Jumat, 24 April 2015

ONESHOOT OF NIKAH DINI? WHY NOT?







Hello semua...
Sebelumnya, gue mau tanya, ada yang nyadar gak kalau endingnya NDWN, masalah settingannya ada yang ngeganjal. Kesannya tempat persembunyian yang ada di sekolah Rify, deket dari rumah keduanya, padahal beda kota. Hahaha yoweslah sudah tertulis, wes kasep(?).
Actually, gue bingung mau nulis tentang mereka dengan alur yang bagaimana. Bingung pilih kehidupan mereka yang sebelum punya si kembar atau udah. At least, gue pilih jalan cerita yang gue tulis berikut ini. Ya udah lah ya, semoga menghibur dan bisa menguapkan rindu kalian ke mereka.
No editing after writing this story. Hati-hati ada ranjau...
&
&
&
Ify belum berhenti merenggut sejak sore tadi dia menyiapkan keperluan yang akan dibawanya selama proses KKN. Bukannya berusa  membujuk, dia malah bersikap seperti tak ada apa-apa. Anggaplah hiburan untuk cadangan obat rindu ketika waktu bertemunya dengan Ify tidak seinsten biasanya. Bahkan sepertinya sebulan penuh dia tidak akan berjumpa secara langsung.
“Mau makan gak?” tanyanya melihat Ify seperti tak ada niatan menyentuh masakannya.
Biasanya Ify yang mempersiapkan makan malam semenjak keahlian masak gadis itu mulai meningkat pesat karena terus berlatih tiap ada kesempatan. Berhubung Ify lagi dalam kondisi ‘ngambek’, alhasil dia lagi yang masak dan mempersiapkan semuanya. Tapi Ify tak pernah ngambek separah ini sampai mogok masak dan melayaninya. Apa candaannya sudah keterlaluan?
“Mau gak mau.” jawab Ify sekenanya.
Sebenarnya malas mau jawab, tapi bukankah tidak menghargai suami itu dosa? Nah loe dari tadi manyun-manyun mandang sinis Rio itu namanya apaan Fy? Bodo’ amat! Rio udah kelewat bikin gedhek. Ceritanya tuh begini. Rio besok berangkat ke pelosoknya Bandung untuk KKN. Dia tanya sekaligus memperingatkan.
“Mmmm Kak, kata teman Ify, kalau KKN itu banyak yang cinta lokasi ya? Malah sampai ada yang bikin singkatan KKN itu kisah-kasih nyata. Kakak hati-hati loh ya, gak usah macam-macam.”
“Ya tergantung sih, tapi rata-rata gitu. Kalau masalah jaga hati, ya aku lakuin dari dulu, Sayang. Tapi yang namanya takdir Tuhan itu siapa yang tahu kan? Kalau pun nanti aku cinlok di sana anggap aja aku lagi beruntung.”
“Ishh Kakak! Kakak harus ingat kalau udah punya istri. Istri Kakak itu Ify.”
“Lah yang bilang kamu bukan istri aku itu siapa? Ya udah sih, kalau kita jodoh gak bakal pisah. Ya kalau pisah berarti gak jodoh.”
“Tapi Ify gak mauuu kalau gak jodoh sama Kakak. Ya ampun Kak Rio doanya loh.”
Setelah begitu, Rio keluar kamar. Meninggalkannya yang mencak-mencak di atas ranjang. Kalau tak ingat dia benar-benar jatuh ke pelukan Rio, gelas kosong di atas nakas udah ngebentur kepala Rio dengan tampannya.
“Ya udah kalau gak mau makan.” ucap Rio mulai menyuapi makanannya.
Ify mendengus. Memangku tangan di atas meja dalam kondisi terlipat. Menatap tajam sosok di hadapannya yang masih merasa tak berbuat salah padanya. Pikirannya dipenuhi dengan hal-hal buruk yang kemungkinan besar menimpa kisah cintanya dan Rio. Melihat daftar anggota kelompok KKN Rio yang telah ditentukan oleh pihak kampus, membuatnya menelan ludah. Jumlah cowok dan cewek sama, kalau ‘cinta lokasi’ itu terjadi, gak ada yang gak kebagian. Terbagi secara rata dan adil. Lama-lama yang awalnya tatapan bengis, jadi sayu dan berkaca-kaca.
Tak tahan membiarkan Ify terus bergelut dengan pikiran buruknya sendiri, Rio menghentikan kegiatan makannya. Menatap kedua mata Ify yang sukses membuatnya senyum-senyum geli. Dia bangkit dari kursi. Membungkuk lebih condong ke arah Ify. Memberikan kecupan cinta di kedua mata Ify. Duduk kembali. Melipat tangan dan menatap gadisnya menggoda.
“Sampai kapanpun yang aku beri kecupan seperti itu cuma kamu dan anak kita nanti.” ucapnya lantas menyandarkan tubuh di sandaran kursi setelah sebelumnya memberi jarak anatar kursi dan meja. Merentangkan kedua tangan, meminta Ify memeluknya.
Di sela isakannya Ify tertawa pelan. Dia kembali menjadi korban jahilnya Rio. Dan berharap seterusnya dialah yang hanya menjadi satu-satunya korban. Masih tak berniat menghentikan tangisannya, dia beranjak. Berlari-lari kecil memutari meja ke arah Rio. Langsung menerjang dan menempatkan diri di pangkuan Rio. Memeluknya erat. Barulah tawa lepas Rio terdengar.
“Kakak rese’.” lirih Ify berhasil membuat tawanya makin menggelegar.
Dia tak membalas pelukan Ify. Membiarkan kedua tangannya menggantung di sisi kanan-kiri tubuhnya. Baru mengusap punggung kecil itu saat kepala Ify beranjak dari lekukan lehernya. Sebelah alisnya naik, dia main-mainkan bersamaan senyum jahil mengembang di wajahnya.
Bila di depan nanti
Banyak cobaan untuk kisah cinta kita
Jangan pernah menyerah
Kau punyaku
Ku punya kamu
Selamanya kan begitu
Nyanyian sepenggal lagu darinya seiring usapannya melenyapkan bekas jalur air mata di kedua pipi Ify. Lalu menjawil pipi gembul yang tertarik oleh lekukan ke atas bibir itu. Menggoyang-goyangkannya dengan gemas. Dia masih merasa lucu dengan tingkah lucu Ify yang ngambek gara-gara KKN. Lebih tepatnya jawabannya atas pertanyaan tentang sesuatu di balik KKN yang sedang booming dibicarakan.
“Udah tenang, Dear? Pikiran kotornya udah kebuang?” tanyanya lembut.
Ify menggeleng. Dia mendengus geli.
“Apa lagi yang bikin gak tenang, hmm?”
Bibir ranum Ify kembali manyun, dia lekas mengecupnya. Seperti biasa, Ify mendelik setengah hati.
“Turun!” perintahnya.
Dia turut beranjak dari kursi. Menuntun Ify ke arah kamar mandi dekat dapur. Berhenti depan kaca yang tertempel di atas wastafel. Menghadapkan tubuh Ify ke kaca dan mencengkram lembut kedua bahu Ify dari belakang.
“Perhatikan ini baik-baik.” pintanya
Ify diam. Seperti yang diminta, dia memperhatikan apa yang dilakukan Rio. Sambil menumpu dagu pada bahu kirinya, punggung jemari kanan Rio menelusuri lekuk wajahnya secara perlahan. Berusaha dia menahan geli. Jemari itu baru berhenti tepat di bawah dagu tirusnya.
“Kamu tahu, kamu itu cewek dengan fisik di atas standar, Cinta. Banyak yang ngejar-ngejar kamu. Bahkan kamu dinobatkan jadi primadona di jurusan kamu. Bego kalau aku beralih dari kamu.”
Statusnya sebagai suami Ify, membuat gadis itu jarang menerima pujian cantik secara langsung atau terang-terangan dari para lelaki. Dia yang sering panas saat nama Ify beserta jiwa dan raga Ify dibawa-bawa dalam sebuah percakapan khayalan lelaki dewasa. Tak sedikit mengatakan Ify itu bidadari dari kayangan, barbie hidup, princes dunia nyata, dan banyak lainnya yang berhasil mengangkat Ify sebagai primadona jurusan, bahkan sudah terdengar di tingkatan universitas.
“Yang cantik tetap kalah sama yang bikin nyaman, Kak.” sanggah Ify.
Dia tersenyum sinis. “Emang kamu ngerasa gak pernah bikin nyaman aku?”
Dia melepas sentuhannya. “Kalau kamu gak bikin nyaman, ngapain aku nikahin.” ketusnya langsung berlalu.
 Ify menelan ludah. Dia menumbuhkan masalah nih. Segera dia berlari kecil. Memposisikan diri di depan Rio. Langsung menubruk dada bidang itu dan melafalkan kata maaf. Dia dapat merasakan nafas Rio yang memburu. Tanda menahan marah. Seperti biasa, dia mengusap-usap dada Rio hingga tarikan nafas Rio kembali normal. Tak ada tindakan memberontak dari pemilik tubuh. Hingga sudah cukup normal kembali, dia mendongak. Mengalungkan lengan di leher Rio. Menurunkan pandangan yang lurus ke depan tepat ke wajahnya. Takut-takut dia membalas tatapan datar Rio.
“Maaf. Gak lagi Ify kayak gini. Ify percaya Kakak.”
Tatapan Rio masih sama. Beberapa menit sebelum akhirnya Rio mengangguk, keduanya terkurung oleh keheningan yang menegangkan. Susah payah Rio menahan senyum melihat ekspresi Ify yang ketakutan. Jika sampai dia tak bisa mengendalikan, adegan marah gak jelas seperti ini dapat dipastikan berlanjut hingga esok.
“Ya udah, sekarang udah tenang kan?” masih datar.
Masih dengan posisi yang sama, Ify mengangguk.
“Lanjut makan! Dan kamu harus makan.” Tetap datar.
Ify mengangguk cepat.
“Mau aku suapin gak?”
Baru ini dengan mudah Ify mengembangkan senyum lega. Memamerkan gigi sambil mengangguk kegirangan. Dia melepas pelukannya. Berjinjit. Mencium lembut bibir Rio dan segera berlalu menuju meja makan. Rio terkekeh pelan. Geleng-geleng kepala melihat Ify yang dengan semangat menuangkan nasi dan lauk lebih banyak di piring yang masih tinggal seperempat isi miliknya tadi. Kalau tak ingat janjinya pada Ify terlebih dirinya sendiri untuk tak menyentuh Ify lebih intim yang seharusnya sudah sangat dibolehkan dilakukan, bisa dipastikan semalaman dia dan Ify tidak tidur. Yo! Please, jeda dulu kerja otak mesum loe!
***
Tiga hari berlalu dari keberangkatan Rio. Jika dulu dia ditinggal cuma tiga hari, kondisinya udah macam vampire dihadapin sama pemilik darah suci tapi gak boleh ngisep, tapi untuk sekarang –berkat beberapa tahun berjalan dengan Rio yang terus-terusan merantau menjalankan proyek anywhere, membuatnya terlatih ditinggal Rio untuk sementara- ya seenggaknya gak separah dulu. Berlari kecil dia menuruni tangga. Menghampiri Qirana yang sedari tadi menyerukan namanya macam orang lagi orasi meminta kenaikan uang saku ke orang tua. Seperti hari-hari biasa tanpa Rio, dia menyuruh Qirana menetap di rumah. Hari ini mereka memiliki wacana merampok dengan hormat barang-barang yang ada di mall. Semoga tak hanya jadi wacana.
“Cepet banget sih loe dandannya.” sindir Qirana yang sudah siap di depan stir mobil.
Dia nyengir. Merapikan sekali lagi rok kembang selututnya yang dipadukan dengan kaos dengan entitas sama seperti yang dikenakan Qirana. Semenjak ditetapkan tanggal jadian mereka sebagai sepasang sahabat yang mengoarkan janji walaupun nantinya berpisah jalan setelah lulus, tetap akan bersama, keduanya bersepakat membeli seragam berupa kaos sebagai Pakaian Dinas Lapang disingkat PDL persahabatan mereka. Mobil meninggalkan bekas pijakannya setelah dia meminta Pak Mur melaksanakan tugas menjaga rumah dengan baik dan benar.
“KKN sebulan ya Fy?” tanya Qirana saat mobil sudah keluar dari daerah gang perumahan.
“Lebih tepatnya selama liburan. Gue gak ngitung kita libur berapa hari.” jawabnya sekenanya, terus berkutat dengan gadgetnya sejak masuk mobil.
“Kak Rio gimana?” tanya Qirana lagi.
Ify mendengus. Dia tak suka jika kegiatannya mendapat gangguan dari sana-sini dalam bentuk apapun. Terpaksa dia menyudahi bbm-annya dengan Sivia yang sekarang masih berkutat dengan design bajunya yang akan diajukan sebagai tugas UAS. Melempar pelan tas selempangannya ke bagian kursi belakang, lalu bersandar dengan nyaman.
“Gimana apanya?” tanyanya balik. Kali ini menatap si pengajak bicara.
“Belum nyeleweng?”
“Bacot loe, Ran.” ceplosnya mendelik pada Qirana yang tertawa.
Songong nih Qirana. Mentang-mentang status mereka sudah naik level menjadi sahabat, jadi seenak udel ngebacot. Ya... sahabat bukannya gitu kan? Kalau masih sok-sok sungkan, bukan sahabatan.
“Masih rutin ngubungin loe?”
Dia tersenyum lebar, “Masih lah. Tiap pagi, siang, dan malam. Jadi sekarang sarapan, makan siang sama makan malam gue double.”
“Paling juga bertahan cuma seminggu.” remeh Qirana menahan senyum.
“Ya Allah, doa loe Rannn.”
Kesal, Ify meraih bantal unicornnya di kursi belakang. Menemplokkan beberapa kali ke tubuh Qirana.
“Udah woy. Loe mau kita mati?” ucap Qirana setengah berteriak.
“Ya elo sih rese’.”
Di sampingnya Ify kembali duduk bersandar dengan bibir bergerak menggerutu kelakuannya. Dia tertawa.
“Ya elah Fy, gak usah ditanggap serius kali. Asal loe tahu aja, Kak Rio gak pernah berhenti minta kepastian soal kondisi loe tiap dia terpaksa ninggalin loe. Udah deh, gak bisa ngejelasin gue gimana cintanya Kak Rio ke loe, apalagi elo yang istrinya yak.” tutur Qirana.
Dengan gerakan cepat dia menoleh. Mendapati Qirana tersenyum sambil alisnya dimain-mainin. Sekali dia menamplok bahu Qirana dengan unicornnya, lalu menutup wajah. Semburat merah mulai mewarnai wajahnya perlahan sejak penuturan Qirana tadi. Sialan Qirana! Tadi bikin gedhek gara-gara bacotannya yang tanpa dipikir, sekarang bikin tenang dengan ngebeberin aksi Rio dibelakang penglihatannya(?).
Persahabatan...
Habis nyeplas-nyeplos yang gak ngenakin, terbitlah penenang dalam bentuk bermacam-macam sebagai tanggung jawab moral persahabatan.
***
“Loe bisa gak sih gak mondar-mandir depan gue. Kalau mau mondar-mandir di belakang gue.”
“Belakang loe tembok, Ran.”
“Ya di balik temboknya, Fy.”
“Balik tembok toilet. Basah. Bisa-bisa gue kepleset.”
“Ya keringin dulu Fy. Ribet amat loe.”
Mendadak Ify berhenti. Menepuk bahu Qirana dengan boneka stich ukuran sedang yang ada di kamar tamu biasa digunakan Qirana saat nginap. Meskipun sudah berkali-kali Ify memaksa Qirana untuk tidur dengannya di kamarnya dan Rio, berkali-kali pula Qirana menolak. Alhasil dia juga tidur di kamar tamu. Sekarang keduanya lagi sibuk dengan kegiatan masing-masing. Qirana menempel di tembok dengan gadget digenggamannya dalam kondisi tergantung pada charger. Dia sempat mengajukan proposal meminta Ify memindahkan stop kontak ke tempat yang strategis –dekat kasur- atau menyediakan kabel roll. Di tolak! Alasan Ify cukup logis, jangan menaruh gadget, smartphone atau HP di tempat kita akan tidur. Nyari mati.
“Kenapa sih loe?” tanya Qirana yang sudah bisa melepaskan sebentar gadget dari genggamannya.
Ify duduk di tepi ranjang. Menghadapnya. Memasang wajah menyedihkan. Kayaknya ada hubungannya sama Rio nih.
“Kak Rio gak jadi pulang minggu depan. Masih 2 minggu lagi KKNnya kelar.” lirih Ify.
“Yaelah, gue kirain Kak Rio kenapa. Ya udah sih, tahan dikit lagi kangennya.” balas Qirana melanjutkan kembali ngutak-ngatik gadget.
“Loe mah enteng ngomong begitu. Gak pernah rasain sih kangennya sama orang yang kita cintai dan kita tunggu-tunggu kehadirannya.” gerutu Ify.
Qirana mendelik, “Heh! Loe lupa tunangan gue juga KKN sekarang.”
Ify menepuk jidat. Lupa dengan kenyataan sebelum KKN berlangsung, sosok yang mengagumi Qirana diam-diam, tiba-tiba datang menemui kedua orang tua gadis itu untuk meminta izin berta’aruf. Pemuda itu berasal dari fakultas teknik, jurusan teknik informatika. Sepantaran dengan Rio. Alhasil, seminggu sebelum keberangkatan, pemuda yang masuk dalam daftar cowok idaman wanita normal(?) itu resmi melamar Qirana. Kok dia bisa lupa ya. Wajar sih, Qirana anteng-anteng aja meskipun sedang tak bersama orang yang biasa menemani sehari-hari. Maklum, Qirana baru sekarang tahu rasanya bersama dengan sosok yang benar-benar diidam-idamkan. Itu juga bersamanya paling banter tatap muka, tukar senyum, saling lambai tangan. Udah selesai. Gitu doang. Nah dia? Minimal saling meremas tangan, eh malah dilepas begini, kan jadinya kek lagi ngadepin ujian lisan anatomi.
“Terus gimana?” tanyanya.
“Jalan-jalan yokk. Mau gak loe gue ajak ngunjungin sahabat-sahabat gue yang di Kota Malang? Maksimal seminggu kita jalan-jalan cantik di sana.” tawar Qirana.
Tanpa mikir panjang, Ify mengangguk. Dia butuh kegiatan menghabiskan libur UAS kali ini tanpa Rio.
Temani aku rasakan cinta...
Hatiku resah...
Temani aku rasakan rindu...
Hatiku gelisah...
Suara merdu milik Rio yang dia rekam saat Rio menina-bobokan dirinya yang tengah rewel gara-gara pusing mikirin ketemu cadaver –buat praktek- gak selesai-selesai berbunyi pertanda panggilan dari Rio.
“Angkat cepet. Minta izin sekalian.” suruh Qirana.
“Loe juga.” balasnya sambil menekan tombol terima.
“Gampang.”
Ify mengacungkan jempol. Dia menyingkir menuju balkon kamar. Angin sepoi-sepoi menerjang wajahnya dengan anggun. Bintang-bintang dapat dihitung menari-nari di sana. Padahal bintang cuma diam doang. Gak kelihatan goyang-goyang. Di bilang menari-nari. Bulan lagi separuh, separuhnya muncul nunggu vampire sama serigala berantem. Minimal adu bacot. Adu tatapan bengis, yang pasti gak ngadu ayam. Coba ada Rio, pasti ada aja yang diomongin. Ada aja rangkaian kata-kata menggambarkan kondisi malam ini yang jatuhnya ngegombalin dia. Duh kangen kan.
“Maaf ya tadi siang gak sempat ngubungin kamu.”
Ify mengangguk, cepat-cepat bersuara saat sadar Rio tak melihatnya.
“Iya. Kakak di mana sekarang? Masih di luar?”
“Baru aja balik.”
Hening...
“Dear?”
“Iya Kak.”
“Aku baru sadar, minggu depan anniv pernikahannya kita ya?”
Ify buru-buru balik ke dalam kamar. Mandangin kalender yang ada di atas nakas. Benar, 7 x 24 jam lagi usia pernikahan mereka nambah usia jadi 2 tahun. Ibarat bocah, udah bisa manggil mama-papa dan berlari-lari dengan baik.
“Iya. Kakak gak bisa pulang bentaran?”
Helaan nafas terdengar di seberang sana.
“Kakak usahain ya, Sayang. Kalaupun nanti gak bisa, kita rayainnya telat beberapa hari gak papa kan?”
Ify mengangguk, menepuk jidat menyadari kebodohannya.
“Gak papa sih Kak. Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya? Hmm? Coba sebutin. Pasti dengan mudah Kakak penuhi semua.”
Ify tertawa kecil. Hihi.
“Kakak izinin Ify pergi jalan-jalan ke Malang berdua sama Qirana ya. Seminggu doang kok.”
Ify pintar! Ify mengambil moment yang bagus untuk mendapatkan izin dari Rio. Suaminya itu yang agak protect terlebih setelah kejadian penyandraan dulu, kemungkinan besar tidak mengizinkannya pergi melebih batas provinsi tempat mereka stay. Bandung di jawa barat, Malang di jawa timur. Berarti ngelewatin jawa tengah dulu. Ya pasti gak di---
“Aku gak ngasih izin.”
Nah kan, barusan diomongin.
“Yah Kak. Please kasih izin Ify. Ify bosen tauk dua minggu ini di rumah mulu. Paling banter cuma ngunjungin Mama-Papa atau Sivia-Alvin di Jakarta. Kakak tega biarin Ify membusuk barbie di dalam rumah?” rayuan ala Ify mulai dikerahkan.
Qirana yang sudah berada di atas ranjang mengacungkan kepalan tangan memberi semangat untuk terus membujuk Rio hingga titik darah penghabisan.
“Sekali nggak, tetap nggak, Dear.”
“Kak, please... Ify pengen jalan-jalan. Masak kerjaan Ify mikirin Kakak mulu.”
“Itu lebih bagus.”
“Kakak!”
“Dear! Aku gak suka kamu ngelawan aku.”
Kalimat andalan Rio selain, “gak usah macam-macam” dan “jangan buat aku bentak kamu”. Ify diam. Kicep dengan suara Rio yang mulai meninggi. Gini nih kalau sering dilembutin mulu sama Rio, walaupun udah bebera kali walaupun cuma hitungan jari diomongin dengan keras, tetap aja efeknya sama. Bikin keder.
“Terus Ify ngapain selama nunggu Kakak? Semua kegiatan yang sekiranya asyik dilakuin di rumah, udah Ify jalani. Ayolah Kak.” mohonnya makin memelas.
“Ya diulang lagi dari awal.”
“Bosen Kak diulang-ulang mulu.”
“Biasanya sama aku nggak pernah ngeluh bosen.”
“Masalahnya sekarang Ify gak lagi sama Kakak. Errr... Please lah Kak. Biasanya Kakak paham banget Ify gimana. Sekarang masak Ka---”
“Udah ya. Sekarang tidur. Udah malam. Aku juga harus istirahat, besok berangkat pagi buta. Nice dream, Dear. I’m yours. You’re mine. Love you.
Klik... sambungan dimatikan. Kalau sudah begini, pertanda Rio tak mau melanjutkan pembicaraan mengenai permohonan izinnya, lebih tepatnya tak mau mendengar lagi rengekan darinya. Dengan langkah gontai, dia menghampiri Qirana. Duduk bersila memeluk bantal dengan punggung bersandar di kepala ranjang.
“Gak diizinin ya?” tanya Qirana yang mengikuti gerak-gerik Ify selepas menelpon hingga berada di sampingnya.
Ify mengangguk lemah. Menutup muka dengan bantal. Air mata rasanya mulai meronta-ronta ingin keluar dari kedudukannya. Kak Rio nyebelin. Ya kali Ify disuruh ngulang lagi kegiatan-kegiatan selama dua minggu terakhir di rumah. Menanam bunga, masak-masak cantik, berenang, main piano, beramal di mall, ngunjungin kedua orang tua dan mertua di Jakarta, ngunjungi Sivia dan kawan-kawan, terakhir membusuk di kamar seperti saat ini. Males bingitsss. Kalo ada Kak Rio pasti dia dibilang gini “Ngeluh mulu, kapan bersyukurnya?”. Errr... bener juga sih, tapi... yang namanya manusia yaaa you know what I mean lah.
“Terus gimana dong, Ran?” keluhnya setelah cukup membekap muka dengan bantal.
Qirana menoleh sekilas sebelum akhirnya memilih berbaring dan menatap penuh pemikiran ke arah langit-langit kamar. Bibirnya bergerak ke kanan-kiri. Bola matanya memutar menjelajahi kelopak mata. Mencari solusi terbaik untuk kedua belah pihak. Ify dan Rio. Untuk dia sendiri tak ada masalah, tunangannya hanya berpesan untuk selalu jaga diri dan memberi kabar.
“Mmm---”
“Gue tahu Ran, kita mesti gimana.” potong Ify dengan wajah cerah ceria. Senyum mengembang lebar dengan mata berbinar-binar. Jari telunjuk kanan teracung ke atas.
***
Fyuhhh... Finally, program kedua dari tiga program yang dia dan kawan-kawan susun saat Focus Group Discussion sebelum hari KKN tiba dan dimantapkan sehari setelah tiba di desa sebagai tempat pengabdian terhadap masyarakat sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penduduk desa, terselesaikan juga. Program kedua ini yang menjadi sasaran adalah para penduduk desa dari usia pertengahan hingga lanjut usia yang tidak mengenal huruf. Seperti program sebelumnya, kegiatan ini juga dilakukan selama seminggu. Hari ini tepat hari kelima mereka membantu mengakrabkan penduduk desa itu dengan baca dan tulis.
Seperti hari-hari sebelumnya, setelah 1 jam berlalu memberi pengajaran dan bimbingan dengan teknik membagi seluruh penduduk desa menjadi beberapa kelompok dengan satu pengajar, mereka beristirahat selama 30 menit di teras balai desa. Rio sendiri memilih bercengkrama ringan bersama ibu-ibu yang diperkirakan usianya berbeda sedikit dengan sang mama. Bersyukur dia mendapatkan tempat KKN yang lebih dari cukup mulai dari penyambutan penduduk desa yang baik dan situasi desa yang lumayan aman.
“Nak Rio mau ya Ibu jodohkan dengan anak Ibu. Tahun ini anak Ibu lulus SMP. Anak Ibu cantik, Nak Rio.”
Kalimat yang sama kesekian kalinya ia terima dari awal menginjakkan kaki di desa ini. Terlepas dari dua hal yang membuatnya bersyukur tadi telah terlempar di desa ini, dia lama-lama risih dengan permintaan-permintaan aneh para ibu-ibu. Ada yang sampai memintanya menikah dengan salah satu anak mereka setelah urusannya selesai.
“Maaf Ibu, Saya sudah menikah.” tolaknya halus, mengembangkan senyum sesopan mungkin.
“Tidak apa-apa Nak Rio. Saya tidak apa-apa anak saya menjadi istri kedua.”
Si Ibu berambut panjang diikat air mancur yang style-nya paling berbeda dengan ibu-ibu di sekitarnya itu rupanya tak mengerti makna tersirat ucapannya. Memang dengar-dengar dari teman-temannya yang sudah mensurvei tempat ini sebelum kegiatan KKN berlangsung, sebagian besar para wanita yang memiliki anak gadis berambisi untuk meraup pemuda-pemuda tampan dari kota yang dalam pemikiran mereka semua berasal dari orang kaya. Persetan dengan status yang disandang oleh si pemuda yang diincar.
“Maaf Ibu, Saya yang tidak bisa.” balasnya berusaha sopan. Meringis tertahan.
Ibu itu mencibir ketara di hadapannya. Dia hanya bisa menahan diri agar tak terpancing. Ibu-ibu yang lain menasehati si Ibu yang mulai menggerutu dengan bahasa setempat yang tak ia mengerti. Seorang Ibu yang usianya ia perkirakan di atas 60 tahun, mengusap bahunya. Tatapan beliau menyiratkan untuk dia lebih baik menyingkir. Dia mengangguk. Setelah berpamit, dia lekas berlalu. Merogoh saku celana mencari barang paling berharga saat dia dan Ify terpisah sementara –ponsel. Dia berdecak mendapati tak ada satu pun sinyal yang nyantol. Sebelum berangkat, dia berpesan pada Ify untuk tidak menghubunginya. Biar dia yang menghubungi Ify lebih dulu mengingat tak ada gunanya. Setiap dia akan menghubungi Ify ya seperti sekarang ini lah. Berjalan entah kemana yang penting sinyal menampakkan diri di layar ponselnya. Dia tersenyum ramah saat seorang gadis seusia Ify -asli penduduk desa yang suka rela menjadi petunjuk arah saat hari pertama kedatangannya- menyapanya.
Tutt... tutt...
“Assalamualaikum Kak Rio.” suara di seberang sana.
Akhirnya tersambung juga. Dia menoleh kanan-kiri, tersenyum lega mendapati batu besar tak jauh dari posisinya untuk dijadikan tempat duduk.
“Waalaikumussalam, Sayang. Kamu di mana? Kok rame?” tanyanya mendengar suara hiruk pikuk orang yang sepertinya lebih dari satu.
“Ify di Surabaya Kak. Hehe...”
What??? Mata Rio membelalak. Emosi negatif Rio dengan gerakan cepat langsung menjalar ke seluruh tubuh. Dia tak habis pikir Ify seberani itu melanggar larangannya. Tiga hari lalu gadisnya memang meminta izin untuk jalan-jalan ke kota apel yang terletak di provinsi jawa timur. Dia melarang. Sehari setelah penolakan izin yang diajukan, dia menelpon, gadis itu masih di rumah. Hari berikutnya tetap sama. Tiba-tiba hari ini sudah ada di Surabaya. Minta diapain Ify ini.
“Jangan marah dulu. Ify gak cuma sama Qirana kok. If---”
“Sama siapa? Selingkuhan?” potongnya ketus.
“Hah? Ishh Kakak. Ya nggaklah. Kakak kan waktu itu gak ngasih izin kalau Ify sama Qirana berdua doang. Jadi Ify ng---”
“Bukan gitu maksud aku, Honey. Aku-gak-izinin kamu ke Malang entah sama siapapun. Kamu kok jadi bego’ sama bandel begini sih? Baru juga 2 mingguan lepas dari pantauan aku.”
Hening...
“Kakak... Maaf.”
Suara Ify mulai memelas. Dapat dia gambarkan, tatapan gadis itu sekarang sayu dan ya seperti saat bersamanya, kalau sudah berbuat salah pasti langsung meluk-meluk, nyembunyiin muka di dada bidangnya. Merayu agar dimaafkan.
“Hallo Yo.”
Suara cowok yang tak asing di telinganya tiba-tiba menggantikan suara Ify. Dia mengernyit.
“Gue Cakka.”
Rio mengangguk, “Ify sama loe?”
“Lebih tepatnya gue dan Iel. Loe kasih izin lah Yo, sian si Ify jadi murung gini.”
Rio diam sejenak. Masih tak terima dengan perbuatan Ify.
“Gue bukannya apa Kka. Loe tahu sendiri fisik Ify lemah. Dia gak bisa kena dingin. Sedangkan udara di Malang terlebih di daerah Batunya dingin gak aturan. Gue kepikiran.”
Giliran di ujung sana tak langsung menjawab.
“Gue sama Iel yang pastiin dia baik-baik aja. Loe percaya kan sama kita? Lagian mau balik juga kita udah di Surabay--- Ify gak mau pulang.”
Suara Cakka terpotong oleh teriakan Ify. Dia menghela nafas panjang. Begini nih kalau terlalu manjain bini. Walaupun Ify penurut, tetap saja kalau permintaannya tak terkabul, jurus andalan –merengek- terus dilancarkan sampai dia mengindahkan. Liburan-liburan sebelumnya dia dan Ify selalu ada planning berpetualang entah itu cuma separuh ataupun tiga per empat liburan.
“Kasih ponselnya ke Ify, Kka.”
Rio lagi-lagi menghembuskan nafas lelah. Terdengar perdebatan sengit. Ify tak mau bicara padanya jika ujung-ujungnya menyuruh untuk kembali ke rumah. Setelah bujukan cenderung ancaman dari Cakka, barulah suara Ify memanggilnya terdengar.
“Oke kalau kamu masih ngotot mau ke sana, aku izinin, tapi ada syaratnya. Dengerin baik-baik. Satu, jangan jauh-jauh dari Cakka sama Iel. Kalau mau kemana-mana minta anter mereka. Dua, ponsel harus aktif terus. Kalau sampai menelantarkan ponsel, aku jamin liburan UAS depan gak ada jadwal berpetualang. Tiga, pakai baju yang sopan. Kalau sampai berani pakai baju yang hanya aku aja yang boleh lihat kamu pakai baju itu, awas aja kamu. Empat, kalau merasa badan kamu gak enak, segera lapor Cakka atau yang lain, yang pasti langsung hubungi aku. Terakhir, nyampek rumah dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Mengerti, cinta?”
“I-i-iya Kak. Koper Ify isinya baju panjang sama rok, celana panjang semua. Ify pakai jaket Kakak yaa.”
Dia tersenyum tipis, “Iya.”
“Terima kasih, Sayang”
Suara Ify yang riang gembira. Rio menoleh saat merasakan tepukan keras dari belakang punggungnya. Teman satu kelompoknya. Menggerakkan ibu jari ke arah balai desa. Rupanya waktu rehat sudah kandas. Dia mengangguk. Menyuruh pemuda yang tingginya sebatas pelipis itu berlalu lebih dulu.
“Ya udah, kamu hati-hati ke Malangnya. Pokoknya ingat syarat sekaligus pesan aku tadi. Nanti malam aku hubungi kamu lagi. Jangan bandel ya, Cah.”
“Hihihi siap Kakak. Bocah janji gak akan bandel. Bocah kan ngeri dimarahin orang tua kek Kakak. Bye Kak, Assalamualaikum. I love you.”
Tuttt.... Shit! Awas aja itu si Ify kalau udah pulang. Dia kembali geleng-geleng kepala karena kelakuan Ify. Dulu aja sebelum dia sering meninggalkan Ify untuk urusan kantor, gadis itu tak mau jauh-jauh darinya. Ngerengek meminta dia lekas pulang. Sekarang ya sama sih cuma kapasitasnya berkurang banyak. Oleh karena banyaknya itu, sampai liburan ke Batu-Malang pun santai-santai saja tanpa dia.
***
“Jago juga loe masaknya Yo.”
Komentar seseorang dari arah belakang punggung menghentikannya menggoyang-goyangkan  spatula secara berirama. Dia hanya terkekeh. Selama dua minggu lebih berlalu, baru kali ini dia turun tangan urusan menyediakan makan satu kelompok. Biasanya para kaum hawa. Berhubung seharian tadi mereka non-stop menjalankan program dan mempersiapkan program selanjutnya sebagai cara pengabdian terakhir untuk penduduk desa, dia tak sampai hati meminta mereka menyiapkan makan malam melihat tampang mereka yang menyiratkan kelelahan yang sangat.
“Sejak kapan loe jago masak?” tanya Lia –yang berkomentar tadi- sambil bersandar pada dinding tak jauh dari kompor.
Dia menoleh sekilas, tersenyum tipis. “Bisanya dari kecil. Sering bantuin Mama gitu dulu jadi tahu.”
Lia menganggukkan kepala paham. “Beruntung bini loe kalau gitu.”
Dia tertawa kecil. Tak langsung menjawab, dia mematikan kompor. Mengambil piring lebar yang ternyata sudah lebih dulu dalam genggaman Lia. Sebagian besar teman seangkatannya sudah tahu mengenai status di KTPnya –kawin.
“Sama-sama beruntung. Cuma dia yang tahan sama keotoriteran gue.”
Lia tertawa. “Juga bonus yang loe dapetin banyak. Selain kalem dan penurut, Si Ify barbie wanna be gitu. Gak munafik pertimbangan loe milih dia juga karena fisiknya kan?”
Giliran dia yang tertawa lepas. Sekarang tinggal buat telur mata sapi sebanyak 8 mata(?).
“Gak juga sih. Gue milih dia ya karena cintanya cuma ke dia. Ya gue bersyukur dapat bonus lebih. Walaupun di sisi lain gue kadang gedhek juga kalau dia pakai baju yang bikin dia makin cantik, cowok-cowok yang mandang dia pada minta di tabok.” ucapnya.
“Eh sekarang jam berapa?” lanjutnya bertanya. Dia tak memakai jam juga tak membawa ponsel.
“Ya wajarlah Yo, kapan lagi mereka bisa ngelihat yang bening-bening.” ucap Lia sambil merogoh saku mengambil ponsel.
“Setengah 8. Jam loe ngehubungi bini loe kan? Sini gue ganti.” tambah Lia mengingatkan. Hampir sebulan bersama melaksanakan KKN, membuatnya hafal jadwal komunikasi Rio dan istrinya.
Rio menggeleng. “Gak usah. Loe balik lagi sono ke anak-anak. Duduk. Istirahat. Seharian nyerocos, pergi sana-sini, gak capek?”
“Ya udah.” balas Lia menepuk bahunya, dan berlalu.
Dia melambai singkat sebelum kembali fokus pada telur ketiga yang masuk dalam penggorengan. Jadi ingat Ify. Ify pernah lupa, telur dari dalam lemari es tidak diberi waktu untuk menormalkan suhu. Dalam kondisi yang dingin oleh Ify langsung digoreng. Alhasil Ify teriak memanggil dirinya yang saat itu duduk santai di ruang keluarga. Meminta menggantikannya untuk melawan percikan minyak dan menyelamatkan telur mata sapi itu dari kegosongan. Kekurang beruntungan kala itu bertambah, saat si telur mata sapi telah dideportasi ke piring, ternyata saking takutnya dengan percikan minyak, Ify lupa menaburkan garam. Dia juga lupa menanyakan hal itu. Endingnya, dia yang menandaskan telur mata sapi yang kurang sempurna itu, dan membuat lagi untuk mengisi perut keroncongan Ify.
***
“Selamat Da--- Ehh”
Ify menghentikan teriakan riang gembiranya sebagai salam sambut kedatangan suaminya saat sosok perempuan muncul setelah Rio lebih dulu keluar dari mobil. Keduanya berjalan beriringan dengan senyum mengembang cerah bak sepasang kekasih yang habis dari liburan. Shit! Ify melipat tangan di depan dada. Melenyapkan senyum di wajahnya. Mengganti dengan ekspresi merenggut meminta penjelasan. Dia mundur saat Rio akan meraih pinggangnya dan mengecup kening atau gak pipinya.
“Loh kenapa?” tanya Rio pura-pura tak tahu yang dirasakan Ify sekarang. Mati-matian dia menahan tawa.
“Dia siapa?” balik tanya Iy, menunjuk gadis di samping Rio dengan dagu tirusnya.
Dengan senyum penuh arti, Rio menggandeng gadis itu lebih dekat dengannya dan Ify, lalu merangkulnya. Sukses membuat mata gadis yang benar-benar dirindukannya itu melotot penuh.
“Kenalin, ini Lia. Bonus KKNku selama sebulan.”
Mulut gadisnya membuka lebar. Dia makin tak tahan untuk tak menyerang Ify. Gadisnya itu makin menggemaskan jika api-api kemarahan mulai membakar. Awal-awal memasang tanduk lebih dulu. Mendelik tajam. Tapi lama-lama tanduknya menghilang, tatapan tajam melenyap secara perlahan, menjadi menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Ka-ka-kak ma-mau po-poligami?” tanya Ify terbata membuat perasaan tak tega menyeruak.
“Kalau kamu kasih izin, iya.” jawabnya dengan tampang serius dan meyakinkan.
Ify menggigit bibir bawahnya menahan isakan yang sudah dalam posisi ‘bersedia’, tinggal menunggu aba-aba ‘go’. Keringat dingin mulai menguasai daerah telapak tangannya. Dia berkedip-kedip membalas tatapan teduh Rio yang menyiratkan rindu cinta seperti biasanya. Menghalangi air mata yang juga dalam posisi sama dengan suara isakan tertahan. Kakak jahattt!! Teriaknya hanya bisa dilakukan dalam hati. Dia takut jika bersuara, bukan itu yang keluar melainkan suara tangis.
Gadis di samping Rio mengulurkan tangan. Tersenyum manis layaknya bayi yang baru berojol terus ketemu sang ibu. Mamerin gigi dengan tampang tak berdosa. Dia hanya memandang sekilas sebelum fokus lagi menatap kedua mata Rio. Mana bukti dari ucapan sampai kapanpun yang aku beri kecupan seperti itu cuma kamu dan anak kita nanti. WTF lah buat loe Yo. Mungkin itulah makna tatapannya jika ditranslate ke dalam bahasa verbal.
Memperkirakan jika beberapa detik lagi pertahanan Ify akan mencapai puncaknya. Dia melepas rangkulannya pada Lia. Langsung menyergap pinggang gadisnya. Menarik Ify dalam pelukan. Saat itulah tangisan Ify meluncur. Tangan mungil di belakang punggungnya bertubi-tubi memberinya pukulan seiring racauan tidak jelas yang lambat laut tertelan penuh oleh tangisan. Dia membiarkan. Tak mengeluarkan sepatah kata penenang pun untuk menghentikan tangisan Ify. Hanya kedua tangannya yang bekerja mengusap punggung dan  rambut Ify. Of course, bibirnya yang juga tak berhenti mengecup ubun-ubun Ify.
“Rese’ emang loe Yo. Gue jadi gak enak nih sama Ify. Sorry ya Fy.” ucap Lia di sampingnya sambil meninju bahunya lumayan keras.
Walaupun tahu soal Ify dari Rio maupun informasi-informasi yang beredar dari pengagum gadis itu, dia sendiri tak pernah berjumpa langsung ataupun berbicara langsung dengan Ify. Ini kali pertama. Dia mengenal Ify, tapi Ify tak mengenalnya.
Rio hanya tertawa. “Gue udah lama gak bikin nangis ini bocah, keseringan gue bikin uring-uringan. Anggap aja obat rindu sekaligus hukuman karena tetap maksa mau ke Malang.” balasnya santai membuatnya mendapat pukulan lebih keras.
“Loe masuk duluan sana. Tunggu pacar loe di dalam aja.” lanjutnya dengan nada perintah. Lia mengangguk dan lekas berlalu sambil geleng-geleng kepala atas kelakuan Rio.
Merasa cukup memberi waktu untuk Ify meluapkan emosi, dia melonggarkan pelukannya. Mengangkat wajah Ify yang bersembunyi di dadanya. Memasang senyum miring melihat muka bengap Ify. Dengan ujung lengan kemejanya dia mengusap ingus Ify yang keluar bersamaan dengan air mata. Tertawa kecil. Ify manyun. Matanya mengerjap-ngerjap lucu. Betapa dia merindukan istri mungilnya ini. Bagaimana bisa Ify begitu mudah percaya dengan ucapannya tadi. Percaya juga gak papa. Kalau gak gampang percaya, kan gak jadi begini ceritanya. Dia tak akan menyaksikan Ify menangis kalau begitu.
“Kangen kamu.” ungkapnya lalu mencium lembut bibir mungil Ify yang dalam keadaan setengah terbuka.
Ify diam. Mulutnya masih setengah terbuka. Nangis bikin hidung mampet. Jalur pernafasan selain lewat hidung yaitu lewat mulut. Menggap-menggap dia cari nafas lewat mulut macam ikan koki. Jemari Rio mulai bermain di sekitar wajahnya. Matanya memejam saat bibir Rio mendekati kelopak matanya dan mendaratkan kecupan di sana. Belok ke kanan, mengecup pelipisnya. Berhenti di sekitar telinga.
“Happy anniv yang kedua tahun, istriku. I’m yours till the end. Love you much.”
Cup...
Terlambat sih, tapi belum kadaluarsa lah ya.
***
Ify memeletkan lidah pada Rio yang berada di seberang meja makan. Mereka tengah bermain kejar-kejaran. Rio menajamkan tatapannya. Memerintah Ify untuk duduk dengan tenang di kursi yang telah di sediakannya. Tak mempan. Gadis itu menggeleng kuat. Rio mulai memainkan telunjuk kanannya. Menggerakkannya menyuruh Ify mendekat. Masih dengan tatapan tajamnya. Lagi-lagi tak mempan. Dia menatap liar sekitar. Dengan gerakan cepat dia mendorong meja ke kanan dan...
BRAKKK...
“ARGHHH...”
Teriakan Ify seiring laju langkahnya meninggalkan dapur. Dia mengambil posisi di belakang sofa tempat tamu keduanya –Qirana, Cakka dan Gabriel- duduk santai menunggu makanan cepat saji yang dipesan Rio beberapa menit lalu. Mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan sepasang suami-istri muda itu.
“Berhenti aku bilang!” suara Rio dengan nada rendah.
“Gak mau.” tolak Ify sambil melangkah mundur.
“Dear!”
Ify masih tak mengindahkan perintahnya. Tatapannya menghunus tepat ke kedua mata Ify. Dia tersenyum miring mendapati buruannya akan menyerah sebentar lagi. Berjalan menghampiri dengan langkah lebar. Ify melanggar aturan yang ditetapkannya sebagai syarat gadis itu berpetualang ke Batu-Malang. Dia melanggar aturan ketiga yang intinya haram hukumnya mengenakan busana kurang bahan yang mempertontonkan kepemilikannya. Dia baru mengetahui saat menjelajahi kamera SLR milik Ify. Gadis itu berpose indah di pintu masuk museum yang tengah laris dikunjungi oleh masyarakat yang berdomisili di dalam maupun luar Kota Malang.
Dia masih ingat Ify mengatakan bahwa di dalam koper berisi busana yang ukurannya menutupi tubuh. Ify memang tidak bohong. Busana yang dikenakan saat itu kemeja berlengan panjang untuk atasan, dan bawahan berupa rok panjang setumit. Permasalahannya, di samping rok terdapat belahan yang panjangnya hingga di atas lutut sedikit yang kalau dia berjalan, dipastikan kaki jenjang nan mulus itu menjadi pemandangan indah untuk kaum laki-laki. At least, tetap Ify melanggar aturannya.
“Kamu mau menyerahkan diri atas kehendakmu sendiri atau kehendak aku, cantik?”
Meskipun tanpa diancam dengan kalimat itu, dia juga akan menyerahkan diri. Secara tak ada celah untuknya menghindar dari terkaman. Belakang tubuhnyam pintu penghubung yang sepertinya sudah terkun—eh tunggu sebentar, saat akan mengunci pintu tadi, ada jeda iklan kedatangan pacar Lia yang belakangan ia tahu sebagai teman seangkatan Rio dari fakultas dan jurusan yang sama. Pemuda yang tengah merilis usahanya dalam bidang kepenulisan itu menjemput Lia. Setelah melepas kepergian kedua pasangan yang akan melangkah ke pelaminan setelah kelulusan Lia, Rio tak kembali mengurus pintu penghubung. Memilih mengutak-atik SLRnya yang berlanjut pada kemurkaan melihatnya berpose dengan busana yang diharamkan oleh Rio untuk dikenakan kecuali di hadapan pemuda itu.
Jika di hadapannya Rio memiliki berbagai cara untuk menangkapnya. Dia pun berusaha keras mengumpulkan  cara terbebas dari jaring-jaring cinta yang digunakan Rio untuk mengurungnya. Dia berhenti  melangkah mundur saat merasa cukup dekat dengan pintu penghubung. Diam di tempat sampai jaraknya dan Rio sesuai yang diharapkan. Memasang wajah innoncent. Memain-mainkan bibir seperti saat dia bingung, menahan takut atau gelisah.
“Sini.” pinta Rio seraya merentangkan tangan. Tersenyum penuh kemenangan merasa Ify sudah menyerah.
“Gimana liburannya?” lanjutnya bertanya.
Ify nyengir. “Seru. Tapi gak seseru bareng Kakak. Cakka sama Iel protecnya lebih parah dari Kakak. Kalau sama Kakak masih bisa dinego, tinggal Ify mepet-mepet ke tubuh Kakak, aturan melayang. Nah sama mereka? Cuma bisa iyain doang.”
Rio mendelik. Suara-suara cekikian di belakang tubuh suaminya terdengar. Keterkejutan Rio akan ungkapannya yang sangat jujur, digunakan sebaik mungkin olehnya untuk kabur ke halaman belakang. Ternyata Rio tak bisa dikalahkan. Kesadaran pemuda itu begitu cepat dan dengan mudahnya menyamai langkah. Dia berteriak saat tubuhnya terangkat. Rio langsung menggendongnya ala bridal style. Menyerang wajahnya bertubi-tubi membuatnya geli. Tawa keduanya menyapu seluruh sudut halaman. Di dalam rumah, ketiga orang yang sedari tadi menonton film koleksi keduanya, memilih tidak tergugah melihat apa yang terjadi di halaman belakang.
“Lain kali pake’ rok yang lebih manusiawi.”
“Iya.”
“Berhenti buat aku khawatir sama kelakuan kamu yang tiba-tiba udah di kota orang.”
“Iya.”
“Tetap jadi istri aku yang nurut. Kamu tahu kan tidak mengamini ucapan suami yang sholeh itu dosa.”
“Iya.”
“Iya, iya mulu tapi tetap aja bandel.”
“Iya.”
“Dear!”
“Apa sih Kak? Mau Ify bilang ‘nggak’? Bukannya Kakak cuma mau dengar ‘iya’ doang?”
“Barusan dibilang.”
“Iya, maaf ganteng.”
“Kamu tuh---”
BYURRR...
UPS... Ify menutup mulut. Dia sengaja tak sengaja selama Rio berpidato dalam posisi memeluk pinggangnya tadi, pelan tapi pasti dia mendorong Rio secara halus dan tak disadari pasti. Mau tahu caranya? Selama ngomong tadi, sambil jemari kokoh yang tak menyentuh pinggangnya bermain-main anggun di sekitar wajahnya. Dia berjalan dengan langkah amat pendek but sure sampai tak sadar Rio melangkah mundur karenanya. Rio itu susah lengah kalau dia tak bekerja keras untuk melengahkan. Dia melancarkan aksi dengan mengetuk-ngetuk jari di dada bidang Rio, mengusapnya, bahkan meremas walaupun susah. Hingga cukup, dia melepas sentuhannya di dada Rio dan dengan gerakan cepat pula dia melepas rangkulan Rio di pinggangnya.
“ALYSSA HALINGGG.” teriak Rio mendapatinya tertawa terpingkal-pingkal.
Shit! Rio menyumpahi kebodohannya. Kesal memang, tapi lama-lama dia menikmati. Dia pun ikut tertawa. Bisa-bisanya sosok yang amat disegani oleh para karyawan kantor sepertinya bisa dengan begitu mudah dijahili sedemikian rupa oleh gadis mungil manja seperti Ify. Rupanya Ify belajar dalam setiap kesempatan.
“Udah puas ketawanya, hmm?” tanyanya yang sudah mampu menghentikan tawa.
Ify mengangguk kuat.
“Bilang dong ‘makasih Kak Rio udah buat Ify ketawa’, lain kali jadi korbannya Ify lagi ya.” ucap Rio dengan suara dan ekspresi manis yang dibuat-buat.
“Hehehe... Makasih Kak Rio my lovely and hot husband udah buat Ify ketawa, lain waktu mau ya dijahilin Ify lagi.” tirunya merenovasi sedikit di bagian akhir kalimat.
“Kembali kasih, Sayang.” jawab Rio masih dengan senyum lebar.
“Oh iya, Happy anniv untuk pernikahan ki---”
BYURRR...
“Hahahaha...”
Ify terpaku beberapa saat setelah berhasil menyesuaikan diri dengan kejadian beberapa detik lalu terjadi. Dia menggap-menggap. Mengusap air yang membasahi seluruh wajahnya. Beberapa meter darinya tampak Rio tersenyum menahan tawa. Mengangkat kedua tangan mengatakan bahwa bukan Rio-lah pelakunya. Memang bukan Rio. Dia mendapat dorongan, bukan tarikan. Dengan gerakan cepat dia berbalik 180 derajat. Cakka, Qirana, dan Gabriel langsung berhenti tertawa. Menunjukkan tanda peace.
“Parah loe semua. Kalau gue kelelep gimana?” gerutunya mencipratkan air pada mereka.
“Aelah Fy. Tinggi air cuma sebahu loe gimana ceritanye loe bakal kelelep?” balas Cakka balas menyipratkan air pada Ify dan buru-buru mundur takut ditarik oleh Ify.
“Kelelep itu bukan karena cetek nggaknya air, tapi karena adanya kesempatan.” balas Ify sengit.
“Ngomong apa sih loe! Ngomong sama ingus gue. Gara-gara jadi pengawal loe selama di Malang, jadi pilek nih gue.” kali ini Iel bersuara dengan suara bindengnya.
Ify cengengesan. Dia berbalik lagi menghampiri Rio.
“Dingin? Sini peluk Kakak.” ucap Rio mengundang kekehan darinya.
HAP...
Ify memilih naik ke punggung Rio. Mengalungkan tangan di leher jenjang Rio. Kepala bersandar di bahu kokoh itu selepas memberi kecupan hangat di pipi Rio. Sorakan sekaligus cipratan air, mereka terima yang hanya dibalas gelak tawa. Ketiganya baru berhenti menyerang setelah merasa puas. Berdiri tegak kembali dengan pose yang sama. Melipat tangan depan dada.
“HAPPY ANNIV YANG KEDUA BUAT PERNIKAHAN LOE BERDUA.” ucapan selamat yang diorasikan secara kompak membentu satu suara yang bulat.
“Langgeng terus sampai malaikat israil nyambangin salah satu dari loe berdua.” doa dari Cakka.
“Tetap jadi Rio dan Ify yang kita kenal.” dari Gabriel.
Mungkin dia lelah mendapati teman-temannya yang lain sudah mulai berubah.
“Tetap jadi pasangan yang menginspirasi untuk kita semua.” ucap Qirana.
Senyum kedua pasangan yang ada di dalam kolam renang itu mengembang makin lebar memandang ketiga sahabatnya. Keduanya saling tatap sambil melempar senyum bahagia satu sama ain. Ify makin bergelayut manja di bahunya. Kedua mata itu juga mengerling tak kalah manja. Membuatnya menyesal jika tak mendaratkan kecupan mesra di bibir merah merona alami nan menggoda kepemilikannya.
“I love you more than you know. ”
Jadilah malam itu, kolam renang menjadi setting tempat perayaan anniv kedua pernikahan mereka. Memainkan segala peran. Bergurau layaknya anak-anak. Saling menggombal layaknya remaja yang tengah dirundung cinta. Dan yang pasti saling menunjukkan cinta sebagai pasangan dewasa yang resmi di mata Tuhan dan negara.

The End

6 komentar:

  1. Ceritanya bagus banget, aku ngikutin dari awal cerita NDWN, tp maaf baru komen sekarang :)

    Lanjut terus ya ceritanya, aku tunggu :)

    BalasHapus
  2. kok cerita pas ify hamil anak pertama kyk gk ada ea. di mna klw mau cari ??

    BalasHapus
  3. udah end...sambung lgi dong...masa segini aja...

    BalasHapus
  4. keren bget ceritanya apa lgi rionya kyak dewasa gitu ,,,,,
    klo dilanjut malah tambah keren loh

    BalasHapus
  5. Keren banget ceritanya, kagum sama rio nya yg sabar hadapi istri mungil nya hehee

    BalasHapus