Hallooo... yang rindu dengan Rio-Ify di HBWN, ini ada cerita lepasnya. Ini udah lama dibikin waktu mau lebaran, tapi baru post. Hehehe... akan ada 3 part.
Hope you like guys,,
@
@
@
@
Fyuhhh... hari yang melelahkan. Dia seharian disiksa oleh bundanya
mengelilingi mall terbesar di jakarta. Dari arah tangga menuju lantai dua
tampak saudara kembarnya dengan santai menggendong bayi perempuan usia 1 tahun
lebih 3 bulan. Bayi itu terkikik geli karena ciuman-ciuman yang didaratkan di
seluruh permukaan wajah oleh abangnya. Di belakang tubuh abangnya, seorang anak
laki-laki usia 4 tahun dalam keadaan rusuh dengan kaos dipenuhi noda-noda
makanan. Kedua tangannya gelendotan pada kaki jenjang abangnya. Syukurlah hari
ini dia bertugas menemani bundanya. Bisa-bisa dia mokel kalau mengurus
adik-adiknya yang masih kecil itu.
“Capek?” tanya abangnya yang sudah duduk di sampingnya.
Dia menghindar ke sudut kanan sofa ketika pria kecil yang
membuntuti abangnya itu menunjukkan tanda-tanda akan membagi ‘hasil main’
padanya.
“Bang, adik Abang nih." gerutunya.
“Ha—”
“Itu adikmu juga, Mbak.” ucap seseorang memotong kalimat yang akan
dilontarkan Rasya.
Masya menghela nafas. Akan ada ceramah setelah ini. Ia memandang
kakak tertuanya –Rama—yang mengambil tempat di atas pegangan sofa. Merangkul
lehernya. Mengusap wajahnya yang ditekuk berlipat-lipat.
“Asya capek, Kak.” keluhnya berharap kakaknya tak memberikan
kalimat nasihat yang tak hanya sekali dipersembahkan untuknya.
Jaga
kalimatmu, Mbak. Kamu mau Bunda sama Ayah kecewa ngelihat kamu secara tersirat
gak nerima kehadiran adik-adikmu?
Masya bukan tidak menerima. Dia menerima kehadiran makhluk-makhluk
menggemaskan dan menyebalkan dalam 1 waktu itu. Hanya saja dia kurang bisa
menghadapi dan suka anak kecil. Jaraknya dengan adik laki-lakinya cukup jauh
baginya –11 tahun— sehingga dia yang saat itu diperlakukan sebagai adik merasa
belum siap untuk langsung berperan sebagai kakak. Sementara Rama, hanya bisa
mengusap-usap puncak kepala adik perempuannya yang baru sebulan melewati usia
15 tahunnya. Sebenarnya, capeknya sama dengan Masya. Ia turut menemani bunda
mereka, mengingat bunda juga membelikan para laki-laki di keluarga mereka.
“Tidur gih. Jam 4 Kakak bangunin. Satu jam cukup untuk ngisi
energi lagi.” titahnya menarik tubuh Masya yang bersandar pada sofa.
Masya mendengus, “Kakak gak lupa kan, jam segini itu aku ha—”
“Biar Kakak yang gantiin. Kakak yang buat takjil, jadi kamu nanti
tinggal bantuin Bunda masak buat buka.” potong Rama langsung tanpa pikir
panjang yang memberikan kecerahan pada wajah Masya.
Gadis itu langsung menegakkan tubuh. Beranjak dari sofa menghadap
dirinya. Mengalungkan tangan di lehernya. Memberinya kecupan singkat di pipi
kanan dan kiri sebagai bentuk lain ungkapan terima kasih yang menjadi ciri khas
Masya. Setelah itu dengan semangat 45, berlalu menuju kamar yang diapit oleh
kamarnya dan Rasya. Adik perempuannya memiliki sifat sebelas dua belas dengan
bundanya. Paras yang sama cantik dengan bundanya walaupun dapat jatah hidung
mungil. Mata lebar. Rambut panjang hitam pekat setengah bergelombang yang
sering diurai hingga nyaris menyentuh pantat. Kulit kuning langsat. Bersih dan
mulus. Sudah tak terhitung berapa banyak teman sepantarannya yang meminta izin
untuk mendekati Masya yang ia tolak mentah-mentah. Dia tak mau di usia adiknya
yang masih 15 tahun itu harus terkontaminasi dengan hal-hal yang berbau cinta,
dalam hal ini cinta selain pada keluarga. Menggeluti persoalan cinta sebelum
masanya merupakan sesuatu yang kurang bijak untuk dilakukan.
“Udah lihatnya, Kak. Suka, mampus loe.” celetuk Rasya yang masih
bermain dengan Marsha—adik terakhirnya untuk saat ini.
Rama memutar bola matanya kesal. Tak hanya kali ini Rasya nyeletuk
begitu tiap kali ia memandang lama Masya. Masya maupun Rasya tahu mengenai
dirinya yang bukan anak kandung orang tua mereka. Belum sempat ia membalas,
suara bunda dan ayahnya terdengar meributkan sesuatu. Rupanya sang ayah sudah
pulang.
“Beli online aja kan
bisa, Dear. Kasihan Masya kamu paksa keliling mall. Kalau anaknya suka shopping gak papa. Nah ini?”
Tampak bundanya mencebik kesal. Meronta dalam rangkulan ayahnya.
Persis seperti Masya kalau sudah menerima ketidaksepakatan pendapat darinya.
“Ya kan biar Masya lurus sedikit, Kak. Masak setahun bisa dihitung
itu anak belanja baju berapa kali. Mau Ify terus yang beliin? Ntar kalau udah
nikah, bisa-bisa suaminya yang belanjain bajunya.”
Ia dan Rasya sontak terkekeh mendengar penuturan bunda mereka yang
sekarang sudah berhasil melepaskan diri dari rangkulan ayah. Mengambil alih
Marsha dari pangkuan Rasya dan duduk santai di sofa depan mereka. Sementara
Rafa sudah berada dalam gendongan ayahnya.
“Maaf ya Abang. Bunda harus nitipin Adik Marsha dan Rafa ke Abang
seharian ini.” tutur Ify di sela-sela menggelitiki Marsha dengan ciumannya.
“Iya, Bun.” jawab Rasya singkat dengan tatapan yang memberikan
jawaban lebih dari sekedar “iya”.
“Mas Ofi mana, Bang?” tanya Ify menanyakan keberadaan anak
laki-lakinya –Yofi— yang berusia 8 tahun.
“Masih tidur Bun.” jawab Rasya mengedikkan dagu ke arah kamar yang
berada di lantai dasar bersebrangan dengan kamar orang tuanya.
“Jam berapa Mas pulang main?”
“Jam 1an Bun. Mandi, sholat, langsung tidur. Ngeluh haus tadi
yaudah Abang suruh tidur.”
Ify mengangguk-angguk paham. Menoel-noel pipi gembul anak
perempuannya yang terakhir sebelum memandang Rama menyandarkan kepala pada sofa
dengan mata terpejam.
“Belanjaan Bunda masih di mobil, Kak. Bunda beliin Abang, Kakak,
Ayah, Mas Ofi, sama Adik Rafa kembaran. Bunda kembaran sama Mbak dan Adik Marsha.” lapornya pada
Rama yang langsung mengerti dan beranjak dari sofa diikuti Rasya.
Panggilan abang untuk Rasya, kakak untuk Rama, mbak untuk Masya,
dan mas untuk Yofi. Dia belum mempersiapkan panggilan untuk Rafa dan Marsha
jikalau Rio meminta tambah anak lagi. Ia menoleh pada Rio. Kemeja dan jas Rio
tak terhindar dari noda makanan yang masih basah di baju Rafa.
“Kakak...” rengeknya.
Rio berdeham. Menyerong wajahnya menghadap Ify.
“Boleh minta tolong?” tanya Ify memasang wajah polos
menggemaskannya yang kalau saja tak puasa akan Rio serang dengan
ciuman-ciumannya.
“Minta tolong apa, Sayang?” balasnya dengan nada sok imut
menyamakan dengan Ify.
Ify nyengir, “Ify capek. Boleh minta tolong mandiin Marsha sama
Rafa?”
Rio melongo. Capek ya? Capek ngabisin duit suami? Iya. Soalnya duit suami gak habis-habis
dibelanjain, mau tiap hari belanja juga gak bakal habis. Sebenarnya Ify
mampu membeli baju-baju untuk lebaran dengan uangnya sendiri dari hasil buka
praktiknya. Tapi ia tak mau Ify menggunakan uang itu jika untuk keperluan
keluarga. Bahkan keperluan pribadi pun seringkali ia memarahi Ify jika
menggunakan uangnya sendiri. Jadilah tabungan Ify jarang tersentuh.
Beberapa menit berpikir, ia mengangguk. Mengambil alih Marsha dari
pangkuan Ify. Jarang-jarang Ify meminta tolong untuk mengurus anak-anak mereka
seperti ini, karena terkadang ia yang sering langsung turun tangan untuk
membantu.
“Ify tidur sebentar boleh? Nanti jam 4 tolong dibangunin.” pinta Ify
dengan nada manja yang makin tak bisa ditolak olehnya.
Lagi-lagi ia hanya mengangguk. Dengan gerakan bersamaan, mereka
beranjak dari sofa menuju kamar mereka yang berada di lantai dasar bersebelahan
dengan kamar Rafa dan Marsha. Dari arah pintu utama, Rasya dan Rama menjinjing
masing-masing lebih dari 5 kresek dengan label yang familiar bagi mereka.
“Bunda dalam keadaan sadar gak sih belanja segini banyaknya.”
gumam Rasya geleng-geleng kepala dengan 1-2-3-4—8 kresek yang berada dalam pegangannya,
belum yang ditenteng oleh Rama.
Rama tertawa, “Bunda sebenarnya malas juga harus ke mall, Bang.
Cuma karena selama puasa gak ingat kalau belum persiapan lebaran untuk keluarga
kita sendiri, jadinya kayak gini. Sekalian kata Bunda buat ngelatih Masya.”
Rasya hanya mengangguk-angguk paham. Selama bulan puasa memang
Bunda fokus pada takjil, buat parsel dengan jumlah yang lumayan sehingga
membutuhkan waktu untuk persiapan bahan hingga membungkusnya. Bunda tak pernah
suka jika harus beli jadinya. Setelah itu persiapan untuk open house. Belum lagi profesi Bunda sebagai dokter walaupun buka
praktik sendiri. Bunda yang kurang pintar membagi fokus seperti ayahnya,
membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan itu semua. Ayah bersikeras ingin
membantu, namun bunda lebih keras kepala lagi –tak mau dibantu—karena bunda
sangat tahu bahwa membantu versi ayahnya yaitu mengambil alih.
“ABANG, KAKAK. KALAU UDAH, BANTUIN AYAH SINI.”
Teriakan Ayahnya terdengar dari kamar si adik-adik kecil saat
mereka telah menaruh seluruh belanjaan tersebut di karpet ruang keluarga.
Mereka sudah menduga apa yang dilakukan ayahnya di kamar, terlebih saat
melewati kamar orang tuanya dalam keadaan setengah terbuka menampilkan sang
bunda yang tengah meringkuk di atas ranjang.
“Abang udah tadi Yah seharian.” ucap Rasya berdiri di ambang pintu
kamar adik-adiknya, mengirim kode untuk mengikuti permainannya pada Rama yang
berada di hadapannya.
“Kakak juga seharian nemenin Bunda, Yah.” sambung Rama yang
langsung paham, menahan kekehan.
Rupanya mereka ingin menggoda ayahnya dulu sebelum membantu.
Ayahnya yang duduk membelakangi, langsung menoleh. Tatapan sang ayah tak
mengenakkan. Akhirnya tanpa memperpanjang durasi, keduanya mendekati ranjang
yang sudah berantakan dengan peralatan bayi. Bedak ditabur oleh Marsha, dan
Rafa membantu meratakannya ke seluruh permukaan ranjang sekitar mereka. Lalu
ditempelkan ke masing-masing wajah mereka. Aduhhh... adik-adiknya ini. Dulu
mereka seperti itu kah?
“Bercanda kali, Yah.” ucap Rama mengangkat tubuh Marsha yang
mengakibatkan dirinya mendapat tabokan bedak.
Bukannya kesal, Rama makin menyodorkan wajahnya untuk ditaburi
bedak lebih banyak membuat Marsha terpekik senang dan lebih semangat meratakan
bedak di wajahnya. Untuk ukuran pemuda usia 17 tahun, Rama terbilang dewasa
melebihi umurnya. Memiliki role model seorang
pria yaitu Rio, menjadikan Rama bahkan Rasya tumbuh membanggakan. Suara
gebrakan pintu yang ditutup setengah oleh Rasya tadi, menghentikan kegiatan
ketiganya. Marsha menangis shock yang
langsung digendong Rama keluar kamar menuju halaman belakang rumah.
“Biar Abang yang ngurus Mas Ofi, Yah. Ayah mandi aja.” tutur Rasya
bangkit dari kaki ranjang menghampiri Yofi yang masih setengah sadar mengelus
jidatnya yang membentur pintu kamar.
Rio mengangguk. Mencium kening Rafa sebelum berlalu meninggalkan
kamar untuk bersih-bersih badannya yang bertambah lengket. Rafa sudah berada di
lantai berlapis karpet. Memainkan mobil-mobilannya sambil bersuara menirukan
suara mesin mobil.
“Ayo Abang gendong.” ajak Rasya yang sudah jongkok membelakangi
Yofi.
“Mas mau main sama Adik, Bang.” tolak Yofi langsung berjalan
melewatinya.
Rasya gerak cepat. Di angkatnya tubuh Yofi menimbulkan teriakan
penuh amukan sekaligus gerakan memberontak ingin dilepaskan. Dia tak akan membiarkan
Yofi mendekati Rafa dalam keadaan mengantuk yang dipaksa sadar karena nantinya
tingkah Yofi akan menyebalkan. Dia sudah hafal. Pasti nanti endingnya, Rafa
menangis, dan Yofi dengan tampang tak berdosanya menggantikan Rafa menggeluti
mainannya. Kasihan bundanya nanti harus menenangkan Rafa karena balita 4 tahun
itu hanya mempan ditangani oleh bundanya.
***
Ritual setelah berbuka yaitu duduk santai di ruang keluarga. Suara
takbir terdengar sejak maghrib. Rio, Rama, Rasya, Yofi, dan Rafa menunggu waktu
isya untuk bergegas ke masjid yang berada beberapa gang dari rumahnya. Turut
serta mengumandangkan takbir. Sedangkan ia dan kedua anak perempuannya, memilih
melafalkan takbir dalam hati seraya menyiapkan bahan-bahan masakan untuk sajian
open house besok. Sudah terhitung
ketiga kalinya ia mengadakan open house semenjak
anak-anaknya bisa diandalkan untuk membantunya. Memasuki usia 12 tahun, Masya
sudah ia latih lebih dalam lagi berkenaan dengan mengurus rumah, dan sebagainya
yang berbau peran wanita sesungguhnya. Dia tak mau Masya menjadi gadis
sepertinya dulu. Tak hanya Masya, anak laki-lakinya yang sudah beranjak remaja
juga tanpa diminta olehnya, berkeinginan kuat untuk turut menekuni dunia wanita
yang satu itu. Mungkin karena sering didongengi kisah hidup Rio, membuat mereka
terinspirasi untuk mengikuti jejaknya. Bahkan Rama sudah menyiapkan modal untuk
menikah walaupun jodohnya belum ada.
“Bunda mau
ngasih kita adik lagi?”
Tiba-tiba saja tak ada hujan tak ada macet, Masya yang baru muncul
dari arah dapur membawa cemilan dan duduk di hadapannya, menanyakan hal yang
membuat Ify melepas pelukannya pada Rama. Tubuh Rama yang menyerupai perawakan
Rio ketika masih seperti usianya dulu –bahkan lebih bagus Rama— sangat nyaman
untuk dipeluk.
“Bunda tergantung Ayah kamu, Mbak.” jawabnya merangkul lengan Rio
yang juga shock dengan pertanyaan tiba-tiba itu.
Jika melihat tampang Masya saat bertanya, Rio menyimpulkan bahwa
Masya sudah tak menginginkan adik lagi. Hal itu diperkuat oleh ucapan Masya
selanjutnya.
“Mbak gak mau punya adik lagi, Bun.”
Rama dan Rasya pamit untuk menyiapkan diri ke masjid sebelum tawa
mereka meluncur tak sopan di hadapan orang tuanya. Terlebih melihat wajah masam
ayahnya mendengar pengutaraan hati Masya. Rama berlalu dengan menggendong Rafa
yang cukup sulit untuk dirayu meletakkan mainannya. Namun setelah menawarkan
sesuatu yang menarik perhatian Rama, barulah adiknya itu mau mengalungkan
tangan ke lehernya. Rasya tak perlu susah mengingat Yofi jika dalam keadaan
sadar, mudah untuk diperintah. Adiknya yang benar-benar duplikat ayah waktu
kecil itu sudah setinggi bahunya. Bisa-bisa saat remaja nanti melebih tingginya
yang saat ini mencapai angka 168 cm.
Ify menarik tangan Masya agar duduk di antara dia dan Rio.
Merangkul hangat anak gadisnya yang bertambah cantik itu. Rio menurunkan Marsha
yang tak mau diam di pangkuannya. Membiarkannya mengganti posisi Rafa. Baru
menaruh fokus pada muka Masya yang tertekuk. Lagi badmood kayaknya. Pantas saja aneh.
“Mbak kenapa gak mau punya adik lagi?” tanya Rio turut mengusap
rambut panjang perempuannya.
“Ayah mau punya rencana bikin Bunda hamil lagi?” sambar Masya kesal
dengan nafas memburu, melepas rangkulan bundanya.
“Jaga nada suara kamu, Mbak.” tegur Ify lebih dulu sebelum Rio
yang menegur, karena kalau sudah laki-laki itu yang menegur bisa gawat.
Masya mendengus. Ia malas kalau sudah begini. Pasti aspirasinya
tak diterima oleh ayahnya. Oleh karena itu, ia memilih beranjak dari sofa tanpa
mengeluarkan sepatah katapun.
Rio mencegah Ify yang akan menyusul. Biar dia yang atasi. Dengan
langkah panjang, Rio berhasil menyamai langkah Masya yang berjalan ke halaman
samping. Tempat favorit gadis itu jika sedang stress dengan tugas-tugas
sekolah. Tampak Masya duduk di ayunan dengan muka menengadah menatap langit
yang cukup cerah malam ini setelah 2 hari hujan turun. Ia berjalan pelan
menghampiri dan mengambil tempat di samping Masya.
“Mbak kenapa?” tanyanya merangkul lembut Masya yang hanya pasrah.
Ia menggeleng. Sekali ia menyerukan suara hatinya dan tak diterima
langsung, maka jangan harap memintanya untuk mengulang.
“Kenapa Mbak gak mau punya Adik lagi?”
Rio mengganti pertanyaannya merasa pertanyaan sebelumnya tak akan
menuai jawaban.
“Apa setelah Mbak bilang alasannya Ayah bakal turutin Mbak?” tanya
Masya masih dengan nada kesal yang ketara.
Rio diam sebentar. Menekan geram. Dia bertekad akan menghadapi
segala bentuk perilaku menentang anaknya dengan kepala dingin tanpa
keterlibatan emosi negatif, seperti ketika dia membimbing Ify menjadi istrinya.
Wanita itu manja, ingin selalu dituruti tapi tetap patuh, sopan, dan mandiri.
“Apa Mbak merasa perhatian Ayah sama Bunda mulai berkurang? Mbak
gak mau perhatian Ayah sama Bunda dibagi lebih banyak lagi?” tanyanya mencobak
menebak.
“Bukan, Yah. Bukan itu.” sanggah Masya menggeleng kuat.
Wajah kesalnya sudah berubah menampilkan rasa bersalah.
“Perhatian Ayah sama Bunda cukup ke Mbak. Sangat cukup. Malah Mbak
ngerasa seperti anak tunggal.” jelas Masya memeluk perut ayahnya.
Dia berkata seperti itu bukan perkara perhatian ayah dan bundanya.
Perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya lebih dari cukup. Bahkan
dibanding dengan teman akrabnya yang hanya memiliki 2 saudara, dia merasa
perhatian orang tuanya lebih besar. Setiap pembagian hasil belajar pun,
sesibuk-sibuknya bunda/ayah pasti salah satu dari mereka siap untuk menerima.
Setiap ada acara pentas seni, ayah dan bundanya pasti meluangkan waktu untuk
menyaksikan penampilannya. Hari ulang tahunnya, orang tuanya bahkan membebaskan
diri mereka dari pekerjaannya selama 3 hari untuk berlibur sebagai bentuk
perayaan. Dia punya ayah yang hebat dalam membagi waktu. Dia punya bunda yang
sangat menyayangi anak-anaknya, yang menangis tersedu-sedu walau mereka hanya
terjatuh dari tempat tidur.
“Mbak kasihan sama Bunda
dan Ayah.” tuturnya setelah selang waktu hanya diam mengisi keheningan.
“Mbak kasihan lihat Ayah pulang kerja langsung bantu Bunda ngurus
adik. Mbak kasihan lihat Bunda bolak-balik tempat praktik—rumah walaupun
jaraknya cuma beberapa meter tiap adik nangis. Belum lagi nemenin Mbak belajar.
Kakak dan Abang enak sudah bisa belajar sendiri. Kakak dan Abang sering bantu
Bunda. Mbak gak bisa bantu apa-apa. Bukan karena Mbak gak suka anak kecil, Yah.
Mbak gak tahu harus gimana menghadapi mereka. Mbak bingung mau ngapain. Mbak
suka iri sama Abang dan Kakak yang selalu tahu caranya berhentiin Marsha
nangis, bujuk Rafa kalau sudah nyeleneh. Nah Mbak? Kalau misalnya Mbak punya
adik lagi, Mbak—Mbak—”
Masya tak melanjutkan kalimatnya. Kalah oleh isakannya. Ia memeluk
ayahnya yang sudah memeluknya erat lebih dulu. Lama-lama dia tak tega melihat
bundanya yang sering menyembunyikan lelahnya tiap menemaninya belajar. Bahkan
pernah ia menemukan bundanya terlelap di ranjangnya bersama buku cetak sekolah
yang saat itu ia pelajari bersama. Apalagi saat bulan ramadhan. Banyak yang
bunda persiapkan untuk keluarga dan orang-orang di luar sana. Pernah ia sekali
diminta bunda untuk menemani adik-adiknya selagi bundanya membungkus parsel.
Tapi tetap saja tak bisa mencegah adiknya untuk tak merusak parsel yang baru
bunda hias. Alhasil ya tahu sendiri endingnya gimana.
“Bunda makin sayang Mbak.”
“Kakak apalagi.”
“Abang malah sejak di rahim Bunda.”
Masya melepas pelukan ayahnya. Mengusap kasar air matanya yang
terus membanjir. Rio terkekeh melihat anak gadisnya menangis tersedu-sedu
sambil memaksakan diri untuk tertawa –mencoba menghentikan tangisannya. Ia
beranjak dan menghampiri Ify yang berada di belakang mereka. Merangkul hangat
Ify. Sementara kedua anak laki-lakinya berdiri di hadapan Masya yang masih
sibuk menghentikan tangisannya.
Rasya tertawa kecil menyaksikan kembarannya yang cengeng. Jika
ditanya adik yang paling sangat ia sayang yaitu jawabannya gadis yang sekarang
memeluknya erat dengan keadaan masih menangis yang artinya dia harus mengganti
baju kokonya karena tak akan selamat dari ingus Masya. Mereka bersama sejak di
rahim bundanya. Dari bayi sampai usia 7 tahun, dia satu kamar dengan Masya.
Bisa bayangkan berapa banyak hal mereka saling berbagi?
“Kok Abang dulu yang dipeluk, Mbak? Aturan Kakak dulu.” protes
Rama yang berdiri di sebelah Rasya.
Masya melepas pelukannya. Ia sudah berhenti nangis.
“Kan Mbak bagi ketubannya sama Abang, Kak. Walaupun Kakak yang
lebih sabar ngadepin Mbak, lebih sering manjain Mbak, tetap aja yang nemenin
Mbak sejak di rahim Bunda itu Abang.” balasnya.
“Kalau udah bawa-bawa ketuban, Kakak kalah deh.”
Sontak mereka tertawa mendengar kalimat pasrah Rama. Tak tega
melihat wajah masam Rama, satu kecupan hangat Masya persembahkan di pipi kanan
kakaknya. Lalu memeluk tubuh jangkung melebihi tinggi ayahnya. Ify makin
mengeratkan pelukannya di pinggang Rio menyaksikan anugerah terindah yang
dititipkan tuhan padanya itu seperti harapannya dalam mengasuh mereka. Sejak
kecil mereka jarang bertengkar. Masya yang manja dan permintaannya harus
diindahkan diimbangi dengan Rasya yang memang dari dulu malas berbelit-belit
menanggapi Masya. Akhirnya setiap Masya meminta mainan Rasya, laki-laki itu
langsung memberikannya dan mencari mainan lain. Kalau Rama, mungkin karena pemuda
itu tak punya adik, akhirnya Masya-Rasya menjadi satu-satunya yang ia limpahi
kasih sayang sebagai seorang kakak. Terlebih pada Masya yang sering membuatnya
gemas. Kondisi tersebut jika mereka dalam keadaan sadar dan segar. Pertengkaran
sering kali terjadi saat mereka dalam keadaan setengah mengantuk atau lelah.
Ify tersenyum bahagia. Dia berharap adik-adik mereka juga sama, akan saling
menyayangi seperti ini. Namun mendengar teriakan Yofi, untuk saat ini,
harapannya masih ngambang.
“BUNDAAA, AYAHHH, ADIK TENGKAR TARIK-TARIK RAMBUT. MAS GAK BISA
LEPAS.”
Langsung saja, mereka meninggalkan halaman. Rama dan Rasya lebih
dulu tiba di antara kedua adiknya yang tergeletak di lantai dan saling serang
dengan kuat. Memisahkan keduanya dan menggendongnya. Ify meringis ngeri.
Sementara Rio hanya tertawa ringan.
“Mereka akan jadi anak-anak hebat.”
***
TO BE CONTINUED (1/3)
Jujur aku gabisa move on dari cerita ini. Mulai dari yg Miss Jutek Ketemu Cinta. Sampai yg terakhir ini. Kayak gak rela kalau cerita ini tamat. Suka re-read juga makanya hehe
BalasHapusAlhamdulillah berkesan hehe selamat membaca:)
HapusJujur aku bingung baca cerita ini karna terlalu banyak tokoh nya ��
BalasHapusLoe aja yang baca bingung tun, gimana yang nulis. Gw ampe kelimpungan. Tapi pen nulis si rify banyak anak banyak rejeki
HapusJujur ada yang aku ngerti ada juga yg aku gak ngerti.... Apa lgi klo ceritax pas di anakx rify binggung yg mana tua yg mna adik....
BalasHapusBtw anak angkatx ify siapa?("Masya maupun Rasya tahu mengenai dirinya yang bukan anak kandung orang tua mereka")
Masya sama rasya itu tahu kalau rama bukan anak kandung rify. Rify kan jadi orang tua sambung rama di sana.
HapusAsli macem liat keluarga beneran yg anaknya banyak kak hahaha. btw lupa Rama itu siapa hiks :') but lanjut terus kak walaupun ditengah tugas kuliah melanda wkwkwk
BalasHapusHahaha alhamdulillah lagi libur ini. Masih akhir agustus masukkk hehe.
HapusRama itu anak kecil yang nyaris ketabrak sama rio pas berantem sama ify di mobil yang akhirnya rify jadi orang tua sambung rama.
Makin suka banget sama karya2 mu kak:) ditunggu kelanjutannya:):)
BalasHapusTerima kasih sudah mengapresiasi:)
HapusUrutan anakx rify yg dri tua sampe bungsung siapa?
BalasHapusRama (anak angkat), Si kembar, Yofi, Rafa, Marsha
Hapuskak kok aku ga bisa reread cerbung cerbung kakak ya? atau sekarang di privat kak? perasaan sebulan lalu bisa kak, padahal ceritanya aku suka kak
BalasHapusKak ini kapan dilanjut?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKak kapan dilanjut?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus