Sabtu, 04 Juli 2015

HAVING BABIES? WHY NOT?! {SPECIAL RAMADHAN #C}

@

@

@

@

@

@

@

Sedan putih itu membelah jalanan menuju kota seberang di mana sanak saudara tengah menunggu. Terdengar hiruk pikuk dari balik kaca mobil. Suara keluhan, ungkapan kemarahan, tangisan, berlomba seakan ingin didengar. Matahari sedang dalam aksi keangkuahannya menunjukkan kekuatan. Di dalam mobil, setengah perjalanan terlewati dalam keheningan. Tak ada yang berniat untuk lebih dulu membuka suara memecahkan keheningan yang tercipta setelah kedua anaknya terlelap di pangkuan.
Bagi Ify, saat ini dia hanya harus tetap diam. Melakukan pertukaran gas sudah lebih dari cukup. Putra-putri kesayangannya berhenti mengoceh sana-sini, tanpa pikir lagi dia melepas topeng bersahabatnya selama mereka terjaga dengan orang yang berada tepat di sisinya. Plus dengan sangat ketara dia mendengus berkali-kali berharap rasa kesal itu berhenti menghimpitnya, juga untuk memberi tahu orang di sampingnya bahwa dia benar-benar malas ngomong sekarang.
“Belum seminggu aku mohon untuk gak bandel, ternyata permohonanku cuma dianggap angin. Masih nunggu tengkar dulu baru nyadar. Apa perasaanku aja semakin ke sini kamu jadi susah dikasih tahunya.”
Jleb. Kalimat yang dilontarkan dengan nada biasa, bahkan terlewat santai itu tetap sukses membuat kesal yang ia tekan kembali dengan mudah menguasai dirinya. Dia menoleh cepat pada sosok yang baru bicara, melepas pandangan dari balik kaca mobil. Rio menatap lurus pada jalanan yang dikuasai supir perusahaannya.
“Ify bandel gimana sih Kak? Letatk Ify susah dikasih tahunya di bagian mana?” tanyanya sarat akan emosi yang siap meledak.
“Kalau untuk masalah tadi, apa Ify bandel karena Ify nyanggupin Mama Manda untuk tinggal di sana sampai lebaran? Apa Ify susah diaturnya karena langsung mengiyakan permintaan Mama? Ap---”
Dia terpaksa menghentikan kalimatnya saat Rio balas menatap memintanya untuk kembali diam. Melirik supir yang langsung cepat-cepat mengalihkan pandangan dari spion depan melihatnya dan Rio tanda-tanda memulai perang mulut. Dia langsung diam. Kalau sudah begini, yang Rio katakan kalau dia makin kesini makin gak bisa diatur itu di mananya?
Pertengahan siang tadi ketika Mama Manda menghubunginya melalui ponsel Rio, meminta untuk mereka berkunjung, dia langsung menyanggupi permintaan beliau yang ternyata  lebih dari itu. Mama meminta untuk stay di jakarta –tepatnya di rumah keluarga Rio- hingga lebaran tiba yang terhitung kurang lebih 5 hari menjelang hari kemenangan. Loudspeaker yang aktif –Rio juga mendengar- membuat pria itu langsung bereaksi atas kesanggupannya. Setengah merampas, Rio meraih ponsel yang diletakkan di tengah meja kerjanya. Mematikan loudspeaker dan berbicara dengan mengambil jarak menjauh darinya. Dia tak tahu yang dibicarakan anak dan ibu itu, tapi setelah pembicaraan selesai, Rio balik dan mengatakan bahwa mereka hanya berbuka bersama lalu kembali ke bandung. No more. Tak ada menginap entah satu atau dua malam di sana.
Dan bisa diketahui, dia yang sudah terlalu senang akan menyambut lebaran di Jakarta untuk pertama kalinya bersama keluarga besar, tanpa pikir panjang mengeluarkan kata-kata rutukan yang menimbulkan pertengkaran. Akhirnya dia memilih mengabaikan ketidaksetujuan Rio dan mulai packing pakaiannya dan si kembar membuat suaminya murka total. Dengan kasar laki-laki itu menyeretnya menjauh dari koper yang ia gunakan menampung baju-bajunya dengan sang anak. Lantas mengeluarkan beberapa baju secara sembarang dan memasukkannya ke dalam koper dengan asal pula. Membuat beberapa barang yang juga keluar dari dalam lemari jatuh berantakan di lantai kamar.
“Ayo!” gertak Rio melihatnya hanya mematung di tepi ranjang.
Dia memilih tak beranjak. Kepalanya geleng-geleng tak percaya dengan Rio yang sekarang sedang berhadapan dengannya. Seminggu terakhir ini emosi Rio sedang tidak stabil. Dia merasakan itu, namun mencoba memaklumi. Karena seberat apapun masalah Rio, pria itu jarang sekali menunjukkan efek masalah tersebut di hadapannya. Tapi lama-lama dia juga tak bisa menahan diri untuk tetap memaklumi. Kalau pertengkaran mengenai bandelnya dia tetap berpuasa dalam keadaan hamil dengan kesehatan yang tidak bisa dikatakan sehat itu memang salahnya. Nah sekarang ini? Letak salahnya di mana? Oke mungkin dia salah karena tak mempertimbangkannya dengan Rio. Asal engatakan “ya”. Tidak mau tahu lebih dulu apakah Rio menyanggupi atau tidak. Tapi apa alasan Rio untuk tidak menyanggupinya? Masalah sepele jadi besar begini. Lelah Ify lama-lama. Bobo aja yuk, Fy!
“Ayo Fy!” gertak Rio lagi membuatnya langsung berdiri dan menempatkan diri tepat di depan Rio.
“Kakak kenapa? Udahan ya marahnya. Kakak lagi puasa. Ntar energinya banyak keserap. Waktu buka masih lama.” bujuknya setengah niat mengusap berulang dada Rio yang naik-turun karena amarahnya.
Rio meliriknya sinis. Menepis kasar tangannya dan berjalan keluar kamar. Dia mengumpat dalam hati. Seharusnya biarkan saja Rio marah-marah gak jelas begitu.
Gerakan menggeliat Masya membuatnya melepas pandangan terhadap tatapan tajam Rio. Mengingat penolakan Rio tadi pada dirinya yang sudah memilih mengalah, dia tak mau mengajukan diri lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan Rio sekarang. Persetan dengan dosa. Dia tak menemukan dirinya salah untuk kali ini. Rio yang sekarang lagi gak waras. Kok bisa itu loh diajak menyambut lebaran di rumah orang tuanya sendiri malah marah-marah. Otak Kakak lagi sakit?
***
Dia sudah akan turun dari mobil saat pergelangan kanannya ditahan oleh Rio. Dia menoleh dengan enggan. Ternyata Rio meraih Masya yang berada di pangkuannya. Menggendong kedua anaknya itu turun dari mobil. Dia tersenyum tipis memandang dari dalam mobil. Menoleh pada pria paruh baya yang belum beranjak dari kursi kemudi itu saat merasa dipandang dari spion depan.
“Pak Rio akhir-akhir ini sedang banyak masalah, Bu.” tutur supir perusahaan Rio –Pak Rusman.
Dia mengangguk paham akan kalimat Pak Rusman. Paham dengan keadaan Rio akhir-akhir ini juga paham latar belakang Pak Rusman mengatakan itu. Memintanya untuk bersabar dan penuh pengertian menghadapi Rio. Masalahnya, saat dia memilih mengalah lebih dulu, Rio malah melakukan penolakan. Sudah tahu kan gimana seorang wanita jika dihadapkan situasi seperti itu?
“Assalamualaikum.” ucapnya dari teras rumah setelah menyusul Rio dengan kedua anaknya yang masih terlelap nyaman di pelukan ayahnya.
“Waalaikumussalam. Kak Ifyyyy.”
Bisa ditebak. Siapa lagi yang akan heboh dengan kedatangannya setelah lama tak berjumpa. Adik satu-satunya itu langsung menghambur ke dalam pelukannya. Namun tak berlangsung lama ketika Mama Gina nyusul dan menarik krah belakang kemeja Deva.
“Kakakmu lagi hamil. Asal peluk aja. Kasihan dedeknya ketekan sama kamu. Kamu gak papa kan Fy?” ucap Mama Gina yang langsung mencium keningnya setelah dia menyalami beliau.
Dia hanya tersenyum, “Gak papa Ma.”
“Mama apa kabar?” tanya Rio menyalami mertuanya.
“Baik, Sayang. Anak Mama gak bandel kan?” jawab mama Gina mengusap rambut Rio.
Ify hanya bisa memutar bola matanya. Menggerutu dalam hati. Mama nih ya, kooperatif banget sama menantu. Dari awal hidup bareng Rio, sampai 9 tahun berlalu yang ditanya selalu “Anak Mama gak badel kan?”. Gitu aja mulu, Ma sampai Ify punya cucu.
“Mama Manda mana, Ma?” tanyanya cepat tak memberikan Rio kesempatan untuk menjawab.
“Itu di dapur lagi persiapan untuk bagi-bagi takjil di depan perumahan nanti. Ayo masuk!” jawab Mama Gina langsung balik badan.
Ify mengangguk. Lantas memasuki rumah dengan Deva menggandeng lengannya. Rio sudah terlebih dulu meninggalkan teras setelah menyalami mamanya.
“Kapan nikah?” tanyanya pada sang adik yang sudah berumur 25 tahun ini masih belum berani mengkhitbah kekasihnya.
“Nunggu Kak Ify lahiran.” jawab Deva asal.
Adiknya memang tak terlalu suka jika membahas tentang pernikahan. Dia sering memotivasi Deva untuk segera mengakhiri masa pacaran yang sudah terjalin hampir 5 tahun lamanya dengan berkaca pada suaminya. Rio saja berani mengkhitbahnya di usia pemuda itu masih 19 tahun, masak yang udah cukup umur kicep begini? Bukan bermaksud membandingkan. Hanya supaya semakin menggenjot keberanian Deva. Keberanian Deva menciut karena bapak si cewek yang belum bisa menerima pekerjaannya sebagai pemilik usaha cafe yang masih berumur 2 tahun dan sedang masa perjuangan. Lebih tepatnya bapak si kekasihnya itu lebih menyukai laki-laki yang menjadi suami anaknya memiliki pekerjaan yang saat bekerja nanti memakai baju seragam –pegawai. Terjamin hidupnya. Padahal kan gak juga. Rio saja yang awalnya mengabdi di perusahaan Ayahnya untuk mengumpulkan modal demi mendirikan usaha sendiri, sampai saat ini masih sangat mampu untuk memberinya kehidupan yang layak. Dasar bapak si cewek aja yang belum bisa melepas putri satu-satunya –karena Deva bilang jika menikah, putrinya akan tinggal bersamanya di rumah orang tuanya.
“Serius ya? Kalau aku lahiran terus kamu belum nikah, jaminannya kepala kamu dibikin botak kek Deddy Courbuzier.” balasnya menggoda tapi serius.
Deva mendelik. “Nggak-nggak. Gak jadi deh. Gu— eh aku tarik lagi kalimat tadi.”
Ify tertawa renyah. Merangkul pinggang Deva saat adiknya melepas gandengan di lengannya. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dia ingat waktu masih tinggal bersama dengan laki-laki di sampingnya ini, sering kali tengkarnya. Pokoknya jarang akur. Entah Deva yang mencari gara-gara lebih dulu atau dia yang sering mengabaikan Deva membuat adiknya murka. Tapi sekarang, semua berubah. Malah jarang sekali bahkan seingatnya tidak pernah mereka berada dalam situasi panas peperangan. Adem ayem. Selain karena terpisah dan intensitas bertemu yang kurang, juga kedewasaan masing-masing yang mulai berperan aktif. Wajah Deva juga semakin tajam sebagai pria dewasa. Jika dilihat dari muka, dia tampak sebagai adik. Bahkan jika mereka jalan berdua dengan posisi seperti sekarang ini, bisa-bisa dianggap pasangan suami-istri.
“Kakak lagi gak baik ya sama Kak Rio?” tanya Deva saat mereka sudah duduk di sofa.
Dia hanya tersenyum, “Kelihatan banget ya?”
“Nggak sih. Cuma berhubung aku yang lihat, jadi kelihatan. Aku tahu banget gimana komunikasinya kalian berdua walaupun jarang ketemu.”
Dia kembali tertawa renyah. Rio muncul dari balik dapur, masih menggendong si kembar yang sudah terjaga. Mengambil duduk di sebelahnya. Deva menyikut-nyikut lengannya entah untuk apa. Dia memilih bangkit dan berlalu menuju dapur. Menyapa mama mertuanya. Biasanya walaupun berpisah hanya beberapa meter, Ify selalu pamit dalam bentuk apapun pada Rio. Begitu pun sebaliknya. Entah itu sekedar “Aku ke sana bentar. Aku tinggal bentar ya” dan masih banyak lainnya. Sekarang asal nyelonong aja. Noleh sedikit pun tidak. Melihat itu, Deva ingin sekali menggigit sepasang suami-istri yang sedang perang dingin itu.
“Halo sayang.” sapanya pada Masya-Rasya yang memandangnya bingung.
“Ini om Deva. Masak lupa sih?” lanjutnya sambil mengambil alih mereka yang berada di pangkuan Rio.
“Masya gak tahu.” tutur anak perempuan yang bersandar di lengan kirinya.
“Abang juga.” sahut kembarannya.
Deva memandang gemas keduanya. Maklum sih kalau mereka susah mengenalnya mengingat lamanya waktu tak bertemu muka. Dia sangat menyukai anak kembar kakaknya ini. Tingkah lakunya tidak menyebalkan. Seperti saat ini, walaupun mereka bilang tidak mengetahui dirinya, tapi mereka tak memberontak saat dipangku olehnya.
“Ini Om deva, Sayang. Saudaranya Bunda.” jelas Rio yang duduk di sampingnya.
“Om Deva adiknya Bunda. Seperti Masya adiknya Abang Rasya.” tambahnya yang mendapat anggukan dari keduanya.
“Kalian puasa?” tanyanya setelah mendapat perhatian penuh dari si kembar.
“Nggak Om. Tadi Masya ingin es krim sama coklat. Tapi kemarin Masya puasa setengah hari.” jawab Masya panjang lebar.
“Rasya juga?” tanyanya pada Rasya yang belum menjawab dan sepertinya dari wajahnya enggan untuk menjawab. Dasar turunan asli orang tuanya.
Ify cerewet sih, cuma banyakan diamnya. Begitupun Rio. Malah gak ada basa-basinya. Kecuali lagi nego sama client. Itu yang ia lihat dari luar. Gak tahu aja si Deva gimana Rio kalau sudah berada di rumah sendiri apalagi cuma berduaan sama Ify. Bawelnya macam anak-anak gak dikasih uang saku.
“Iya.” Sangat singkat.
Deva melengos. Dia melirik sinis Rio yang menahan tawa. Rio meraih remote TV di atas meja depan sofa yang didudukinya. Mengganti tayangan gosip ke tayangan kartun yang tengah digemari oleh anak-anaknya. Si kembar botak yang memiliki kakak perempuan garang tapi penyayang. Pandangan Rio beralih pada sosok Ify yang kembali menuju tempatnya. Mengambil tempat di sampingnya.
“Aku bawa Masya-Rasya ke halaman belakang.” pamit Deva dengan tatapan yang amat dimengerti Ify.
“Jangan diajarin yang nggak-nggak Dev.” pesan Rio tanpa menoleh.
Deva mencibir, “Gu- mmm Aku ajak nyiram bunga Kak. Udah waktunya mandi itu bunga di belakang.”
Kalau tak ingat perjanjian tak tertulis jika di depan anak-anak kakaknya dan Rio harus melepas bahasa yang tidak layak pakai, sudah disemburnya Rio dengan nada-nada nyolot. Dasar Rio yang tak mau anaknya menyaksikan adegan-adegan kurang baik untuk dilihat. Idealis parah jadi orang. Everything must be in proper place and right time.
Selepas berlalunya Deva, Ify melihat jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Sepuluh menit sebelum beraksi di depan kompleks membagi-bagikan takjil. Papa mertua dan Papanya sendiri berada di masjid tak jauh dari perumahan untuk mengajak pemuda-pemuda yang ada di situ turut serta membagi-bagikan takjil pada pengguna jalan, juga mempersiapkan tempat meletakkan takjil yang akan dibagikan.
“Kak. Udah ya marahnya.” bujuknya merangkul lengan Rio menyandarkan kepala di bahu kokoh itu.
At least, dia memilih mengalah lagi. Selain karena tak mau memperpanjang masalah yang benar-benar kecil ini mengingat mereka bukan di rumah sendiri, juga ingat perkataan Pak Rusman tadi bahwa Rio sedang banyak masalah yang membuatnya harus melepas egonya lebih dulu sekarang. Yang pasti dia tak mau nambah dosa karena perang dingin bersama suami, terlebih dia tak puasa.
“Gak baik tahu marahan waktu puasa.”
“Hm.”
Sabar Fy.
“Kak.”
“Hm.”
“Maafin Ify yang akhir-akhir ini susah diatur.”
Katanya kakak sih.
“Hm.”
Sabar lagi Ify. Orang sabar kuburannya lebar.
“Maaf juga Ify gak bisa ngertiin Kakak yang akhir-akhir ini diuji masalah kerjaan.”
Yang ini serius. Tapi kan gak harus dibawa-bawa ke rumah keles. Mana Rionya yang bijak itu? Hmmm. Dugaannya, masalah Rio kali ini beratnya level akhirat, dan dia hanya bisa pasrah menunggu laki-laki itu bercerita sendiri padanya karena Rio susah untuk disuruh berbagi beban perusahaan padanya. Seperti Papa yang tak pernah cerita kalau bukan Mama yang memaksa jika sedang dalam masalah dengan perusahaannya.
Rio menghela nafas. Sebenarnya Ify tak salah. Dia saja yang sekarang sulit mengontrol emosi negatif yang sebentar-sebentar muncul. Ify masih tetap jadi istrinya yang penurut walau kadang bikin kesal dengan keras kepala dan rengekan gak jelasnya. Tapi untuk masalah yang sekarang, itu pure sumbernya adalah dirinya. Tekanan-tekanan dari serangan-serangan terhadap kesejahteraan perusahaan yang berlangsung secara berkelanjutan selama 3 bulan terakhir ini berhasil membuatnya pusing.
Dia juga bingung letak marahnya di mana pada Ify yang langsung mengiyakan permintaan mamanya untuk menginap hingga lebaran. Intinya, tadi itu dia ingin meluapkan segala bentuk emosinya. Tapi sepertinya ada alasan lain. Sesuatu menyentil pikirannya. Membuatnya beristighfar berkali-kali dalam hati. Bisa-bisanya kamu, Yo. Batinnya tak habis pikir.
“Kak. Maafin.” rengek Ify menyadarkannya kembali.
Dia mengangguk. Memasang senyum hangatnya. Kerutan di dahi terasa mulai mengabur.
“Iya. Aku juga minta maaf udah marah-marah tadi.” balasnya mendapat anggukan.
“Sebenarnya Kakak marah kenapa tadi? Karena Ify gak minta pendapat Kakak dulu sebelum nyanggupin permintaan Mama? Ify pikir gak perlu apalagi Kakak bilang kalau pekerjaan Kakak bisa dikelarin tanpa harus ke sana.”
Pertanyaan ini yang awalnya membuatnya ragu untuk menjawab. Tapi sekarang nggak. Apalagi hasrat menggoda Ify lagi menyeruak hebat.
“Aku gak mau nyanggupin bukan karena pekerjaan. Tapi karena kamu.”
“Loh kok?”
“Kamu yang jadi pertimbangan aku buat nentuin jadi nggaknya nginap di sini lebih dari sehari karena aku gak bakalan bisa bebas ngapa-ngapain kamu selama di sini.” jelasnya masih mendapat tatapan bingung dari Ify yang membuatnya makin gemas.
Senyum usilnya mengembang makin menjadi.
“Gak bisa cium kamu. Gak bisa nyentuh kamu lebih dalam. Gak bisa ngebuat kamu jer---- Awww”
Ify mendaratkan cubitan pedasnya di pinggang Rio saat sadar “ngapa-ngapain” yang dimaksud Rio adalah hala-hal yang mengarah pada kemesuman. Tunggu-tunggu, jadi tadi Rio marah-marah karena itu. Astaga Riooo. Dia sudah takut sendiri mendapati kemurkaan Rio tadi. Dan ternyata karena hal yang bikin dia pengen banget nabok Rio sekarang juga.
“Mau kemana, Dear? Tanggung jawab kulit pinggangku panas nih.” tahan Rio mencengkram pergelangannya.
“Mau nenangin diri dari fakta mengejutkan barusan.” ketusnya langsung melenggang ke arah pintu penghubung halaman belakang.
Dia merutuki Rio yang sekarang tertawa habis-habisan. Terdangar langkah kaki mendekat. Rio menyusulnya dan langsung mengamit pinggangnya. Dia diam. Tak memberontak juga tak menyambut. Parah Rio nih ya. Puasa-puasa juga. Gak takut pahala puasanya berkurang apa?
***

Ify mengusap-usap lengan suaminya yang sedari tiba di tempat untuk membagi-bagikan takjil tak berhenti merenggut dengan pandangan menyalang pada adik iparnya yang tengah mendekap tubuh mungil Masya. Rambut Ray yang dibuat gondrong kembali saat masuk kuliah tengah dimain-mainkan dengan gemas oleh Masya. Dia hanya bisa menahan tawa menyaksikan perdebatan kecil antara Rio dan Ray ketika akan meninggalkan rumah. Masya yang tadi digendong Deva ke halaman belakang berganti tempat ke pelukan Ray yang langsung melancarkan godaan-godaan membuat anak perempuannya tersipu. Rio gagal mengambil alih anaknya karena Ray langsung ngibrit keluar rumah bersamaan dengan supir pribadi keluarganya dan Rio membawa sekardur takjil diikuti para mama dibelakang. Mama Manda menepuk keras punggung Rio yang meneriaki Ray habis-habisan. Suaminya langsung berhenti menyumpah dan berganti merajuk pada mama karena anak perempuannya tak berhasil ia selamatkan dari Ray.
Semenjak sikap Ray yang memperlakukan Ify tidak sebagai kakak iparnya melainkan sebagai teman sebaya yang mengundang untuk digoda, Rio was-was tiap kali si kembar berada dalam kuasa Ray. Dia tak mau kedua anaknya mendapat pengetahuan-pengetahuan tak berguna dari Ray. Terlebih anak lelakinya yang bisa-bisa menjadi sasaran empuk untuk dijadikan penerus Ray. Dia sangat tahu tabiat Ray yang sebelas dua belas dengan Cakka –walaupun masih parah Cakka.
“Gak selamanya anak-anak loe lihat yang baik-baik doang Kak. Di dunia ini gak cuma diisi orang-orang baik. Mereka harus tahu kalau di sekitarnya ada orang-orang yang jago banget soal tikung-menikung, yang gak tahu diri, yang gak mau manfaatin anugerah dari Tuhan, yang lupa dia keluar dari rahim siapa, dan banyak “yang-yang” yang buruk lainnya. Idealis itu gak salah, cuma ya jangan sampai nutup mata sama sifat manusia zaman sekarang.”
Ya dia tahu maksud Ray, tapi nanti pengenalan isi dunia fana yang sebenarnya pada bocah usia 4 tahun lebih itu. Bukan sekarang. Apa salahnya menjaga dan menunjukkan sikap-sikap baik di depan mereka. Terlebih di usia emas mereka sekarang ini. Semua ada waktunya, kapan mereka harus berfikir menanggapi macam-macam isi dunia juga ada waktunya. Sekarang pembentukan benteng pertahanan dahulu sebelum ancaman-ancaman merusak moral di luar sana menyerang.
“Kamu duduk aja, Dear.”  ucap Rio menghentikan usapan di lengannya dengan tatapan masih tertuju pada Ray yang mendaratkan ciuman di pipi gembul kemerahan Masya.
“Kayaknya Kakak yang perlu duduk. Tenangin diri. Dari tadi marah-marah terus.” balas Ify dengan nada penuh hati-hati.
Rio menoleh cepat ke sebelah kanannya. Niat akan mengomel urung melihat senyum manis yang diberikan oleh  istrinya. Dia mendengus pelan.
“Mereka tetap menjadi anak kita, Kak. Mereka tetap akan mewarisi sebagian besar pribadi kita, bukan Ray maupun Deva.” tutur Ify yang mulai menggandeng lengannya.
“Masih jadi misteri antara faktor bawaan sama lingkungan, Dear. Keduanya punya kekuatan yang sama dalam membentuk pribadi mereka.” balasnya sambil memindahkan kurma-kurma dalam kemasan plastik kecil dari kardus ke atas meja.
“Iya Ify tahu. Cuma kan selama ini lingkungan mereka lebih banyak bersama kita Kak. Gak mungkin kan asuhan selama 4 tahun dengan kita gak berarti karena asuhan yang berlangsung cuma beberapa jam?” balas Ify melepas gandengannya. Menata kurma-kurma itu dekat ujung meja agar mudah diambil oleh remaja masjid yang turut membantu.
“Kamu ingat pepatah panas setahun terhapus oleh hujan sehari?” tanya Rio tak bisa menyembunyikan nada sinisnya.
Ify diam. Ia tahu dan ingat. Kebaikan yang telah diperbuat menjadi hilang karena kesalahan kecil yang diperbuat. Seratus kali kita berbuat baik lalu hanya melakukan sekali kesalahan, membuat hitungan kebaikan itu tak kasat mata, yang tertanam hanyalah kita buruk atau sangat buruk.
“Tapi kan beda konteks dengan bahasan kita, Kak.” sanggahnya.
Rio memandangnya sekilas, “Kamu juga gak lupa kan kalau semua hal di dunia ini tanpa kita sadari saling berkaitan? Terlihat beda tapi sama, beda tapi saling punya hubungan, beda tap---”
Kalimat Rio terputus oleh suara Masya yang memanggilnya. Dia langsung mengambil alih Masya yang mengulurkan tangan padanya.
“Gue balikin nih. Soudzon terus sama adik sendiri. Ingat puasa.” ucap Ray langsung balik badan membawa beberapa kurma dan gelas air mineral.
Serius dia ingin menghajar Rio saat ini juga. Walaupun dia tak mendengar yang diperbincangkan orang tua dari anak yang digendongnya, tetapi tatapan Rio sudah sangat cukup menjelaskan. Tak tahan ditatap seperti seorang tawanan yang memiliki catatan paling buruk, dia memilih menyudahi komunikasinya dengan Masya. Anak perempuan cantik memiliki kulit kuning langsat dengan wajah mirip Rio tapi versi cewek.
Ify segera membuang muka ke arah berlawanan dengan Rio. Mati-matian menahan tawa. Setelah merasa dapat mengendalikannya, dia balik memandang Rio yang menatapnya datar. Tersenyum manis. Mengusap rambut Masya yang dibiarkan tergerai.
“Masya mau kurma?”
Anaknya menggeleng, “Udah tadi sama Om Ray, Bunda.”
“Tadi ngomong apa aja sama Om Ray, Sayang?” tanya Ify mewakili suaminya.
“Banyak Bunda. Om Ray bilang muka Masya mirip Ayah. Om Ray bilang Masya dan Abang harus akur terus kayak Om Deva sama Bunda, juga Om Ray sama Ayah. Om Ray juga bilang kalau nanti Masya udah besar, Masya pasti cantik kayak Bunda. Om Ray juga janji mau beliin Masya besok baju barbienya Masya. Oh iya Om Ray juga bilang mau kasih Masya film barbie yang banyak. Masya sayang sama Om Ray.”
Ify mengecup pipi Masya kilat sebelum memandang Rio dengan sebelah alis terangkat. See? Gak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan? Kira-kira begitu jika diartikan menjadi bahasa verbal. Dia memang tak bisa menyalahkan penuh sikap Rio terhadap adiknya sendiri, karena Rio melakukan itu demi kebaikan anak-anaknya. Tapi yang Rio lakukan bukan sesuatu yang benar. Mencurigai adik sendiri karena sudah tahu tabiat Ray bagaimana tanpa mempedulikan kalimat everything has changed. Memanenkan sifat-sifat buruk Ray.
Tanpa diperintah, Rio berlalu dari hadapannya menghampiri Ray yang lanjut membagikan takjil. Dia tetap berdiri di posisinya. Memandang punggung lebar Rio yang ditepuk-tepuk ringan oleh Masya. Melihat bagaimana Rio merangkul hangat Ray yang menyambut baik perlakuan Rio sebagai bentuk permohonan maaf. Sisi baiknya Ray itu salah satunyayang terlihat sekarang. Pemuda seusianya itu mudah melupakan kesalahan orang lain, bukan tipe pendendam ataupun penyimpan kesalahan orang.

***

8 komentar:

  1. Aku mau kinflik :D

    Semangat terus, aku tunggu kelanjutannya :)

    BalasHapus
  2. Kak di lanjutnya jangan seminggu sekali dong. Seminggu 3x kalo bisa hehehe

    BalasHapus
  3. Dahsyat banget.. keren abisss... aku yg tadinya ngantuk sangat langsung melek lagi karena disuguhi cerita yg luarbiasa..
    Lanjut terus yaa indah :) semangaaattt !!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe jadi malu.terima kasihhhh:) ya semangat!!!!!!!!!!!!!

      Hapus
  4. Safira dan Wanda : Hehehe sementara cukup seminggu sekali ya:) ntar kalo ide udah mulai keproduksi banyak, baru dilebihin:)

    BalasHapus
  5. Kak having babies spesial ramadhan kapan ending nya?
    Aku nungguin nih

    BalasHapus