NIKAH
DINI SPECIAL RAMADHAN
Suara merdu
milik Ify membaca firman Allah yang terkumpul menjadi satu dalam kitab suci
al-qur’an, menggema seluruh sudut kamar. Di hadapannya, Rio menyimak setiap
bacaan al-qur’an yang keluar dari mulutnya. Sesekali menatapkan pelan ujung
jari itu ke bagian lengan bawahnya yang tertutup mukenah, saat dia keliru dalam
melafalkan firman Allah tersebut.
“Itu gak
usah didengung samar gitu, Sayang.”
Untuk yang
kesekian kalinya Rio menegur Ify. Dahi Ify mengernyit. Dia mendongak. Menatap
Rio dengan tatapan ‘apa lagi? Udah betul kok.’
“Kok bisa
gak dengung sih? Nun mati ketemu (wau) kan dengung, Kak. Idgham bigunnah kan
ini, Kak?” burunya. Bola matanya bolak-balik melihat Rio dan apa yang yang ia
baca bergantian.
Rio
tersenyum tipis, “Kalau dalam satu kata seperti ini hukum bacaannya bukan lagi
idgham bigunnah. Tapi izh-har mutlaq . Jadi gak pake’ didengung samar.”
Ify diam.
Melihat lebih jeli lagi. Iya sih ini dalam satu kata. Tapi… Dia membaca lagi
bagian itu. Sinwanun. Siwwanun. Enakan yang pertama.
“Bukan
karena enak atau nggaknya pas baca, Dear. Masak kamu lupa sih hukum bacaan
izh-har mutlaq. Masak lupa sih? Bukannya di SMP atau SMA, tajwid diungkit-ungkit
terus?”
Ify
meringis. Mengalihkan pandangan dari al-qur’an pada Rio yang menatapnya apa
yah. Menyuruh untuk mengingat-ngingat.
“Makanya
tiap ngaji itu, ilmu-ilmu yang didapat seperti gharib, tajwid dan lainnya yang
berhubungan dengan bagaimana membaca firman Allah dengan baik dan benar,
diterapin. Jangan cuma dibuat menuhin otak aja. Membaca qur’an diikuti dengan
ilmu-ilmunya itu wajib bagi kita sebagai orang mukmin, karena hal itu
berpengaruh dalam pemaknaan isi al-qur’an. Kalau panjang pendeknya gak
diperhatiin. Ada hamzah dibuat gak pengaruh apa-apa dan yang lain-lain. Arti
ayat yang seharusnya begini, jadi begitu. Yang seharusnya memuji Allah, malah
menghujat hanya karena salah dalam pelafalannya.”
Lagi-lagi
Ify meringis. Dia menggaruk tengkuk belakangnya. Harus lebih hati-hati nih. Dia
sudah tahu ilmu-ilmunya. Jangan sampai pas tahu itu salah pelafalan, malah
diabaikan. Kembali dia melanjutkan membaca dengan Rio terus menyimak. Kegiatan
selepas sholat maghrib yang amat menyenangkan it uterus berlanjut. Beribadah
bersama istri tercinta. Mendekatkan diri pada yang kuasa. Mencari ridho masuk
surga bersama.
***
Malam minggu
ini adalah malam pertama terawih. Telah lama menantikan suasana bulan suci ramadhan, Ify ,enyambut antusias. Apalagi
bulan ramadhan tahun ini dia berstatus sebagai istri seorang Mario. Menjadi
gadis mandiri, dewasa, dan memiliki tanggung jawab besar. Ceritanya begitu!
Masih gadis loh ya. She is still virgin.
“Udah siap?”
Ify memutar
bola mata. Dia sudah dari tadi berdiri di teras. Menunggu seseorang yang baru
bersuara itu. Mereka siap untuk menuju masjid di ujung komplek. Sejak selesai
tadarus bersama setellah sholat maghrib –seperti biasanya-, dia ngotot pergi ke
masjid sebelum adzan isya’ berkumandang. Hitung-hitung waktu selama menuju
masjid dijadikan salah satu alternatif bersilaturahmi dengan warga sekitar.
Menyapa lebih lama. Ciri khas menjadi penghuni komplek kan sifat individualnya
kuat. Jadi sosialisasinya kurang.
“Udah siap
dari tadi, Kakak. Kak Ro aja yang lama. Dandan mulu sih.”
Kelopak mata
Rio membuka lebar. Hanya sebentar, selanjutnya dia terkekeh. Muka bete’ Ify
seperti biasa sangat menggemaskan. Pipinya itu loh digembul-gembulin dan
bibirnya dimajuin beberapa centi. Kalau tak ingat dia dan Ify sudah punya
wudhu, wajah ify kemungkinan tidak selamat dari terkaman tangan jahilnya. Tapi
gak papa deh ya, kerjain dikit. Waktu masih kurang 15 menit menuju isya’.
Kerjain ah kerjain. Ngerjainnya seperti biasa, ngelaba dikit. Itu mumpung bibir
Ify nantangin.
Niat awal
akan menutup pintu, terurung. Pandangannya tak lepas dari mata Ify. Mata gadis
itu tak fokus padanya, melirik sisi kanan-kiri bergantian. Menjadi keuntungan
tersendiri bagi Rio. Setelah pintu terbuka kembali cukup lebar, dia melangkah
lebih dekat menyisakan setengah meter dari kedudukan Ify. Setengah membungkuk,
dia mendaratkan kecupan singkat itu di bibir manyun Ify. Lantas secepat kilat
dia ngacir.
“ASTAGHFIRULLAHAL’ADZIM
KAK RIOOOOOOOO.” teriak Ify setelah sadar ada yang menyentuh bibir mungilnya.
Dia baru
sadar dan teriak setelah tahu apa dan siapa yang menyentuhnya, saat menangkap
sosok Rio sudah berlari ke dalam rumah. Berbalik di perbatasan akhir ruang
tamu. Senyum jahilnya dimain-mainin. Menjulurkan lidah padanya.
“Terima kasih,
Sayang. Manis. Aku suka.”
***
“Alyssaaaa.”
rajuk Rio yang berjalan di samping gadis yang ia rayu.
“Mohon maaf
lahir batin.”
Ify masih
bergeming. Tak ada niatan untuk merespon walaupun ada minat. Terus berjalan
dengan tatapan lurus ke depan. Dia kesal sama Rio. Perasaan loe kesal mulu sama
suami loe Fy? Dosa! Rio sih mancing-mancing emosi. Rumah-rumah udah pada sepi
penghuni. Kebanyakan sudah ke masjid. Rio buang-buang waktu. Ify mendengus.
“Ya ampun,
Sayang. Aku ngomong didengar donk. Di jawab juga. Aku cium lagi nih kalau
diamin aku.”
Ify berhenti
melangkah. Dengan tegas, dia menoleh pada Rio. “Kakak… Ify gak suka deh kalau
Kak Rio udah begini. Bikin kesal Ify, ujung-ujungnya Ify juga yang ngerasa
bersalah udah kesal sama suami Ify sendiri. Kakak rese’ tahu gak sih. Bikin
dosa Ify ke Kakak gak berhenti diproduksi.”
“Ya Allah… Alyssa. Maafin Kak Rio ya. Gak lagi
deh, untuk malam ini aja tapi.” Ucap Rio langsung ngacir.
Ify
mendelik. “KAK RIO JANGAN KABUR.”
Alhasil
mereka kejar-kejaran ala-ala india. Untung saja, jalanan di kompleknya sepi.
Baru terlihat ramai saat mendekati area masjid. Keduanya berhenti. Ukuran cewek
seorang Ify, mengatur nafas mati-matian. Sedangkan Rio, santai berdiri di
sampingnya. Ify menegakkan tubuhnya. Melipat tangan di depan dada.
“Kak Rio
ngeselin.”
“Dek Ify
gemesin.”
“Kak Rio
bikin emosi.”
“Dek Ify
bikin napsu.”
“KAKAK.”
“Hushh
berisik… I love you, Adek.”
Sudah deh
kalau begini Ify tak berkutik. Menyibukkan diri dengan memilin-milin ujung
mukenahnya. Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam. Menyembunyikan wajahnya yang
memerah. Di sampingnya, Rio berusaha menahan senyum. Mereka telah tiba di depan
masjid. Dia menyambut sapaan para ibu dan bapak yang lewat di hadapannya akan
memasuki halaman depan masjid. Kebanyakan dari mereka, dia mengenal baik.
“Assalamualaikum
Ify, Kak Rio.”
Suara lembut
seorang gadis membuat Ify mendongak. Menjawab salam. Rosa. Anak gadis dari Pak
bandi, tetangga dekatnya. Rumah Rosa hanya berjarak 3 rumah dari kediamannya.
Gadis manis berusia lebih tua setahun darinya itu muncul dari arah yang sama
dengannya. Dia langsung mengambil langkah mendekati Rosa, dan mengamit lengan
gadis itu.
“If-Ify sama
Rosa ya, Kak.” izinnya.
Rio
tersenyum lembut, “Iya. Jangan lepas dari Rosa. Aku gak mau nyari kalau kamu
hilang.”
“Oke, Kak!
Ify ke dalam ya. Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam.”
Setelahnya,
Ify langsung menarik Rosa memasuki halaman depan masjid. Rio mengikuti bersama
pemuda seusianya. Sepertinya kenalan baru Rio di komplek ini. Dia dan Rosa
mengambil jalur kiri menuju tempat khusus wanita. Daerah teras masjid sudah
full. Tak ada celah kosong. Separuh halaman depan masjid juga mulai terisi
penuh. Akhirnya, dia dan Rosa mengambil shaf mendekati pagar masjid.
“Anginnya
bandel di sini Kak Ros.” gerutu Ify.
“Ya mau gimana
lagi, Fy? Udah penuh. Malam pertama terawih memang begini.” ujar Rosa yang
sudah duduk di atas sejadahnya.
Ify juga
melakukan hal yang sama. Duduk bersila. Kedua tangannya menggosok kedua lengan
atasnya beberapa kali. Dingin. Matanya menyapu seluruh sudut masjid. Rata-rata
para ibu beserta anaknya memenuhi teras masjid. Tak berapalama suara iqhomah
terdengar. Dengan gerakan hampir serentak seluruh jamaah masjid berdiri.
***
“Kalau
dipikir-pikir, kenapa tiap malam pertama tarawih selalu ramai ya Kak? Apa
karena keutamaan malam pertama tarawih, dosa-dosa orang yang beriman keluar darinya pada malam pertama seperti
hari dilahirkan ibunya? Padahal kan keutamaan
di malam-malam tarawih selanjutnya gak kalah sama malam pertama.” tanya Ify.
Keduanya
saat ini tiba di dekat rumah mereka. Selepas doa selesai sholat witir, dia dan
Rosa lebih dulu meninggalkan halaman. Sempat mengantri karena gadis-gadis yang
baru gedhe itu berebutan mencari alas kaki mereka. Cenderung terburu-buru.
Terjadi percekcokan juga. Kalau tak salah dengar, ada yang tertukar. Lumayan
dibuat judul sinetron, sandal yang tertukar di halaman masjid. Dia menunggu Rio
tak jauh dari gerbang masjid. Rosa ijin pulang terlebih dahulu. Ketika sosok
Rio itu muncul seorang diri, berlari-lari kecil dia mengahmpiri. Gerakannya
terhenti saat melihat beberapa gadis remaja tiba-tiba mengerubungi suaminya.
Mengulurkan tangan. Bermaksud bersalaman, tapi modus ingin merasakan bagaimana
bersentuhan dengan Rio. Emang deh ya, pesona suaminya ini tak bisa dielakkan
oleh kaum hawa usia berapapun. Di tambah pakai baju koko plus sarung plus
kopiah seperti itu. Gantengnya naik level. Ibarat maicih, mungkin kegantengan
Rio mencapai level 10. Anak-anak itu baru bubar setelah Rio berbicara sedikit.
Sekejap mereka melihatnya dengan mata menyipit. Membuang muka padanya. Berlalu
dengan tidak sopan. Terlihat sekali kan modusnya? Sialan.
“Aku juga
gak tahu pastinya sih. Kalau dilihat oleh mata orang awam, sepertinya ramainya
masjid di malam pertama tarawih itu menunjukkan betapa antusiasnya umat muslim
menyambut ramadhan. Untuk hari-hari selanjutnya, mungkin ada sesuatu yang
menghalangi niat mereka untuk sholat tarawih full selama sebulan. Maka dari
itu, sebisa mungkin kita jangan absent, terlebih alasannya hanya karena malas,
ngantuk, kekenyangan. Kecuali kamu yang memang ada beberapa hari istirahat.”
Ify ngangguk-ngangguk.
Udara dingin terasa lagi saat tiba di depan pagar rumah mereka. Merasa tangan
mungil yang digenggamnya dingin, dan terlihat tubuh Ify menggigil, Rio
mempercepat gerakannya membuka pagar. Satpam rumahnya ia izinkan pulang kampung
selama tiga hari. Di balik mukenah putihnya, Ify semakin tak nyaman dengan
kondisi tubuhnya yang tiba-tiba meriang. Kenapa tiba-tiba begini sih? Dia makin
mendekatkan diri pada tubuh Rio. Laki-laki itu sigap merangkulnya.
“Kak… Ify
gak kuat jalan. Di-dingin.”
Dalam
kekhawatiran, Rio langsung membopong tubuh Ify. Gadis mungil itu langsung
melingkarkan tangan di lehernya dan menyembunyikan wajah di sana. Dia melangkah
lebar menghampiri pintu utama.
“Peluk aku
kuat-kuat. Aku mau buka pintu.”
Banyak susah
Rio memasukkan kunci. Alih-alih menjaga bobot Ify, tangan kirinya memutar kunci.
Menggunakan kaki, dia membuka pintu lebar-lebar. Dalam gendongannya, tubuh Ify
terasa kaku. Dia makin panik. Tanpa menutup pintu kembalu, setengah berlari dia
menaiki tangga. Membuka pintu kamarnya dengan sekali tendangan. Membaringkan
Ify lalu meraih remote AC di atas nakas. Menghentikan kerja AC.
“Di-dingin,
Kak.”
Segera ia
memutari ranjang. Menaruh kopiahnya di meja sebelah. Menaiki ranjang. Mulai
melepas mukenah Ify. Dia mendengus. Gadis itu mengenakan kaos tipis berlengan
pendek dan celana jins selutut. Sedikit mengangkat tubuh Ify bagian bawah, Rio
menarik bad cover yang tertindih oleh gadis itu. Lalu menutupi tubuh Ify hingga
menyentuh dagu. Sedangkan dia sendiri memilih membaringkan tubuhnya di samping
Ify dengan hanya melepas baju kokonya menyisakan kaos putih tipis. Posisi
tubuhnya ia buat miring. Seperti biasa menggantikan bantal kepala itu dengan
lengannya. Gerakan menggigil dari tubuh Ify berkurang. Tangan kanannya yang
terbebas mengusap lengan Ify berangsur seiring kecupan di kening pada gadis
itu. Mencoba menyalurkan kehangatan. Perlahan nafas Ify pun teratur. Tak ada
guncangan dari tubuh Ify. Sepertinya gadis ini telah lelap.
Huft…
Rio baru
benar-benar merasa lega. Dengan gerakan pelan, ia menarik kembali tangannya
yang menjadi bantal. Menukarnya kembali untuk sementara. Dia bangkit dari
ranjang. Meraih baju koko yang ia lempar sembarang. Membawanya ke gantungan
baju yang berada di belakang pintu. Ia melepas sarung serta kaos dan mengganti
dengan celana tidur. Tanpa berbaju, Rio balik merebah di ranjang. AC yang tidak
bekerja menjadi alasan dia bertelanjang dada. As usuall, dia mengambil alih
fungsi bantal dengan memeluk tubuh mungil Ify yang merespon kehadirannya dengan
menyentuhkan tangan mungil itu di sekitar dada. Mengucap selamat tidur dan
mengecup lama kening Ify sebelum berjalan-jalan santai di pulau kapuk.
***
“Jangan
pake’ baju serba pendek. Walaupun ketutupan mukenah, yang namanya angin gak
perlu pintu buat masuk.”
Sudah ketiga
kalinya Rio memberi wejangan-wejangan dalam kalimat berbeda mengandung satu
makna, yaitu jaga diri dari angin. Kasihan angin. Serasa jadi psikopat gitu
mesti memprotek diri sungguh-sungguh. Ketiga kalinya juga di mengangguk. Hal
yang hanya boleh ia lakukan saat ini hanya mengiyakan warning dari Rio.
Pemuda itu
meletakkan piring terakhir berisi ayam goreng sebanyak tiga potong. Menu sahur
pertama kali ini ayam goreng kesukaan ipin, ditemani dengan sambal lalapan
sederhana. Hanya terdiri dari cabai rawit dan kriting, garam, gula, terasi serta
bawang merah. Di hancurin lalu digoreng. Baunya menyengat. Dia yang jauh dari
tempat kejadian terbatuk-batuk, apalagi Rio. Tapi sepertinya laki-laki itu
sudah terbiasa. Sekali lagi, Rio itu cowok idaman. Syukur, cuma dia yang bikin
pemuda itu klepek-klepek. Dan cuma dia yang membuat Rio merasakan cinta pertama
kali. Bangga gak tuh jadi pendampingnya Rio? JELAS! Di larang keras iri!
“Kamu udah
cuci muka?” tanya Rio saat sudah duduk nyaman di seberangnya.
“Udah kok,
Kak.” Jawab Ify menggebu-gebu.
“Belek(?)nya
masih tinggal nih.” ucap Rio.
Pemuda itu
mencondongkan tubuh ke arahnya. Jemarinya menyentuh sudut mata terdekat dengan
hidung dimana ada kotoran yang diproduksi saat tidur menempel. Lalu berlalu
menuju wastafel. Mencuci tangan lagi. Duduk kembali. Ify menyerahkan piring berisi
nasi pada Rio. Mengangsurkan ayam goreng bagian dada di atas piring itu.
Aktivitas minimal melayani suami di meja makan. Maksimalnya, ya seharusnya dia
yang masak. Berhubung teori dan praktek memasak masih sedikit ia terima, jadi
cuma bisa lihat-lihat doank. Bukannya gak mau belajar lagi. Cuma sekarang
waktunya kurang tepat. Selama memasak, Rio terus-menerus menasihatinya. Dia gak
mau nambah kemurkaan Rio karena dia bandel. Sebelumnya Rio memang memberi
peringatan untuk dia hanya duduk manis di kursi. Sebagai istri yang baik, dia
patuh.
“Puasa yang
bolong tahun kemarin udah ditebus, Sayang?” tanya Rio di sela-sela menyuapkan
nasinya.
Ify
mendongak. Tersenyum lebar, “Udah donk, Kak.”
“Tahun-tahun
kemarin?”
Senyum Ify
makin lebar, “udah donk. Ify selalu ganti tepat waktu tauk. Malah Ify sering
lunas bayar hutang sebelum pergantian tahun masehi.”
Dalam
kegiatan mengunyah makanannya, Rio tersenyum lega.
“Kamu
halangan pertama kali, kapan?” tanya Rio.
Mungkin jika
dalam keadaan masih belum terikat resmi seperti ini, Sambil mengunyah, Ify
mengingat-ngingat. Bibirnya bergerak ke kanan-kiri. Kebiasaan Ify ini yang buat
Rio tak tahan buat narik hidung bangir gadis itu. Dia memegang kuat garpu dan
sendoknya. Mencegah tangan genitnya yang hanya bekerja pada istrinya, untuk
menerkam halus bagian wajah Ify.
“Kelas 2 SMP
deh kalau gak salah, Kak.” jawab Ify. Dahinya mengernyit. Bibirnya mengerucut.
Rupanya sedikit ragu.
“Iya, kelas
2. Detik-detik nanjak kelas 3. Ify waktu itu sampai opname, gak kuat nahan
dileb.” lanjutnya mempertegas pernyataan sebelumnya.
Rio
mengangguk-anggukkan kepala. Seisi piring sudah kandas, Rio meraih segelas air
putih di sebelah kanannya. Menghabiskannya dengan beberapa kali teguk. Melipat
kedua tangan di atas meja. Matanya menatap Ify yang masih menghabiskan separuh
piring.
“Umur segitu
berarti udah tahu hukum mengganti puasa bagi wanita haid.”
Gadisnya
mendongak. Mengalihkan perhatian dari piring, padanya.
“Tahu donk.
Dari SD sama Mama udah dikasih tahu. Terus sama ustadz yang tiap malam jum’at
ke rumah juga diberi tahu. Hukum mengganti puasa bagi wanita haid itu wajib.
Bolong puasa karena haid, sakit, atau dalam perjalanan itu adalah hutang kita
kepada Allah. Nah kalau hutang itu mesti dibayar kan.”
Ify
kembali melanjutkan makan. Jam sahur kurang 30 menit lagi akan berakhir. Dia
tahu hukum menggantikan puasa itu sejak kelas 6 SD dimana teman-teman perempuan
sekelasnya sudah banyak yang haid. Dia cerita sama mama Gina. Dengan kalimat
yang sangat mudah ditangkap oleh pikiran anak usia 10 tahun, mama Gina
menjelaskan. Memberi ilmu sebelum mengalami.
Saat
menginjak sekolah menengah pertama, ustadz Zaki yang saat itu masih muda,
sekitar berusia 25 tahun, juga memberi tahu dan mewanti-wanti agar dia tak
sampai terlambat dalam membayar hutang puasa di bulan ramadhan. Menasihatinya
agar hutang puasa jangan dibiarkan numpuk kayak cucian. Menumpuk hutang puasa
itu dosa. Jika hal itu dilakukan maka ia wajib
untuk meng-qadha dan bertaubat serta memberi makan satu orang yang kehidupan ekonominya kurang mampu untuk
setiap hari yang ditinggalkan, jika ia mampu. Jika ia faqir , tidak mampu memberi
makan (fidyah), maka sudah cukup baginya meng-qadha puasa dan bertaubat.
Gugur kewajiban membayar fidyah. Jika ia tidak mengetahui atau mengingat hitungan hari puasa yang ditinggalkan, hendaknya ia memperkirakan lalu berpuasa sebanyak hari
yang menurut perkiraan itu.
“Gak usah tidur ya.” titah Rio saat Ify sudah
menyelesaikan acara makannya.
Gadis itu
bangkit dari kursi. Tak langsung menjawab pertanyaan Rio karena merasa apa yang
dia makan masih nyangkut ditenggorokan. Meraih gelas dan piring bekasnya. Di
tumpuk menjadi satu. Membawanya ke tempat pencucian piring. Rio mengikuti.
Mengambil bagian tugas membilas benda-benda itu setelah dibasuh dengan sabun
cuci oleh Ify.
“Nunggu
adzan shubuh kan, Kak?” tebak Ify. Menoleh sekilas pada Rio.
“Iya. Nunggu
adzannya di masjid. Kita sholat di sana.”
Mendengar
itu, dengan cepat kepala Ify menoleh. “Oke!”
Lalu fokus
kembali pada piring terakhir. Memberi sentuhan sabun sedikit, kemudian
mengangsurkannya pada Rio. Dia berbalik setelah mengusap tangan pada kain lap
yang tergantung terdekat dengannya. Menyandarkan diri dengan posisi kedua
tangan menumpu badan di pinggiran tempat pencucian. Menoleh ke samping
kanannya. Memperhatikan gerakan Rio membilas piring yang terakhir ia sodorkan.
Beralih dia memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 4 kurang 15 menit.
Setengah tersentak saat dia merasakan separuh badannya ada yang memeluk. Rio.
Tak mau
kehilangan moment Ify dalam posisi yang asik untuk digoda, setelah mengusap
hingga kering kedua tangannya, dengan segera dia memposisikan diri di hadapan
Ify. Kedua tangannya langsung menumpu di atas kedua tangan Ify. Menitik
beratkan badan bagian kiri menyentuh tubuh Ify. Dia menunduk. Langsung
menangkap wajah Ify memerah. Gadisnya memberontak. Dengan sigap ia menekan
separuh tubuhnya yang menempel pada gadis itu. Seperti biasa, Ify menyerah.
“Ka-Ka-Kak…
selama puasa jangan begini donk. Napsu Kakak kenapa gak bisa diinaktifin
bentaran sih? Bikin puasa batal, ishh.” gerutu Ify. Dia jadi gerah dikurung
begini sama Rio.
“Belum imsak
aja sih.” ujar Rio santai.
“Ya meskipun
belum imsak, jangan gini juga. Napsuan amat.”
“Heh…
napsuku itu masih dalam batas wajar ya. Aku masih bisa ngendaliin. Kalau nggak,
setelah nikah, kamu udah bukan gadis lagi.”
Ify meneguk
ludah susah. Pelan, dia menyentuh dada Rio. Mendorong halus hingga tangan Rio
yang berada di atas tangannya terlepas. Bagus. Pemuda itu menurut. Dia berjalan
meninggalkan Rio. Beberapa langkah menjauh, menggebu-gebu dia menghirup dan
menghembuskan nafas berkali-kali. Sentuhan di bahunya menyentak. Dia berjengit.
Tangan kokoh Rio. Lagi dan lagi, Rio bikin sport jantung.
“Kamu ambil
wudhu dulu gih. Kalau bisa mandi. Eh jangan deh, masih pagi. Dingin. Ntar
menggigil lagi.”
Tanpa
menoleh, ia mengangguk. Lanjut berlalu meninggalkan dapur menuju lantai dua.
Senyum miring Rio tercetak. Dia sangat menikmati sikap istrinya yang malu-malu
kucing tiap dia hujani sikap-sikap romantisnya. Jujur, untuk urusan bersikap
manis pada seorang gadis, dia merasa tak punya ilmu dasar. Mungkin cuma lihat
cakka bagaimana cowok itu menggoda-goda kaum hawa hingga klepek-klepek jatuh
dalam pelukannya. Selebihnya dia tak tahu. Tapi saat bersama Ify, entah kenapa
sikap manis dan romantisnya -yang kata pembaca lewat komentar itu bikin gemas
dan envy sama Ify- mengalir begitu saja. Kekuatan cinta kali ya. Mungkin. Yang
pasti, tiap bareng Ify, dia ingin selalu menyentuh gadis itu. Terlebih saat
setelah menikah. Dia jadi kayak laki-laki mesum level akhir. Astaghfirullah…
banyak-banyak istighfar, Yo. Untuk bini sendiri yang loe terkam. Heh. Kalau bukan bini gue, mana mau gue.
Maaf jika ada kesalaan info. Saya hanya manusia yang tak luput dari kesalahan dan dosa:)
keren!! Jan lanjut lama" kak. bagus nih ada spesial ramadhannya :) :)
BalasHapusQ tunggu ya kak next ..bagus
BalasHapusAlika : In shaa allah:) terima kasihhh:)
BalasHapusSara : Oke... terima kasih:)
Next ya mana kak lagi seru nie
BalasHapusSuka kak, gak fulgar. Aku juga dapet info tentang hutang puasa karena haid ^_^
BalasHapusBaca mulai dari part 1 nya gimana ya kak?
BalasHapus