@
@
@
@
@
@
@
Sedan putih itu
membelah jalanan menuju kota seberang di mana sanak saudara tengah menunggu. Terdengar
hiruk pikuk dari balik kaca mobil. Suara keluhan, ungkapan kemarahan, tangisan,
berlomba seakan ingin didengar. Matahari sedang dalam aksi keangkuahannya
menunjukkan kekuatan. Di dalam mobil, setengah perjalanan terlewati dalam
keheningan. Tak ada yang berniat untuk lebih dulu membuka suara memecahkan
keheningan yang tercipta setelah kedua anaknya terlelap di pangkuan.
Bagi Ify,
saat ini dia hanya harus tetap diam. Melakukan pertukaran gas sudah lebih dari
cukup. Putra-putri kesayangannya berhenti mengoceh sana-sini, tanpa pikir lagi
dia melepas topeng bersahabatnya selama mereka terjaga dengan orang yang berada
tepat di sisinya. Plus dengan sangat ketara dia mendengus berkali-kali berharap
rasa kesal itu berhenti menghimpitnya, juga untuk memberi tahu orang di
sampingnya bahwa dia benar-benar malas ngomong sekarang.
“Belum
seminggu aku mohon untuk gak bandel, ternyata permohonanku cuma dianggap angin.
Masih nunggu tengkar dulu baru nyadar. Apa perasaanku aja semakin ke sini kamu
jadi susah dikasih tahunya.”
Jleb.
Kalimat yang dilontarkan dengan nada biasa, bahkan terlewat santai itu tetap sukses
membuat kesal yang ia tekan kembali dengan mudah menguasai dirinya. Dia menoleh
cepat pada sosok yang baru bicara, melepas pandangan dari balik kaca mobil. Rio
menatap lurus pada jalanan yang dikuasai supir perusahaannya.
“Ify bandel
gimana sih Kak? Letatk Ify susah dikasih tahunya di bagian mana?” tanyanya
sarat akan emosi yang siap meledak.
“Kalau untuk
masalah tadi, apa Ify bandel karena Ify nyanggupin Mama Manda untuk tinggal di
sana sampai lebaran? Apa Ify susah diaturnya karena langsung mengiyakan
permintaan Mama? Ap---”
Dia terpaksa
menghentikan kalimatnya saat Rio balas menatap memintanya untuk kembali diam.
Melirik supir yang langsung cepat-cepat mengalihkan pandangan dari spion depan
melihatnya dan Rio tanda-tanda memulai perang mulut. Dia langsung diam. Kalau
sudah begini, yang Rio katakan kalau dia makin kesini makin gak bisa diatur itu
di mananya?
Pertengahan
siang tadi ketika Mama Manda menghubunginya melalui ponsel Rio, meminta untuk
mereka berkunjung, dia langsung menyanggupi permintaan beliau yang
ternyata lebih dari itu. Mama meminta
untuk stay di jakarta –tepatnya di rumah keluarga Rio- hingga lebaran tiba yang
terhitung kurang lebih 5 hari menjelang hari kemenangan. Loudspeaker yang aktif
–Rio juga mendengar- membuat pria itu langsung bereaksi atas kesanggupannya.
Setengah merampas, Rio meraih ponsel yang diletakkan di tengah meja kerjanya.
Mematikan loudspeaker dan berbicara dengan mengambil jarak menjauh darinya. Dia
tak tahu yang dibicarakan anak dan ibu itu, tapi setelah pembicaraan selesai, Rio
balik dan mengatakan bahwa mereka hanya berbuka bersama lalu kembali ke
bandung. No more. Tak ada menginap entah satu atau dua malam di sana.
Dan bisa
diketahui, dia yang sudah terlalu senang akan menyambut lebaran di Jakarta
untuk pertama kalinya bersama keluarga besar, tanpa pikir panjang mengeluarkan
kata-kata rutukan yang menimbulkan pertengkaran. Akhirnya dia memilih
mengabaikan ketidaksetujuan Rio dan mulai packing pakaiannya dan si kembar
membuat suaminya murka total. Dengan kasar laki-laki itu menyeretnya menjauh
dari koper yang ia gunakan menampung baju-bajunya dengan sang anak. Lantas mengeluarkan
beberapa baju secara sembarang dan memasukkannya ke dalam koper dengan asal
pula. Membuat beberapa barang yang juga keluar dari dalam lemari jatuh
berantakan di lantai kamar.
“Ayo!”
gertak Rio melihatnya hanya mematung di tepi ranjang.
Dia memilih
tak beranjak. Kepalanya geleng-geleng tak percaya dengan Rio yang sekarang
sedang berhadapan dengannya. Seminggu terakhir ini emosi Rio sedang tidak
stabil. Dia merasakan itu, namun mencoba memaklumi. Karena seberat apapun
masalah Rio, pria itu jarang sekali menunjukkan efek masalah tersebut di
hadapannya. Tapi lama-lama dia juga tak bisa menahan diri untuk tetap
memaklumi. Kalau pertengkaran mengenai bandelnya dia tetap berpuasa dalam
keadaan hamil dengan kesehatan yang tidak bisa dikatakan sehat itu memang
salahnya. Nah sekarang ini? Letak salahnya di mana? Oke mungkin dia salah
karena tak mempertimbangkannya dengan Rio. Asal engatakan “ya”. Tidak mau tahu
lebih dulu apakah Rio menyanggupi atau tidak. Tapi apa alasan Rio untuk tidak
menyanggupinya? Masalah sepele jadi besar begini. Lelah Ify lama-lama. Bobo aja
yuk, Fy!
“Ayo Fy!”
gertak Rio lagi membuatnya langsung berdiri dan menempatkan diri tepat di depan
Rio.
“Kakak
kenapa? Udahan ya marahnya. Kakak lagi puasa. Ntar energinya banyak keserap.
Waktu buka masih lama.” bujuknya setengah niat mengusap berulang dada Rio yang
naik-turun karena amarahnya.
Rio
meliriknya sinis. Menepis kasar tangannya dan berjalan keluar kamar. Dia
mengumpat dalam hati. Seharusnya biarkan saja Rio marah-marah gak jelas begitu.
Gerakan
menggeliat Masya membuatnya melepas pandangan terhadap tatapan tajam Rio. Mengingat
penolakan Rio tadi pada dirinya yang sudah memilih mengalah, dia tak mau
mengajukan diri lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan Rio sekarang.
Persetan dengan dosa. Dia tak menemukan dirinya salah untuk kali ini. Rio yang
sekarang lagi gak waras. Kok bisa itu loh diajak menyambut lebaran di rumah
orang tuanya sendiri malah marah-marah. Otak Kakak lagi sakit?
***
Dia sudah
akan turun dari mobil saat pergelangan kanannya ditahan oleh Rio. Dia menoleh
dengan enggan. Ternyata Rio meraih Masya yang berada di pangkuannya.
Menggendong kedua anaknya itu turun dari mobil. Dia tersenyum tipis memandang
dari dalam mobil. Menoleh pada pria paruh baya yang belum beranjak dari kursi
kemudi itu saat merasa dipandang dari spion depan.
“Pak Rio
akhir-akhir ini sedang banyak masalah, Bu.” tutur supir perusahaan Rio –Pak
Rusman.
Dia
mengangguk paham akan kalimat Pak Rusman. Paham dengan keadaan Rio akhir-akhir
ini juga paham latar belakang Pak Rusman mengatakan itu. Memintanya untuk
bersabar dan penuh pengertian menghadapi Rio. Masalahnya, saat dia memilih
mengalah lebih dulu, Rio malah melakukan penolakan. Sudah tahu kan gimana
seorang wanita jika dihadapkan situasi seperti itu?
“Assalamualaikum.”
ucapnya dari teras rumah setelah menyusul Rio dengan kedua anaknya yang masih
terlelap nyaman di pelukan ayahnya.
“Waalaikumussalam.
Kak Ifyyyy.”
Bisa
ditebak. Siapa lagi yang akan heboh dengan kedatangannya setelah lama tak
berjumpa. Adik satu-satunya itu langsung menghambur ke dalam pelukannya. Namun
tak berlangsung lama ketika Mama Gina nyusul dan menarik krah belakang kemeja
Deva.
“Kakakmu
lagi hamil. Asal peluk aja. Kasihan dedeknya ketekan sama kamu. Kamu gak papa
kan Fy?” ucap Mama Gina yang langsung mencium keningnya setelah dia menyalami
beliau.
Dia hanya
tersenyum, “Gak papa Ma.”
“Mama apa
kabar?” tanya Rio menyalami mertuanya.
“Baik,
Sayang. Anak Mama gak bandel kan?” jawab mama Gina mengusap rambut Rio.
Ify hanya
bisa memutar bola matanya. Menggerutu dalam hati. Mama nih ya, kooperatif
banget sama menantu. Dari awal hidup bareng Rio, sampai 9 tahun berlalu yang
ditanya selalu “Anak Mama gak badel kan?”. Gitu aja mulu, Ma sampai Ify
punya cucu.
“Mama Manda
mana, Ma?” tanyanya cepat tak memberikan Rio kesempatan untuk menjawab.
“Itu di
dapur lagi persiapan untuk bagi-bagi takjil di depan perumahan nanti. Ayo
masuk!” jawab Mama Gina langsung balik badan.
Ify
mengangguk. Lantas memasuki rumah dengan Deva menggandeng lengannya. Rio sudah
terlebih dulu meninggalkan teras setelah menyalami mamanya.
“Kapan
nikah?” tanyanya pada sang adik yang sudah berumur 25 tahun ini masih belum
berani mengkhitbah kekasihnya.
“Nunggu Kak
Ify lahiran.” jawab Deva asal.
Adiknya
memang tak terlalu suka jika membahas tentang pernikahan. Dia sering memotivasi
Deva untuk segera mengakhiri masa pacaran yang sudah terjalin hampir 5 tahun lamanya
dengan berkaca pada suaminya. Rio saja berani mengkhitbahnya di usia pemuda itu
masih 19 tahun, masak yang udah cukup umur kicep begini? Bukan bermaksud
membandingkan. Hanya supaya semakin menggenjot keberanian Deva. Keberanian Deva
menciut karena bapak si cewek yang belum bisa menerima pekerjaannya sebagai
pemilik usaha cafe yang masih berumur 2 tahun dan sedang masa perjuangan. Lebih
tepatnya bapak si kekasihnya itu lebih menyukai laki-laki yang menjadi suami
anaknya memiliki pekerjaan yang saat bekerja nanti memakai baju seragam
–pegawai. Terjamin hidupnya. Padahal kan gak juga. Rio saja yang awalnya
mengabdi di perusahaan Ayahnya untuk mengumpulkan modal demi mendirikan usaha
sendiri, sampai saat ini masih sangat mampu untuk memberinya kehidupan yang
layak. Dasar bapak si cewek aja yang belum bisa melepas putri satu-satunya
–karena Deva bilang jika menikah, putrinya akan tinggal bersamanya di rumah
orang tuanya.
“Serius ya?
Kalau aku lahiran terus kamu belum nikah, jaminannya kepala kamu dibikin botak kek
Deddy Courbuzier.” balasnya menggoda tapi serius.
Deva
mendelik. “Nggak-nggak. Gak jadi deh. Gu— eh aku tarik lagi kalimat tadi.”
Ify tertawa
renyah. Merangkul pinggang Deva saat adiknya melepas gandengan di lengannya.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dia ingat waktu masih tinggal bersama
dengan laki-laki di sampingnya ini, sering kali tengkarnya. Pokoknya jarang
akur. Entah Deva yang mencari gara-gara lebih dulu atau dia yang sering
mengabaikan Deva membuat adiknya murka. Tapi sekarang, semua berubah. Malah
jarang sekali bahkan seingatnya tidak pernah mereka berada dalam situasi panas
peperangan. Adem ayem. Selain karena terpisah dan intensitas bertemu yang
kurang, juga kedewasaan masing-masing yang mulai berperan aktif. Wajah Deva
juga semakin tajam sebagai pria dewasa. Jika dilihat dari muka, dia tampak
sebagai adik. Bahkan jika mereka jalan berdua dengan posisi seperti sekarang
ini, bisa-bisa dianggap pasangan suami-istri.
“Kakak lagi
gak baik ya sama Kak Rio?” tanya Deva saat mereka sudah duduk di sofa.
Dia hanya
tersenyum, “Kelihatan banget ya?”
“Nggak sih.
Cuma berhubung aku yang lihat, jadi kelihatan. Aku tahu banget gimana
komunikasinya kalian berdua walaupun jarang ketemu.”
Dia kembali
tertawa renyah. Rio muncul dari balik dapur, masih menggendong si kembar yang
sudah terjaga. Mengambil duduk di sebelahnya. Deva menyikut-nyikut lengannya
entah untuk apa. Dia memilih bangkit dan berlalu menuju dapur. Menyapa mama
mertuanya. Biasanya walaupun berpisah hanya beberapa meter, Ify selalu pamit
dalam bentuk apapun pada Rio. Begitu pun sebaliknya. Entah itu sekedar “Aku ke
sana bentar. Aku tinggal bentar ya” dan masih banyak lainnya. Sekarang asal
nyelonong aja. Noleh sedikit pun tidak. Melihat itu, Deva ingin sekali
menggigit sepasang suami-istri yang sedang perang dingin itu.
“Halo
sayang.” sapanya pada Masya-Rasya yang memandangnya bingung.
“Ini om
Deva. Masak lupa sih?” lanjutnya sambil mengambil alih mereka yang berada di
pangkuan Rio.
“Masya gak
tahu.” tutur anak perempuan yang bersandar di lengan kirinya.
“Abang
juga.” sahut kembarannya.
Deva
memandang gemas keduanya. Maklum sih kalau mereka susah mengenalnya mengingat
lamanya waktu tak bertemu muka. Dia sangat menyukai anak kembar kakaknya ini.
Tingkah lakunya tidak menyebalkan. Seperti saat ini, walaupun mereka bilang
tidak mengetahui dirinya, tapi mereka tak memberontak saat dipangku olehnya.
“Ini Om
deva, Sayang. Saudaranya Bunda.” jelas Rio yang duduk di sampingnya.
“Om Deva adiknya
Bunda. Seperti Masya adiknya Abang Rasya.” tambahnya yang mendapat anggukan
dari keduanya.
“Kalian
puasa?” tanyanya setelah mendapat perhatian penuh dari si kembar.
“Nggak Om.
Tadi Masya ingin es krim sama coklat. Tapi kemarin Masya puasa setengah hari.”
jawab Masya panjang lebar.
“Rasya juga?”
tanyanya pada Rasya yang belum menjawab dan sepertinya dari wajahnya enggan
untuk menjawab. Dasar turunan asli orang tuanya.
Ify cerewet
sih, cuma banyakan diamnya. Begitupun Rio. Malah gak ada basa-basinya. Kecuali
lagi nego sama client. Itu yang ia lihat dari luar. Gak tahu aja si Deva gimana
Rio kalau sudah berada di rumah sendiri apalagi cuma berduaan sama Ify.
Bawelnya macam anak-anak gak dikasih uang saku.
“Iya.” Sangat
singkat.
Deva
melengos. Dia melirik sinis Rio yang menahan tawa. Rio meraih remote TV di atas
meja depan sofa yang didudukinya. Mengganti tayangan gosip ke tayangan kartun
yang tengah digemari oleh anak-anaknya. Si kembar botak yang memiliki kakak
perempuan garang tapi penyayang. Pandangan Rio beralih pada sosok Ify yang
kembali menuju tempatnya. Mengambil tempat di sampingnya.
“Aku bawa
Masya-Rasya ke halaman belakang.” pamit Deva dengan tatapan yang amat
dimengerti Ify.
“Jangan
diajarin yang nggak-nggak Dev.” pesan Rio tanpa menoleh.
Deva
mencibir, “Gu- mmm Aku ajak nyiram bunga Kak. Udah waktunya mandi itu bunga di
belakang.”
Kalau tak
ingat perjanjian tak tertulis jika di depan anak-anak kakaknya dan Rio harus
melepas bahasa yang tidak layak pakai, sudah disemburnya Rio dengan nada-nada
nyolot. Dasar Rio yang tak mau anaknya menyaksikan adegan-adegan kurang baik
untuk dilihat. Idealis parah jadi orang. Everything must be in proper place and
right time.
Selepas
berlalunya Deva, Ify melihat jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Sepuluh
menit sebelum beraksi di depan kompleks membagi-bagikan takjil. Papa mertua dan
Papanya sendiri berada di masjid tak jauh dari perumahan untuk mengajak
pemuda-pemuda yang ada di situ turut serta membagi-bagikan takjil pada pengguna
jalan, juga mempersiapkan tempat meletakkan takjil yang akan dibagikan.
“Kak. Udah
ya marahnya.” bujuknya merangkul lengan Rio menyandarkan kepala di bahu kokoh
itu.
At least,
dia memilih mengalah lagi. Selain karena tak mau memperpanjang masalah yang
benar-benar kecil ini mengingat mereka bukan di rumah sendiri, juga ingat
perkataan Pak Rusman tadi bahwa Rio sedang banyak masalah yang membuatnya harus
melepas egonya lebih dulu sekarang. Yang pasti dia tak mau nambah dosa karena
perang dingin bersama suami, terlebih dia tak puasa.
“Gak baik
tahu marahan waktu puasa.”
“Hm.”
Sabar Fy.
“Kak.”
“Hm.”
“Maafin Ify
yang akhir-akhir ini susah diatur.”
Katanya
kakak sih.
“Hm.”
Sabar lagi
Ify. Orang sabar kuburannya lebar.
“Maaf juga Ify
gak bisa ngertiin Kakak yang akhir-akhir ini diuji masalah kerjaan.”
Yang ini
serius. Tapi kan gak harus dibawa-bawa ke rumah keles. Mana Rionya
yang bijak itu? Hmmm. Dugaannya, masalah Rio kali ini beratnya level akhirat,
dan dia hanya bisa pasrah menunggu laki-laki itu bercerita sendiri padanya
karena Rio susah untuk disuruh berbagi beban perusahaan padanya. Seperti Papa
yang tak pernah cerita kalau bukan Mama yang memaksa jika sedang dalam masalah
dengan perusahaannya.
Rio menghela
nafas. Sebenarnya Ify tak salah. Dia saja yang sekarang sulit mengontrol emosi
negatif yang sebentar-sebentar muncul. Ify masih tetap jadi istrinya yang
penurut walau kadang bikin kesal dengan keras kepala dan rengekan gak jelasnya.
Tapi untuk masalah yang sekarang, itu pure sumbernya adalah dirinya.
Tekanan-tekanan dari serangan-serangan terhadap kesejahteraan perusahaan yang
berlangsung secara berkelanjutan selama 3 bulan terakhir ini berhasil
membuatnya pusing.
Dia juga
bingung letak marahnya di mana pada Ify yang langsung mengiyakan permintaan
mamanya untuk menginap hingga lebaran. Intinya, tadi itu dia ingin meluapkan segala
bentuk emosinya. Tapi sepertinya ada alasan lain. Sesuatu menyentil pikirannya.
Membuatnya beristighfar berkali-kali dalam hati. Bisa-bisanya kamu, Yo. Batinnya
tak habis pikir.
“Kak.
Maafin.” rengek Ify menyadarkannya kembali.
Dia
mengangguk. Memasang senyum hangatnya. Kerutan di dahi terasa mulai mengabur.
“Iya. Aku
juga minta maaf udah marah-marah tadi.” balasnya mendapat anggukan.
“Sebenarnya
Kakak marah kenapa tadi? Karena Ify gak minta pendapat Kakak dulu sebelum
nyanggupin permintaan Mama? Ify pikir gak perlu apalagi Kakak bilang kalau
pekerjaan Kakak bisa dikelarin tanpa harus ke sana.”
Pertanyaan
ini yang awalnya membuatnya ragu untuk menjawab. Tapi sekarang nggak. Apalagi
hasrat menggoda Ify lagi menyeruak hebat.
“Aku gak mau
nyanggupin bukan karena pekerjaan. Tapi karena kamu.”
“Loh kok?”
“Kamu yang
jadi pertimbangan aku buat nentuin jadi nggaknya nginap di sini lebih dari
sehari karena aku gak bakalan bisa bebas ngapa-ngapain kamu selama di sini.”
jelasnya masih mendapat tatapan bingung dari Ify yang membuatnya makin gemas.
Senyum
usilnya mengembang makin menjadi.
“Gak bisa
cium kamu. Gak bisa nyentuh kamu lebih dalam. Gak bisa ngebuat kamu jer----
Awww”
Ify
mendaratkan cubitan pedasnya di pinggang Rio saat sadar “ngapa-ngapain” yang
dimaksud Rio adalah hala-hal yang mengarah pada kemesuman. Tunggu-tunggu, jadi
tadi Rio marah-marah karena itu. Astaga Riooo. Dia sudah takut sendiri
mendapati kemurkaan Rio tadi. Dan ternyata karena hal yang bikin dia pengen banget
nabok Rio sekarang juga.
“Mau kemana,
Dear? Tanggung jawab kulit pinggangku panas nih.” tahan Rio mencengkram
pergelangannya.
“Mau
nenangin diri dari fakta mengejutkan barusan.” ketusnya langsung melenggang ke
arah pintu penghubung halaman belakang.
Dia merutuki
Rio yang sekarang tertawa habis-habisan. Terdangar langkah kaki mendekat. Rio
menyusulnya dan langsung mengamit pinggangnya. Dia diam. Tak memberontak juga
tak menyambut. Parah Rio nih ya. Puasa-puasa juga. Gak takut pahala puasanya
berkurang apa?
***
Ify
mengusap-usap lengan suaminya yang sedari tiba di tempat untuk membagi-bagikan
takjil tak berhenti merenggut dengan pandangan menyalang pada adik iparnya yang
tengah mendekap tubuh mungil Masya. Rambut Ray yang dibuat gondrong kembali
saat masuk kuliah tengah dimain-mainkan dengan gemas oleh Masya. Dia hanya bisa
menahan tawa menyaksikan perdebatan kecil antara Rio dan Ray ketika akan
meninggalkan rumah. Masya yang tadi digendong Deva ke halaman belakang berganti
tempat ke pelukan Ray yang langsung melancarkan godaan-godaan membuat anak
perempuannya tersipu. Rio gagal mengambil alih anaknya karena Ray langsung
ngibrit keluar rumah bersamaan dengan supir pribadi keluarganya dan Rio membawa
sekardur takjil diikuti para mama dibelakang. Mama Manda menepuk keras punggung
Rio yang meneriaki Ray habis-habisan. Suaminya langsung berhenti menyumpah dan
berganti merajuk pada mama karena anak perempuannya tak berhasil ia selamatkan
dari Ray.
Semenjak
sikap Ray yang memperlakukan Ify tidak sebagai kakak iparnya melainkan sebagai
teman sebaya yang mengundang untuk digoda, Rio was-was tiap kali si kembar
berada dalam kuasa Ray. Dia tak mau kedua anaknya mendapat
pengetahuan-pengetahuan tak berguna dari Ray. Terlebih anak lelakinya yang
bisa-bisa menjadi sasaran empuk untuk dijadikan penerus Ray. Dia sangat tahu
tabiat Ray yang sebelas dua belas dengan Cakka –walaupun masih parah Cakka.
“Gak
selamanya anak-anak loe lihat yang baik-baik doang Kak. Di dunia ini gak cuma
diisi orang-orang baik. Mereka harus tahu kalau di sekitarnya ada orang-orang
yang jago banget soal tikung-menikung, yang gak tahu diri, yang gak mau
manfaatin anugerah dari Tuhan, yang lupa dia keluar dari rahim siapa, dan
banyak “yang-yang” yang buruk lainnya. Idealis itu gak salah, cuma ya jangan
sampai nutup mata sama sifat manusia zaman sekarang.”
Ya dia tahu
maksud Ray, tapi nanti pengenalan isi dunia fana yang sebenarnya pada bocah
usia 4 tahun lebih itu. Bukan sekarang. Apa salahnya menjaga dan menunjukkan
sikap-sikap baik di depan mereka. Terlebih di usia emas mereka sekarang ini.
Semua ada waktunya, kapan mereka harus berfikir menanggapi macam-macam isi
dunia juga ada waktunya. Sekarang pembentukan benteng pertahanan dahulu sebelum
ancaman-ancaman merusak moral di luar sana menyerang.
“Kamu duduk
aja, Dear.” ucap Rio menghentikan usapan
di lengannya dengan tatapan masih tertuju pada Ray yang mendaratkan ciuman di
pipi gembul kemerahan Masya.
“Kayaknya
Kakak yang perlu duduk. Tenangin diri. Dari tadi marah-marah terus.” balas Ify
dengan nada penuh hati-hati.
Rio menoleh
cepat ke sebelah kanannya. Niat akan mengomel urung melihat senyum manis yang
diberikan oleh istrinya. Dia mendengus
pelan.
“Mereka
tetap menjadi anak kita, Kak. Mereka tetap akan mewarisi sebagian besar pribadi
kita, bukan Ray maupun Deva.” tutur Ify yang mulai menggandeng lengannya.
“Masih jadi
misteri antara faktor bawaan sama lingkungan, Dear. Keduanya punya kekuatan
yang sama dalam membentuk pribadi mereka.” balasnya sambil memindahkan
kurma-kurma dalam kemasan plastik kecil dari kardus ke atas meja.
“Iya Ify
tahu. Cuma kan selama ini lingkungan mereka lebih banyak bersama kita Kak. Gak
mungkin kan asuhan selama 4 tahun dengan kita gak berarti karena asuhan yang
berlangsung cuma beberapa jam?” balas Ify melepas gandengannya. Menata
kurma-kurma itu dekat ujung meja agar mudah diambil oleh remaja masjid yang
turut membantu.
“Kamu ingat
pepatah panas setahun terhapus oleh hujan sehari?” tanya Rio tak bisa
menyembunyikan nada sinisnya.
Ify diam. Ia
tahu dan ingat. Kebaikan yang telah diperbuat menjadi hilang karena kesalahan
kecil yang diperbuat. Seratus kali kita berbuat baik lalu hanya melakukan
sekali kesalahan, membuat hitungan kebaikan itu tak kasat mata, yang tertanam
hanyalah kita buruk atau sangat buruk.
“Tapi kan
beda konteks dengan bahasan kita, Kak.” sanggahnya.
Rio
memandangnya sekilas, “Kamu juga gak lupa kan kalau semua hal di dunia ini
tanpa kita sadari saling berkaitan? Terlihat beda tapi sama, beda tapi saling
punya hubungan, beda tap---”
Kalimat Rio
terputus oleh suara Masya yang memanggilnya. Dia langsung mengambil alih Masya
yang mengulurkan tangan padanya.
“Gue balikin
nih. Soudzon terus sama adik sendiri. Ingat puasa.” ucap Ray langsung balik
badan membawa beberapa kurma dan gelas air mineral.
Serius dia
ingin menghajar Rio saat ini juga. Walaupun dia tak mendengar yang diperbincangkan
orang tua dari anak yang digendongnya, tetapi tatapan Rio sudah sangat cukup
menjelaskan. Tak tahan ditatap seperti seorang tawanan yang memiliki catatan
paling buruk, dia memilih menyudahi komunikasinya dengan Masya. Anak perempuan
cantik memiliki kulit kuning langsat dengan wajah mirip Rio tapi versi cewek.
Ify segera
membuang muka ke arah berlawanan dengan Rio. Mati-matian menahan tawa. Setelah
merasa dapat mengendalikannya, dia balik memandang Rio yang menatapnya datar.
Tersenyum manis. Mengusap rambut Masya yang dibiarkan tergerai.
“Masya mau
kurma?”
Anaknya menggeleng,
“Udah tadi sama Om Ray, Bunda.”
“Tadi
ngomong apa aja sama Om Ray, Sayang?” tanya Ify mewakili suaminya.
“Banyak
Bunda. Om Ray bilang muka Masya mirip Ayah. Om Ray bilang Masya dan Abang harus
akur terus kayak Om Deva sama Bunda, juga Om Ray sama Ayah. Om Ray juga bilang
kalau nanti Masya udah besar, Masya pasti cantik kayak Bunda. Om Ray juga janji
mau beliin Masya besok baju barbienya Masya. Oh iya Om Ray juga bilang mau
kasih Masya film barbie yang banyak. Masya sayang sama Om Ray.”
Ify mengecup
pipi Masya kilat sebelum memandang Rio dengan sebelah alis terangkat. See?
Gak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan? Kira-kira begitu jika diartikan
menjadi bahasa verbal. Dia memang tak bisa menyalahkan penuh sikap Rio terhadap
adiknya sendiri, karena Rio melakukan itu demi kebaikan anak-anaknya. Tapi yang
Rio lakukan bukan sesuatu yang benar. Mencurigai adik sendiri karena sudah tahu
tabiat Ray bagaimana tanpa mempedulikan kalimat everything has changed. Memanenkan
sifat-sifat buruk Ray.
Tanpa
diperintah, Rio berlalu dari hadapannya menghampiri Ray yang lanjut membagikan
takjil. Dia tetap berdiri di posisinya. Memandang punggung lebar Rio yang
ditepuk-tepuk ringan oleh Masya. Melihat bagaimana Rio merangkul hangat Ray
yang menyambut baik perlakuan Rio sebagai bentuk permohonan maaf. Sisi baiknya
Ray itu salah satunyayang terlihat sekarang. Pemuda seusianya itu mudah
melupakan kesalahan orang lain, bukan tipe pendendam ataupun penyimpan
kesalahan orang.
***
Aku mau kinflik :D
BalasHapusSemangat terus, aku tunggu kelanjutannya :)
:D
BalasHapusIyyaaa terima kasihh:)
Kak di lanjutnya jangan seminggu sekali dong. Seminggu 3x kalo bisa hehehe
BalasHapusDahsyat banget.. keren abisss... aku yg tadinya ngantuk sangat langsung melek lagi karena disuguhi cerita yg luarbiasa..
BalasHapusLanjut terus yaa indah :) semangaaattt !!!!
Hehehe jadi malu.terima kasihhhh:) ya semangat!!!!!!!!!!!!!
Hapusiya kak jngn seminggu sekali
BalasHapusSafira dan Wanda : Hehehe sementara cukup seminggu sekali ya:) ntar kalo ide udah mulai keproduksi banyak, baru dilebihin:)
BalasHapusKak having babies spesial ramadhan kapan ending nya?
BalasHapusAku nungguin nih