Senin, 30 Maret 2015

What Should I Do?

Malam ini aku tak ubahnya seperti abg labil yang tengah putus cinta. Merenung, namun tanpa adanya adegan meraung-raung. Berbaring menatap penuh menerawang langit-langit kamar. Memutar kembali rekaman otak berisikan percakapanku dengan dua lelaki dan seorang gadis yang mau menerimaku sebagai sahabat. Percakapan yang berselang hanya beberapa menit selagi menunggu waktu mata kuliah psikologi sosial dimulai. Duduk bersila dengan santai dekat tangga menuju lantai 3 tempat belajar kami nanti sambil memandang dari kaca parkiran luas gedung RKB.
“Kamu suka sama dia?” tanya sahabatku yang memiliki tubuh besar di antara kami.
Aku mengangguk. “Mulai nanjak ke tahap sayang deh kayaknya. Auk aku gak ngerti.”
“Yang 6 tahun udah move on berarti?” tanyanya lagi.
Aku mendongak Nyengir. “Udah kayaknya. Kan udah nemuin cinta yang baru.”
“Bukan cinta yang baru, masih tahap di antara suka dan sayang.”
“Yayayaya serah loe bilangnya gimana.” balasku gemas.
Dia ngakak. Aku mendengus ketara. Sudah lebih dari 15 menit, dengan serius mereka mendengarkan setiap kata-kata yang aku gunakan mendongengkan mereka kisah beberapa waktu dekat ini. Kisahku dengan objek yang tengah aku buru. Aelah.. loe kira apaan?
“Jadi aku harus gimana? What must I do?” rengekku menenggelamkan muka diantara kedua lututku.
Aku gila dengan perasaan aneh ini. Aku merasa heran. Perasaan dulu memendam rasa selama 6 tahun lamanya, gue anteng-anteng aja. Kenapa sekarang baru beberapa bulan mencak-mencak udah kek anak kembar rebutan siapa yang jadi kakak, siapa yang jadi adik.
“Yang kamu mau itu apa?” tanyanya.
Aku mengangkat kepala. Menatapnya lagi. Menatap kedua sahabatku yang juga menanti jawabanku -mungkin.
“Aku mau tahu respon dia terhadap perasaanku.”
“Yaudah tinggal tanyain sono.”
Reflek aku menoyor kepalanya –sahabat yang usianya paling tua. Enteng bener kalau ngasih saran.
“Ya kali Kak. Ane kan cewek.”
Dia melengos. Lalu mencengkram kedua bahuku. Menghadapkan padanya. Sepertinya dia akan berbicara serius.
“Dengerin Kakakmu ini. Ngapain ada emansipasi wanita kalau masalah ngungkapin perasaan aja masih harus ngeributin masalah kelamin? Kalau ngantri sesuatu aja, ladies first-ladies first. Masalah kek begini mesti cowok duluan.”
“Ya tapi kan walaupun ada emansipasi wanita, tetap aja yang namanya cewek itu kodratnya nunggu!” balasku geram.
Dia berdecak. “Mau nunggu lagi? Mau nunggu 6 tahun lagi terus ngedapetin kenyataan dia udah punya pacar? Mau kek gitu lagi?”
Tampangku yang awalnya songong jadi melas. Menggeleng lesu. “Gak mau. Hayati sudah lelah jikalau menerima kenyataan seperti itu lagi.” ucapku penuh dramatis.
“Ya udah ungkapin.”
“Gak ada alternatif lain?” tawarku dengan muka lebih memelas lagi. Ya kali aku harus ngelakuin itu. Kemana harga diriku nanti? Tapi aku ingin dia tahu dan ingin tahu responnya. Ya Tuhan, ada kobokan buat nyelupin muka, terus abis nyelupin bisa berubah jadi Kety Perry? Fufufu...
“Gak ada. Lagian kan cuma ngungkapin doang sih? Gak minta dia buat jadi pacar kan?”
Aku mendelik. “Ya nggak lah. Kakak kan tahu aku gak mau punya pacar.”
“Ya udah. Apalagi yang perlu diribetin? Apa aku sama Kakakmu yang ini yang bilang ke dia?”
Aku makin mendelik tajam. “Ya kali ngapain?” tolakku cepat.
“Tapi gak papa sih.” tambahku lirih.
Mereka melengos bersamaan. Aku nyengir. Mampus kan loe, ribet kan? Hahaha. Suasana tiba-tiba hening. Aku meringsek ke sahabatku yang cewek. Merengek-rengek kek bayi nagih ASI.
“Gimana?” rengekku padanya.
“Jangan nurutin sarannya dia. Kita cewek. Gak perlu ngelakuin itu. Dengerin saran kakakmu ini.”
Kulihat sahabat yang notabenenya menjabat sebagai kakak tertua kami mendengus.
“Cewek... cewek. Ada aja yang dibikin ribet.”
Mendengar itu, aku langsung menegakkan tubuh kembali yang semula dalam posisi setengah tidur di pangkuan sahabat cewek sebagai kakak kedua.
“Bukan gitu Kak. Coba deh ngasih sarannya gunain sudut pandang cewek, jangan sudut pandang cowok yang nemuin mangsa langsung gerak.”
Dia mendesah lelah. “Dengerin, kamu itu udah punya point plus Dek. Kamu gak mau pacaran. Jadinya kalaupun responnya gak sesuai dengan yang kamu ekspektasikan, sakitnya itu gak menjalar ke mana-mana.”
Aku diam. Mencoba mencerna yang dia omongkan. Benar juga sih. Tapi...
“Tapi kan tetap aja Kak. Maluuuu. Ya kali tiba-tiba aku bilang ‘Kak aku tresno karo pean. Pean tresno gak karo aku?’. Aduhh kak, berasa kek mau ngadepin kiamat. Sumpah hayati tidak punya nyali untuk melakukan itu.” ucapku sangat mendramatisir sekali.
Dia tertawa. Dua sahabatku yang lain juga mesem-mesem. Aku menunduk. Memilin-milin ujung kerudung yang aku biarkan jatuh bebas di pangkuan.
“Terus maumu gimana?” tanyanya gemas.
“GAK TAHU. KALAU TAHU NGAPAIN MINTA SARANN.” jawabku setengah berteriak.
“KAN UDAH DIKASIH SARAN INI. MAKANYA NURUT!” balasnya tepat di telinga kananku.
Setelah adegan saling meneriaki, kami diam. Aku mendengus. Menstabilkan nafas yang memburu. Dua sahabatku yang lain cuma bisa menyaksikan. Memang diantara kami, yang paling berpengalaman soal cinta yaitu sahabatku yang sebagai kakak tertua. Dia yang pemikirannya paling dewasa, dan aku yang tingkahnya paling kekanak-kanakkan. Diantara kami berempat, akulah paling muda. Walaupun hanya selisih sebulan-dua bulan, pengecualian kakak tertua. Usianya selisih 2 tahun dengan kami. Mungkin itulah yang membuat kami nyaman dan senang tiap cerita dan meminta solusi darinya.
“Mau saran lain?” tanyanya memecah keterdiaman.
Aku mengangguk kuat-kuat. Nyengir seperti biasa.
“Kasih perhatian ke dia. Sms setiap pagi ucapin selamat pagi.”
Sarannya yang ini sukses buatku menganga. Tuhan... Aku mengusap kasar wajahku. Memandangnya gemas.
“Ya Allah, Kak. Itu bikin geli. Aduh... bukan aku bingitsss.”
Ya kali kan tiap pagi ngirim ucapan selamat pagi. Loe kira gue alfamart, indomart. Selamat pagi dan selamat berbelanja. Hadehhh...
Dia mengernyit, “Selama ini gak pernah sms-an?”
Aku menggeleng polos, “Nggak. Paling juga kalau sms ya atas dasar kebutuhan doang. Ngapain sms kalau gak butuh?”
Sekarang giliran dia yang mengusap kasar mukanya. Mulai lelah menghadapiku –mungkin.
“Gimana dia bakalan jadi orang yang butuh kamu maupun sebaliknya, Dek. Kalau kelakuanmu kek begini. Serius sayang gak sih?”
Aku manyun, “Serius lah Kak! Jantung berdegup kencang tiap lihat helm plus motornya, gak sanggup ngomong kalau udah ngelihat mukanya, otak rasanya berhenti bekerja tiap di dekat dia itu kurang nunjukin kalau aku serius?”
“Itu kan yang gak kamu lihatin. Kamu malah ngelihatin kelakuanmu yang nunjukin kalau kamu cuma main-main. Ngegoda dan ngucapin kalau suka sama dia di depan orang banyak yang nimbulin cie-cie di mana-mana. Inget gak sama teman sekelas kita yang kamu godain. Kamu bilang keras-keras di depan kelas ‘Aku suka kamu’ terus ketawa-ketawa. Ya kita mikirnya kamu bercanda. Nah kamu nunjukin kalau kamu serius sama dia dengan cara kek gitu juga. Ya mana dia percaya kalau kamu gak main-main. MIKIR! UMUR UDAH MAU 20 GAK USAH KEK ANAK KECIL! MIKIR!”
“Ya tuhan, jleb banget sih Kak. Ya terus aku harus gimana?” rengekku lagi.
Dia menghembuskan nafas sebelum mengusap-usap ubun-ubunku kek ngusap anak anjing.
“Dari tadi nanyanya aku harus gimana, aku harus gimana tapi nolak mulu tiap dikasih saran.---”
“Tunjukin kalau kamu serius dengan perasaanmu.”
Aku makin memelas, “Malu Kak.”
“Ck... orang biasanya di kelas sering malu-maluin diri. Sekalian aja sih nyegur.”
Aku melotot, “BEDA KONTEKS KAK. Lagian aku selama ini nunjukin kode-kode. Dia aja yang pura-pura gak peka.”
Dia memutar bola matanya, “Kamu waktu ngekode itu bercanda kan?--”
“Gak usah ngelak, kita tahu kamu orangnya gimana.” lanjutnya cepat saat tahu aku akan membela diri.
Lagi, aku nyengir. “Tapi ada beberapa kode yang aku lancarkan dengan serius Kak. Tapi tetep aja. Aku terus-terusan ngasih kode, dia terus-terusan pura-pura gak peka sama kodeku. Gitu aja mulu sampai Alexander Graham Bell gak diakui jadi penemu. Hayati lelah Kak.” balasku kesal.
“Makanya kalau jadi cewek itu kelakuannya kayak cewek pada umumnya. Kamu jadi cewek kok gak ada jaim-jaimnya. Gak ada angin gak ada ujan nari-nari, senam-senam gak jelas di depan kelas. Gimana cowok mau ngelirik?”
Sekarang giliran sahabatku cowok yang satunya. Dia memiliki wajah di atas standar ukuran laki-laki. Body atletis. Laki-laki tulen. Gaya hidup sederhana tapi mempesona. Namun disamping itu, dia saat ini nasibnya kurang beruntung. Bukannya cewek yang ngedeketin, malah yang sekelamin sering mepet-mepet. Puk-puk-puk...
“Aku gak perlu cowok buat ngelirik. Cukup dia.”
“Lah dia kan cowok?” balasnya.
“Iya. Maksudku, argghhhh auk ah. Rese nget sih aelah. Bantuin kek. Seneng nget ngelihat adiknya galau begini.”
Dia mengangkat sebelah alis. “Sejak kapan aku punya adik kek kamu.”
Aku mendelik. Segera aku memutar tubuh menghadap kakak tertua. “KAKKK. Dia nih.” aduku.
“Terus kamu maunya gimana? Beberapa saran udah dikasih. Tinggal pilih.”
Aku menatap mereka dengan pandangan sayu. Ya Allah, perasaan aku dihadapin tugas bejibun gak seribet ini. Kenapa cuma urusan cinta jadinya galau kek mikirin tugas jokowi.
“Saran yang lain lagi.” pintaku.
“Ya udah gini aja, kamu biasanya nulis cerita kan? Tulis aja kisahmu sekarang ke dalam cerita. Tag ke dia.”
Mataku yang awalnya berbinar, tiba-tiba mendung. “Harus tag ke dia? Ngapain? Malu lah Kak.”
“Ya tuhan... Terserah kamu dah mau ditag ke dia atau nggak. Itu saran terakhirku. Kalau gak cocok lagi, cari saran ke yang lain.”
“Gak mau. Ya udah yang terakhir aku masukin opsi.” serahku benar-benar pasrah.
“Nah gitu. Dari tadi nanya aku harus gimana mulu. Tapi gak cocok terus sama saran yang dikasih.”
Aku cengengesan. Menatap keadaan luar dengan perasaan lega. Mencurahkan isi hati dengan mereka sering buatku lega. Tiba-tiba ditengah asyik memandang motor-motor yang berjejer rapi di parkira. Mataku berhenti pada satu sepeda motor dengan helm nangkring di kaca spion. Itu milikinya. Itu kendaraan yang mengantarnya belajar. Aku hafal bentuk helm dan merek sepeda motornya. Deg-deg-deg... mampus loe! Tak sadar aku meremas bahu kakak tertuaku.
“Errr... Ya Allah Kak Ya Allah Kak... Adikmu ini mulai gila Kak. Lihat motornya doang nih jantung rasanya udah bosen jedug-jedug di sini mulu. Pen pindah tempat lain.” ucapku tertahan sambil menyentuh di mana jantungku bekerja sekarang.
“Ya udah ungkapin cepat sana, mumpung di sini juga dianya.”
Aku menoleh cepat, lalu kembali memandang kendaraan roda dua itu.
“Ngelihat motor sama helmnya doang, jantung udah begini Kak. Gimana ngomong depan mukanya langsung, stroke usia muda gue Kak.”
“Lah urusannya sama stroke apaan?” tanyanya heran.
“Gak ada sih, hehehe. Udah ih Kak aku mau nikmatin memandang sepeda motornya aja, soal ngungkap-mengungkap untuk sekarang gak bakal aku lakuin.” jawabku gak jelas.
Dia geleng-geleng kepala. “Dek-dek... Sian banget sih hidupmu. Kisah cinta di cerita yang kamu tulis aja romantisme, kisah cintamu sendiri mirisme. Malu sama rumput yang bergoyang.”
Aku kembali berhenti heboh memandang sepeda motor miliknya. Menoleh cepat. Memasang wajah datar.
“Apa urusannya sama rumput yang bergoyang?”
Dia nyengir.

Aku menahan tawa mengingat percakapan siang tadi. Setelah memikirkan matang-matang dan mempertimbangkan konsekuensi yang aku terima nanti, segera aku bergegas mengambil laptop. Mencoba menuangkan apa yang aku ingin tuangkan ke dalam tulisan.

To Be Continued


Tidak ada komentar:

Posting Komentar