Belum ada
niat baginya untuk mengalihkan perhatian dari kedua turunannya sejak
meninggalkan area masjid tadi. Semenjak usia kembar memasuki angka 2, dia dan
Rio mulai berani mengajak mereka turut menjalankan amalan sunnah sholat terawih
di masjid ujung kompleks. Sebelumnya, dia dan Rio sepakat menyewa jasa perawat
anak hanya saat mereka ke masjid. Bukannya kenapa, Rio yang memang lebih intens
mewarawat anaknya begitu paham jika mereka akan rewel dan nantinya akan
mengganggu fokus ibadah orang-orang. Namun jika jatah libur dalam sebulan ia
dapatkan, perawat yang berusia sama seperti mama dan mertuanya itu juga
istirahat dari merawat –lebih tepat menemani- anak-anaknya. Ya, walau sesibuk
apapun dia dan Rio, mereka bersepakat untuk tetap pantang menyewa jasa bantu
dalam menyelesaikan tugas rumah tangga kecuali keadaan mendesak seperti saat
dia hamil besar, pasca melahirkan, dan saat event-event tertentu jika
memerlukan.
Masjid di
malam pertama terawih kali ini tak ada bedanya seperti bulan ramdaha tahun lalu
dan sebelum-sebelumnya. Ramai dipenuhi oleh penghuni kompleks. Dia sendiri
mendapat tempat di bagian belakang nyaris mendekati pagar masjid, padahal dia
dan Rio meninggalkan rumah sebelum adzan isya’ berkumandang. Seperti tahun
lalu, dia mengenakan mukenah yang sama persis dengan yang dikenakan Masya. Rio
yang menyiapkannya tiap kali akan datang bulan ramadhan. Entah bagaimana pria
itu mendapatkannya. Sedangkan sebagai balasannya, Rio meminta agar dia
menyiapkan beberapa stel baju koko beserta sarung yang sama persis untuknya dan
Rasya. Jadilah dia sering kali memandang penuh minat kembar mungilnya yang menggemaskan
dengan kostum seragam saat pergi maupun kembali ke rumah seperti sekarang ini.
“Ayah, Abang
yang buka ya.” pinta Rasya saat mereka tiba di depan halaman rumah,
menengadahkan kedua telapak tangannya meminta kunci gembok pada Rio.
“Abang
bisa?” tanya Rio mendekati Rasya yang berdiri dekat pagar.
Rasya
menggeleng, “Ajarin, Yah.”
Rio
mengangguk paham. Di belakang para lelaki itu, Ify melambai pada Masya yang menyandar
pada pagar. Perempuannya berlari kecil menghampiri. Sigap dia menangkap tubuh
mungil Masya dan membawanya dalam gendongan. Bersamaan dengan gerbang berhasil
dibuka oleh tangan kecil Rasya yang dibantu oleh Rio tentunya.
“Abang
hebat. Tos dulu.” ujar Rio mengulurkan tangan kanannya yang tak menahan tubuh
Rasya dalam gendongan yang langsung disambut antusias.
“Masya juga
bisa, Yahhh.” rengek Masya dalam gendongan Ify.
Tangannya
meraih-raih tubuh Rio yang berdiri berhadapan dengannya. Ify hanya bisa
menggeleng kepala melihat kecemburuan Masya. Dia lantas menurunkan Masya saat
kaki-kaki kecilnya memberontak. Langsung saja bocah itu menubruk kaki Rio.
Memeluknya erat.
Rio tertawa
renyah. Menggemaskan sekali anak perempuannya ini. Seraya mencoba melepas
lingkaran tangan Masya, dia berjongkok. Menurunkan Rasya yang hanya diam. Lalu
menggiring kedua anaknya kembali tepat ke depan gerbang yang belum dikunci
kembali.
“Sekarang
Abang ajarin Adek yang tadi Ayah kasih tahu.”
Anak
laki-lakinya mengangguk patuh. Lalu menarik tangan adiknya untuk mendekat.
Meraih gembok sepasang dengan kuncinya yang menggelantung di pagar.
“Kalau ini
mau ditutup gini, Adek putar ini ke kanan. Kalau dibuka, Adek putar ke kiri.”
jelas Rasya dengan kalimat sedikit berantakan.
“Gitu kan
Yah?” tambahnya menoleh ke belakang meminta kepastian benar-tidaknya yang ia
jelaskan.
Rio
mengangguk. “Sekarang Masya lakukan yang Abang kasih tahu.” suruhnya.
Ify langsung
menyingkap mukenah Masya hingga memperlihatkan baju rumah bergambar frozen itu
saat melihat Masya sedikit kesulitan mengeluarkan jemarinya. Dengan tangan
Rasya yang turut andil, Masya berhasil menggembok gerbang yang setengah terbuka
tadi lebih dulu ditutup rapat oleh Rio.
“Anak-anak
Ayah sama Bunda hebat semua. Cium dulu.” puji Rio saat keduanya membalikkan
badan.
Mereka
menyambut bibir Rio yang menguncup siap untuk didaratkan sebuah ciuman sayang.
Dalam sekejap, tubuh kecil mereka berada dalam pelukan Rio. Wajah keduanya tak
terhindar dari ciuman-ciuman yang dilancarkan Rio. Membuat mereka terkikik
geli. Di samping Rio, saat dia akan menambah serangan, Pria itu lebih dulu menyambar
dengan memajukan muka dari balik kepala Masya. Rio tertawa puas dan berlalu
melihatnya mematung. Dia mendengus. Pintar sekali Rio mencuri kesempatan tanpa
diketahui oleh anak-anak mereka. Rasya tak melihat karena terhalang kepala Rio,
sedangkan Masya tak tahu karena kepalanya dihimpit oleh kepala Rio.
“Sayang...
kunci rumah di kamu kan?”
***
Suara
gemericik air membuatnya terjaga. Sosok yang biasa dipeluknya tiap tidur
menjelma menjadi sebuah guling. Masih setengah sadar, dia berusaha bersandar
pada kepala ranjang bersamaan dengan pintu kamar mandi terbuka memunculkan
sosok istrinya dalam balutan baju tidur terusan selutut dan tanpa lengan dengan
wajah terlihat segar setelah membasuh muka.
“Kok udah
bangun? Kebangun gara-gara Ify ya Kak?” tanya Ify beruntun sambil melangkah
menghampirinya.
Dia tak
menjawab, memilih mengulurkan tangan meminta Ify memeluknya. Wanitanya menolak
dengan mengacung-ngacungkan telunjuk.
“Sholat
malam yuk. Kalau bukan bulan ramadhan kita gak bisa tiap malam sholat karena
susah bangun.”
Baru Rio
sadar total. Kedua matanya membuka sempurna. Pantas saja Ify menolak untuk
memeluknya barang sebentar. Dia mengangguk. Lantas menggerakkan kakinya menapak
pada lantai kamar. Masih duduk di tepi ranjang, dia menundukkan kepala mengecup
perut Ify di balik baju rumahannya yang mulai buncit cukup lama lalu
mengusapnya berulang sebelum bangkit.
“Makasih
udah ingatin aku, Sayang. Aku baru sadar beberapa hari terakhir absent sholat
malam.”
Mendengarnya,
Ify hanya tersenyum tipis. Dia sendiri juga terkadang tak setiap malam
melaksanan sholat sunnah itu, baru semenjak hamil karena sering dibuat terjaga
gara-gara mual dan efek hamil lainnya membuat dia cukup rutin menjalankannya.
Sedangkan
untuk Rio. Beberapa hari terakhir memang menjadi hari tak mudah dia lewati
rasanya. Dia berulang kali mensugesti pikirannya bahwa rintangan yang menghadang
kali ini susah tapi bisa ditaklukkan seperti biasanya. Namun tetap membuatnya
kewalahan, sampai-sampai pulang dari kantor sekitar hampir tengah malam itu dia
langsung merebahkan diri setelah membersihkan tubuh tentunya. Dan sekarang, di
bulan ramadhan yang ada kegiatan sunnah makan sahur ambillah kesempatan untuk
menjalankannya dengan giat dan rutin agar setelahnya kembali terbiasa.
Sebenarnya
tak ada alasan untuk tak melaksanakan sholat tahajud yang merupakan sholat
utama setelah sholat-sholat fardu dikerjakan.
***
Dia maupun
Rio seketika berhenti memindahkan hasil masakan yang dibuat bersama untuk sahur
pertama saat mendengar suara nyaring yang memanggilnya. Rio menahannya ketika
ia akan berlari kecil meninggalkan dapur sadar bahwa itu suara si kembar.
“Ayah aja
yang ngurus mereka. Bunda lanjutin ini aja.” titah Rio sambil menaruh semangkuk
sup dengan potongan-potongan kecil ayam dan sosis di dalamnya.
Sambil
menahan senyum gelinya akan panggilan yang digunakan Rio, dia mengangguk lalu
meneruskan memindahkan ayam goreng yang baru ia entaskan dari penggorengan.
Membuat susu khusus bumil untuknya, dan teh hangat untuk Rio. Kegiatannya
berakhir saat Rio kembali dengan Masya-Rasya dalam gendongan. Dia mendekat.
Meraih Masya yang masih menguap kecil ke dalam gendongannya.
“Adek sama
Abang kok bangun?” tanyanya yang sudah mengambil tempat di kursi yang
berhadapan dengan jam di atas lemari es. Lima belas menit menuju pukul tiga.
Merapikan
baju tidur Masya yang tersingkap hingga memperlihatkan celana dalam berwarna
pink kesukaannya. Ya walaupun baginya, Masya-Rasya terbangun jam segini bukan
hal baru. Sering kali salah satu dari mereka terjaga untuk sekedar meminta susu
atau karena mendengar suara-suara di luar rumah. Tak heran jika sekarang
sepasang mata keduanya membuka, terlebih suara-suara mengaji yang bersumber
dari masjid ujung sana terus dikumandangkan. Menjadi alarm untuk sahur.
“Abang mau
puasa Bun.” jawab anak laki-lakinya yang sudah duduk nyaman di pangkuan Rio
berhadapan dengannya.
“Masya
juga.” sahut bocah di pangkuannya.
Dia menatap
Rio yang hanya tersenyum tipis.
“Yakin Abang
sama Adek mau puasa?" tanya Rio memastikan.
Keduanya
kompak mengangguk.
“Setengah
hari aja ya. Nanti Abang sama Adek bisa makan lagi jam 12 siang. Terus puasa
lagi sampai adzan maghrib. Gimana?” tawarnya hanya memberi mereka satu pilihan.
Setengah hari atau tidak.
Dia masih
merasa belum waktunya bocah 4 tahun lebih ini menjalankan puasa, apalagi puasa
satu hari penuh. Setengah hari saja dia keberatan karena tak mungkin dia
menolak keinginan anak-anaknya akhirnya dia memberidua opsi itu. Namun, dia
bersyukur mereka mempunyai inisiatif sendiri untuk berpuasa sebelum dia dan Ify
mengeluarkan kalimat ajakan atau paling banter perintah.
Sewaktu
mereka masih usia 2-3 tahun dulu, tiap bulan ramadhan datang sering kali mereka
menanyakan apa itu puasa. Kenapa ayah dan bunda tidak makan bersama mereka saat
pagi dan siang hari. Kenapa pedagang kaki lima yang jarang absent melewati
rumah mereka tidak terlihat lagi selama sebulan saat siang hari. Kenapa baru
saat menjelang maghrib banyak orang berjualan di ujung kompleks dekat masjid
sana. Dan banyak lagi kenapa yang mereka tanyakan.
“Bunda-Bunda-Bunda.”
panggil Masya berulang sambil menarik tangan Ify.
Kala itu
mereka berjalan-jalan santai di taman tak jauh dari perumahannya. Mereka berada
di antara dirinya dan Ify. Dia turut menoleh mendengar suara melengking milik
Masya yang hampir mirip dengan suara Ify saat menjerit.
“Kenapa,
Sayang?” sahut Ify.
“Kok sepi
sih Bun? Pak lele itu gak ada. Pak Bubul Ayam juga gak ada.” tanya Masya cadel
mengabsent penjual lalapan –berhubung Masya sering menyantap lele di sana
penjualnya dipanggil Pak Lele- dan penjual bubur ayam.
“Sekarang
sampai 29 hari nanti, Pak Lele dan Pak Bubur Ayam baru ada jam 5 sore.” jelas
Ify pelan-pelan dengan bahasa yang sekiranya bisa ditangkap dengan mudah oleh
anak usia 3 tahun. Mengambil penjelasan umum.
“Kenapa Bun?”
“Karena
sekarang puasa, Sayang.” giliran dia yang menjawab.
“Puasa itu
apa, Yah?” sekarang Rasya yang bertanya.
“Puasa itu
kita menahan makan dan minum dari waktu sahur sampai waktu buka nanti.”
Buru-buru
dia menambahkan ketika kernyitan dahi anak-anaknya bertambah.
“Waktu sahur
itu sekitar jam 3 atau 4 pagi tadi waktu Abang sama Adek bangun dan lihat Bunda
sama Ayah Makan. Ingat gak?”
Kepala
mereka mengangguk berbarengan.
“Dan waktu
buka sekitar jam 6 sore nanti.” lanjutnya sambil mengangkat jari-jarinya
menunjukkan angka-angka yang ia sebutkan.
Anaknya diam
beberapa saat melihatnya dan Ify bergantian. Ice cream yang mereka genggam
sementara dianggurkan.
“Kok Abang
sama Adek makan Bun, Yah?” tanya Rasya menunjuk ice creamnya.
“Belalti Adek
sama Abang gak puasa?” tambah Masya.
Sebelum
menjawab, dia dan Ify membawa mereka ke tempat yang lebih teduh mengingat
mereka berbincang saat berjalan mengitari taman dalam posisi berdiri pula.
Duduk bersila dengan Masya di pangkuannya, dan Rasya bersama Ify.
“Adek sama
Abang gak puasa karena masih kecil.” jawab Ify mengelus puncak kepala Rasya dan
Masya bergantian.
“Kalo kecil
gak boleh puasa, Bun?” Masya masih terus melancarkan pertanyaan. Belum puas
ternyata.
“Bukan gak
boleh, Sayang. Tapi belum waktunya.”
Ify
menatapnya menyerah bagaimana lagi menjelaskan pada anak-anaknya melihat
keduanya memasang wajah bingung atas jawaban-jawabannya. Dia terkekeh melihat
ekspresi Ify.
“Begini,
Sayang. Abang dan Adek bukan gak boleh puasa. Kalian boleh puasa tapi nanti.
Kalau sekarang, memangnya Abang sama Adek bisa kalau gak minum susu seharian?
Gak boleh makan masakan Bunda seharian? Gak bisa makan ice cream seperti
sekarang?”
Dia menanti
respon keduanya atas penjelasannya. Tak lama serempak mereka menggelengkan
kepala. Kembali menyantap ice creamnya. Biarlah untuk sekarang hanya itu yang
dapat ia jelaskan mengingat mereka masih belum bisa menerima penjelasan yang
lebih berat. Di usia ke depan dan ke depannya lagi dia dan Ify akan
berkolaborasi memberi penjelasan yang lebih detail. Jadilah pertengahan siang
itu mereka habiskan dengan obrolan mengenai bulan ramadhan dan
pernak-perniknya.
“Masya gak
mau oren-oren itu, Bunda.” ujar Masya saat ia menuangkan sup pada piring
favorite Masya yang sudah terisi nasi dan paha ayam.
“Loh. Ini
enak, Sayang. Bisa buat mata Masya sehat.” balasnya tetap tak menyingkirkan
oren-oren yang dimaksud Masya, yaitu potongan wortel.
“Mata Masya
kan gak kenapa-napa Bunda. Masya gak mau itu, keras.” kekeh Masya merengek
dalam pangkuannya, membuat dia jadi susah bergerak.
“Loh kata
siapa keras?” tanyanya heran.
“Waktu itu
Masya makan punya Ayah. Keras Bunda.”
Di
hadapannya Rio sontak tertawa mendengar kalimat Masya yang ambigu. Ify
meliriknya tajam. Kalau tak salah lihat, sempat muncul semburat merah di kedua
pipi Ify. Ify mendengus tertahan. Dia tahu yang dimaksud Masya adalah wortel
yang selalu ia sediakan di meja kerja Rio tiap hari senin dan kamis sebelum
menjelang tidur malam. Rio suka sekali nyemil wortel mentah berharap minus
matanya tak bertambah, syukur-syukur berkurang. Ya memang tak enak. Sedikit
keras. Dia pun tak suka. Setengah matang saja tak suka, apalagi yang mentah
total?
“Wortel yang
di meja Ayah itu kan belum dimasak, Sayang. Kalau yang ini udah dimasak jadi
gak keras. Mau ya? Tuh lihat Abang makan wortelnya.” tuturnya sambil menunjuk
Rasya yang sudah melahap makanannya.
“Adek makan.
Abang suka, Adek pasti suka. Nih.”
Syukurlah
anak laki-lakinya turut membantunya membujuk Masya. Setengah berdiri di
pangkuan sang ayah, Rasya mengulurkan sendok dengan dua potongan wortel kecil
di atasnya. Masya menerimanya dengan baik. Di kunyah beberapa kali. Masih belum
menunjukkan tanda-tanda ketidaksukaan hingga wortel itu tertelan dengan
sempurna.
“Enak. Bunda
lagi.”
Fyuhhh...
Ify menghela nafas lega. Dia memilah oren-oren yang sekarang disukai Masya itu
dari sayur lain yang memenuhi mangkok. Baru dia menyentuh makanannya.
***
Ify mengelap
noda kuah yang menempel di sekitar mulut Masya saat piring perempuan itu tak
tersisa sebutir pun nasi. Meraih segelas air mineral yang berada di depan
piring Masya. Menyentuhkan ujung gelas pada bibir bawah Masya. Menggiringnya
untuk meneguk isi gelas. Tangan mungil itu turut melingkupi badan gelas. Di
hadapannya, Rasya masih akan menghabiskan isi piringnya yang tertinggal
seperempat isi dengan Rio mengelus puncak kepalanya sejak isi piring pria itu kandas.
“Ayah.”
panggilnya setelah meletakkan gelas yang tersisa separuh isi.
Rio
mendongak, mengangkat sebelah alisnya.
“Bunda minta
tolong bikinin Adek sama Abang susu ya, Yah. Gak papa kan?” pintanya lengkap
dengan senyum manisnya.
Tampak Rio
menegakkan punggung dari sandaran kursi. Mengangguk singkat.
“Abang ikut,
Yah.” pinta Rasya ketika Rio mengangkat tubuh kecil itu untuk dipindahkan di
kursi sebelahnya.
Menaruh
sendok sembarangan, buru-buru merangkul leher Rio. Mengundang kekehan darinya
dan Rio. Pria itu kembali duduk. Berdeham sejenak.
“Abang
habisin dulu.” titahnya dengan nada rendah. Membalikkan tubuh Rasya kembali
menghadap piringnya.
“Udah habis,
Yahhh.” rengek Rasya.
Dia
menggeleng tegas. “Ayah udah bilang ke Abang sama Adek kan kalau makan itu
harus benar-benar habis. Kalau masih sisa kayak Abang begini masih bisa
dihabisin lagi. Abang, kita gak tahu letak keberkahan makanan itu di mana. Bisa
aja kan berkahnya makanan di butir-butir nasi yang diabaikan Abang ini. Maka
dari itu, kalau makan sebisa mungkin dihabisin.”
Anaknya
diam. Berhenti memberontak dalam pangkuannya.
“Memangnya
Abang udah kenyang sampai gak mau habisin sisanya ini?”
Rasya
menggeleng. Dia tersenyum tipis.
“Nah apalagi
Abang masih sanggup buat habisin ini. Jadi harus dihabisin ya, Nak.” akhirnya mengusap
rambut Rasya.
Dia
mengambil alih sendok Rasya dan mengumpulkan butir-butir nasi itu ke tengah
piring. Kira-kira tinggal dua kali suapan. Lantas diangsurkannya sesendok nasi
serta cuilan daging ayam itu ke depan mulut Rasya. Laki-laki itu langsung
menyantapnya.
“Abang mau
ikut bikin susu buat Adek.”
Suara amat lirih
itu masih sanggup tertangkap indra pendengaran. Terenyuh? Pasti. Penuh sayang,
diciumnya pipi Rasya sembari mengulurkan suapan terakhir. Lantas bangkit dengan
mendekap erat punggung kecil itu. Menciumi wajah duplikasi istrinya itu
bertubi-tubi hingga mendekati lemari dapur.
Ify
memandang bingung keduanya. Entah apa yang digumamkan Rasya setelah Rio menasehatinya
sampai-sampai pria itu tak berhenti menciumi anak lelakinya. Manik matanya
mengikuti gerak-gerik Rio dan sang putra mahkota hingga tak sadar Masya sudah
berdiri di atas pangkuannya. Memeluk lehernya erat.
“Yah.”
panggilnya menoleh sekilas seraya mulai menaruh piring-piring kosong itu ke
wastafel dekat kompor.
“Hmm?” jawab
Rio memandangnya dengan tangan masih mendekap Rasya yang mulai mengaduk dua mug
kecil di hadapannya.
“Bunda sama
Adek tunggu di ayunan depan ya.” ucapnya yang langsung disambut anggukan dari
Rio.
***
“Bilang apa
sama Ayah dan Abang udah dibuatin susu?” pancing Ify setelah Masya yang duduk
di sampingnya menerima uluran mug dari Rasya.
“Makasih
Ayah. Makasih Abang.” seru bocah itu dengan senyum lebar khas miliknya.
Baik Rio
maupun Rasya menyahut bersamaan. Kemudian mengambil tempat di depannya dan
mulai menggerakkan ayunan berhadapan itu perlahan. Interaksi bocah-bocahnya
dimulai dengan Rasya yang meminta merasakan susu vanila Rasya dan meminta –lebih
tepat memaksa- Rasya untuk menegak susunya. Mungkin saking gemasnya, Rasya
sampai mendelik menyuruh Masya berhenti memaksanya. Laki-laki itu tak suka rasa
coklat entah alasannya dia tak sempat menanyakan. Akhirnya dia turun tangan
melerai perdebatan kecil itu.
“Abang tadi
bilang kalau Abang suka, Adek suka. Masya suka susu coklat kok Abang gak mau.
Huh.” gerutu Masya yang sudah ia paksa duduk tenang kembali.
“Itu kan
punya Adek, ya Adek yang minum.”
“Itu punya
Abang, tapi Masya juga minum. Masya mau minum punya Abang, Abang kok gak mau
minum punya Masya?”
“Karena itu
punya Masya.”
“Tapi Masya
kan ngebolehin Abang minum.”
Rasya tak
menyahut lagi. Malah kembali menikmati susu vanilany yang tinggal sekali
tegukan.
“ABANGGGG.” teriak
Masya melihat Rasya yang cuek-cuek saja.
Rio mengirim
sinyal padanya untuk membawa Rasya ke sisinya sedangkan Rio sudah mengangkat tubuh
Masya dan menaruhnya di atas pangkuan. Mengusap punggung kecil itu merasakan
nafasnya yang memburu. Mimik wajahnya sudah menunjukkan tanda-tanda akan
menangis. Setelah cukup tenang, dia berdeham sebelum memulai dakwah lisannya.
“Sesama
saudara itu harus akur. Biasanya anak-anak Ayah sama Bunda ini akur-akur aja,
kok tiba-tiba tengkar?”
“Abang gak
mau minum susu coklat Masya, Ayah.” adu Masya.
Rio menghela
nafas. Menangkup pipi gembul anak perempuannya.
“Dengerin
Ayah. Gak semua yang Masya minta dan perintahkan itu dituruti sama Abang. Ada
yang Abang gak suka dan Masya gak boleh maksa.”
“Tapi tadi
Masya gak suka wortel, Abang nyuruh Masya suka wortel.”
“Abang gak
nyuruh Masya dan Abang gak maksa Masya. Masya sendiri yang langsung suka wortelnya
setelah disuapin Abang. Ya kan?”
Masya
mengangguk. Rio menyentuh tangan mungil yang memegang erat mug kecil itu dan
membawanya mendekati bibir Masya. Ify tersenyum tipis. Rio selalu berhasil
membuat kembar kesayangan mereka takluk dan mencerna kalimat-kalimat nasehatnya.
Kata siapa anak yang tak merasakan ASI atau dari kecil hanya dicekoki susu
formula tumbuh menjadi anak yang sulit diatur? Terbukti Masya dan Rasya yang tak
pernah merasakan ASI darinya dikarenakan usia yang masih baru matang membua
ASInya susah untuk dikonsumsi, alhamdulliah hingga usia mereka sekarang masih
patuh akan setiap kata-katanya dan Rio. Semua tergantung pola asuh yang diberikan.
Segala bentuk pola asuh yang diterapkan memberi dampak yang berbeda. Kalau
baik, ya akan menghasikan produk yang baik. Begitu pun sebaliknya.
“Abang juga
gak baik nggak peduli sama Adek.” Giliran dia menasehati anaknya yang kalem
ini.
“Abis Adek
cerewet sih Bun. Maksa Abang lagi. Adek kan tahu Abang gak suka susu coklat.”
Ify
menghembuskan nafas pelan. Mengusap puncak kepaa Rasya berulang.
“Adek
mungkin lupa kalau Abang gak suka susu cokat. Abang kan juga pernah lupa kalau
Adek gak bisa bobok sendiri, tapi pernah Abang tinggal dan tidur di kamar Ayah
dan Bunda.” jelasnya.
Rasya
mengangguk setelah cukup lama bungkam. Anak itu memang pernah meninggalkan
Masya tengah malam saat terjaga karena haus dan tak ada persediaan minum. Dia
pergi ke kamarnya dan Rio mengambil minum di atas nakas, dan tak kembali ke
kamar malah mengambil tempat di antara dia dan Rio dan melepas pelukan Rio
padanya. Pagi-pagi sekali bisa ditebak, Masya nangis meraung-raung dan sempat
ngambek tak mau bermain dengan Abang tapi hanya bertahan seperempat hari.
Karena nyatanya, Masya tak pernah betah mengabaikan abangnya seperti dia tak
pernah bisa mendiamkan Rio saat marah pada lelaki itu.
“Sekarang
maaf-maafan. Kaian kan puasa. Jadi gak boeh musuh-musuhan.” titah Ify sambi
memindahkan Rasya di pangkuannya.
Masya
angsung menguurkan tangan memina maaf sesuai yang diajarkan Rio saat anak iu
menjahii Rasya dan membuat abangnya gondok. Masya meminta turun dan angsung
memeuk tubuh abangnya era. Nyaris membuat mug Rasya tak terseamatkan yang sukses
membuatnya dan Rio terkekeh.
***
Next kakak ..
BalasHapusEmang deh keluarga Rify keluarga impian...
Kalau Masya ada di dunia nyata, habis deh itu anak aku ciumi... Gemeessss sama tingkahnya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDuhh keluarga ify emg keluarga idaman deh, punya suami soleh, penyanyang, bertanggungjawab, punya anak yang lucu dan pintar lagi #iri
BalasHapusTapi kurang seru kalau gag ada konflik yang woww gitu, yang bikin mereka berantem hebat, pasti seru deh #jahat haha.... Saran aja ya
Lanjut terus ya kalau bisa publisnya seminggu 2 kali #mengharap... Penasaran terus sama ceritanya...
Semangat nulisnya, aku tunggu kelanjutannya... :D
ah bahagia nya keluarga ini.
BalasHapusPengen ngumpulin tokoh2 nya terlebih si Kembar.
ayo lanjut ayo lanjut *demo hehehe
BalasHapuskak cerita Miss Jutek Ketemu cinta yg ada di FB gak bisa dibuka. Kalau boleh copy ke blog dong kak, please aku pengen banget bacanya.
BalasHapusSeriusan kak yg di FB gak bisa dibuka..
In shaa allah ya. Di usahainusahain :)
Hapus