Minggu, 24 Juli 2016

HAVING BABIES? WHY NOT?! #CERITA LEPAS (1/3)



Hallooo... yang rindu dengan Rio-Ify di HBWN, ini ada cerita lepasnya. Ini udah lama dibikin waktu mau lebaran, tapi baru post. Hehehe... akan ada 3 part. 
Hope you like guys,,
@
@
@
@
Fyuhhh... hari yang melelahkan. Dia seharian disiksa oleh bundanya mengelilingi mall terbesar di jakarta. Dari arah tangga menuju lantai dua tampak saudara kembarnya dengan santai menggendong bayi perempuan usia 1 tahun lebih 3 bulan. Bayi itu terkikik geli karena ciuman-ciuman yang didaratkan di seluruh permukaan wajah oleh abangnya. Di belakang tubuh abangnya, seorang anak laki-laki usia 4 tahun dalam keadaan rusuh dengan kaos dipenuhi noda-noda makanan. Kedua tangannya gelendotan pada kaki jenjang abangnya. Syukurlah hari ini dia bertugas menemani bundanya. Bisa-bisa dia mokel kalau mengurus adik-adiknya yang masih kecil itu.
“Capek?” tanya abangnya yang sudah duduk di sampingnya.
Dia menghindar ke sudut kanan sofa ketika pria kecil yang membuntuti abangnya itu menunjukkan tanda-tanda akan membagi ‘hasil main’ padanya.
“Bang, adik Abang nih." gerutunya.
“Ha—”
“Itu adikmu juga, Mbak.” ucap seseorang memotong kalimat yang akan dilontarkan Rasya.
Masya menghela nafas. Akan ada ceramah setelah ini. Ia memandang kakak tertuanya –Rama—yang mengambil tempat di atas pegangan sofa. Merangkul lehernya. Mengusap wajahnya yang ditekuk berlipat-lipat.
“Asya capek, Kak.” keluhnya berharap kakaknya tak memberikan kalimat nasihat yang tak hanya sekali dipersembahkan untuknya.
Jaga kalimatmu, Mbak. Kamu mau Bunda sama Ayah kecewa ngelihat kamu secara tersirat gak nerima kehadiran adik-adikmu?
Masya bukan tidak menerima. Dia menerima kehadiran makhluk-makhluk menggemaskan dan menyebalkan dalam 1 waktu itu. Hanya saja dia kurang bisa menghadapi dan suka anak kecil. Jaraknya dengan adik laki-lakinya cukup jauh baginya –11 tahun— sehingga dia yang saat itu diperlakukan sebagai adik merasa belum siap untuk langsung berperan sebagai kakak. Sementara Rama, hanya bisa mengusap-usap puncak kepala adik perempuannya yang baru sebulan melewati usia 15 tahunnya. Sebenarnya, capeknya sama dengan Masya. Ia turut menemani bunda mereka, mengingat bunda juga membelikan para laki-laki di keluarga mereka.  
“Tidur gih. Jam 4 Kakak bangunin. Satu jam cukup untuk ngisi energi lagi.” titahnya menarik tubuh Masya yang bersandar pada sofa.
Masya mendengus, “Kakak gak lupa kan, jam segini itu aku ha—”
“Biar Kakak yang gantiin. Kakak yang buat takjil, jadi kamu nanti tinggal bantuin Bunda masak buat buka.” potong Rama langsung tanpa pikir panjang yang memberikan kecerahan pada wajah Masya.
Gadis itu langsung menegakkan tubuh. Beranjak dari sofa menghadap dirinya. Mengalungkan tangan di lehernya. Memberinya kecupan singkat di pipi kanan dan kiri sebagai bentuk lain ungkapan terima kasih yang menjadi ciri khas Masya. Setelah itu dengan semangat 45, berlalu menuju kamar yang diapit oleh kamarnya dan Rasya. Adik perempuannya memiliki sifat sebelas dua belas dengan bundanya. Paras yang sama cantik dengan bundanya walaupun dapat jatah hidung mungil. Mata lebar. Rambut panjang hitam pekat setengah bergelombang yang sering diurai hingga nyaris menyentuh pantat. Kulit kuning langsat. Bersih dan mulus. Sudah tak terhitung berapa banyak teman sepantarannya yang meminta izin untuk mendekati Masya yang ia tolak mentah-mentah. Dia tak mau di usia adiknya yang masih 15 tahun itu harus terkontaminasi dengan hal-hal yang berbau cinta, dalam hal ini cinta selain pada keluarga. Menggeluti persoalan cinta sebelum masanya merupakan sesuatu yang kurang bijak untuk dilakukan.
“Udah lihatnya, Kak. Suka, mampus loe.” celetuk Rasya yang masih bermain dengan Marsha—adik terakhirnya untuk saat ini.
Rama memutar bola matanya kesal. Tak hanya kali ini Rasya nyeletuk begitu tiap kali ia memandang lama Masya. Masya maupun Rasya tahu mengenai dirinya yang bukan anak kandung orang tua mereka. Belum sempat ia membalas, suara bunda dan ayahnya terdengar meributkan sesuatu. Rupanya sang ayah sudah pulang.
“Beli online aja kan bisa, Dear. Kasihan Masya kamu paksa keliling mall. Kalau anaknya suka shopping gak papa. Nah ini?”
Tampak bundanya mencebik kesal. Meronta dalam rangkulan ayahnya. Persis seperti Masya kalau sudah menerima ketidaksepakatan pendapat darinya.
“Ya kan biar Masya lurus sedikit, Kak. Masak setahun bisa dihitung itu anak belanja baju berapa kali. Mau Ify terus yang beliin? Ntar kalau udah nikah, bisa-bisa suaminya yang belanjain bajunya.”
Ia dan Rasya sontak terkekeh mendengar penuturan bunda mereka yang sekarang sudah berhasil melepaskan diri dari rangkulan ayah. Mengambil alih Marsha dari pangkuan Rasya dan duduk santai di sofa depan mereka. Sementara Rafa sudah berada dalam gendongan ayahnya.
“Maaf ya Abang. Bunda harus nitipin Adik Marsha dan Rafa ke Abang seharian ini.” tutur Ify di sela-sela menggelitiki Marsha dengan ciumannya.
“Iya, Bun.” jawab Rasya singkat dengan tatapan yang memberikan jawaban lebih dari sekedar “iya”.
“Mas Ofi mana, Bang?” tanya Ify menanyakan keberadaan anak laki-lakinya –Yofi— yang berusia 8 tahun.
“Masih tidur Bun.” jawab Rasya mengedikkan dagu ke arah kamar yang berada di lantai dasar bersebrangan dengan kamar orang tuanya.
“Jam berapa Mas pulang main?”
“Jam 1an Bun. Mandi, sholat, langsung tidur. Ngeluh haus tadi yaudah Abang suruh tidur.”
Ify mengangguk-angguk paham. Menoel-noel pipi gembul anak perempuannya yang terakhir sebelum memandang Rama menyandarkan kepala pada sofa dengan mata terpejam.
“Belanjaan Bunda masih di mobil, Kak. Bunda beliin Abang, Kakak, Ayah, Mas Ofi, sama Adik Rafa kembaran. Bunda kembaran sama Mbak dan Adik Marsha.” lapornya pada Rama yang langsung mengerti dan beranjak dari sofa diikuti Rasya.
Panggilan abang untuk Rasya, kakak untuk Rama, mbak untuk Masya, dan mas untuk Yofi. Dia belum mempersiapkan panggilan untuk Rafa dan Marsha jikalau Rio meminta tambah anak lagi. Ia menoleh pada Rio. Kemeja dan jas Rio tak terhindar dari noda makanan yang masih basah di baju Rafa.
“Kakak...” rengeknya.
Rio berdeham. Menyerong wajahnya menghadap Ify.
“Boleh minta tolong?” tanya Ify memasang wajah polos menggemaskannya yang kalau saja tak puasa akan Rio serang dengan ciuman-ciumannya.
“Minta tolong apa, Sayang?” balasnya dengan nada sok imut menyamakan dengan Ify.
Ify nyengir, “Ify capek. Boleh minta tolong mandiin Marsha sama Rafa?”
Rio melongo. Capek ya? Capek ngabisin duit suami? Iya. Soalnya duit suami gak habis-habis dibelanjain, mau tiap hari belanja juga gak bakal habis. Sebenarnya Ify mampu membeli baju-baju untuk lebaran dengan uangnya sendiri dari hasil buka praktiknya. Tapi ia tak mau Ify menggunakan uang itu jika untuk keperluan keluarga. Bahkan keperluan pribadi pun seringkali ia memarahi Ify jika menggunakan uangnya sendiri. Jadilah tabungan Ify jarang tersentuh.
Beberapa menit berpikir, ia mengangguk. Mengambil alih Marsha dari pangkuan Ify. Jarang-jarang Ify meminta tolong untuk mengurus anak-anak mereka seperti ini, karena terkadang ia yang sering langsung turun tangan untuk membantu.
“Ify tidur sebentar boleh? Nanti jam 4 tolong dibangunin.” pinta Ify dengan nada manja yang makin tak bisa ditolak olehnya.
Lagi-lagi ia hanya mengangguk. Dengan gerakan bersamaan, mereka beranjak dari sofa menuju kamar mereka yang berada di lantai dasar bersebelahan dengan kamar Rafa dan Marsha. Dari arah pintu utama, Rasya dan Rama menjinjing masing-masing lebih dari 5 kresek dengan label yang familiar bagi mereka.
“Bunda dalam keadaan sadar gak sih belanja segini banyaknya.” gumam Rasya geleng-geleng kepala dengan 1-2-3-4—8 kresek yang berada dalam pegangannya, belum yang ditenteng oleh Rama.
Rama tertawa, “Bunda sebenarnya malas juga harus ke mall, Bang. Cuma karena selama puasa gak ingat kalau belum persiapan lebaran untuk keluarga kita sendiri, jadinya kayak gini. Sekalian kata Bunda buat ngelatih Masya.”
Rasya hanya mengangguk-angguk paham. Selama bulan puasa memang Bunda fokus pada takjil, buat parsel dengan jumlah yang lumayan sehingga membutuhkan waktu untuk persiapan bahan hingga membungkusnya. Bunda tak pernah suka jika harus beli jadinya. Setelah itu persiapan untuk open house. Belum lagi profesi Bunda sebagai dokter walaupun buka praktik sendiri. Bunda yang kurang pintar membagi fokus seperti ayahnya, membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan itu semua. Ayah bersikeras ingin membantu, namun bunda lebih keras kepala lagi –tak mau dibantu—karena bunda sangat tahu bahwa membantu versi ayahnya yaitu mengambil alih.
“ABANG, KAKAK. KALAU UDAH, BANTUIN AYAH SINI.”
Teriakan Ayahnya terdengar dari kamar si adik-adik kecil saat mereka telah menaruh seluruh belanjaan tersebut di karpet ruang keluarga. Mereka sudah menduga apa yang dilakukan ayahnya di kamar, terlebih saat melewati kamar orang tuanya dalam keadaan setengah terbuka menampilkan sang bunda yang tengah meringkuk di atas ranjang.
“Abang udah tadi Yah seharian.” ucap Rasya berdiri di ambang pintu kamar adik-adiknya, mengirim kode untuk mengikuti permainannya pada Rama yang berada di hadapannya.
“Kakak juga seharian nemenin Bunda, Yah.” sambung Rama yang langsung paham, menahan kekehan.
Rupanya mereka ingin menggoda ayahnya dulu sebelum membantu. Ayahnya yang duduk membelakangi, langsung menoleh. Tatapan sang ayah tak mengenakkan. Akhirnya tanpa memperpanjang durasi, keduanya mendekati ranjang yang sudah berantakan dengan peralatan bayi. Bedak ditabur oleh Marsha, dan Rafa membantu meratakannya ke seluruh permukaan ranjang sekitar mereka. Lalu ditempelkan ke masing-masing wajah mereka. Aduhhh... adik-adiknya ini. Dulu mereka seperti itu kah?
“Bercanda kali, Yah.” ucap Rama mengangkat tubuh Marsha yang mengakibatkan dirinya mendapat tabokan bedak.
Bukannya kesal, Rama makin menyodorkan wajahnya untuk ditaburi bedak lebih banyak membuat Marsha terpekik senang dan lebih semangat meratakan bedak di wajahnya. Untuk ukuran pemuda usia 17 tahun, Rama terbilang dewasa melebihi umurnya. Memiliki role model seorang pria yaitu Rio, menjadikan Rama bahkan Rasya tumbuh membanggakan. Suara gebrakan pintu yang ditutup setengah oleh Rasya tadi, menghentikan kegiatan ketiganya. Marsha menangis shock yang langsung digendong Rama keluar kamar menuju halaman belakang rumah.
“Biar Abang yang ngurus Mas Ofi, Yah. Ayah mandi aja.” tutur Rasya bangkit dari kaki ranjang menghampiri Yofi yang masih setengah sadar mengelus jidatnya yang membentur pintu kamar.
Rio mengangguk. Mencium kening Rafa sebelum berlalu meninggalkan kamar untuk bersih-bersih badannya yang bertambah lengket. Rafa sudah berada di lantai berlapis karpet. Memainkan mobil-mobilannya sambil bersuara menirukan suara mesin mobil.
“Ayo Abang gendong.” ajak Rasya yang sudah jongkok membelakangi Yofi.
“Mas mau main sama Adik, Bang.” tolak Yofi langsung berjalan melewatinya.
Rasya gerak cepat. Di angkatnya tubuh Yofi menimbulkan teriakan penuh amukan sekaligus gerakan memberontak ingin dilepaskan. Dia tak akan membiarkan Yofi mendekati Rafa dalam keadaan mengantuk yang dipaksa sadar karena nantinya tingkah Yofi akan menyebalkan. Dia sudah hafal. Pasti nanti endingnya, Rafa menangis, dan Yofi dengan tampang tak berdosanya menggantikan Rafa menggeluti mainannya. Kasihan bundanya nanti harus menenangkan Rafa karena balita 4 tahun itu hanya mempan ditangani oleh bundanya.
***
Ritual setelah berbuka yaitu duduk santai di ruang keluarga. Suara takbir terdengar sejak maghrib. Rio, Rama, Rasya, Yofi, dan Rafa menunggu waktu isya untuk bergegas ke masjid yang berada beberapa gang dari rumahnya. Turut serta mengumandangkan takbir. Sedangkan ia dan kedua anak perempuannya, memilih melafalkan takbir dalam hati seraya menyiapkan bahan-bahan masakan untuk sajian open house besok. Sudah terhitung ketiga kalinya ia mengadakan open house semenjak anak-anaknya bisa diandalkan untuk membantunya. Memasuki usia 12 tahun, Masya sudah ia latih lebih dalam lagi berkenaan dengan mengurus rumah, dan sebagainya yang berbau peran wanita sesungguhnya. Dia tak mau Masya menjadi gadis sepertinya dulu. Tak hanya Masya, anak laki-lakinya yang sudah beranjak remaja juga tanpa diminta olehnya, berkeinginan kuat untuk turut menekuni dunia wanita yang satu itu. Mungkin karena sering didongengi kisah hidup Rio, membuat mereka terinspirasi untuk mengikuti jejaknya. Bahkan Rama sudah menyiapkan modal untuk menikah walaupun jodohnya belum ada.
 “Bunda mau ngasih kita adik lagi?”
Tiba-tiba saja tak ada hujan tak ada macet, Masya yang baru muncul dari arah dapur membawa cemilan dan duduk di hadapannya, menanyakan hal yang membuat Ify melepas pelukannya pada Rama. Tubuh Rama yang menyerupai perawakan Rio ketika masih seperti usianya dulu –bahkan lebih bagus Rama— sangat nyaman untuk dipeluk.
“Bunda tergantung Ayah kamu, Mbak.” jawabnya merangkul lengan Rio yang juga shock dengan pertanyaan tiba-tiba itu.
Jika melihat tampang Masya saat bertanya, Rio menyimpulkan bahwa Masya sudah tak menginginkan adik lagi. Hal itu diperkuat oleh ucapan Masya selanjutnya.
“Mbak gak mau punya adik lagi, Bun.”
Rama dan Rasya pamit untuk menyiapkan diri ke masjid sebelum tawa mereka meluncur tak sopan di hadapan orang tuanya. Terlebih melihat wajah masam ayahnya mendengar pengutaraan hati Masya. Rama berlalu dengan menggendong Rafa yang cukup sulit untuk dirayu meletakkan mainannya. Namun setelah menawarkan sesuatu yang menarik perhatian Rama, barulah adiknya itu mau mengalungkan tangan ke lehernya. Rasya tak perlu susah mengingat Yofi jika dalam keadaan sadar, mudah untuk diperintah. Adiknya yang benar-benar duplikat ayah waktu kecil itu sudah setinggi bahunya. Bisa-bisa saat remaja nanti melebih tingginya yang saat ini mencapai angka 168 cm.
Ify menarik tangan Masya agar duduk di antara dia dan Rio. Merangkul hangat anak gadisnya yang bertambah cantik itu. Rio menurunkan Marsha yang tak mau diam di pangkuannya. Membiarkannya mengganti posisi Rafa. Baru menaruh fokus pada muka Masya yang tertekuk. Lagi badmood kayaknya. Pantas saja aneh.
“Mbak kenapa gak mau punya adik lagi?” tanya Rio turut mengusap rambut panjang perempuannya.
“Ayah mau punya rencana bikin Bunda hamil lagi?” sambar Masya kesal dengan nafas memburu, melepas rangkulan bundanya.
“Jaga nada suara kamu, Mbak.” tegur Ify lebih dulu sebelum Rio yang menegur, karena kalau sudah laki-laki itu yang menegur bisa gawat.
Masya mendengus. Ia malas kalau sudah begini. Pasti aspirasinya tak diterima oleh ayahnya. Oleh karena itu, ia memilih beranjak dari sofa tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Rio mencegah Ify yang akan menyusul. Biar dia yang atasi. Dengan langkah panjang, Rio berhasil menyamai langkah Masya yang berjalan ke halaman samping. Tempat favorit gadis itu jika sedang stress dengan tugas-tugas sekolah. Tampak Masya duduk di ayunan dengan muka menengadah menatap langit yang cukup cerah malam ini setelah 2 hari hujan turun. Ia berjalan pelan menghampiri dan mengambil tempat di samping Masya.
“Mbak kenapa?” tanyanya merangkul lembut Masya yang hanya pasrah.
Ia menggeleng. Sekali ia menyerukan suara hatinya dan tak diterima langsung, maka jangan harap memintanya untuk mengulang.
“Kenapa Mbak gak mau punya Adik lagi?”
Rio mengganti pertanyaannya merasa pertanyaan sebelumnya tak akan menuai jawaban.
“Apa setelah Mbak bilang alasannya Ayah bakal turutin Mbak?” tanya Masya masih dengan nada kesal yang ketara.
Rio diam sebentar. Menekan geram. Dia bertekad akan menghadapi segala bentuk perilaku menentang anaknya dengan kepala dingin tanpa keterlibatan emosi negatif, seperti ketika dia membimbing Ify menjadi istrinya. Wanita itu manja, ingin selalu dituruti tapi tetap patuh, sopan, dan mandiri.
“Apa Mbak merasa perhatian Ayah sama Bunda mulai berkurang? Mbak gak mau perhatian Ayah sama Bunda dibagi lebih banyak lagi?” tanyanya mencobak menebak.
“Bukan, Yah. Bukan itu.” sanggah Masya menggeleng kuat.
Wajah kesalnya sudah berubah menampilkan rasa bersalah.
“Perhatian Ayah sama Bunda cukup ke Mbak. Sangat cukup. Malah Mbak ngerasa seperti anak tunggal.” jelas Masya memeluk perut ayahnya.
Dia berkata seperti itu bukan perkara perhatian ayah dan bundanya. Perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya lebih dari cukup. Bahkan dibanding dengan teman akrabnya yang hanya memiliki 2 saudara, dia merasa perhatian orang tuanya lebih besar. Setiap pembagian hasil belajar pun, sesibuk-sibuknya bunda/ayah pasti salah satu dari mereka siap untuk menerima. Setiap ada acara pentas seni, ayah dan bundanya pasti meluangkan waktu untuk menyaksikan penampilannya. Hari ulang tahunnya, orang tuanya bahkan membebaskan diri mereka dari pekerjaannya selama 3 hari untuk berlibur sebagai bentuk perayaan. Dia punya ayah yang hebat dalam membagi waktu. Dia punya bunda yang sangat menyayangi anak-anaknya, yang menangis tersedu-sedu walau mereka hanya terjatuh dari tempat tidur.
 “Mbak kasihan sama Bunda dan Ayah.” tuturnya setelah selang waktu hanya diam  mengisi keheningan.
“Mbak kasihan lihat Ayah pulang kerja langsung bantu Bunda ngurus adik. Mbak kasihan lihat Bunda bolak-balik tempat praktik—rumah walaupun jaraknya cuma beberapa meter tiap adik nangis. Belum lagi nemenin Mbak belajar. Kakak dan Abang enak sudah bisa belajar sendiri. Kakak dan Abang sering bantu Bunda. Mbak gak bisa bantu apa-apa. Bukan karena Mbak gak suka anak kecil, Yah. Mbak gak tahu harus gimana menghadapi mereka. Mbak bingung mau ngapain. Mbak suka iri sama Abang dan Kakak yang selalu tahu caranya berhentiin Marsha nangis, bujuk Rafa kalau sudah nyeleneh. Nah Mbak? Kalau misalnya Mbak punya adik lagi, Mbak—Mbak—”
Masya tak melanjutkan kalimatnya. Kalah oleh isakannya. Ia memeluk ayahnya yang sudah memeluknya erat lebih dulu. Lama-lama dia tak tega melihat bundanya yang sering menyembunyikan lelahnya tiap menemaninya belajar. Bahkan pernah ia menemukan bundanya terlelap di ranjangnya bersama buku cetak sekolah yang saat itu ia pelajari bersama. Apalagi saat bulan ramadhan. Banyak yang bunda persiapkan untuk keluarga dan orang-orang di luar sana. Pernah ia sekali diminta bunda untuk menemani adik-adiknya selagi bundanya membungkus parsel. Tapi tetap saja tak bisa mencegah adiknya untuk tak merusak parsel yang baru bunda hias. Alhasil ya tahu sendiri endingnya gimana.
“Bunda makin sayang Mbak.”
“Kakak apalagi.”
“Abang malah sejak di rahim Bunda.”
Masya melepas pelukan ayahnya. Mengusap kasar air matanya yang terus membanjir. Rio terkekeh melihat anak gadisnya menangis tersedu-sedu sambil memaksakan diri untuk tertawa –mencoba menghentikan tangisannya. Ia beranjak dan menghampiri Ify yang berada di belakang mereka. Merangkul hangat Ify. Sementara kedua anak laki-lakinya berdiri di hadapan Masya yang masih sibuk menghentikan tangisannya.
Rasya tertawa kecil menyaksikan kembarannya yang cengeng. Jika ditanya adik yang paling sangat ia sayang yaitu jawabannya gadis yang sekarang memeluknya erat dengan keadaan masih menangis yang artinya dia harus mengganti baju kokonya karena tak akan selamat dari ingus Masya. Mereka bersama sejak di rahim bundanya. Dari bayi sampai usia 7 tahun, dia satu kamar dengan Masya. Bisa bayangkan berapa banyak hal mereka saling berbagi?
“Kok Abang dulu yang dipeluk, Mbak? Aturan Kakak dulu.” protes Rama yang berdiri di sebelah Rasya.
Masya melepas pelukannya. Ia sudah berhenti nangis.
“Kan Mbak bagi ketubannya sama Abang, Kak. Walaupun Kakak yang lebih sabar ngadepin Mbak, lebih sering manjain Mbak, tetap aja yang nemenin Mbak sejak di rahim Bunda itu Abang.” balasnya.
“Kalau udah bawa-bawa ketuban, Kakak kalah deh.”
Sontak mereka tertawa mendengar kalimat pasrah Rama. Tak tega melihat wajah masam Rama, satu kecupan hangat Masya persembahkan di pipi kanan kakaknya. Lalu memeluk tubuh jangkung melebihi tinggi ayahnya. Ify makin mengeratkan pelukannya di pinggang Rio menyaksikan anugerah terindah yang dititipkan tuhan padanya itu seperti harapannya dalam mengasuh mereka. Sejak kecil mereka jarang bertengkar. Masya yang manja dan permintaannya harus diindahkan diimbangi dengan Rasya yang memang dari dulu malas berbelit-belit menanggapi Masya. Akhirnya setiap Masya meminta mainan Rasya, laki-laki itu langsung memberikannya dan mencari mainan lain. Kalau Rama, mungkin karena pemuda itu tak punya adik, akhirnya Masya-Rasya menjadi satu-satunya yang ia limpahi kasih sayang sebagai seorang kakak. Terlebih pada Masya yang sering membuatnya gemas. Kondisi tersebut jika mereka dalam keadaan sadar dan segar. Pertengkaran sering kali terjadi saat mereka dalam keadaan setengah mengantuk atau lelah. Ify tersenyum bahagia. Dia berharap adik-adik mereka juga sama, akan saling menyayangi seperti ini. Namun mendengar teriakan Yofi, untuk saat ini, harapannya masih ngambang.
“BUNDAAA, AYAHHH, ADIK TENGKAR TARIK-TARIK RAMBUT. MAS GAK BISA LEPAS.”
Langsung saja, mereka meninggalkan halaman. Rama dan Rasya lebih dulu tiba di antara kedua adiknya yang tergeletak di lantai dan saling serang dengan kuat. Memisahkan keduanya dan menggendongnya. Ify meringis ngeri. Sementara Rio hanya tertawa ringan.
“Mereka akan jadi anak-anak hebat.”
***

TO BE CONTINUED (1/3)

17 komentar:

  1. Jujur aku gabisa move on dari cerita ini. Mulai dari yg Miss Jutek Ketemu Cinta. Sampai yg terakhir ini. Kayak gak rela kalau cerita ini tamat. Suka re-read juga makanya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah berkesan hehe selamat membaca:)

      Hapus
  2. Jujur aku bingung baca cerita ini karna terlalu banyak tokoh nya ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Loe aja yang baca bingung tun, gimana yang nulis. Gw ampe kelimpungan. Tapi pen nulis si rify banyak anak banyak rejeki

      Hapus
  3. Jujur ada yang aku ngerti ada juga yg aku gak ngerti.... Apa lgi klo ceritax pas di anakx rify binggung yg mana tua yg mna adik....
    Btw anak angkatx ify siapa?("Masya maupun Rasya tahu mengenai dirinya yang bukan anak kandung orang tua mereka")

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masya sama rasya itu tahu kalau rama bukan anak kandung rify. Rify kan jadi orang tua sambung rama di sana.

      Hapus
  4. Asli macem liat keluarga beneran yg anaknya banyak kak hahaha. btw lupa Rama itu siapa hiks :') but lanjut terus kak walaupun ditengah tugas kuliah melanda wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha alhamdulillah lagi libur ini. Masih akhir agustus masukkk hehe.

      Rama itu anak kecil yang nyaris ketabrak sama rio pas berantem sama ify di mobil yang akhirnya rify jadi orang tua sambung rama.

      Hapus
  5. Makin suka banget sama karya2 mu kak:) ditunggu kelanjutannya:):)

    BalasHapus
  6. Urutan anakx rify yg dri tua sampe bungsung siapa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rama (anak angkat), Si kembar, Yofi, Rafa, Marsha

      Hapus
  7. kak kok aku ga bisa reread cerbung cerbung kakak ya? atau sekarang di privat kak? perasaan sebulan lalu bisa kak, padahal ceritanya aku suka kak

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus