Malam ini
aku tak ubahnya seperti abg labil yang tengah putus cinta. Merenung, namun
tanpa adanya adegan meraung-raung. Berbaring menatap penuh menerawang
langit-langit kamar. Memutar kembali rekaman otak berisikan percakapanku dengan
dua lelaki dan seorang gadis yang mau menerimaku sebagai sahabat. Percakapan
yang berselang hanya beberapa menit selagi menunggu waktu mata kuliah psikologi
sosial dimulai. Duduk bersila dengan santai dekat tangga menuju lantai 3 tempat
belajar kami nanti sambil memandang dari kaca parkiran luas gedung RKB.
“Kamu suka
sama dia?” tanya sahabatku yang memiliki tubuh besar di antara kami.
Aku
mengangguk. “Mulai nanjak ke tahap sayang deh kayaknya. Auk aku gak ngerti.”
“Yang 6 tahun
udah move on berarti?” tanyanya lagi.
Aku
mendongak Nyengir. “Udah kayaknya. Kan udah nemuin cinta yang baru.”
“Bukan cinta
yang baru, masih tahap di antara suka dan sayang.”
“Yayayaya
serah loe bilangnya gimana.” balasku gemas.
Dia ngakak.
Aku mendengus ketara. Sudah lebih dari 15 menit, dengan serius mereka
mendengarkan setiap kata-kata yang aku gunakan mendongengkan mereka kisah
beberapa waktu dekat ini. Kisahku dengan objek yang tengah aku buru. Aelah..
loe kira apaan?
“Jadi aku
harus gimana? What must I do?” rengekku menenggelamkan muka diantara kedua
lututku.
Aku gila dengan
perasaan aneh ini. Aku merasa heran. Perasaan dulu memendam rasa selama 6 tahun
lamanya, gue anteng-anteng aja. Kenapa sekarang baru beberapa bulan
mencak-mencak udah kek anak kembar rebutan siapa yang jadi kakak, siapa yang
jadi adik.
“Yang kamu
mau itu apa?” tanyanya.
Aku
mengangkat kepala. Menatapnya lagi. Menatap kedua sahabatku yang juga menanti
jawabanku -mungkin.
“Aku mau
tahu respon dia terhadap perasaanku.”
“Yaudah
tinggal tanyain sono.”
Reflek aku
menoyor kepalanya –sahabat yang usianya paling tua. Enteng bener kalau ngasih
saran.
“Ya kali
Kak. Ane kan cewek.”
Dia
melengos. Lalu mencengkram kedua bahuku. Menghadapkan padanya. Sepertinya dia
akan berbicara serius.
“Dengerin
Kakakmu ini. Ngapain ada emansipasi wanita kalau masalah ngungkapin perasaan
aja masih harus ngeributin masalah kelamin? Kalau ngantri sesuatu aja, ladies
first-ladies first. Masalah kek begini mesti cowok duluan.”
“Ya tapi kan
walaupun ada emansipasi wanita, tetap aja yang namanya cewek itu kodratnya
nunggu!” balasku geram.
Dia
berdecak. “Mau nunggu lagi? Mau nunggu 6 tahun lagi terus ngedapetin kenyataan
dia udah punya pacar? Mau kek gitu lagi?”
Tampangku
yang awalnya songong jadi melas. Menggeleng lesu. “Gak mau. Hayati sudah lelah
jikalau menerima kenyataan seperti itu lagi.” ucapku penuh dramatis.
“Ya udah
ungkapin.”
“Gak ada
alternatif lain?” tawarku dengan muka lebih memelas lagi. Ya kali aku harus
ngelakuin itu. Kemana harga diriku nanti? Tapi aku ingin dia tahu dan ingin
tahu responnya. Ya Tuhan, ada kobokan buat nyelupin muka, terus abis nyelupin
bisa berubah jadi Kety Perry? Fufufu...
“Gak ada.
Lagian kan cuma ngungkapin doang sih? Gak minta dia buat jadi pacar kan?”
Aku
mendelik. “Ya nggak lah. Kakak kan tahu aku gak mau punya pacar.”
“Ya udah.
Apalagi yang perlu diribetin? Apa aku sama Kakakmu yang ini yang bilang ke
dia?”
Aku makin
mendelik tajam. “Ya kali ngapain?” tolakku cepat.
“Tapi gak
papa sih.” tambahku lirih.
Mereka
melengos bersamaan. Aku nyengir. Mampus kan loe, ribet kan? Hahaha. Suasana
tiba-tiba hening. Aku meringsek ke sahabatku yang cewek. Merengek-rengek kek
bayi nagih ASI.
“Gimana?”
rengekku padanya.
“Jangan
nurutin sarannya dia. Kita cewek. Gak perlu ngelakuin itu. Dengerin saran
kakakmu ini.”
Kulihat
sahabat yang notabenenya menjabat sebagai kakak tertua kami mendengus.
“Cewek...
cewek. Ada aja yang dibikin ribet.”
Mendengar
itu, aku langsung menegakkan tubuh kembali yang semula dalam posisi setengah
tidur di pangkuan sahabat cewek sebagai kakak kedua.
“Bukan gitu
Kak. Coba deh ngasih sarannya gunain sudut pandang cewek, jangan sudut pandang cowok
yang nemuin mangsa langsung gerak.”
Dia mendesah
lelah. “Dengerin, kamu itu udah punya point plus Dek. Kamu gak mau pacaran. Jadinya
kalaupun responnya gak sesuai dengan yang kamu ekspektasikan, sakitnya itu gak
menjalar ke mana-mana.”
Aku diam.
Mencoba mencerna yang dia omongkan. Benar juga sih. Tapi...
“Tapi kan
tetap aja Kak. Maluuuu. Ya kali tiba-tiba aku bilang ‘Kak aku tresno karo pean.
Pean tresno gak karo aku?’. Aduhh kak, berasa kek mau ngadepin kiamat. Sumpah
hayati tidak punya nyali untuk melakukan itu.” ucapku sangat mendramatisir
sekali.
Dia tertawa.
Dua sahabatku yang lain juga mesem-mesem. Aku menunduk. Memilin-milin ujung
kerudung yang aku biarkan jatuh bebas di pangkuan.
“Terus maumu
gimana?” tanyanya gemas.
“GAK TAHU.
KALAU TAHU NGAPAIN MINTA SARANN.” jawabku setengah berteriak.
“KAN UDAH
DIKASIH SARAN INI. MAKANYA NURUT!” balasnya tepat di telinga kananku.
Setelah
adegan saling meneriaki, kami diam. Aku mendengus. Menstabilkan nafas yang
memburu. Dua sahabatku yang lain cuma bisa menyaksikan. Memang diantara kami,
yang paling berpengalaman soal cinta yaitu sahabatku yang sebagai kakak tertua.
Dia yang pemikirannya paling dewasa, dan aku yang tingkahnya paling
kekanak-kanakkan. Diantara kami berempat, akulah paling muda. Walaupun hanya
selisih sebulan-dua bulan, pengecualian kakak tertua. Usianya selisih 2 tahun
dengan kami. Mungkin itulah yang membuat kami nyaman dan senang tiap cerita dan
meminta solusi darinya.
“Mau saran
lain?” tanyanya memecah keterdiaman.
Aku
mengangguk kuat-kuat. Nyengir seperti biasa.
“Kasih
perhatian ke dia. Sms setiap pagi ucapin selamat pagi.”
Sarannya
yang ini sukses buatku menganga. Tuhan... Aku mengusap kasar wajahku.
Memandangnya gemas.
“Ya Allah,
Kak. Itu bikin geli. Aduh... bukan aku bingitsss.”
Ya kali kan
tiap pagi ngirim ucapan selamat pagi. Loe kira gue alfamart, indomart. Selamat
pagi dan selamat berbelanja. Hadehhh...
Dia mengernyit,
“Selama ini gak pernah sms-an?”
Aku
menggeleng polos, “Nggak. Paling juga kalau sms ya atas dasar kebutuhan doang.
Ngapain sms kalau gak butuh?”
Sekarang
giliran dia yang mengusap kasar mukanya. Mulai lelah menghadapiku –mungkin.
“Gimana dia
bakalan jadi orang yang butuh kamu maupun sebaliknya, Dek. Kalau kelakuanmu kek
begini. Serius sayang gak sih?”
Aku manyun,
“Serius lah Kak! Jantung berdegup kencang tiap lihat helm plus motornya, gak
sanggup ngomong kalau udah ngelihat mukanya, otak rasanya berhenti bekerja tiap
di dekat dia itu kurang nunjukin kalau aku serius?”
“Itu kan
yang gak kamu lihatin. Kamu malah ngelihatin kelakuanmu yang nunjukin kalau
kamu cuma main-main. Ngegoda dan ngucapin kalau suka sama dia di depan orang
banyak yang nimbulin cie-cie di mana-mana. Inget gak sama teman sekelas kita
yang kamu godain. Kamu bilang keras-keras di depan kelas ‘Aku suka kamu’ terus
ketawa-ketawa. Ya kita mikirnya kamu bercanda. Nah kamu nunjukin kalau kamu
serius sama dia dengan cara kek gitu juga. Ya mana dia percaya kalau kamu gak
main-main. MIKIR! UMUR UDAH MAU 20 GAK USAH KEK ANAK KECIL! MIKIR!”
“Ya tuhan,
jleb banget sih Kak. Ya terus aku harus gimana?” rengekku lagi.
Dia
menghembuskan nafas sebelum mengusap-usap ubun-ubunku kek ngusap anak anjing.
“Dari tadi
nanyanya aku harus gimana, aku harus gimana tapi nolak mulu tiap dikasih
saran.---”
“Tunjukin
kalau kamu serius dengan perasaanmu.”
Aku makin
memelas, “Malu Kak.”
“Ck... orang
biasanya di kelas sering malu-maluin diri. Sekalian aja sih nyegur.”
Aku melotot,
“BEDA KONTEKS KAK. Lagian aku selama ini nunjukin kode-kode. Dia aja yang
pura-pura gak peka.”
Dia memutar
bola matanya, “Kamu waktu ngekode itu bercanda kan?--”
“Gak usah
ngelak, kita tahu kamu orangnya gimana.” lanjutnya cepat saat tahu aku akan
membela diri.
Lagi, aku
nyengir. “Tapi ada beberapa kode yang aku lancarkan dengan serius Kak. Tapi
tetep aja. Aku terus-terusan ngasih kode, dia terus-terusan pura-pura gak peka
sama kodeku. Gitu aja mulu sampai Alexander Graham Bell gak diakui jadi penemu.
Hayati lelah Kak.” balasku kesal.
“Makanya
kalau jadi cewek itu kelakuannya kayak cewek pada umumnya. Kamu jadi cewek kok
gak ada jaim-jaimnya. Gak ada angin gak ada ujan nari-nari, senam-senam gak
jelas di depan kelas. Gimana cowok mau ngelirik?”
Sekarang
giliran sahabatku cowok yang satunya. Dia memiliki wajah di atas standar ukuran
laki-laki. Body atletis. Laki-laki tulen. Gaya hidup sederhana tapi mempesona.
Namun disamping itu, dia saat ini nasibnya kurang beruntung. Bukannya cewek
yang ngedeketin, malah yang sekelamin sering mepet-mepet. Puk-puk-puk...
“Aku gak
perlu cowok buat ngelirik. Cukup dia.”
“Lah dia kan
cowok?” balasnya.
“Iya.
Maksudku, argghhhh auk ah. Rese nget sih aelah. Bantuin kek. Seneng nget
ngelihat adiknya galau begini.”
Dia
mengangkat sebelah alis. “Sejak kapan aku punya adik kek kamu.”
Aku
mendelik. Segera aku memutar tubuh menghadap kakak tertua. “KAKKK. Dia nih.”
aduku.
“Terus kamu
maunya gimana? Beberapa saran udah dikasih. Tinggal pilih.”
Aku menatap
mereka dengan pandangan sayu. Ya Allah, perasaan aku dihadapin tugas bejibun
gak seribet ini. Kenapa cuma urusan cinta jadinya galau kek mikirin tugas
jokowi.
“Saran yang
lain lagi.” pintaku.
“Ya udah
gini aja, kamu biasanya nulis cerita kan? Tulis aja kisahmu sekarang ke dalam
cerita. Tag ke dia.”
Mataku yang
awalnya berbinar, tiba-tiba mendung. “Harus tag ke dia? Ngapain? Malu lah Kak.”
“Ya tuhan...
Terserah kamu dah mau ditag ke dia atau nggak. Itu saran terakhirku. Kalau gak
cocok lagi, cari saran ke yang lain.”
“Gak mau. Ya
udah yang terakhir aku masukin opsi.” serahku benar-benar pasrah.
“Nah gitu.
Dari tadi nanya aku harus gimana mulu. Tapi gak cocok terus sama saran yang
dikasih.”
Aku
cengengesan. Menatap keadaan luar dengan perasaan lega. Mencurahkan isi hati dengan
mereka sering buatku lega. Tiba-tiba ditengah asyik memandang motor-motor yang
berjejer rapi di parkira. Mataku berhenti pada satu sepeda motor dengan helm
nangkring di kaca spion. Itu milikinya. Itu kendaraan yang mengantarnya
belajar. Aku hafal bentuk helm dan merek sepeda motornya. Deg-deg-deg... mampus
loe! Tak sadar aku meremas bahu kakak tertuaku.
“Errr... Ya
Allah Kak Ya Allah Kak... Adikmu ini mulai gila Kak. Lihat motornya doang nih
jantung rasanya udah bosen jedug-jedug di sini mulu. Pen pindah tempat lain.”
ucapku tertahan sambil menyentuh di mana jantungku bekerja sekarang.
“Ya udah
ungkapin cepat sana, mumpung di sini juga dianya.”
Aku menoleh
cepat, lalu kembali memandang kendaraan roda dua itu.
“Ngelihat
motor sama helmnya doang, jantung udah begini Kak. Gimana ngomong depan mukanya
langsung, stroke usia muda gue Kak.”
“Lah
urusannya sama stroke apaan?” tanyanya heran.
“Gak ada
sih, hehehe. Udah ih Kak aku mau nikmatin memandang sepeda motornya aja, soal
ngungkap-mengungkap untuk sekarang gak bakal aku lakuin.” jawabku gak jelas.
Dia
geleng-geleng kepala. “Dek-dek... Sian banget sih hidupmu. Kisah cinta di
cerita yang kamu tulis aja romantisme, kisah cintamu sendiri mirisme. Malu sama
rumput yang bergoyang.”
Aku kembali
berhenti heboh memandang sepeda motor miliknya. Menoleh cepat. Memasang wajah
datar.
“Apa
urusannya sama rumput yang bergoyang?”
Dia nyengir.
Aku menahan
tawa mengingat percakapan siang tadi. Setelah memikirkan matang-matang dan
mempertimbangkan konsekuensi yang aku terima nanti, segera aku bergegas
mengambil laptop. Mencoba menuangkan apa yang aku ingin tuangkan ke dalam
tulisan.
To
Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar