Sabtu, 20 Juni 2015

HAVING BABIES? WHY NOT?! {SPECIAL RAMADHAN #A}

Belum ada niat baginya untuk mengalihkan perhatian dari kedua turunannya sejak meninggalkan area masjid tadi. Semenjak usia kembar memasuki angka 2, dia dan Rio mulai berani mengajak mereka turut menjalankan amalan sunnah sholat terawih di masjid ujung kompleks. Sebelumnya, dia dan Rio sepakat menyewa jasa perawat anak hanya saat mereka ke masjid. Bukannya kenapa, Rio yang memang lebih intens mewarawat anaknya begitu paham jika mereka akan rewel dan nantinya akan mengganggu fokus ibadah orang-orang. Namun jika jatah libur dalam sebulan ia dapatkan, perawat yang berusia sama seperti mama dan mertuanya itu juga istirahat dari merawat –lebih tepat menemani- anak-anaknya. Ya, walau sesibuk apapun dia dan Rio, mereka bersepakat untuk tetap pantang menyewa jasa bantu dalam menyelesaikan tugas rumah tangga kecuali keadaan mendesak seperti saat dia hamil besar, pasca melahirkan, dan saat event-event tertentu jika memerlukan.
Masjid di malam pertama terawih kali ini tak ada bedanya seperti bulan ramdaha tahun lalu dan sebelum-sebelumnya. Ramai dipenuhi oleh penghuni kompleks. Dia sendiri mendapat tempat di bagian belakang nyaris mendekati pagar masjid, padahal dia dan Rio meninggalkan rumah sebelum adzan isya’ berkumandang. Seperti tahun lalu, dia mengenakan mukenah yang sama persis dengan yang dikenakan Masya. Rio yang menyiapkannya tiap kali akan datang bulan ramadhan. Entah bagaimana pria itu mendapatkannya. Sedangkan sebagai balasannya, Rio meminta agar dia menyiapkan beberapa stel baju koko beserta sarung yang sama persis untuknya dan Rasya. Jadilah dia sering kali memandang penuh minat kembar mungilnya yang menggemaskan dengan kostum seragam saat pergi maupun kembali ke rumah seperti sekarang ini.
“Ayah, Abang yang buka ya.” pinta Rasya saat mereka tiba di depan halaman rumah, menengadahkan kedua telapak tangannya meminta kunci gembok pada Rio.
“Abang bisa?” tanya Rio mendekati Rasya yang berdiri dekat pagar.
Rasya menggeleng, “Ajarin, Yah.”
Rio mengangguk paham. Di belakang para lelaki itu, Ify melambai pada Masya yang menyandar pada pagar. Perempuannya berlari kecil menghampiri. Sigap dia menangkap tubuh mungil Masya dan membawanya dalam gendongan. Bersamaan dengan gerbang berhasil dibuka oleh tangan kecil Rasya yang dibantu oleh Rio tentunya.
“Abang hebat. Tos dulu.” ujar Rio mengulurkan tangan kanannya yang tak menahan tubuh Rasya dalam gendongan yang langsung disambut antusias.
“Masya juga bisa, Yahhh.” rengek Masya dalam gendongan Ify.
Tangannya meraih-raih tubuh Rio yang berdiri berhadapan dengannya. Ify hanya bisa menggeleng kepala melihat kecemburuan Masya. Dia lantas menurunkan Masya saat kaki-kaki kecilnya memberontak. Langsung saja bocah itu menubruk kaki Rio. Memeluknya erat.
Rio tertawa renyah. Menggemaskan sekali anak perempuannya ini. Seraya mencoba melepas lingkaran tangan Masya, dia berjongkok. Menurunkan Rasya yang hanya diam. Lalu menggiring kedua anaknya kembali tepat ke depan gerbang yang belum dikunci kembali.
“Sekarang Abang ajarin Adek yang tadi Ayah kasih tahu.”
Anak laki-lakinya mengangguk patuh. Lalu menarik tangan adiknya untuk mendekat. Meraih gembok sepasang dengan kuncinya yang menggelantung di pagar.
“Kalau ini mau ditutup gini, Adek putar ini ke kanan. Kalau dibuka, Adek putar ke kiri.” jelas Rasya dengan kalimat sedikit berantakan.
“Gitu kan Yah?” tambahnya menoleh ke belakang meminta kepastian benar-tidaknya yang ia jelaskan.
Rio mengangguk. “Sekarang Masya lakukan yang Abang kasih tahu.” suruhnya.
Ify langsung menyingkap mukenah Masya hingga memperlihatkan baju rumah bergambar frozen itu saat melihat Masya sedikit kesulitan mengeluarkan jemarinya. Dengan tangan Rasya yang turut andil, Masya berhasil menggembok gerbang yang setengah terbuka tadi lebih dulu ditutup rapat oleh Rio.
“Anak-anak Ayah sama Bunda hebat semua. Cium dulu.” puji Rio saat keduanya membalikkan badan.
Mereka menyambut bibir Rio yang menguncup siap untuk didaratkan sebuah ciuman sayang. Dalam sekejap, tubuh kecil mereka berada dalam pelukan Rio. Wajah keduanya tak terhindar dari ciuman-ciuman yang dilancarkan Rio. Membuat mereka terkikik geli. Di samping Rio, saat dia akan menambah serangan, Pria itu lebih dulu menyambar dengan memajukan muka dari balik kepala Masya. Rio tertawa puas dan berlalu melihatnya mematung. Dia mendengus. Pintar sekali Rio mencuri kesempatan tanpa diketahui oleh anak-anak mereka. Rasya tak melihat karena terhalang kepala Rio, sedangkan Masya tak tahu karena kepalanya dihimpit oleh kepala Rio.
“Sayang... kunci rumah di kamu kan?”
***
Suara gemericik air membuatnya terjaga. Sosok yang biasa dipeluknya tiap tidur menjelma menjadi sebuah guling. Masih setengah sadar, dia berusaha bersandar pada kepala ranjang bersamaan dengan pintu kamar mandi terbuka memunculkan sosok istrinya dalam balutan baju tidur terusan selutut dan tanpa lengan dengan wajah terlihat segar setelah membasuh muka.
“Kok udah bangun? Kebangun gara-gara Ify ya Kak?” tanya Ify beruntun sambil melangkah menghampirinya.
Dia tak menjawab, memilih mengulurkan tangan meminta Ify memeluknya. Wanitanya menolak dengan mengacung-ngacungkan telunjuk.
“Sholat malam yuk. Kalau bukan bulan ramadhan kita gak bisa tiap malam sholat karena susah bangun.”
Baru Rio sadar total. Kedua matanya membuka sempurna. Pantas saja Ify menolak untuk memeluknya barang sebentar. Dia mengangguk. Lantas menggerakkan kakinya menapak pada lantai kamar. Masih duduk di tepi ranjang, dia menundukkan kepala mengecup perut Ify di balik baju rumahannya yang mulai buncit cukup lama lalu mengusapnya berulang sebelum bangkit.
“Makasih udah ingatin aku, Sayang. Aku baru sadar beberapa hari terakhir absent sholat malam.”
Mendengarnya, Ify hanya tersenyum tipis. Dia sendiri juga terkadang tak setiap malam melaksanan sholat sunnah itu, baru semenjak hamil karena sering dibuat terjaga gara-gara mual dan efek hamil lainnya membuat dia cukup rutin menjalankannya.
Sedangkan untuk Rio. Beberapa hari terakhir memang menjadi hari tak mudah dia lewati rasanya. Dia berulang kali mensugesti pikirannya bahwa rintangan yang menghadang kali ini susah tapi bisa ditaklukkan seperti biasanya. Namun tetap membuatnya kewalahan, sampai-sampai pulang dari kantor sekitar hampir tengah malam itu dia langsung merebahkan diri setelah membersihkan tubuh tentunya. Dan sekarang, di bulan ramadhan yang ada kegiatan sunnah makan sahur ambillah kesempatan untuk menjalankannya dengan giat dan rutin agar setelahnya kembali terbiasa.
Sebenarnya tak ada alasan untuk tak melaksanakan sholat tahajud yang merupakan sholat utama setelah sholat-sholat fardu dikerjakan.
***
Dia maupun Rio seketika berhenti memindahkan hasil masakan yang dibuat bersama untuk sahur pertama saat mendengar suara nyaring yang memanggilnya. Rio menahannya ketika ia akan berlari kecil meninggalkan dapur sadar bahwa itu suara si kembar.
“Ayah aja yang ngurus mereka. Bunda lanjutin ini aja.” titah Rio sambil menaruh semangkuk sup dengan potongan-potongan kecil ayam dan sosis di dalamnya.
Sambil menahan senyum gelinya akan panggilan yang digunakan Rio, dia mengangguk lalu meneruskan memindahkan ayam goreng yang baru ia entaskan dari penggorengan. Membuat susu khusus bumil untuknya, dan teh hangat untuk Rio. Kegiatannya berakhir saat Rio kembali dengan Masya-Rasya dalam gendongan. Dia mendekat. Meraih Masya yang masih menguap kecil ke dalam gendongannya.
“Adek sama Abang kok bangun?” tanyanya yang sudah mengambil tempat di kursi yang berhadapan dengan jam di atas lemari es. Lima belas menit menuju pukul tiga.
Merapikan baju tidur Masya yang tersingkap hingga memperlihatkan celana dalam berwarna pink kesukaannya. Ya walaupun baginya, Masya-Rasya terbangun jam segini bukan hal baru. Sering kali salah satu dari mereka terjaga untuk sekedar meminta susu atau karena mendengar suara-suara di luar rumah. Tak heran jika sekarang sepasang mata keduanya membuka, terlebih suara-suara mengaji yang bersumber dari masjid ujung sana terus dikumandangkan. Menjadi alarm untuk sahur.
“Abang mau puasa Bun.” jawab anak laki-lakinya yang sudah duduk nyaman di pangkuan Rio berhadapan dengannya.
“Masya juga.” sahut bocah di pangkuannya.
Dia menatap Rio yang hanya tersenyum tipis.
“Yakin Abang sama Adek mau puasa?" tanya Rio memastikan.
Keduanya kompak mengangguk.
“Setengah hari aja ya. Nanti Abang sama Adek bisa makan lagi jam 12 siang. Terus puasa lagi sampai adzan maghrib. Gimana?” tawarnya hanya memberi mereka satu pilihan. Setengah hari atau tidak.
Dia masih merasa belum waktunya bocah 4 tahun lebih ini menjalankan puasa, apalagi puasa satu hari penuh. Setengah hari saja dia keberatan karena tak mungkin dia menolak keinginan anak-anaknya akhirnya dia memberidua opsi itu. Namun, dia bersyukur mereka mempunyai inisiatif sendiri untuk berpuasa sebelum dia dan Ify mengeluarkan kalimat ajakan atau paling banter perintah.
Sewaktu mereka masih usia 2-3 tahun dulu, tiap bulan ramadhan datang sering kali mereka menanyakan apa itu puasa. Kenapa ayah dan bunda tidak makan bersama mereka saat pagi dan siang hari. Kenapa pedagang kaki lima yang jarang absent melewati rumah mereka tidak terlihat lagi selama sebulan saat siang hari. Kenapa baru saat menjelang maghrib banyak orang berjualan di ujung kompleks dekat masjid sana. Dan banyak lagi kenapa yang mereka tanyakan.
“Bunda-Bunda-Bunda.” panggil Masya berulang sambil menarik tangan Ify.
Kala itu mereka berjalan-jalan santai di taman tak jauh dari perumahannya. Mereka berada di antara dirinya dan Ify. Dia turut menoleh mendengar suara melengking milik Masya yang hampir mirip dengan suara Ify saat menjerit.
“Kenapa, Sayang?” sahut Ify.
“Kok sepi sih Bun? Pak lele itu gak ada. Pak Bubul Ayam juga gak ada.” tanya Masya cadel mengabsent penjual lalapan –berhubung Masya sering menyantap lele di sana penjualnya dipanggil Pak Lele- dan penjual bubur ayam.
“Sekarang sampai 29 hari nanti, Pak Lele dan Pak Bubur Ayam baru ada jam 5 sore.” jelas Ify pelan-pelan dengan bahasa yang sekiranya bisa ditangkap dengan mudah oleh anak usia 3 tahun. Mengambil penjelasan umum.
“Kenapa Bun?”
“Karena sekarang puasa, Sayang.” giliran dia yang menjawab.
“Puasa itu apa, Yah?” sekarang Rasya yang bertanya.
“Puasa itu kita menahan makan dan minum dari waktu sahur sampai waktu buka nanti.”
Buru-buru dia menambahkan ketika kernyitan dahi anak-anaknya bertambah.
“Waktu sahur itu sekitar jam 3 atau 4 pagi tadi waktu Abang sama Adek bangun dan lihat Bunda sama Ayah Makan. Ingat gak?”
Kepala mereka mengangguk berbarengan.
“Dan waktu buka sekitar jam 6 sore nanti.” lanjutnya sambil mengangkat jari-jarinya menunjukkan angka-angka yang ia sebutkan.
Anaknya diam beberapa saat melihatnya dan Ify bergantian. Ice cream yang mereka genggam sementara dianggurkan.
“Kok Abang sama Adek makan Bun, Yah?” tanya Rasya menunjuk ice creamnya.
“Belalti Adek sama Abang gak puasa?” tambah Masya.
Sebelum menjawab, dia dan Ify membawa mereka ke tempat yang lebih teduh mengingat mereka berbincang saat berjalan mengitari taman dalam posisi berdiri pula. Duduk bersila dengan Masya di pangkuannya, dan Rasya bersama Ify.
“Adek sama Abang gak puasa karena masih kecil.” jawab Ify mengelus puncak kepala Rasya dan Masya bergantian.
“Kalo kecil gak boleh puasa, Bun?” Masya masih terus melancarkan pertanyaan. Belum puas ternyata.
“Bukan gak boleh, Sayang. Tapi belum waktunya.”
Ify menatapnya menyerah bagaimana lagi menjelaskan pada anak-anaknya melihat keduanya memasang wajah bingung atas jawaban-jawabannya. Dia terkekeh melihat ekspresi Ify.
“Begini, Sayang. Abang dan Adek bukan gak boleh puasa. Kalian boleh puasa tapi nanti. Kalau sekarang, memangnya Abang sama Adek bisa kalau gak minum susu seharian? Gak boleh makan masakan Bunda seharian? Gak bisa makan ice cream seperti sekarang?”
Dia menanti respon keduanya atas penjelasannya. Tak lama serempak mereka menggelengkan kepala. Kembali menyantap ice creamnya. Biarlah untuk sekarang hanya itu yang dapat ia jelaskan mengingat mereka masih belum bisa menerima penjelasan yang lebih berat. Di usia ke depan dan ke depannya lagi dia dan Ify akan berkolaborasi memberi penjelasan yang lebih detail. Jadilah pertengahan siang itu mereka habiskan dengan obrolan mengenai bulan ramadhan dan pernak-perniknya.
“Masya gak mau oren-oren itu, Bunda.” ujar Masya saat ia menuangkan sup pada piring favorite Masya yang sudah terisi nasi dan paha ayam.
“Loh. Ini enak, Sayang. Bisa buat mata Masya sehat.” balasnya tetap tak menyingkirkan oren-oren yang dimaksud Masya, yaitu potongan wortel.
“Mata Masya kan gak kenapa-napa Bunda. Masya gak mau itu, keras.” kekeh Masya merengek dalam pangkuannya, membuat dia jadi susah bergerak.
“Loh kata siapa keras?” tanyanya heran.
“Waktu itu Masya makan punya Ayah. Keras Bunda.”
Di hadapannya Rio sontak tertawa mendengar kalimat Masya yang ambigu. Ify meliriknya tajam. Kalau tak salah lihat, sempat muncul semburat merah di kedua pipi Ify. Ify mendengus tertahan. Dia tahu yang dimaksud Masya adalah wortel yang selalu ia sediakan di meja kerja Rio tiap hari senin dan kamis sebelum menjelang tidur malam. Rio suka sekali nyemil wortel mentah berharap minus matanya tak bertambah, syukur-syukur berkurang. Ya memang tak enak. Sedikit keras. Dia pun tak suka. Setengah matang saja tak suka, apalagi yang mentah total?
“Wortel yang di meja Ayah itu kan belum dimasak, Sayang. Kalau yang ini udah dimasak jadi gak keras. Mau ya? Tuh lihat Abang makan wortelnya.” tuturnya sambil menunjuk Rasya yang sudah melahap makanannya.
“Adek makan. Abang suka, Adek pasti suka. Nih.”
Syukurlah anak laki-lakinya turut membantunya membujuk Masya. Setengah berdiri di pangkuan sang ayah, Rasya mengulurkan sendok dengan dua potongan wortel kecil di atasnya. Masya menerimanya dengan baik. Di kunyah beberapa kali. Masih belum menunjukkan tanda-tanda ketidaksukaan hingga wortel itu tertelan dengan sempurna.
“Enak. Bunda lagi.”
Fyuhhh... Ify menghela nafas lega. Dia memilah oren-oren yang sekarang disukai Masya itu dari sayur lain yang memenuhi mangkok. Baru dia menyentuh makanannya.
***
Ify mengelap noda kuah yang menempel di sekitar mulut Masya saat piring perempuan itu tak tersisa sebutir pun nasi. Meraih segelas air mineral yang berada di depan piring Masya. Menyentuhkan ujung gelas pada bibir bawah Masya. Menggiringnya untuk meneguk isi gelas. Tangan mungil itu turut melingkupi badan gelas. Di hadapannya, Rasya masih akan menghabiskan isi piringnya yang tertinggal seperempat isi dengan Rio mengelus puncak kepalanya sejak isi piring pria itu kandas.
“Ayah.” panggilnya setelah meletakkan gelas yang tersisa separuh isi.
Rio mendongak, mengangkat sebelah alisnya.
“Bunda minta tolong bikinin Adek sama Abang susu ya, Yah. Gak papa kan?” pintanya lengkap dengan senyum manisnya.
Tampak Rio menegakkan punggung dari sandaran kursi. Mengangguk singkat.
“Abang ikut, Yah.” pinta Rasya ketika Rio mengangkat tubuh kecil itu untuk dipindahkan di kursi sebelahnya.
Menaruh sendok sembarangan, buru-buru merangkul leher Rio. Mengundang kekehan darinya dan Rio. Pria itu kembali duduk. Berdeham sejenak.
“Abang habisin dulu.” titahnya dengan nada rendah. Membalikkan tubuh Rasya kembali menghadap piringnya.
“Udah habis, Yahhh.” rengek Rasya.
Dia menggeleng tegas. “Ayah udah bilang ke Abang sama Adek kan kalau makan itu harus benar-benar habis. Kalau masih sisa kayak Abang begini masih bisa dihabisin lagi. Abang, kita gak tahu letak keberkahan makanan itu di mana. Bisa aja kan berkahnya makanan di butir-butir nasi yang diabaikan Abang ini. Maka dari itu, kalau makan sebisa mungkin dihabisin.”
Anaknya diam. Berhenti memberontak dalam pangkuannya.
“Memangnya Abang udah kenyang sampai gak mau habisin sisanya ini?”
Rasya menggeleng. Dia tersenyum tipis.
“Nah apalagi Abang masih sanggup buat habisin ini. Jadi harus dihabisin ya, Nak.” akhirnya mengusap rambut Rasya.
Dia mengambil alih sendok Rasya dan mengumpulkan butir-butir nasi itu ke tengah piring. Kira-kira tinggal dua kali suapan. Lantas diangsurkannya sesendok nasi serta cuilan daging ayam itu ke depan mulut Rasya. Laki-laki itu langsung menyantapnya.
“Abang mau ikut bikin susu buat Adek.”
Suara amat lirih itu masih sanggup tertangkap indra pendengaran. Terenyuh? Pasti. Penuh sayang, diciumnya pipi Rasya sembari mengulurkan suapan terakhir. Lantas bangkit dengan mendekap erat punggung kecil itu. Menciumi wajah duplikasi istrinya itu bertubi-tubi hingga mendekati lemari dapur.
Ify memandang bingung keduanya. Entah apa yang digumamkan Rasya setelah Rio menasehatinya sampai-sampai pria itu tak berhenti menciumi anak lelakinya. Manik matanya mengikuti gerak-gerik Rio dan sang putra mahkota hingga tak sadar Masya sudah berdiri di atas pangkuannya. Memeluk lehernya erat.
“Yah.” panggilnya menoleh sekilas seraya mulai menaruh piring-piring kosong itu ke wastafel dekat kompor.
“Hmm?” jawab Rio memandangnya dengan tangan masih mendekap Rasya yang mulai mengaduk dua mug kecil di hadapannya.
“Bunda sama Adek tunggu di ayunan depan ya.” ucapnya yang langsung disambut anggukan dari Rio.
***
“Bilang apa sama Ayah dan Abang udah dibuatin susu?” pancing Ify setelah Masya yang duduk di sampingnya menerima uluran mug dari Rasya.
“Makasih Ayah. Makasih Abang.” seru bocah itu dengan senyum lebar khas miliknya.
Baik Rio maupun Rasya menyahut bersamaan. Kemudian mengambil tempat di depannya dan mulai menggerakkan ayunan berhadapan itu perlahan. Interaksi bocah-bocahnya dimulai dengan Rasya yang meminta merasakan susu vanila Rasya dan meminta –lebih tepat memaksa- Rasya untuk menegak susunya. Mungkin saking gemasnya, Rasya sampai mendelik menyuruh Masya berhenti memaksanya. Laki-laki itu tak suka rasa coklat entah alasannya dia tak sempat menanyakan. Akhirnya dia turun tangan melerai perdebatan kecil itu.
“Abang tadi bilang kalau Abang suka, Adek suka. Masya suka susu coklat kok Abang gak mau. Huh.” gerutu Masya yang sudah ia paksa duduk tenang kembali.
“Itu kan punya Adek, ya Adek yang minum.”
“Itu punya Abang, tapi Masya juga minum. Masya mau minum punya Abang, Abang kok gak mau minum punya Masya?”
“Karena itu punya Masya.”
“Tapi Masya kan ngebolehin Abang minum.”
Rasya tak menyahut lagi. Malah kembali menikmati susu vanilany yang tinggal sekali tegukan.
“ABANGGGG.” teriak Masya melihat Rasya yang cuek-cuek saja.
Rio mengirim sinyal padanya untuk membawa Rasya ke sisinya sedangkan Rio sudah mengangkat tubuh Masya dan menaruhnya di atas pangkuan. Mengusap punggung kecil itu merasakan nafasnya yang memburu. Mimik wajahnya sudah menunjukkan tanda-tanda akan menangis. Setelah cukup tenang, dia berdeham sebelum memulai dakwah lisannya.
“Sesama saudara itu harus akur. Biasanya anak-anak Ayah sama Bunda ini akur-akur aja, kok tiba-tiba tengkar?”
“Abang gak mau minum susu coklat Masya, Ayah.” adu Masya.
Rio menghela nafas. Menangkup pipi gembul anak perempuannya.
“Dengerin Ayah. Gak semua yang Masya minta dan perintahkan itu dituruti sama Abang. Ada yang Abang gak suka dan Masya gak boleh maksa.”
“Tapi tadi Masya gak suka wortel, Abang nyuruh Masya suka wortel.”
“Abang gak nyuruh Masya dan Abang gak maksa Masya. Masya sendiri yang langsung suka wortelnya setelah disuapin Abang. Ya kan?”
Masya mengangguk. Rio menyentuh tangan mungil yang memegang erat mug kecil itu dan membawanya mendekati bibir Masya. Ify tersenyum tipis. Rio selalu berhasil membuat kembar kesayangan mereka takluk dan mencerna kalimat-kalimat nasehatnya. Kata siapa anak yang tak merasakan ASI atau dari kecil hanya dicekoki susu formula tumbuh menjadi anak yang sulit diatur? Terbukti Masya dan Rasya yang tak pernah merasakan ASI darinya dikarenakan usia yang masih baru matang membua ASInya susah untuk dikonsumsi, alhamdulliah hingga usia mereka sekarang masih patuh akan setiap kata-katanya dan Rio. Semua tergantung pola asuh yang diberikan. Segala bentuk pola asuh yang diterapkan memberi dampak yang berbeda. Kalau baik, ya akan menghasikan produk yang baik. Begitu pun sebaliknya.
“Abang juga gak baik nggak peduli sama Adek.” Giliran dia menasehati anaknya yang kalem ini.
“Abis Adek cerewet sih Bun. Maksa Abang lagi. Adek kan tahu Abang gak suka susu coklat.”
Ify menghembuskan nafas pelan. Mengusap puncak kepaa Rasya berulang.
“Adek mungkin lupa kalau Abang gak suka susu cokat. Abang kan juga pernah lupa kalau Adek gak bisa bobok sendiri, tapi pernah Abang tinggal dan tidur di kamar Ayah dan Bunda.” jelasnya.
Rasya mengangguk setelah cukup lama bungkam. Anak itu memang pernah meninggalkan Masya tengah malam saat terjaga karena haus dan tak ada persediaan minum. Dia pergi ke kamarnya dan Rio mengambil minum di atas nakas, dan tak kembali ke kamar malah mengambil tempat di antara dia dan Rio dan melepas pelukan Rio padanya. Pagi-pagi sekali bisa ditebak, Masya nangis meraung-raung dan sempat ngambek tak mau bermain dengan Abang tapi hanya bertahan seperempat hari. Karena nyatanya, Masya tak pernah betah mengabaikan abangnya seperti dia tak pernah bisa mendiamkan Rio saat marah pada lelaki itu.
“Sekarang maaf-maafan. Kaian kan puasa. Jadi gak boeh musuh-musuhan.” titah Ify sambi memindahkan Rasya di pangkuannya.
Masya angsung menguurkan tangan memina maaf sesuai yang diajarkan Rio saat anak iu menjahii Rasya dan membuat abangnya gondok. Masya meminta turun dan angsung memeuk tubuh abangnya era. Nyaris membuat mug Rasya tak terseamatkan yang sukses membuatnya dan Rio terkekeh.
***


7 komentar:

  1. Next kakak ..
    Emang deh keluarga Rify keluarga impian...
    Kalau Masya ada di dunia nyata, habis deh itu anak aku ciumi... Gemeessss sama tingkahnya.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Duhh keluarga ify emg keluarga idaman deh, punya suami soleh, penyanyang, bertanggungjawab, punya anak yang lucu dan pintar lagi #iri
    Tapi kurang seru kalau gag ada konflik yang woww gitu, yang bikin mereka berantem hebat, pasti seru deh #jahat haha.... Saran aja ya

    Lanjut terus ya kalau bisa publisnya seminggu 2 kali #mengharap... Penasaran terus sama ceritanya...

    Semangat nulisnya, aku tunggu kelanjutannya... :D

    BalasHapus
  4. ah bahagia nya keluarga ini.
    Pengen ngumpulin tokoh2 nya terlebih si Kembar.

    BalasHapus
  5. ayo lanjut ayo lanjut *demo hehehe

    BalasHapus
  6. kak cerita Miss Jutek Ketemu cinta yg ada di FB gak bisa dibuka. Kalau boleh copy ke blog dong kak, please aku pengen banget bacanya.
    Seriusan kak yg di FB gak bisa dibuka..

    BalasHapus