Rabu, 22 Juli 2015

HAVIENG BABIES? WHY NOT?! {SPECIAL LEBARAN #D}

Suara pintu terbuka menghentikan Ify yang sedang mempersiapkan baju untuk lebaran. Rio bersama putra-putrinya berjalan menuju sofa dengan menenteng plastik kresek hitam, membuatnya harus menebak-nebak apa yang mereka bawa. Dia menyelesaikan lipatan terakhir baju koko milik suaminya sebelum beranjak dari ranjang. Mengambil tempat di sebelah Rasya-Masya yang mulai membuka isi plastik.
“Isinya apa, Sayang?” tanya turut membuka ikatan kresek yang cukup mapan.
“Beli di mana, Kak?” tambahnya pada Rio saat tahu isi kresek tersebut yaitu nastar dalam kemasan kotak mika.
“Gak beli, Bunda. Tante Sivia kasih tadi di jalan.” Masya yang menjawab.
Sebelah alis Ify terangkat. Rasya-Masya mulai sibuk dengan makanan ringan di pangkuan mereka, tanda mereka sudah tidak bisa diberi pertanyaan lagi. Kalau dia tetap ngeyel bertanya pada keduanya, jawaban ngelantur yang dia dapatkan. Alhasil dia menatap Rio yang sejak duduk di sofa tadi berkutat dengan gadgetnya. Hanya meliri-lirik sekilas.
“Ketemu Sivia di mana, Kak?”
Sekitar 2 jam yang lalu teman-teman hidupnya itu pamit untuk jalan-jalan sekedar melihat situasi menjelang detik-detik lebaran. Mencari-cari informasi mengenai kegiatan mudik sebagian besar penduduk urban maupun asli Jakarta agar nanti bisa menentukan kepulangan mereka ke bandung tanpa harus mengalami kemacetan yang berkepanjangan.
“Di daerah rumah kamu.”
“Kakak ke rumah?” tanyanya menahan geram mendengar jawaban singkat Rio.
“Iya. Tuh Rasya-Masya kangen Om Deva katanya.” jawab Rio masih tanpa mengalihkan pandangan dari gadgetnya. Benar-benar tak bisa diganggu sepertinya.
Dia memilih beralih kembali pada si kembar yang melahap nastar-nastar itu dengan nikmat. Berbicara satu sama lain memuji kelezatan kue yang baru mereka telan dengan bahasa khas anak-anak, mengundang kekehan darinya. Dia meraih satu nastar dan menggigit ujungnya seraya beranjak mengambil smartphonenya yang berada di atas nakas. Sebelumnya menumpuk baju-baju lebaran mereka dan menaruhnya di dalam lemari kayu. Selama stay di Jakarta, mereka menempati kamar Rio yang di dalamnya hanya terdapat meja kerja, lemari, nakas, serta sofa ukuran sedang.
“Assalamualaikum.” salamnya saat sambungan pada Sivia di seberang sana terhubung.
“Waalaikumussalam. Loe mau bilang makasih kan? Gue udah tahu. Sama-sama.”
Ify tertawa kecil. Hingga memiliki satu anak laki-laki lebih tua dua tahun dari Rasya-Masya, ceplas-ceplos tetap menjadi ciri khas Sivia. Sambil lalu menggigit bagian lain nastar, dia menjawab.
“Loe bikin sendiri?”
“Yoa. Niatnya mau gue kasih ke nyokap loe, eh malah ketemu anak-anak loe yang gemesin itu. Dan kebetulan mereka mau ke sana. Oh ya, loe--- eh bentar-bentar.”
Ify mengangguk. Dia duduk di kaki ranjang memain-mainkan kedua kakinya. Nastar yang dimakannya sedikit-sedikit tadi sudah kandas. Terdengar di seberang sana Sivia menanggapi celotehan putra mahkotanya. Laki-laki berwajah oriental turunan dari Alvin itu memiliki alis tebal seperti Sivia. Juga potensi cerewet yang sama seperti ibunya.
“Sorry ya Fy, anak gue nih bawel banget. Oh ya, loe berapa hari di sini? Kalau balik, gue sama Alvin mau bareng. Main-main di rumah loe, juga sekalian ke tempat-tempat wisata di sana. Si Zavin ngerengek-rengek minta liburan ke luar kota.”
Ify tertawa kecil, “Kayaknya hari ketiga setelah lebaran. Tergantung sih Vi. Ntar gue kabarin loe lagi. Loe nginap ya kalau ke rumah, ntar gu---"
“Bahasanya dijaga. Di depan anak-anak nih.” potong Rio menegur penggunaan loe-gue.
Lelaki itu mengangkat sebentar kepalanya untuk memberinya tatapan penuh peringatan sebelum menunduk kembali. Di sebelahnya, Rasya-Masya masih sibuk bercakap-cakap ria yang sekarang malah membahas si pemberi kue. Tante Sivia cantik, rambutnya bagus, Om Alvin ganteng tapi diam kayak Rasya, dan sebagainya.
Teguran Rio tadi rupanya terdengar oleh Sivia. Wanita itu sekarang tertawa puas dan meledek dirinya habis-habisan. Dia hanya mendengus kesal. Mencebik ke arah Rio yang tak ia sangka mengangkat wajah yang membuatnya reflek membuang muka.
“Udah kek Vi.” kesalnya pada Sivia yang tak kunjung berhenti tertawa.
Di balik kesibukannya membaca kiriman email dari sekretarisnya mengenai beberapa berkas yang diperlukan untuk keberangkatannya studi banding dengan perusahaan yang bergerak di bidang yang sama dengan perusahaannya selepas lebaran nanti, senyuman geli menyelip di raut wajahnya yang serius. Dia nyaris tak bisa mempertahankan ekspresi datarnya saat menangkap Ify yang mencebik kesal padanya. Merasa cukup untuk mengabaikan istri manjanya dan kedua anaknya yang sudah berlari-lari kecil di kamar luasnya menandakan mereka sudah bosan dengan kue yang sedari tadi digeluti, dia meletakkan gadget itu di meja kerja tak jauh dari sofa. Menghampiri Rasya-Masya dan mengangkat keduanya dalam gendongan. Lantas berbalik badan menuju keberadaan Ify. Mengambil tempat tepat di samping Ify. Ibu dari anak-anaknya itu melirik sekilas sebelum kembali berbicara dengan Sivia. Sempat tertangkap cebikan yang sama dari bibir ranum itu. Balas dendam rupanya. Gemas, didaratkannya kecupan kilat di puncak kepala wanitanya.
“Aku tutup ya Vi. Ntar aku hubungi lagi. Assalamualaikum.”
Ify langsung menutupnya tanpa mau tahu jawaban di seberang sana mengingat Sivia selalu tertawa saat dia menggunakan aku-kamu. Mungkin untuk sebagian orang biasa, tapi untuk keduanya itu sangat menggelikan apalagi sahabat sendiri yang ngomong saja tak perlu mikir lama kalimat yang diucapkan itu menyakitkan atau tidak. Dia menoleh pada Rio dan kedua anaknya setelah melempar pelan smartphone itu ke tengah ranjang. Mengambil alih Rasya dalam gendongan. Berdiri menghadap kepala ranjang lantas merebahkan tubuh itu sebelum menggelitik gemas. Mencium bagian perut Rasya menggerak-gerakkan kepala di sana membuat anaknya yang pendiam terkikik geli di sela melafalkan kata ampun.
“Sudah, Bundahhh.Hhh... Abang hhh capek hhh geli.”
Dia tersenyum lebar. Mengacak-acak rambut Rasya seraya menegakkan kembali tubuhnya yang setengah membungkuk. Di belakangnya, Rio memposisikan tangan kokohnya di sekitar perut. Juga meminta dia untuk berhenti menjahili Rasya, lebih tepatnya untuk tidak terlalu lama membungkuk.
“Masya juga mau, Bundaaa. Kok Abang aja? Bunda sayang Abang aja?” rengek Masya yang ternyata sudah berdiri di samping Rasya yang sekarang duduk bersila.
Dengan gerakan kasar, perempuan mungilnya itu langsung tidur tengkurap. Menyembunyikan wajah di atas bantal. Menggerak-gerakkan kaki kecilnya menendang permukaan ranjang. Dia menoleh pada Rio yang tangannya masih bertengger nyaman di perutnya, bahkan memeluknya. Pria itu hanya memberikan senyum miring yang sangat ia ketahui artinya. Dia memandang Masya lagi. Seperti biasa jika kembarannya lagi ngambek, laki-laki kecil itu langsung mengusap-usap kepala dan punggung Masya berulang. Turut berbaring tengkurap di samping Masya.
“Tinggalin aja deh, Bun. Bunda pacaran sama Ayah aja yuk.” bisik Rio mesrah di telinga kanannya.
Meniup bagian itu menimbulkan gelenyar khas yang hanya bisa dimunculkan oleh Rio.  Kalau tak ingat suaminya itu lagi puasa, sudah dibalasnya lebih parah. Makin ke sini Rio makin nakal. Dia sangat tahu. Tiap dia menolak untuk dipeluk dengan alasan lelaki itu sedang puasa, ada saja kalimat-kalimat ajaib Rio mereduksi penolakannya. Salah satunya, selama meluknya gak pakai napsu itu gak papa. Kecuali kalau samapi membuat yang dibawah terjaga baru itu tidak boleh. Kalimat itu sukses membuatnya merona 2 hari 2 malam. Rio kurang waras memang akhir-akhir ini. Marah-marah tak jelas. Tiba-tiba ketus, nyuekin dia habis-habisan. Tak jarang jadi manja menggelikan seperti sekarang.
“Apaan sih, Kak.” kesalnya melepas pelukan Rio dengan sekali tarikan.
“Widihhh, bumil mah punya kekuatan lebih ya.” goda Rio yang membuatnya tanpa kasihan mendaratkan cubitan kecil di sekitar pinggang.
Enggan menanggapi Rio lagi, dia berbalik memutar ranjang menuju sisi kanan Masya yang kosong. Belum dua langkah, tubuhnya melayang mengundang pekikan nyaring keluar dari mulutnya.
“Sayang, ayo gelitikin Bunda.” Seru Rio pada Rasya-Masya yang langsung terduduk mendengar pekikan Ify.
Ify mendelik tajam padanya mendapati putra-putrinya mengangguk-angguk kuat. Masya yang sempat menangis, wajahnya kembali cerah. Mengusap kasar kedua matanya sebelum ikut merangkak ke tepi ranjang. Memberikan cukup ruang untuk tubuh Ify yang bertambah isi. Dia melangkah cepat menuju sisi kanan ranjang. Mengabaikan dadanya yang lumayan sakit karena pukulan Ify.
“Diam atau aku cium kamu di depan anak-anak.” ancamnya tak serius -karena dia pun tak mau berbuka sebelum waktunya- saat gerakan berontak Ify makin menjadi. Kan tak lucu kalau sampai dia kewalahan dan akhirnya tubuh Ify langsung mencium lantai kamar.
Di rebahkannya tubuh Ify di tengah-tengah ranjang. Hanya dengan mengedikkan dagu, kedua anaknya yang tingkat kepatuhan terhadapnya lebih tinggi dibanding pada Ify langsung mengerubungi Ify. Mulai memain-mainkan jari-jari mungil itu di pinggang Ify. Tawanya menyapu ruang kamar melihat reaksi berlebihan Ify setiap disentuh jahil pada bagian pinggang mengingat wanita itu paling tak suka digelitik.
“KAK RIO, RASYA, MASYA BERHENTI.” teriak Ify di sela mengadu geli di bagian pinggangnya.
Tubuhnya bergerak-gerak tak karuan seraya kedua tangannya meraih tangan-tangan jahil yang sedang bersarang di bagian pinggang. Ketika berhasil meraih tangan kokoh Rio, langsung digigitnya lengan bawah itu membuat si pemilik tangan meringis keras dan berusaha menarik-narik tangannya dari cengkramannya yang kuat.
“Lepas, Dear.”
“NGGAK. SURUH MEREKA BERHENTI DULU.”
“Oke-oke.”
Rio mengalah. Kasihan juga melihat wajah Ify yang memerah padam.
“Udah, Sayang.” titahnya yang langsung diindahkan oleh si kembar.
Ify bernafas lega. Di usapnya berulang perut setengah membuncitnya itu. Untung saja gerakannnya tak sampai memberi efek buruk pada janin di rahimnya. Dia mendelik penuh pada Rio yang duduk bersandar di kepala ranjang. Senyum-senyum menyebalkan lengkap kerlingan mata. Dengan lembut, Rio menarik tubuhnya untuk setengah bersandar di dada bidanganya. Dia pasrah saja berusaha menyingkirkan rasa canggung dalam posisi seperti ini di depan Rasya-Masya.
“Gitu ya sama Bunda. Kalau dedeknya tadi gak nyaman karena gerakan Bunda, gimana?” gerutunya ditujukan pada si kembar yang sudah duduk di sampingnya.
“Maaf Bunda.” ucap Masya mewakili.
“Dedek Masya gak papa kan Bunda?” tambah Masya yang mulai mengusap perutnya.
Masih mempertahankan wajah cemberutnya dia menjawab, “Bunda gak tahu. Coba Masya tanya.”
“Abang juga mau tanya.”
Rasya-Masya bergerak semakin dekat dengan tubuhnya.
“Adek Masya/ Abang baik-baik aja?”
Mendengar itu Ify tersenyum haru. Nyeri yang sempat hadir sekilas tadi perlahan mengabur oleh setiap usapan lembut anak-anaknya. Pipi keduanya menempel di perut selesai mengatakan sesuatu. Lalu cekikikan. Mungkin merasakan gerakan samar di dalam sana.
Merasa cukup memperhatikan keduanya, dia mendongak memandang Rio yang menatapnya teduh sekarang. Telapak tangan lebar yang mampu menenggelamkan jemari-jemarinya dalam genggaman itu tak berhenti mengusap dahinya. Menghapus peluh yang terproduksi selama menanggapi serangan tadi.
“Bunda gak papa kan?” tanya Rio yang ganti memijat bahunya.
Dia menggeleng, “Nyeri sedikit tadi cuma sekarang udah---”
“Kita ke dokter ya? Di periksa. Aku takut janinnya kenapa-kenapa.” heboh Rio membuatnya memutar bola mata jengah dengan kekhawatiran Rio yang suka berlebihan.
“Gak usah, Kak. Serius gak papa. Tadi cuma kaget sedikit. Kakak gak lupa kan kalau ikatan aku sama si janin itu terjalin dengan baik?” tuturnya menenangkan, menahan Rio yang akan beranjak dengan menyerahkan berat badannya sepenuhnya pada sandaran ternyaman.
“Iya-iya. Tapi beneran gak papa kan?” tanya Rio lebih memastikan yang dianggukinya kuat-kuat.
Di remasnya kuat tangan Rio yang bebas, menunjukkan bahwa dia benar-benar baik. Rio kembali mengusap puncak kepala wanitanya yang sebelumnya melepas ikatan sederhana yang melingkupi sebagian kecil rambut hitam pekat sepinggang itu. Memberikan sedikit gerakan menyisir merapikan rambut Ify yang berantakan akibat ulahnya dengan sang anak. Sering kali dia melakukan hal ini namun tak membuatnya bosan. Dia akan terus menjaga segala apapun yang melekat pada diri Ify dan hal lain yang berhubungan dengan wanita itu. Dan akan terus membuat Ify nyaman di dekatnya dengan segala apapun yang ia punya. Kejahilannya, kesabarannya, keromantisannya, bahkan dengan kemarahan dan kekesalannya sekalipun.
***
 Ify memberikan bando putih berbunga sebagai sentuhan akhir penampilan Masya di hari lebaran. Di atas ranjang, Rio tengah mendandani Rasya sama persis dengan dirinya. Sarung putih dengan baju koko putih yang modelnya beda. Pakaian yang dikenakannya pun tak beda jauh dengan Masya, hanya berbeda pada dress bagian bawah. Milik Masya mengembang bak seorang princess.
“Selesai.” serunya dan Rio  bersamaan.
Keduanya saling pandang lalu tertawa ringan. Rio menurunkan Rasya, begitupun dirinya menurunkan Masya dari kursi di depan meja rias. Masya langsung berlari kecil menghampiri Rasya yang merentangkan tangan. Memeluk abangnya erat.
“Adek cantik seperti princess aurora.” puji Rasya setelah melepas pelukan adiknya, menyebut salah satu princess yang sering mereka tonton tiap pagi.
“Abang juga ganteng.”
“Anak Ayah sama Bunda memang cantik dan ganteng.” ucap Rio menggendong keduanya.
Dia sering tak tahan kalau anak-anak bertingkah seperti sekarang ini untuk membawa mereka dalam gendongan. Menyerang mereka dengan ciuman-ciuman sayang. Ify mendekat dan turut mendaratkan kecupan-kecupan kasih. Suara pintu diketuk disusul dengan pintu terbuka memunculkan kedua orang tua Rio yang bergegas menghampiri mereka. Mengambil alih si kembar.
Pandangan Rio beralih setelah melepas kedua orang tuanya di balik pintu. Ify kembali duduk di depan meja rias. Dengan langkah pelan selagi membenahi sarungnya, dia mendekati Ify. Bersandar di meja rias menatap teduh istrinya yang tengah mengoleskan lipgloss di bibir ranumnya.
“Pasangin kancingan Ayah dong, Bun.” pintanya malas memasang kancing baju kokonya yang lebih dari 7 kancing.
“Bunda udah ada wudhu, Ayah.” tolak Ify halus yang sepertinya mencurigai maksud lain permintaannya.
“Kancingin baju kan gak nyentuh kulit, Bunda.” ucapnya seoalah tak tahu jika tengah dicurigai.
“Nanti ujungnya nyentuh juga. Bunda udah pakai bedak nih Ayah.”
“Ntar pakai lagi.”
“Ayah!”
Rio terkekeh. Tak urung dia tetap melancarkan hasratnya menggoda Ify. Apalagi melihat bibir Ify yang mengkilat dengan lipgloss strawberrynya. Bagaimana dia bisa tahu? Yang jelas dia tak langsung mencicipi lipglossnya. Gila aja.
Ify melirik sekilas pada Rio yang sekarang berjongkok di sampingnya. Menggeret kursinya 90 derajat. Dahinya mengernyit melihat senyum Rio yang begitu manisnya. Manik matanya memandang dirinya penuh memuja dan ada binar kilat menginginkannya. Dia mengalah. Meletakkan sisir yang baru akan merapikan rambutnya. Menangkup kedua pipi Rio seiring memperpendek jarak.
“Ayah minta apa?” tanyanya lembut yang langsung disambut senyum sumringah oleh Rio.
Dengan girang, pria itu menunjuk dahi, kedua kelopak mata, hidung, bibir, bibir, dan dagunya sendiri. Dia mengangguk paham. Mulai memberikan yang diinginkan Rio. Pelan, dia menyentuhkan bibirnya di kening Rio yang sebelumnya menyingkap rambut depan Rio dan mengucap bacaan basmalah. Bismillah, semoga suaminya senang.
Lanjut kedua kelopak mata. Dengan ibu jarinya dia mengusap bagian kantong mata Rio yang lumayan tak enak dipandang. Mengecupnya lama. Turun lagi pada hidung pesek yang diturunkan ke anak perempuannya itu.  Di kecupnya tak kalah lama.
Diam sesaat sebelum jempolnya mengusap permukaan bibir bawah Rio. Sedikit ragu karena baginya bagian itu merupakan bagian yang sensitif. Kalau Rio pasif tak masalah, jika sebaliknya dia hanya bisa pasrah. Tak kuasa menghentikannya. Oleh karena itu, dia memilih mengecupnya kilat. The last, rahang tajam Rio yang negbuat dia laki parah. Di usapnya rambut-rambut tipis yang tumbuh di rahang  bagian bawah itu. Makin membuat suaminya tambah-tambah errr sexy.
“Bunda suka.” lirihnya tak berhenti mengusap dagu Rio membuat si empunya dagu hanya tersenyum.
Cup.
“Astaghfirullah Ify, Kak Rio cepetan! Udah mau berangkat nih.”
***
“Masya minta maaf Eyang.”
“Abang minta maaf juga Eyang.”       
“Masya duluan Abang. Abang di belakang Masya. Ihhh.”
Ify dan Rio tersenyum saling memandang usai menyaksikan sungkeman khas kembar kesayang mereka. Kedua bocah itu berlutut menenggelamkan muka di pangkuan kedua orang tua mereka. Entah apa yang dibicarakan lagi oleh anak-anaknya sampai membuat dua pasang kakek-nenek itu mendaratkan cubitan lembut di pipi gembul mereka. Menciumi wajah mereka habis-habisan. Sofa keluarga lebaran kali ini hanya dipenuhi oleh kedua orang tuanya dan Rio, dan di sebelahnya Ray-Deva.
“Bunda, Ayah.” seru si kembar setengah berlari menghampirinya.
Dia dan Rio langsung sigap menangkap tubuh mungil itu dan mendudukkannya di pangkuan. Seperti biasa dia memilih aman dengan memangku Rasya yang langsung melingkarkan tangan di lehernya.
“Maafin Abang ya Bunda. Maaf Abang sering gak habisin makanan Abang. Abang sayang Bunda.”
Dia tak menyahuti. Hanya mampu mendekap erat punggung mungil putra mahkotanya dengan isakan yang sama saat melakukan ritual sungkem ke Mama-Papa dan mertuanya. Rasya mengangkat kepalanya yang bersandar di lekukan leher untuk menciumi pipinya berkali-kali hingga puas dan kembali menenggelamkan muka di sana.
“BUNDA LEBIH SAYANG ABANG.”
Teriakan Masya membuatnya melepas pelukan dan mendudukkan kembali Rasya di pangkuannya. Dia meminta Rio mengambil Rasya seraya dia meraih tubuh mungil Masya ke dalam gendongannya. Kaki mungil itu memberontak menghentak-hentak di udara membuatnya harus menjaga jarak sedikit.
“Sayang, diam ya? Adiknya nanti sakit kalau kena tendang kaki Masya.” bujuknya mengusap-usap puncak kepala Masya.
“Masya kok bilang gitu? Bunda sedih kalau Masya bilang gitu. Bunda kan sayang Masya sama Abang.” tambahnya ketika Masya mulai anteng.
“Bunda cium Abang, tapi Masya nggak”
“Kan gantian, sayang. Masya sama Ayah dulu baru sama Bunda. Begitu juga Abang. Abang sama Bunda dulu baru Ayah.”
“Bunda peluk Abang erat.”
Dia terkikik kecil, “Bunda juga peluk Masya erat.”
Langsung saja dia mendekap anak perempuannya sembari mengusap berulang punggung kecilnya. Kedua tangan Masya melingkar erat di lehernya.
“Masya sayang Bunda.” lirih Masya yang bersembunyi di lehernya.
“Bunda juga sayang banget sama Masya.”
Lantas dia melepas pelukannya dan membantu Masya mengusap air matanya. Anak perempuannya ini ma shaa allah cemburuannya. Seperti dia yang cemburu buta pada berkas-berkas Rio kalau pria itu mulai mengabaikannya untuk memperhatikan istri keduanya itu.
Setelah cukup tenang kembali dengan Masya yang sudah kembali ceria, Rio menitahkan keduanya untuk segera sungkem pada Ray-Deva. Tampak para Mama menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Masya. Perempuan mungilnya itu memang ada saja yang dilakukan yang membuat semua orang gemas tak tertahan.
“Bun.” panggilnya pada Ify yang masih fokus memandang anak-anaknya.
Wanita itu tersenyum manis menoleh padanya. Meraih kedua tangannya. Mengelus bagian punggung tangannya dengan lembut menimbulkan sensasi aneh menyenangkan.  Lantas menncium bagian itu cukup lama.
“Maafin Bunda. Maaf sering buat Ayah kesal. Sering buat kesabaran Ayah diuji terus-terusan. Sering buat Ayah kelimpungan. Sering buat Ayah mmm... apalagi ya? Ify jarang bikin dosa sih sama Kakak, hehehe.”
Rio mengetuk pelan kening Ify. Dia sudah mulai merasakan suasana haru malah langsung dirusak. Wanitanya tersenyum lebar. Ampun deh Ify ini. Di gigitnya gemas jemari mungil itu menimbulkan pekikan tertahan.
“Ify serius Kak.” gerutu wanitanya.
“Seriusnya begitu?”
“Hehehe. Maaf-maaf. Maafin Bunda ya Ayah. Maafin Bunda lahir dan batin. Kita skornya balik 0-0 lagi. Oke?!”
Mau tak mau Rio tersenyum menahan tawa. Di acak-acaknya puncak kepala Ify sebelum menangkup kedua pipinya. Menoelkan hidung bangir Ify dengan hidungnya. Lantas mengecup lama kening Ify sering barisan doa yang hatinya ucapkan.
“Maafin Ayah juga. Ayah sayang Bun---”
“EHEM. Kalian nih ya, romantisnya gak habis-habis. Gak di kamar tadi, gak di sini. Apa gak bosen? Kita yang lihat bosen.” potong Ray.
“Yang belum nemuin rumah cintanya mah suka iri.” balas Ify, sementara dia hanya tersenyum tipis. Merangkul hangat bahu istrinya dengan Masya-Rasya yang sudah menyandar di kakinya.
“Keduluan Kakak sendiri, jadi lama buat nyari lagi.” balas Ray tak nyambung.
“Canda kali Kak Yo. Gak usah melotot gitu.” tambahnya mendapat pelototan dari rio. Masih saja si Ray.
“Sudah semua ya. Ray, Dev siapin tempat buat foto bersama segera! Keburu sahabat-sahabat kalian ke sini.” titah Papa Haling yang sudah mengetahui kelanjutan adu mulut putra-putranya jika tidak segera dicegah.
***
Ify tak henti-hentinya mengecupi pipi gembul Zavin yang ia culik sejak anak itu nongol di depan pintu utama bersama kedua orang tuanya. Dia mengambil tempat yang sekiranya jauh dari jangkauan si kembar yang sekarang sedang sibuk dengan mainan pemberian Alvin. Bisa berabe kalau si kembar sampai menangkap dirinya dengan Zavin. Apalagi si Masya yang sama Abangnya sendiri cemburu saat dirinya memberikan perhatian lebih pada Rasya. Menunjukkan bahwa perempuan itu asli keturunan Rio.
Alvin dan Sivia muncul sekitar setengah jam setelah ritual sungkeman berlangsung bersama kedua orang tua mereka. Dia terkekeh pelan mendengar kalimat penjelas Sivia yang diungkapkan dengan nada yang sengaja dibuat begitu miris. Wanita yang masih cubby itu baru menyadari setiap menjelang idul fitri bahwa dia dan Alvin terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan suami-istri yang juga mendapat gelar sebagai anak tunggal. Sebenarnya Papa Alvin sendiri dua bersaudara, tapi berhubung sang saudara merupakan pengusaha sukses di negeri singa itu sering membuat pria berusia 3 tahun lebih tua dari Papa Alvin mengabaikan suasana lebaran. Jadilah tak ada yang dikunjungi lagi tepat di hari lebaran kali ini mengingat para Kakek-Nenek Alvin dan Sivia yang sudah meninggal. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu membuat sisa umur yang dianugrahkan oleh Tuhan perlahan menipis.
“Zavin mau mak---”
“BUNDAAA!!!”
Ify menghela nafas pasrah mendengar teriakan Rasya-Masya yang berhasil menemukannya, lebih tepatnya yang sudah bosan dengan mainannya dan memusatkan fokus kembali pada Bundanya. Tubuh-tubuh mungil itu berlari-lari kecil menuju tempatnya seraya menggeret kantong plastik berisi mainan. Walaupun lebih patuh pada Rio, tapi mereka lebih manja padanya.
“Kenapa, Sayang?” tanyanya saat mereka sudah berdiri anggun di hadapannya. Memasang wajah merenggut.
“Bunda dicariin Masya sama Abang.” jawab si duplikat Masha and The Bear.
“Kakak Zavin kok duduk di pangkuan Bunda? Nanti Adik Masya sama Abang ketekan.” tambahnya.
Mendengar itu, Zavin langsung duduk di sampingnya. Menoleh padanya dengan mata berbinar. Sebelah alisnya terangkat.
“Aunty mau punya dedek bayi lagi?”
Dia tersenyum mengangguk, “ Iya, Sayang. Kenapa?”
“Yeyy, berarti Kak Zavin akan punya teman baru lagi.” seru Zavin dengan kedua tangan mengangkat di udara.
Dia tertawa pelan. Di usap-usapnya rambut lurus hitam pekat seperti milik Sivia itu berulang. Zavin diambil dari gabungan nama Sivia dan Alvin. Za dari nama akhir Sivia yaitu Azizah dan Vin dari suku kata akhir mana Alvin. Lahir saat Sivia akan berusia 21 tahun yang saat itu menempuh semester 4 jurusan design. Masih ingat Sivia yang menggerutu karena tidak bisa mencegah perbuatan Alvin dan dirinya yang kala itu sedang di mabuk cinta. Rencananya ingin seperti dia dan Rio yang baru menginstal diri sebagai pasangan suami-istri sebenarnya ketika dia lulus sarjana kedokterannya, tapi apa daya keduanya tak mampu melawan gejolak dalam diri mereka yang menggebu-gebu. Alhasil sama seperti dia yang harus menunda masa koas yang artinya menunda waktu mendapat gelar kedokterannya, Sivia juga harus cuti kuliah selama 1,5 semester.
“Bundaaa.” rengek Masya yang sudah mepet-mepet di tubuhnya. Sedangkan Rasya duduk anteng di sebelah Zavin.
“Iya, Sayang?” tanyanya menyelipkan beberapa helai rambut Masya ke balik telinga.
“Masya laper.” jawab anaknya memasang wajah lesu, melingkarkan tangan di lehernya.
“Tunggu makanannya udah siap semua ya. Kita makan.” ucapnya membawa Masya ke pangkuannya.
Di dalam dapur, para wanita sedang menyiapkan masakan khas lebaran yang baru dibuat selepas foto bersama tadi. Sebelum berangkat ke masjid untuk sholat id tadi memang mereka makan dahulu sesuai yang dianjurkan dengan sisa makan malam kemarin. Rio yang melarang keras dirinya untuk ikut membantu mendapat dukungan dari pihak keluarga lainnya membuatnya tak bisa berbuat apa-apa selain duduk manis ala syahrini.
“Aunty! Kakak Zavin sama Abang Rasya ke Mama kalau gitu tanya selesai atau belum.” ucap Zavin menggandeng Rasya yang diresponnya dengan anggukan.
“Bunda.”
“Hmm?”
“Dedek Masya sama Abang gak di dalam perut Bunda lagi kapan?” tanya Masya.
Turun dari pangkuan dan duduk di sebelahnya. Mengusap perutnya dengan lembut. Kepala Masya menempel setelah mengucapkan selamat lebaran pada janin di dalam perutnya. Lalu terkikik geli memandang dirinya. Gemas, ditariknya hidung mungil itu pelan.
“Dedek keluar dari perut Bunda sekitar 4-5 bulan lagi.” jawabnya sambil menunjukkan kelima jarinya.
 Suara ketukan beberapa pasang sepatu membuat mereka menoleh. Sivia berjalan dengan menggandeng Zavin dan Rasya di sisi kanan-kiri tubuhnya. Kaftan yang membalut tubuh Sivia berwarna senada dengan baju koko yang dikenakan Zavin dan Alvin yaitu hijau muda. Rambut pendek seleher itu sekarang sepanjang punggung. Lurus, tebal dan hitam seperti dulu. Alis mata tebal yang membuat wajah Sivia semakin mempesona tetap tak berubah. Wanita itu paling pantang kalau urusan potong bulu alis. Walaupun hanya dirapikan sekalipun.
“Mama udah tahu belum kalau Aunty Alyssa mau punya dedek lagi? Mau kasih Zavin teman lagi?” ucap Zavin berdiri di sebelahnya kirinya yang kosong menyebut namanya berbeda dengan orang-orang.
Zavin tak pernah mau memanggilnya Ify sejak anak laki-laki itu tahu nama panjangnya. Katanya tak nyambung sama sekali. Akhirnya dia pasrah saja dipanggil nama yang diucapkan Rio saat mengajak kencan di kamar dan perang pendapat.
Sivia memandang dirinya sebelum mengangguk, “Tahu. Kenapa?”
“Kok Mama gak bilang Kak Zavinsih ?” ucap Zavin dengan nada kesal.
“Kak Zavin gak tanya Mama.” balas Sivia bersandar di pegangan tangga.
Tempat yang terjangkau oleh si kembar yang dimaksudnya tadi yaitu tangga menuju lantai dua. Dia duduk di anak tangga nomer tiga dari lantai dasar.
“Ya mana Kak Zavin tahu, Ma.” Tambah kesal sepertinya si Zavin.
“Karena gak tahu itu makanya tanya.” balas Sivia santai seakan tak peduli wajah merah padam anaknya.
Ify menggelengkan kepala pelan sebelum meraih Rasya yang berdiri bingung menyaksikan anak dan ibu itu adu mulut. Cara Sivia membalas setiap perkataan anaknya yang terkesan menyebalkan membuat kedua anaknya melongo. Beda kali ya dengan yang mereka rasakan tiap kali berbicara dengan kedua orang tua mereka.
“Mamaaa.” teriak Zavin hampir menangis yang langsung diangkatnya ke dalam gendongan oleh Sivia.
Dalam pelukan Mamanya, Zavin merenggut habis-habisan yang dibalas tawa oleh Sivia.
“Ada apa sih Vi?”
Alvin muncul dengan Rio di belakang memegang kamera SLR miliknya. Meraih Zavin dari gendongan Sivia. Dia terperangah melihat Zavin langsung mengadu dengan semangat menggebu-gebu mengenai perlakuan Mamanya. Alvin memberikan delikan tajam yang dibalas oleh Sivia memutar bola mata jengah. Bunyi klik kamera mengambil gambar mengalihkan perhatiannya pada Rio yang tersenyum hangat menyambut uluran tangan si kembar. Di serahkannya kamera itu padanya sebelum membawa mereka ke dalam gendongan.
“Ayah, masak Kak Zavin senang banget Bunda mau kasih dedek buat Abang sama Adek.” lapor Rasya.
“Oh ya? Itu tandanya Kak Zavin ingin punya Adek kayak Abang punya Adek Masya.” balas Rio tersenyum jahil membuat dirinya mendapat pelototan dari Sivia juga Alvin.
Dia tertawa pelan. Beranjak dari posisi duduknya. Mulai memain-mainkan kamera yang sudah lama tak terjamah olehnya. Ekspresi masam Sivia dan kesal dari Alvin berhasil diabadikannya. Dia heran hingga anak pertama mereka memasuki usia 6 tahun, mereka belum berniat memberikan adik untuk Zavin yang terlihat mampu untuk menjaga adik-adiknya nanti tampat dari bagaimana Zavin menjaga Rasya-Masya tiap kali bermain bersama.
Alvin memilih tidak menanggapi Rio dengan berbalik badan menuju ruang makan saat suara salah satu dari orang tua mereka menyerukan untuk segera merapat. Rio mengerling genit padanya dan masih tersenyum jahil pada Sivia yang dibalasnya sebuah pelototan lebih ganas dari wanita itu, sebelum menyusul Alvin dan Zavin.
“Zavin udah punya modal buat jadi seorang Kakak, Vi.” tuturnya menoleh pada Sivia yang berjalan di sampingnya.
Sivia mengangguk, “Gue tahu. Cuma kelahiran Zavin yang bikin Alvin stress itu ngebuat Alvin ngerasa cukup punya satu anak.”
Terdengar dari suara Sivia yang begitu lirih, dia bisa menangkap keinginan besar Sivia memiliki keturunan lagi. Dia tahu perihal kelahiran Zavin di usia Sivia yang masih rawan. Selama kehamilan saja sudah sering mendapat ancaman kehamilan. Mulai dari rahim Sivia yang belum siap yang membuat Sivia harus menghabiskan setiap harinya di dalam kamar. Sampai pada kelahiran Zavin yang sukses membuat Alvin tak bisa berfikir jernih. Bingung sana-sini mencari stok darah AB yang memang langka dalam jumlah lumayan banyak karena pendarahan hebat yang dialami Sivia. Dia baru saat itu pertama kalinya menyaksikan Alvin begitu berantakan. Terlebih saat Sivia tak kunjung sadarkan diri.
“Bujuk Alvin, Vi. Bilang kalau di usia loe yang udah 27 tahun ini kemungkinan besar gak bakal lagi kejadian seperti kelahiran Zavin waktu itu.” sarannya merangkul bahu Sivia.
“Udah Fy. Tapi Alvin tetap gak mau. Dia kayaknya trauma banget.”
Ify cuma bisa meringis mendengar kata trauma. Kalau berhubungan dengan kata trauma dia angkat tangan bahasnya. Dia sendiri ngalamin bagaimana trauma itu bisa terhapuskan.
“Jadi loe sama Alvin mmm... udah nggak ‘berhubungan’ lagi?” tanyanya. Kok dia jadi kepo gini? Bodo’ deh terlanjur didengar Sivia.
“Ya tetap lah Fy. Loe hidup di zaman kapan sampek gak kenal KB?” ledek Sivia.
Dia menepuk jidatnya merasa bodoh melupakan dua huruf itu. Alhasil dia nyengir saja.
“Loe sama Kak Rio kayaknya semangat banget ‘mencetak’ penerus bangsa yang berkualitas.” goda Sivia menyenggol-nyenggol lengannya membuat semburat merah mangkir di kedua pipinya.
“Ya gimana ya Vi. Kak Rio mintanya 5. Kurang 3 anak lagi. Umur gue udah mau 26 tahun.”
“Wuiss gak kurang-kurang Kak Rio minta 5 anak. Kejar setoran nih ceritanya? Kalau bisa sih Fy, jaraknya jangan terlalu dekat-dekat nanti jatuhnya malah gak keurus.”
Ify mengangguk. Dia paham. Sangat paham. Dia juga tak ingin satu pun anaknya tidak mendapat kasih sayang yang sama darinya dan Rio. Minimal selisih 3 tahun cukup. Begitu kata Rio tiap kali dia menanyakan hal ini. Dua anak ini saja, Masya sering mengeluhkan perhatiannya. Terlebih dia sebentar lagi akan berbakti pada masyarakat sebagai seorang dokter. Rio juga dengan perusahaanya yang mengalami kemajuan cukup pesat. Ya, memang tidak mudah jika terlalu dipikirkan. Tapi itu bisa dilakukan. Ubah mindset, hidup itu sangat mudah dan menyenangkan untuk dijalani dengan segala rintangannya.
***
“Eyang Uti, Masya mau makan itu.”
“Eyang Kung, Abang mau opor ayam.”
“Zavin ketupatnya dikit aja, Oma. Opornya yang banyak.”
Suasana meja makan lebaran kali ini diramaikan dengan suara anak-anak. Tahun lalu dan sebelum-sebelumnya dia dan Rio baru ke Jakarta setelah hari lebaran mengingat anak-anak yang masih kecil dan juga terlambat untuk berangkat mudik tanpa harus mengenyam kemacetan karena Rio yang saat itu berjuang keras membuat perusahaannya berdiri kokoh dan mendapat apresiasi dari banyak kalangan.
Oleh karena itu, Mama mertua memintanya mengundang sahabat-sahabatnya dan Rio yang tidak mudik atau sedang ada acara sendiri dengan keluarga untuk berkumpul di kediaman keluarga Rio mengingat sanak saudara mereka tak bisa datang ke Jakarta. Susah memang mengumpulkan seluruh saudara di hari lebaran. Terlebih rata-rata berprofesi pengusahan dan pengabdi negara. Namun seperti dugaannya yang berkumpul hanya Alvin-Sivia dan kedua orang tua mereka. Sahabat mereka yang lain pada mudik.
“Kak Rio mau yang mana?” tanyanya setelah melayani permintaan Masya. Kedua anaknya sudah menikmati makanannya masing-masing.
“Opor aja deh, Bun. Ayam sama telur aja tapi. Gak mau tahunya.” jawab Rio menumpu dagu pada tangannya yang terlipat di atas meja.
“Bundaaa dibilang Ayah gak mau pakai tahu ishhh.” kesalnya melihat Ify tetap menaruh tahu di atas nasinya.
TUK...
PLAK...
DUGH...
Tiga serangan sekaligus yang berasal dari Alvin yang duduk di sebelah Rio, Ray di sebelah Sivia yang pastinya bersebelahan dengan Alvin dan Deva yang baru akan duduk di sebelah dirinya.  
“Apaan sih kalian?” marah Rio sambil mengusap-usap kepalanya yang menjadi sasaran.
“Geli ngelihat loe manja begitu.” ketus Alvin tanpa menoleh.
Rio mendengus, “Bunnn, sakit.” rengek menoleh pada Ify yang semakin membuat ketiganya bergedik geli.
Ify hanya tertawa pelan sebelum mengusap puncak kepala Rio sesuai permintaan. Baru tahu mereka kalau Rio bersikap seperti sekarang ini. Baru tahu mereka dibalik kewibawaan dan ketegasan yang menguar ternyata Rio semanja ini. Baru tahu mereka kalau CEO dari Fidita (Saufika Aditya) Corp bertingkah semenggelikan ini. Tapi dia bersyukur. Rio akan selalu menjadi suami dan Ayah terbaik baginya dan bagi anak-anaknya sepanjang masa.

Selamat lebaran semuanya. Minal aidzin walfaizin. Mohon maaf lahir dan batin. Maaf baru bisa post setelah molor 4 hari. Cerita ini lebih menceritakan bagaimana mereka yang tidak diceritakan di dalam NDWN dengan part-part yang lebih tertata itu. Semacam behind the scanenya gitu sih tapi dikemas dalam suasana lebaran. Kan jarang tuh Alvin-Sivia nongol selain di cerita lepas.
Setelah part ini, balik  ke cerita HBWN yang sesungguhnya lagi. Malam minggu besok in shaa allah akan muncul. Terima kasih yang sudah mengapresiasikan cerita ini dengan baik. Sekali lagi mohon maaf lahir dan batin semuanya.
With love @rahmainda_

2 komentar:

  1. Akhirnya muncul juga, aku nunggu-nunggu lho... Hahaha
    Seru banget ya kalai lebaran ramai kayak gitu..
    Aku tumggu kelanjutannya, semangat terus :D

    BalasHapus