hari-hari selanjutnya, mungkin ada sesuatu yang menghalangi niat mereka untuk sholat tarawih full selama sebulan. Maka dari itu, sebisa mungkin kita jangan absent, terlebih alasannya hanya karena malas, ngantuk, kekenyangan. Kecuali kamu yang memang ada beberapa hari istirahat.”
Ify ngangguk-ngangguk. Udara dingin terasa lagi saat tiba di depan pagar rumah mereka. Merasa tangan mungil yang digenggamnya dingin, dan terlihat tubuh Ify menggigil, Rio mempercepat gerakannya membuka pagar. Satpam rumahnya ia izinkan pulang kampung selama tiga hari. Di balik mukenah putihnya, Ify semakin tak nyaman dengan kondisi tubuhnya yang tiba-tiba meriang. Kenapa tiba-tiba begini sih? Dia makin mendekatkan diri pada tubuh Rio. Laki-laki itu sigap merangkulnya.
“Kak… Ify gak kuat jalan. Di-dingin.”
Dalam kekhawatiran, Rio langsung membopong tubuh Ify. Gadis mungil itu langsung melingkarkan tangan di lehernya dan menyembunyikan wajah di sana. Dia melangkah lebar menghampiri pintu utama.
“Peluk aku kuat-kuat. Aku mau buka pintu.”
Banyak susah Rio memasukkan kunci. Alih-alih menjaga bobot Ify, tangan kirinya memutar kunci. Menggunakan kaki, dia membuka pintu lebar-lebar. Dalam gendongannya, tubuh Ify terasa kaku. Dia makin panik. Tanpa menutup pintu kembalu, setengah berlari dia menaiki tangga. Membuka pintu kamarnya dengan sekali tendangan. Membaringkan Ify lalu meraih remote AC di atas nakas. Menghentikan kerja AC.
“Di-dingin, Kak.”
Segera ia memutari ranjang. Menaruh kopiahnya di meja sebelah. Menaiki ranjang. Mulai melepas mukenah Ify. Dia mendengus. Gadis itu mengenakan kaos tipis berlengan pendek dan celana jins selutut. Sedikit mengangkat tubuh Ify bagian bawah, Rio menarik bad cover yang tertindih oleh gadis itu. Lalu menutupi tubuh Ify hingga menyentuh dagu. Sedangkan dia sendiri memilih membaringkan tubuhnya di samping Ify dengan hanya melepas baju kokonya menyisakan kaos putih tipis. Posisi tubuhnya ia buat miring. Seperti biasa menggantikan bantal kepala itu dengan lengannya. Gerakan menggigil dari tubuh Ify berkurang. Tangan kanannya yang terbebas mengusap lengan Ify berangsur seiring kecupan di kening pada gadis itu. Mencoba menyalurkan kehangatan. Perlahan nafas Ify pun teratur. Tak ada guncangan dari tubuh Ify. Sepertinya gadis ini telah lelap.
Huft…
Rio baru benar-benar merasa lega. Dengan gerakan pelan, ia menarik kembali tangannya yang menjadi bantal. Menukarnya kembali untuk sementara. Dia bangkit dari ranjang. Meraih baju koko yang ia lempar sembarang. Membawanya ke gantungan baju yang berada di belakang pintu. Ia melepas sarung serta kaos dan mengganti dengan celana tidur. Tanpa berbaju, Rio balik merebah di ranjang. AC yang tidak bekerja menjadi alasan dia bertelanjang dada. As usuall, dia mengambil alih fungsi bantal dengan memeluk tubuh mungil Ify yang merespon kehadirannya dengan menyentuhkan tangan mungil itu di sekitar dada. Mengucap selamat tidur dan mengecup lama kening Ify sebelum berjalan-jalan santai di pulau kapuk.
***
“Jangan pake’ baju serba pendek. Walaupun ketutupan mukenah, yang namanya angin gak perlu pintu buat masuk.”
Sudah ketiga kalinya Rio memberi wejangan-wejangan dalam kalimat berbeda mengandung satu makna, yaitu jaga diri dari angin. Kasihan angin. Serasa jadi psikopat gitu mesti memprotek diri sungguh-sungguh. Ketiga kalinya juga di mengangguk. Hal yang hanya boleh ia lakukan saat ini hanya mengiyakan warning dari Rio.
Pemuda itu meletakkan piring terakhir berisi ayam goreng sebanyak tiga potong. Menu sahur pertama kali ini ayam goreng kesukaan ipin, ditemani dengan sambal lalapan sederhana. Hanya terdiri dari cabai rawit dan kriting, garam, gula, terasi serta bawang merah. Di hancurin lalu digoreng. Baunya menyengat. Dia yang jauh dari tempat kejadian terbatuk-batuk, apalagi Rio. Tapi sepertinya laki-laki itu sudah terbiasa. Sekali lagi, Rio itu cowok idaman. Syukur, cuma dia yang bikin pemuda itu klepek-klepek. Dan cuma dia yang membuat Rio merasakan cinta pertama kali. Bangga gak tuh jadi pendampingnya Rio? JELAS! Di larang keras iri!
“Kamu udah cuci muka?” tanya Rio saat sudah duduk nyaman di seberangnya.
“Udah kok, Kak.” Jawab Ify menggebu-gebu.
“Belek(?)nya masih tinggal nih.” ucap Rio.
Pemuda itu mencondongkan tubuh ke arahnya. Jemarinya menyentuh sudut mata terdekat dengan hidung dimana ada kotoran yang diproduksi saat tidur menempel. Lalu berlalu menuju wastafel. Mencuci tangan lagi. Duduk kembali. Ify menyerahkan piring berisi nasi pada Rio. Mengangsurkan ayam goreng bagian dada di atas piring itu. Aktivitas minimal melayani suami di meja makan. Maksimalnya, ya seharusnya dia yang masak. Berhubung teori dan praktek memasak masih sedikit ia terima, jadi cuma bisa lihat-lihat doank. Bukannya gak mau belajar lagi. Cuma sekarang waktunya kurang tepat. Selama memasak, Rio terus-menerus menasihatinya. Dia gak mau nambah kemurkaan Rio karena dia bandel. Sebelumnya Rio memang memberi peringatan untuk dia hanya duduk manis di kursi. Sebagai istri yang baik, dia patuh.
“Puasa yang bolong tahun kemarin udah ditebus, Sayang?” tanya Rio di sela-sela menyuapkan nasinya.
Ify mendongak. Tersenyum lebar, “Udah donk, Kak.”
“Tahun-tahun kemarin?”
Senyum Ify makin lebar, “udah donk. Ify selalu ganti tepat waktu tauk. Malah Ify sering lunas bayar hutang sebelum pergantian tahun masehi.”
Dalam kegiatan mengunyah makanannya, Rio tersenyum lega.
“Kamu halangan pertama kali, kapan?” tanya Rio.
Mungkin jika dalam keadaan masih belum terikat resmi seperti ini, Sambil mengunyah, Ify mengingat-ngingat. Bibirnya bergerak ke kanan-kiri. Kebiasaan Ify ini yang buat Rio tak tahan buat narik hidung bangir gadis itu. Dia memegang kuat garpu dan sendoknya. Mencegah tangan genitnya yang hanya bekerja pada istrinya, untuk menerkam halus bagian wajah Ify.
“Kelas 2 SMP deh kalau gak salah, Kak.” jawab Ify. Dahinya mengernyit. Bibirnya mengerucut. Rupanya sedikit ragu.
“Iya, kelas 2. Detik-detik nanjak kelas 3. Ify waktu itu sampai opname, gak kuat nahan dileb.” lanjutnya mempertegas pernyataan sebelumnya.
Rio mengangguk-anggukkan kepala. Seisi piring sudah kandas, Rio meraih segelas air putih di sebelah kanannya. Menghabiskannya dengan beberapa kali teguk. Melipat kedua tangan di atas meja. Matanya menatap Ify yang masih menghabiskan separuh piring.
“Umur segitu berarti udah tahu hukum mengganti puasa bagi wanita haid.”
Gadisnya mendongak. Mengalihkan perhatian dari piring, padanya.
“Tahu donk. Dari SD sama Mama udah dikasih tahu. Terus sama ustadz yang tiap malam jum’at ke rumah juga diberi tahu. Hukum mengganti puasa bagi wanita haid itu wajib. Bolong puasa karena haid, sakit, atau dalam perjalanan itu adalah hutang kita kepada Allah. Nah kalau hutang itu mesti dibayar kan.”
   Ify kembali melanjutkan makan. Jam sahur kurang 30 menit lagi akan berakhir. Dia tahu hukum menggantikan puasa itu sejak kelas 6 SD dimana teman-teman perempuan sekelasnya sudah banyak yang haid. Dia cerita sama mama Gina. Dengan kalimat yang sangat mudah ditangkap oleh pikiran anak usia 10 tahun, mama Gina menjelaskan. Memberi ilmu sebelum mengalami.
Saat menginjak sekolah menengah pertama, ustadz Zaki yang saat itu masih muda, sekitar berusia 25 tahun, juga memberi tahu dan mewanti-wanti agar dia tak sampai terlambat dalam membayar hutang puasa di bulan ramadhan. Menasihatinya agar hutang puasa jangan dibiarkan numpuk kayak cucian. Menumpuk hutang puasa itu dosa. Jika hal itu dilakukan maka ia wajib untuk meng-qadha dan bertaubat serta memberi makan satu orang yang kehidupan ekonominya kurang mampu untuk setiap hari yang ditinggalkan, jika ia mampu. Jika ia faqir , tidak mampu memberi makan (fidyah), maka sudah cukup baginya meng-qadha puasa dan bertaubat. Gugur kewajiban membayar fidyah. Jika ia tidak mengetahui atau mengingat hitungan hari puasa yang ditinggalkan, hendaknya ia memperkirakan lalu berpuasa sebanyak hari yang menurut perkiraan itu.
“Gak usah tidur ya.” titah Rio saat Ify sudah menyelesaikan acara makannya.
Gadis itu bangkit dari kursi. Tak langsung menjawab pertanyaan Rio karena merasa apa yang dia makan masih nyangkut ditenggorokan. Meraih gelas dan piring bekasnya. Di tumpuk menjadi satu. Membawanya ke tempat pencucian piring. Rio mengikuti. Mengambil bagian tugas membilas benda-benda itu setelah dibasuh dengan sabun cuci oleh Ify.
“Nunggu adzan shubuh kan, Kak?” tebak Ify. Menoleh sekilas pada Rio.
“Iya. Nunggu adzannya di masjid. Kita sholat di sana.”
Mendengar itu, dengan cepat kepala Ify menoleh. “Oke!”
Lalu fokus kembali pada piring terakhir. Memberi sentuhan sabun sedikit, kemudian mengangsurkannya pada Rio. Dia berbalik setelah mengusap tangan pada kain lap yang tergantung terdekat dengannya. Menyandarkan diri dengan posisi kedua tangan menumpu badan di pinggiran tempat pencucian. Menoleh ke samping kanannya. Memperhatikan gerakan Rio membilas piring yang terakhir ia sodorkan. Beralih dia memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 4 kurang 15 menit. Setengah tersentak saat dia merasakan separuh badannya ada yang memeluk. Rio.
Tak mau kehilangan moment Ify dalam posisi yang asik untuk digoda, setelah mengusap hingga kering kedua tangannya, dengan segera dia memposisikan diri di hadapan Ify. Kedua tangannya langsung menumpu di atas kedua tangan Ify. Menitik beratkan badan bagian kiri menyentuh tubuh Ify. Dia menunduk. Langsung menangkap wajah Ify memerah. Gadisnya memberontak. Dengan sigap ia menekan separuh tubuhnya yang menempel pada gadis itu. Seperti biasa, Ify menyerah.
“Ka-Ka-Kak… selama puasa jangan begini donk. Napsu Kakak kenapa gak bisa diinaktifin bentaran sih? Bikin puasa batal, ishh.” gerutu Ify. Dia jadi gerah dikurung begini sama Rio.
“Belum imsak aja sih.” ujar Rio santai.
“Ya meskipun belum imsak, jangan gini juga. Napsuan amat.”
“Heh… napsuku itu masih dalam batas wajar ya. Aku masih bisa ngendaliin. Kalau nggak, setelah nikah, kamu udah bukan gadis lagi.”
Ify meneguk ludah susah. Pelan, dia menyentuh dada Rio. Mendorong halus hingga tangan Rio yang berada di atas tangannya terlepas. Bagus. Pemuda itu menurut. Dia berjalan meninggalkan Rio. Beberapa langkah menjauh, menggebu-gebu dia menghirup dan menghembuskan nafas berkali-kali. Sentuhan di bahunya menyentak. Dia berjengit. Tangan kokoh Rio. Lagi dan lagi, Rio bikin sport jantung.
“Kamu ambil wudhu dulu gih. Kalau bisa mandi. Eh jangan deh, masih pagi. Dingin. Ntar menggigil lagi.”
Tanpa menoleh, ia mengangguk. Lanjut berlalu meninggalkan dapur menuju lantai dua. Senyum miring Rio tercetak. Dia sangat menikmati sikap istrinya yang malu-malu kucing tiap dia hujani sikap-sikap romantisnya. Jujur, untuk urusan bersikap manis pada seorang gadis, dia merasa tak punya ilmu dasar. Mungkin cuma lihat cakka bagaimana cowok itu menggoda-goda kaum hawa hingga klepek-klepek jatuh dalam pelukannya. Selebihnya dia tak tahu. Tapi saat bersama Ify, entah kenapa sikap manis dan romantisnya -yang kata pembaca lewat komentar itu bikin gemas dan envy sama Ify- mengalir begitu saja. Kekuatan cinta kali ya. Mungkin. Yang pasti, tiap bareng Ify, dia ingin selalu menyentuh gadis itu. Terlebih saat setelah menikah. Dia jadi kayak laki-laki mesum level akhir. Astaghfirullah… banyak-banyak istighfar, Yo. Untuk bini sendiri yang loe terkam. Heh. Kalau bukan bini gue, mana mau gue.


Maaf jika ada kesalaan info. Saya hanya manusia yang tak luput dari kesalahan dan dosa:)

6 komentar:

  1. keren!! Jan lanjut lama" kak. bagus nih ada spesial ramadhannya :) :)

    BalasHapus
  2. Q tunggu ya kak next ..bagus

    BalasHapus
  3. Alika : In shaa allah:) terima kasihhh:)
    Sara : Oke... terima kasih:)

    BalasHapus
  4. Next ya mana kak lagi seru nie

    BalasHapus
  5. Suka kak, gak fulgar. Aku juga dapet info tentang hutang puasa karena haid ^_^

    BalasHapus
  6. Baca mulai dari part 1 nya gimana ya kak?

    BalasHapus