Suara pintu
terbuka menghentikan Ify yang sedang mempersiapkan baju untuk lebaran. Rio
bersama putra-putrinya berjalan menuju sofa dengan menenteng plastik kresek
hitam, membuatnya harus menebak-nebak apa yang mereka bawa. Dia menyelesaikan
lipatan terakhir baju koko milik suaminya sebelum beranjak dari ranjang.
Mengambil tempat di sebelah Rasya-Masya yang mulai membuka isi plastik.
“Isinya apa,
Sayang?” tanya turut membuka ikatan kresek yang cukup mapan.
“Beli di
mana, Kak?” tambahnya pada Rio saat tahu isi kresek tersebut yaitu nastar dalam
kemasan kotak mika.
“Gak beli,
Bunda. Tante Sivia kasih tadi di jalan.” Masya yang menjawab.
Sebelah alis
Ify terangkat. Rasya-Masya mulai sibuk dengan makanan ringan di pangkuan
mereka, tanda mereka sudah tidak bisa diberi pertanyaan lagi. Kalau dia tetap
ngeyel bertanya pada keduanya, jawaban ngelantur yang dia dapatkan. Alhasil dia
menatap Rio yang sejak duduk di sofa tadi berkutat dengan gadgetnya. Hanya
meliri-lirik sekilas.
“Ketemu
Sivia di mana, Kak?”
Sekitar 2 jam
yang lalu teman-teman hidupnya itu pamit untuk jalan-jalan sekedar melihat
situasi menjelang detik-detik lebaran. Mencari-cari informasi mengenai kegiatan
mudik sebagian besar penduduk urban maupun asli Jakarta agar nanti bisa
menentukan kepulangan mereka ke bandung tanpa harus mengalami kemacetan yang
berkepanjangan.
“Di daerah
rumah kamu.”
“Kakak ke
rumah?” tanyanya menahan geram mendengar jawaban singkat Rio.
“Iya. Tuh
Rasya-Masya kangen Om Deva katanya.” jawab Rio masih tanpa mengalihkan
pandangan dari gadgetnya. Benar-benar tak bisa diganggu sepertinya.
Dia memilih
beralih kembali pada si kembar yang melahap nastar-nastar itu dengan nikmat.
Berbicara satu sama lain memuji kelezatan kue yang baru mereka telan dengan
bahasa khas anak-anak, mengundang kekehan darinya. Dia meraih satu nastar dan
menggigit ujungnya seraya beranjak mengambil smartphonenya yang berada di atas
nakas. Sebelumnya menumpuk baju-baju lebaran mereka dan menaruhnya di dalam
lemari kayu. Selama stay di Jakarta, mereka menempati kamar Rio yang di
dalamnya hanya terdapat meja kerja, lemari, nakas, serta sofa ukuran sedang.
“Assalamualaikum.”
salamnya saat sambungan pada Sivia di seberang sana terhubung.
“Waalaikumussalam.
Loe mau bilang makasih kan? Gue udah tahu. Sama-sama.”
Ify tertawa
kecil. Hingga memiliki satu anak laki-laki lebih tua dua tahun dari
Rasya-Masya, ceplas-ceplos tetap menjadi ciri khas Sivia. Sambil lalu menggigit
bagian lain nastar, dia menjawab.
“Loe bikin
sendiri?”
“Yoa. Niatnya
mau gue kasih ke nyokap loe, eh malah ketemu anak-anak loe yang gemesin itu.
Dan kebetulan mereka mau ke sana. Oh ya, loe--- eh bentar-bentar.”
Ify
mengangguk. Dia duduk di kaki ranjang memain-mainkan kedua kakinya. Nastar yang
dimakannya sedikit-sedikit tadi sudah kandas. Terdengar di seberang sana Sivia
menanggapi celotehan putra mahkotanya. Laki-laki berwajah oriental turunan dari
Alvin itu memiliki alis tebal seperti Sivia. Juga potensi cerewet yang sama
seperti ibunya.
“Sorry ya
Fy, anak gue nih bawel banget. Oh ya, loe berapa hari di sini? Kalau balik, gue
sama Alvin mau bareng. Main-main di rumah loe, juga sekalian ke tempat-tempat
wisata di sana. Si Zavin ngerengek-rengek minta liburan ke luar kota.”
Ify tertawa
kecil, “Kayaknya hari ketiga setelah lebaran. Tergantung sih Vi. Ntar gue
kabarin loe lagi. Loe nginap ya kalau ke rumah, ntar gu---"
“Bahasanya
dijaga. Di depan anak-anak nih.” potong Rio menegur penggunaan loe-gue.
Lelaki itu
mengangkat sebentar kepalanya untuk memberinya tatapan penuh peringatan sebelum
menunduk kembali. Di sebelahnya, Rasya-Masya masih sibuk bercakap-cakap ria
yang sekarang malah membahas si pemberi kue. Tante Sivia cantik, rambutnya
bagus, Om Alvin ganteng tapi diam kayak Rasya, dan sebagainya.
Teguran Rio
tadi rupanya terdengar oleh Sivia. Wanita itu sekarang tertawa puas dan meledek
dirinya habis-habisan. Dia hanya mendengus kesal. Mencebik ke arah Rio yang tak
ia sangka mengangkat wajah yang membuatnya reflek membuang muka.
“Udah kek
Vi.” kesalnya pada Sivia yang tak kunjung berhenti tertawa.
Di balik
kesibukannya membaca kiriman email dari sekretarisnya mengenai beberapa berkas
yang diperlukan untuk keberangkatannya studi banding dengan perusahaan yang
bergerak di bidang yang sama dengan perusahaannya selepas lebaran nanti,
senyuman geli menyelip di raut wajahnya yang serius. Dia nyaris tak bisa
mempertahankan ekspresi datarnya saat menangkap Ify yang mencebik kesal
padanya. Merasa cukup untuk mengabaikan istri manjanya dan kedua anaknya yang
sudah berlari-lari kecil di kamar luasnya menandakan mereka sudah bosan dengan kue
yang sedari tadi digeluti, dia meletakkan gadget itu di meja kerja tak jauh
dari sofa. Menghampiri Rasya-Masya dan mengangkat keduanya dalam gendongan.
Lantas berbalik badan menuju keberadaan Ify. Mengambil tempat tepat di samping
Ify. Ibu dari anak-anaknya itu melirik sekilas sebelum kembali berbicara dengan
Sivia. Sempat tertangkap cebikan yang sama dari bibir ranum itu. Balas dendam
rupanya. Gemas, didaratkannya kecupan kilat di puncak kepala wanitanya.
“Aku tutup
ya Vi. Ntar aku hubungi lagi. Assalamualaikum.”
Ify langsung
menutupnya tanpa mau tahu jawaban di seberang sana mengingat Sivia selalu
tertawa saat dia menggunakan aku-kamu. Mungkin untuk sebagian orang biasa, tapi
untuk keduanya itu sangat menggelikan apalagi sahabat sendiri yang ngomong saja
tak perlu mikir lama kalimat yang diucapkan itu menyakitkan atau tidak. Dia
menoleh pada Rio dan kedua anaknya setelah melempar pelan smartphone itu ke
tengah ranjang. Mengambil alih Rasya dalam gendongan. Berdiri menghadap kepala
ranjang lantas merebahkan tubuh itu sebelum menggelitik gemas. Mencium bagian
perut Rasya menggerak-gerakkan kepala di sana membuat anaknya yang pendiam
terkikik geli di sela melafalkan kata ampun.
“Sudah,
Bundahhh.Hhh... Abang hhh capek hhh geli.”
Dia
tersenyum lebar. Mengacak-acak rambut Rasya seraya menegakkan kembali tubuhnya
yang setengah membungkuk. Di belakangnya, Rio memposisikan tangan kokohnya di
sekitar perut. Juga meminta dia untuk berhenti menjahili Rasya, lebih tepatnya
untuk tidak terlalu lama membungkuk.
“Masya juga
mau, Bundaaa. Kok Abang aja? Bunda sayang Abang aja?” rengek Masya yang
ternyata sudah berdiri di samping Rasya yang sekarang duduk bersila.
Dengan
gerakan kasar, perempuan mungilnya itu langsung tidur tengkurap. Menyembunyikan
wajah di atas bantal. Menggerak-gerakkan kaki kecilnya menendang permukaan
ranjang. Dia menoleh pada Rio yang tangannya masih bertengger nyaman di
perutnya, bahkan memeluknya. Pria itu hanya memberikan senyum miring yang
sangat ia ketahui artinya. Dia memandang Masya lagi. Seperti biasa jika
kembarannya lagi ngambek, laki-laki kecil itu langsung mengusap-usap kepala dan
punggung Masya berulang. Turut berbaring tengkurap di samping Masya.
“Tinggalin
aja deh, Bun. Bunda pacaran sama Ayah aja yuk.” bisik Rio mesrah di telinga
kanannya.
Meniup
bagian itu menimbulkan gelenyar khas yang hanya bisa dimunculkan oleh Rio. Kalau tak ingat suaminya itu lagi puasa, sudah
dibalasnya lebih parah. Makin ke sini Rio makin nakal. Dia sangat tahu. Tiap
dia menolak untuk dipeluk dengan alasan lelaki itu sedang puasa, ada saja
kalimat-kalimat ajaib Rio mereduksi penolakannya. Salah satunya, selama meluknya
gak pakai napsu itu gak papa. Kecuali kalau samapi membuat yang dibawah terjaga
baru itu tidak boleh. Kalimat itu sukses membuatnya merona 2 hari 2 malam. Rio
kurang waras memang akhir-akhir ini. Marah-marah tak jelas. Tiba-tiba ketus,
nyuekin dia habis-habisan. Tak jarang jadi manja menggelikan seperti sekarang.
“Apaan sih,
Kak.” kesalnya melepas pelukan Rio dengan sekali tarikan.
“Widihhh,
bumil mah punya kekuatan lebih ya.” goda Rio yang membuatnya tanpa kasihan
mendaratkan cubitan kecil di sekitar pinggang.
Enggan
menanggapi Rio lagi, dia berbalik memutar ranjang menuju sisi kanan Masya yang
kosong. Belum dua langkah, tubuhnya melayang mengundang pekikan nyaring keluar
dari mulutnya.
“Sayang, ayo
gelitikin Bunda.” Seru Rio pada Rasya-Masya yang langsung terduduk mendengar
pekikan Ify.
Ify mendelik
tajam padanya mendapati putra-putrinya mengangguk-angguk kuat. Masya yang
sempat menangis, wajahnya kembali cerah. Mengusap kasar kedua matanya sebelum
ikut merangkak ke tepi ranjang. Memberikan cukup ruang untuk tubuh Ify yang
bertambah isi. Dia melangkah cepat menuju sisi kanan ranjang. Mengabaikan
dadanya yang lumayan sakit karena pukulan Ify.
“Diam atau
aku cium kamu di depan anak-anak.” ancamnya tak serius -karena dia pun tak mau
berbuka sebelum waktunya- saat gerakan berontak Ify makin menjadi. Kan tak lucu
kalau sampai dia kewalahan dan akhirnya tubuh Ify langsung mencium lantai
kamar.
Di
rebahkannya tubuh Ify di tengah-tengah ranjang. Hanya dengan mengedikkan dagu,
kedua anaknya yang tingkat kepatuhan terhadapnya lebih tinggi dibanding pada
Ify langsung mengerubungi Ify. Mulai memain-mainkan jari-jari mungil itu di
pinggang Ify. Tawanya menyapu ruang kamar melihat reaksi berlebihan Ify setiap
disentuh jahil pada bagian pinggang mengingat wanita itu paling tak suka
digelitik.
“KAK RIO,
RASYA, MASYA BERHENTI.” teriak Ify di sela mengadu geli di bagian pinggangnya.
Tubuhnya
bergerak-gerak tak karuan seraya kedua tangannya meraih tangan-tangan jahil
yang sedang bersarang di bagian pinggang. Ketika berhasil meraih tangan kokoh
Rio, langsung digigitnya lengan bawah itu membuat si pemilik tangan meringis
keras dan berusaha menarik-narik tangannya dari cengkramannya yang kuat.
“Lepas,
Dear.”
“NGGAK.
SURUH MEREKA BERHENTI DULU.”
“Oke-oke.”
Rio
mengalah. Kasihan juga melihat wajah Ify yang memerah padam.
“Udah,
Sayang.” titahnya yang langsung diindahkan oleh si kembar.
Ify bernafas
lega. Di usapnya berulang perut setengah membuncitnya itu. Untung saja gerakannnya
tak sampai memberi efek buruk pada janin di rahimnya. Dia mendelik penuh pada
Rio yang duduk bersandar di kepala ranjang. Senyum-senyum menyebalkan lengkap
kerlingan mata. Dengan lembut, Rio menarik tubuhnya untuk setengah bersandar di
dada bidanganya. Dia pasrah saja berusaha menyingkirkan rasa canggung dalam
posisi seperti ini di depan Rasya-Masya.
“Gitu ya
sama Bunda. Kalau dedeknya tadi gak nyaman karena gerakan Bunda, gimana?”
gerutunya ditujukan pada si kembar yang sudah duduk di sampingnya.
“Maaf
Bunda.” ucap Masya mewakili.
“Dedek Masya
gak papa kan Bunda?” tambah Masya yang mulai mengusap perutnya.
Masih
mempertahankan wajah cemberutnya dia menjawab, “Bunda gak tahu. Coba Masya
tanya.”
“Abang juga
mau tanya.”
Rasya-Masya
bergerak semakin dekat dengan tubuhnya.
“Adek Masya/
Abang baik-baik aja?”
Mendengar
itu Ify tersenyum haru. Nyeri yang sempat hadir sekilas tadi perlahan mengabur
oleh setiap usapan lembut anak-anaknya. Pipi keduanya menempel di perut selesai
mengatakan sesuatu. Lalu cekikikan. Mungkin merasakan gerakan samar di dalam
sana.
Merasa cukup
memperhatikan keduanya, dia mendongak memandang Rio yang menatapnya teduh
sekarang. Telapak tangan lebar yang mampu menenggelamkan jemari-jemarinya dalam
genggaman itu tak berhenti mengusap dahinya. Menghapus peluh yang terproduksi
selama menanggapi serangan tadi.
“Bunda gak
papa kan?” tanya Rio yang ganti memijat bahunya.
Dia
menggeleng, “Nyeri sedikit tadi cuma sekarang udah---”
“Kita ke
dokter ya? Di periksa. Aku takut janinnya kenapa-kenapa.” heboh Rio membuatnya
memutar bola mata jengah dengan kekhawatiran Rio yang suka berlebihan.
“Gak usah,
Kak. Serius gak papa. Tadi cuma kaget sedikit. Kakak gak lupa kan kalau ikatan
aku sama si janin itu terjalin dengan baik?” tuturnya menenangkan, menahan Rio
yang akan beranjak dengan menyerahkan berat badannya sepenuhnya pada sandaran
ternyaman.
“Iya-iya.
Tapi beneran gak papa kan?” tanya Rio lebih memastikan yang dianggukinya
kuat-kuat.
Di remasnya
kuat tangan Rio yang bebas, menunjukkan bahwa dia benar-benar baik. Rio kembali
mengusap puncak kepala wanitanya yang sebelumnya melepas ikatan sederhana yang
melingkupi sebagian kecil rambut hitam pekat sepinggang itu. Memberikan sedikit
gerakan menyisir merapikan rambut Ify yang berantakan akibat ulahnya dengan
sang anak. Sering kali dia melakukan hal ini namun tak membuatnya bosan. Dia
akan terus menjaga segala apapun yang melekat pada diri Ify dan hal lain yang
berhubungan dengan wanita itu. Dan akan terus membuat Ify nyaman di dekatnya
dengan segala apapun yang ia punya. Kejahilannya, kesabarannya,
keromantisannya, bahkan dengan kemarahan dan kekesalannya sekalipun.
***
Ify memberikan bando putih berbunga sebagai
sentuhan akhir penampilan Masya di hari lebaran. Di atas ranjang, Rio tengah mendandani
Rasya sama persis dengan dirinya. Sarung putih dengan baju koko putih yang
modelnya beda. Pakaian yang dikenakannya pun tak beda jauh dengan Masya, hanya
berbeda pada dress bagian bawah. Milik Masya mengembang bak seorang princess.
“Selesai.”
serunya dan Rio bersamaan.
Keduanya
saling pandang lalu tertawa ringan. Rio menurunkan Rasya, begitupun dirinya
menurunkan Masya dari kursi di depan meja rias. Masya langsung berlari kecil
menghampiri Rasya yang merentangkan tangan. Memeluk abangnya erat.
“Adek cantik
seperti princess aurora.” puji Rasya setelah melepas pelukan adiknya, menyebut
salah satu princess yang sering mereka tonton tiap pagi.
“Abang juga
ganteng.”
“Anak Ayah
sama Bunda memang cantik dan ganteng.” ucap Rio menggendong keduanya.
Dia sering
tak tahan kalau anak-anak bertingkah seperti sekarang ini untuk membawa mereka
dalam gendongan. Menyerang mereka dengan ciuman-ciuman sayang. Ify mendekat dan
turut mendaratkan kecupan-kecupan kasih. Suara pintu diketuk disusul dengan
pintu terbuka memunculkan kedua orang tua Rio yang bergegas menghampiri mereka.
Mengambil alih si kembar.
Pandangan
Rio beralih setelah melepas kedua orang tuanya di balik pintu. Ify kembali
duduk di depan meja rias. Dengan langkah pelan selagi membenahi sarungnya, dia mendekati
Ify. Bersandar di meja rias menatap teduh istrinya yang tengah mengoleskan
lipgloss di bibir ranumnya.
“Pasangin
kancingan Ayah dong, Bun.” pintanya malas memasang kancing baju kokonya yang
lebih dari 7 kancing.
“Bunda udah
ada wudhu, Ayah.” tolak Ify halus yang sepertinya mencurigai maksud lain
permintaannya.
“Kancingin
baju kan gak nyentuh kulit, Bunda.” ucapnya seoalah tak tahu jika tengah
dicurigai.
“Nanti
ujungnya nyentuh juga. Bunda udah pakai bedak nih Ayah.”
“Ntar pakai
lagi.”
“Ayah!”
Rio terkekeh.
Tak urung dia tetap melancarkan hasratnya menggoda Ify. Apalagi melihat bibir
Ify yang mengkilat dengan lipgloss strawberrynya. Bagaimana dia bisa tahu? Yang
jelas dia tak langsung mencicipi lipglossnya. Gila aja.
Ify melirik
sekilas pada Rio yang sekarang berjongkok di sampingnya. Menggeret kursinya 90
derajat. Dahinya mengernyit melihat senyum Rio yang begitu manisnya. Manik
matanya memandang dirinya penuh memuja dan ada binar kilat menginginkannya. Dia
mengalah. Meletakkan sisir yang baru akan merapikan rambutnya. Menangkup kedua
pipi Rio seiring memperpendek jarak.
“Ayah minta
apa?” tanyanya lembut yang langsung disambut senyum sumringah oleh Rio.
Dengan
girang, pria itu menunjuk dahi, kedua kelopak mata, hidung, bibir, bibir, dan
dagunya sendiri. Dia mengangguk paham. Mulai memberikan yang diinginkan Rio.
Pelan, dia menyentuhkan bibirnya di kening Rio yang sebelumnya menyingkap
rambut depan Rio dan mengucap bacaan basmalah. Bismillah, semoga suaminya
senang.
Lanjut kedua
kelopak mata. Dengan ibu jarinya dia mengusap bagian kantong mata Rio yang
lumayan tak enak dipandang. Mengecupnya lama. Turun lagi pada hidung pesek yang
diturunkan ke anak perempuannya itu. Di
kecupnya tak kalah lama.
Diam sesaat
sebelum jempolnya mengusap permukaan bibir bawah Rio. Sedikit ragu karena
baginya bagian itu merupakan bagian yang sensitif. Kalau Rio pasif tak masalah,
jika sebaliknya dia hanya bisa pasrah. Tak kuasa menghentikannya. Oleh karena
itu, dia memilih mengecupnya kilat. The last, rahang tajam Rio yang negbuat dia
laki parah. Di usapnya rambut-rambut tipis yang tumbuh di rahang bagian bawah itu. Makin membuat suaminya
tambah-tambah errr sexy.
“Bunda
suka.” lirihnya tak berhenti mengusap dagu Rio membuat si empunya dagu hanya
tersenyum.
Cup.
“Astaghfirullah
Ify, Kak Rio cepetan! Udah mau berangkat nih.”
***
“Masya minta
maaf Eyang.”
“Abang minta
maaf juga Eyang.”
“Masya
duluan Abang. Abang di belakang Masya. Ihhh.”
Ify dan Rio
tersenyum saling memandang usai menyaksikan sungkeman khas kembar kesayang
mereka. Kedua bocah itu berlutut menenggelamkan muka di pangkuan kedua orang
tua mereka. Entah apa yang dibicarakan lagi oleh anak-anaknya sampai membuat
dua pasang kakek-nenek itu mendaratkan cubitan lembut di pipi gembul mereka.
Menciumi wajah mereka habis-habisan. Sofa keluarga lebaran kali ini hanya
dipenuhi oleh kedua orang tuanya dan Rio, dan di sebelahnya Ray-Deva.
“Bunda,
Ayah.” seru si kembar setengah berlari menghampirinya.
Dia dan Rio
langsung sigap menangkap tubuh mungil itu dan mendudukkannya di pangkuan.
Seperti biasa dia memilih aman dengan memangku Rasya yang langsung melingkarkan
tangan di lehernya.
“Maafin
Abang ya Bunda. Maaf Abang sering gak habisin makanan Abang. Abang sayang Bunda.”
Dia tak
menyahuti. Hanya mampu mendekap erat punggung mungil putra mahkotanya dengan
isakan yang sama saat melakukan ritual sungkem ke Mama-Papa dan mertuanya.
Rasya mengangkat kepalanya yang bersandar di lekukan leher untuk menciumi
pipinya berkali-kali hingga puas dan kembali menenggelamkan muka di sana.
“BUNDA LEBIH
SAYANG ABANG.”
Teriakan
Masya membuatnya melepas pelukan dan mendudukkan kembali Rasya di pangkuannya.
Dia meminta Rio mengambil Rasya seraya dia meraih tubuh mungil Masya ke dalam
gendongannya. Kaki mungil itu memberontak menghentak-hentak di udara membuatnya
harus menjaga jarak sedikit.
“Sayang,
diam ya? Adiknya nanti sakit kalau kena tendang kaki Masya.” bujuknya
mengusap-usap puncak kepala Masya.
“Masya kok
bilang gitu? Bunda sedih kalau Masya bilang gitu. Bunda kan sayang Masya sama
Abang.” tambahnya ketika Masya mulai anteng.
“Bunda cium
Abang, tapi Masya nggak”
“Kan
gantian, sayang. Masya sama Ayah dulu baru sama Bunda. Begitu juga Abang. Abang
sama Bunda dulu baru Ayah.”
“Bunda peluk
Abang erat.”
Dia terkikik
kecil, “Bunda juga peluk Masya erat.”
Langsung
saja dia mendekap anak perempuannya sembari mengusap berulang punggung
kecilnya. Kedua tangan Masya melingkar erat di lehernya.
“Masya
sayang Bunda.” lirih Masya yang bersembunyi di lehernya.
“Bunda juga
sayang banget sama Masya.”
Lantas dia
melepas pelukannya dan membantu Masya mengusap air matanya. Anak perempuannya
ini ma shaa allah cemburuannya. Seperti dia yang cemburu buta pada
berkas-berkas Rio kalau pria itu mulai mengabaikannya untuk memperhatikan istri
keduanya itu.
Setelah
cukup tenang kembali dengan Masya yang sudah kembali ceria, Rio menitahkan
keduanya untuk segera sungkem pada Ray-Deva. Tampak para Mama menggeleng-geleng
kepala melihat tingkah Masya. Perempuan mungilnya itu memang ada saja yang
dilakukan yang membuat semua orang gemas tak tertahan.
“Bun.”
panggilnya pada Ify yang masih fokus memandang anak-anaknya.
Wanita itu
tersenyum manis menoleh padanya. Meraih kedua tangannya. Mengelus bagian
punggung tangannya dengan lembut menimbulkan sensasi aneh menyenangkan. Lantas menncium bagian itu cukup lama.
“Maafin
Bunda. Maaf sering buat Ayah kesal. Sering buat kesabaran Ayah diuji
terus-terusan. Sering buat Ayah kelimpungan. Sering buat Ayah mmm... apalagi
ya? Ify jarang bikin dosa sih sama Kakak, hehehe.”
Rio mengetuk
pelan kening Ify. Dia sudah mulai merasakan suasana haru malah langsung
dirusak. Wanitanya tersenyum lebar. Ampun deh Ify ini. Di gigitnya gemas jemari
mungil itu menimbulkan pekikan tertahan.
“Ify serius
Kak.” gerutu wanitanya.
“Seriusnya
begitu?”
“Hehehe.
Maaf-maaf. Maafin Bunda ya Ayah. Maafin Bunda lahir dan batin. Kita skornya
balik 0-0 lagi. Oke?!”
Mau tak mau
Rio tersenyum menahan tawa. Di acak-acaknya puncak kepala Ify sebelum menangkup
kedua pipinya. Menoelkan hidung bangir Ify dengan hidungnya. Lantas mengecup
lama kening Ify sering barisan doa yang hatinya ucapkan.
“Maafin Ayah
juga. Ayah sayang Bun---”
“EHEM.
Kalian nih ya, romantisnya gak habis-habis. Gak di kamar tadi, gak di sini. Apa
gak bosen? Kita yang lihat bosen.” potong Ray.
“Yang belum
nemuin rumah cintanya mah suka iri.” balas Ify, sementara dia hanya tersenyum
tipis. Merangkul hangat bahu istrinya dengan Masya-Rasya yang sudah menyandar
di kakinya.
“Keduluan
Kakak sendiri, jadi lama buat nyari lagi.” balas Ray tak nyambung.
“Canda kali
Kak Yo. Gak usah melotot gitu.” tambahnya mendapat pelototan dari rio. Masih
saja si Ray.
“Sudah semua
ya. Ray, Dev siapin tempat buat foto bersama segera! Keburu sahabat-sahabat
kalian ke sini.” titah Papa Haling yang sudah mengetahui kelanjutan adu mulut
putra-putranya jika tidak segera dicegah.
***
Ify tak
henti-hentinya mengecupi pipi gembul Zavin yang ia culik sejak anak itu nongol
di depan pintu utama bersama kedua orang tuanya. Dia mengambil tempat yang
sekiranya jauh dari jangkauan si kembar yang sekarang sedang sibuk dengan
mainan pemberian Alvin. Bisa berabe kalau si kembar sampai menangkap dirinya
dengan Zavin. Apalagi si Masya yang sama Abangnya sendiri cemburu saat dirinya memberikan
perhatian lebih pada Rasya. Menunjukkan bahwa perempuan itu asli keturunan Rio.
Alvin dan
Sivia muncul sekitar setengah jam setelah ritual sungkeman berlangsung bersama
kedua orang tua mereka. Dia terkekeh pelan mendengar kalimat penjelas Sivia
yang diungkapkan dengan nada yang sengaja dibuat begitu miris. Wanita yang
masih cubby itu baru menyadari setiap menjelang idul fitri bahwa dia dan Alvin
terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan suami-istri yang juga mendapat
gelar sebagai anak tunggal. Sebenarnya Papa Alvin sendiri dua bersaudara, tapi
berhubung sang saudara merupakan pengusaha sukses di negeri singa itu sering
membuat pria berusia 3 tahun lebih tua dari Papa Alvin mengabaikan suasana
lebaran. Jadilah tak ada yang dikunjungi lagi tepat di hari lebaran kali ini mengingat
para Kakek-Nenek Alvin dan Sivia yang sudah meninggal. Tak terasa waktu begitu
cepat berlalu membuat sisa umur yang dianugrahkan oleh Tuhan perlahan menipis.
“Zavin mau
mak---”
“BUNDAAA!!!”
Ify menghela
nafas pasrah mendengar teriakan Rasya-Masya yang berhasil menemukannya, lebih
tepatnya yang sudah bosan dengan mainannya dan memusatkan fokus kembali pada
Bundanya. Tubuh-tubuh mungil itu berlari-lari kecil menuju tempatnya seraya
menggeret kantong plastik berisi mainan. Walaupun lebih patuh pada Rio, tapi
mereka lebih manja padanya.
“Kenapa,
Sayang?” tanyanya saat mereka sudah berdiri anggun di hadapannya. Memasang
wajah merenggut.
“Bunda
dicariin Masya sama Abang.” jawab si duplikat Masha and The Bear.
“Kakak Zavin
kok duduk di pangkuan Bunda? Nanti Adik Masya sama Abang ketekan.” tambahnya.
Mendengar
itu, Zavin langsung duduk di sampingnya. Menoleh padanya dengan mata berbinar.
Sebelah alisnya terangkat.
“Aunty mau
punya dedek bayi lagi?”
Dia
tersenyum mengangguk, “ Iya, Sayang. Kenapa?”
“Yeyy,
berarti Kak Zavin akan punya teman baru lagi.” seru Zavin dengan kedua tangan
mengangkat di udara.
Dia tertawa
pelan. Di usap-usapnya rambut lurus hitam pekat seperti milik Sivia itu
berulang. Zavin diambil dari gabungan nama Sivia dan Alvin. Za dari nama akhir
Sivia yaitu Azizah dan Vin dari suku kata akhir mana Alvin. Lahir saat Sivia akan
berusia 21 tahun yang saat itu menempuh semester 4 jurusan design. Masih ingat
Sivia yang menggerutu karena tidak bisa mencegah perbuatan Alvin dan dirinya
yang kala itu sedang di mabuk cinta. Rencananya ingin seperti dia dan Rio yang
baru menginstal diri sebagai pasangan suami-istri sebenarnya ketika dia lulus
sarjana kedokterannya, tapi apa daya keduanya tak mampu melawan gejolak dalam
diri mereka yang menggebu-gebu. Alhasil sama seperti dia yang harus menunda
masa koas yang artinya menunda waktu mendapat gelar kedokterannya, Sivia juga
harus cuti kuliah selama 1,5 semester.
“Bundaaa.”
rengek Masya yang sudah mepet-mepet di tubuhnya. Sedangkan Rasya duduk anteng
di sebelah Zavin.
“Iya,
Sayang?” tanyanya menyelipkan beberapa helai rambut Masya ke balik telinga.
“Masya
laper.” jawab anaknya memasang wajah lesu, melingkarkan tangan di lehernya.
“Tunggu
makanannya udah siap semua ya. Kita makan.” ucapnya membawa Masya ke
pangkuannya.
Di dalam
dapur, para wanita sedang menyiapkan masakan khas lebaran yang baru dibuat
selepas foto bersama tadi. Sebelum berangkat ke masjid untuk sholat id tadi
memang mereka makan dahulu sesuai yang dianjurkan dengan sisa makan malam
kemarin. Rio yang melarang keras dirinya untuk ikut membantu mendapat dukungan
dari pihak keluarga lainnya membuatnya tak bisa berbuat apa-apa selain duduk
manis ala syahrini.
“Aunty!
Kakak Zavin sama Abang Rasya ke Mama kalau gitu tanya selesai atau belum.” ucap
Zavin menggandeng Rasya yang diresponnya dengan anggukan.
“Bunda.”
“Hmm?”
“Dedek Masya
sama Abang gak di dalam perut Bunda lagi kapan?” tanya Masya.
Turun dari
pangkuan dan duduk di sebelahnya. Mengusap perutnya dengan lembut. Kepala Masya
menempel setelah mengucapkan selamat lebaran pada janin di dalam perutnya. Lalu
terkikik geli memandang dirinya. Gemas, ditariknya hidung mungil itu pelan.
“Dedek
keluar dari perut Bunda sekitar 4-5 bulan lagi.” jawabnya sambil menunjukkan
kelima jarinya.
Suara ketukan beberapa pasang sepatu membuat
mereka menoleh. Sivia berjalan dengan menggandeng Zavin dan Rasya di sisi
kanan-kiri tubuhnya. Kaftan yang membalut tubuh Sivia berwarna senada dengan
baju koko yang dikenakan Zavin dan Alvin yaitu hijau muda. Rambut pendek
seleher itu sekarang sepanjang punggung. Lurus, tebal dan hitam seperti dulu. Alis
mata tebal yang membuat wajah Sivia semakin mempesona tetap tak berubah. Wanita
itu paling pantang kalau urusan potong bulu alis. Walaupun hanya dirapikan
sekalipun.
“Mama udah
tahu belum kalau Aunty Alyssa mau punya dedek lagi? Mau kasih Zavin teman lagi?”
ucap Zavin berdiri di sebelahnya kirinya yang kosong menyebut namanya berbeda
dengan orang-orang.
Zavin tak
pernah mau memanggilnya Ify sejak anak laki-laki itu tahu nama panjangnya. Katanya
tak nyambung sama sekali. Akhirnya dia pasrah saja dipanggil nama yang
diucapkan Rio saat mengajak kencan di kamar dan perang pendapat.
Sivia
memandang dirinya sebelum mengangguk, “Tahu. Kenapa?”
“Kok Mama
gak bilang Kak Zavinsih ?” ucap Zavin dengan nada kesal.
“Kak Zavin
gak tanya Mama.” balas Sivia bersandar di pegangan tangga.
Tempat yang
terjangkau oleh si kembar yang dimaksudnya tadi yaitu tangga menuju lantai dua.
Dia duduk di anak tangga nomer tiga dari lantai dasar.
“Ya mana Kak
Zavin tahu, Ma.” Tambah kesal sepertinya si Zavin.
“Karena gak tahu
itu makanya tanya.” balas Sivia santai seakan tak peduli wajah merah padam
anaknya.
Ify
menggelengkan kepala pelan sebelum meraih Rasya yang berdiri bingung
menyaksikan anak dan ibu itu adu mulut. Cara Sivia membalas setiap perkataan
anaknya yang terkesan menyebalkan membuat kedua anaknya melongo. Beda kali ya
dengan yang mereka rasakan tiap kali berbicara dengan kedua orang tua mereka.
“Mamaaa.”
teriak Zavin hampir menangis yang langsung diangkatnya ke dalam gendongan oleh
Sivia.
Dalam
pelukan Mamanya, Zavin merenggut habis-habisan yang dibalas tawa oleh Sivia.
“Ada apa sih
Vi?”
Alvin muncul
dengan Rio di belakang memegang kamera SLR miliknya. Meraih Zavin dari
gendongan Sivia. Dia terperangah melihat Zavin langsung mengadu dengan semangat
menggebu-gebu mengenai perlakuan Mamanya. Alvin memberikan delikan tajam yang
dibalas oleh Sivia memutar bola mata jengah. Bunyi klik kamera mengambil gambar
mengalihkan perhatiannya pada Rio yang tersenyum hangat menyambut uluran tangan
si kembar. Di serahkannya kamera itu padanya sebelum membawa mereka ke dalam
gendongan.
“Ayah, masak
Kak Zavin senang banget Bunda mau kasih dedek buat Abang sama Adek.” lapor Rasya.
“Oh ya? Itu
tandanya Kak Zavin ingin punya Adek kayak Abang punya Adek Masya.” balas Rio
tersenyum jahil membuat dirinya mendapat pelototan dari Sivia juga Alvin.
Dia tertawa
pelan. Beranjak dari posisi duduknya. Mulai memain-mainkan kamera yang sudah
lama tak terjamah olehnya. Ekspresi masam Sivia dan kesal dari Alvin berhasil
diabadikannya. Dia heran hingga anak pertama mereka memasuki usia 6 tahun,
mereka belum berniat memberikan adik untuk Zavin yang terlihat mampu untuk
menjaga adik-adiknya nanti tampat dari bagaimana Zavin menjaga Rasya-Masya tiap
kali bermain bersama.
Alvin
memilih tidak menanggapi Rio dengan berbalik badan menuju ruang makan saat
suara salah satu dari orang tua mereka menyerukan untuk segera merapat. Rio
mengerling genit padanya dan masih tersenyum jahil pada Sivia yang dibalasnya
sebuah pelototan lebih ganas dari wanita itu, sebelum menyusul Alvin dan Zavin.
“Zavin udah
punya modal buat jadi seorang Kakak, Vi.” tuturnya menoleh pada Sivia yang
berjalan di sampingnya.
Sivia
mengangguk, “Gue tahu. Cuma kelahiran Zavin yang bikin Alvin stress itu ngebuat
Alvin ngerasa cukup punya satu anak.”
Terdengar
dari suara Sivia yang begitu lirih, dia bisa menangkap keinginan besar Sivia
memiliki keturunan lagi. Dia tahu perihal kelahiran Zavin di usia Sivia yang
masih rawan. Selama kehamilan saja sudah sering mendapat ancaman kehamilan.
Mulai dari rahim Sivia yang belum siap yang membuat Sivia harus menghabiskan
setiap harinya di dalam kamar. Sampai pada kelahiran Zavin yang sukses membuat
Alvin tak bisa berfikir jernih. Bingung sana-sini mencari stok darah AB yang
memang langka dalam jumlah lumayan banyak karena pendarahan hebat yang dialami
Sivia. Dia baru saat itu pertama kalinya menyaksikan Alvin begitu berantakan.
Terlebih saat Sivia tak kunjung sadarkan diri.
“Bujuk
Alvin, Vi. Bilang kalau di usia loe yang udah 27 tahun ini kemungkinan besar
gak bakal lagi kejadian seperti kelahiran Zavin waktu itu.” sarannya merangkul
bahu Sivia.
“Udah Fy. Tapi
Alvin tetap gak mau. Dia kayaknya trauma banget.”
Ify cuma bisa
meringis mendengar kata trauma. Kalau berhubungan dengan kata trauma dia angkat
tangan bahasnya. Dia sendiri ngalamin bagaimana trauma itu bisa terhapuskan.
“Jadi loe
sama Alvin mmm... udah nggak ‘berhubungan’ lagi?” tanyanya. Kok dia jadi kepo
gini? Bodo’ deh terlanjur didengar Sivia.
“Ya tetap
lah Fy. Loe hidup di zaman kapan sampek gak kenal KB?” ledek Sivia.
Dia menepuk
jidatnya merasa bodoh melupakan dua huruf itu. Alhasil dia nyengir saja.
“Loe sama
Kak Rio kayaknya semangat banget ‘mencetak’ penerus bangsa yang berkualitas.”
goda Sivia menyenggol-nyenggol lengannya membuat semburat merah mangkir di
kedua pipinya.
“Ya gimana
ya Vi. Kak Rio mintanya 5. Kurang 3 anak lagi. Umur gue udah mau 26 tahun.”
“Wuiss gak
kurang-kurang Kak Rio minta 5 anak. Kejar setoran nih ceritanya? Kalau bisa sih
Fy, jaraknya jangan terlalu dekat-dekat nanti jatuhnya malah gak keurus.”
Ify
mengangguk. Dia paham. Sangat paham. Dia juga tak ingin satu pun anaknya tidak
mendapat kasih sayang yang sama darinya dan Rio. Minimal selisih 3 tahun cukup.
Begitu kata Rio tiap kali dia menanyakan hal ini. Dua anak ini saja, Masya
sering mengeluhkan perhatiannya. Terlebih dia sebentar lagi akan berbakti pada
masyarakat sebagai seorang dokter. Rio juga dengan perusahaanya yang mengalami
kemajuan cukup pesat. Ya, memang tidak mudah jika terlalu dipikirkan. Tapi itu
bisa dilakukan. Ubah mindset, hidup itu sangat mudah dan menyenangkan untuk
dijalani dengan segala rintangannya.
***
“Eyang Uti,
Masya mau makan itu.”
“Eyang Kung,
Abang mau opor ayam.”
“Zavin
ketupatnya dikit aja, Oma. Opornya yang banyak.”
Suasana meja
makan lebaran kali ini diramaikan dengan suara anak-anak. Tahun lalu dan
sebelum-sebelumnya dia dan Rio baru ke Jakarta setelah hari lebaran mengingat
anak-anak yang masih kecil dan juga terlambat untuk berangkat mudik tanpa harus
mengenyam kemacetan karena Rio yang saat itu berjuang keras membuat
perusahaannya berdiri kokoh dan mendapat apresiasi dari banyak kalangan.
Oleh karena
itu, Mama mertua memintanya mengundang sahabat-sahabatnya dan Rio yang tidak
mudik atau sedang ada acara sendiri dengan keluarga untuk berkumpul di kediaman
keluarga Rio mengingat sanak saudara mereka tak bisa datang ke Jakarta. Susah
memang mengumpulkan seluruh saudara di hari lebaran. Terlebih rata-rata
berprofesi pengusahan dan pengabdi negara. Namun seperti dugaannya yang
berkumpul hanya Alvin-Sivia dan kedua orang tua mereka. Sahabat mereka yang
lain pada mudik.
“Kak Rio mau
yang mana?” tanyanya setelah melayani permintaan Masya. Kedua anaknya sudah
menikmati makanannya masing-masing.
“Opor aja
deh, Bun. Ayam sama telur aja tapi. Gak mau tahunya.” jawab Rio menumpu dagu
pada tangannya yang terlipat di atas meja.
“Bundaaa dibilang
Ayah gak mau pakai tahu ishhh.” kesalnya melihat Ify tetap menaruh tahu di atas
nasinya.
TUK...
PLAK...
DUGH...
Tiga
serangan sekaligus yang berasal dari Alvin yang duduk di sebelah Rio, Ray di
sebelah Sivia yang pastinya bersebelahan dengan Alvin dan Deva yang baru akan
duduk di sebelah dirinya.
“Apaan sih
kalian?” marah Rio sambil mengusap-usap kepalanya yang menjadi sasaran.
“Geli
ngelihat loe manja begitu.” ketus Alvin tanpa menoleh.
Rio mendengus,
“Bunnn, sakit.” rengek menoleh pada Ify yang semakin membuat ketiganya bergedik
geli.
Ify hanya
tertawa pelan sebelum mengusap puncak kepala Rio sesuai permintaan. Baru tahu
mereka kalau Rio bersikap seperti sekarang ini. Baru tahu mereka dibalik
kewibawaan dan ketegasan yang menguar ternyata Rio semanja ini. Baru tahu
mereka kalau CEO dari Fidita (Saufika Aditya) Corp bertingkah semenggelikan
ini. Tapi dia bersyukur. Rio akan selalu menjadi suami dan Ayah terbaik baginya
dan bagi anak-anaknya sepanjang masa.
Selamat
lebaran semuanya. Minal aidzin walfaizin. Mohon maaf lahir dan batin. Maaf baru
bisa post setelah molor 4 hari. Cerita ini lebih menceritakan bagaimana
mereka yang tidak diceritakan di dalam NDWN dengan part-part yang lebih
tertata itu. Semacam behind the scanenya gitu sih tapi dikemas dalam suasana
lebaran. Kan jarang tuh Alvin-Sivia nongol selain di cerita lepas.
Setelah part
ini, balik ke cerita HBWN yang sesungguhnya lagi. Malam minggu
besok in shaa allah akan muncul. Terima kasih yang sudah mengapresiasikan
cerita ini dengan baik. Sekali lagi mohon maaf lahir dan batin semuanya.
With love
@rahmainda_
Akhirnya muncul juga, aku nunggu-nunggu lho... Hahaha
BalasHapusSeru banget ya kalai lebaran ramai kayak gitu..
Aku tumggu kelanjutannya, semangat terus :D
Siappp. Terima kasih:)
Hapus