Selasa, 26 Juli 2016

ALWAYS BE MY PARTNER (HOPE) #F


Ilustrasi: NA

PART SEBELUMNYA...
@
@
@
“Aku beranggapan bahwa Kakak cukup bijak, cerdas, dan matang dalam menyikapi masalah dan konsekuensi atas penyelesaian masalah yang Kakak pilih nantinya. Aku memang mengumpat Kakak awalnya saat tahu itu dari Sivia. Tapi setelahnya, ya udah lah itu keputusan Kakak. Aku gak ada hak untuk merespon lebih dari sekedar diam dan menyimak.”
Rio menggertakkan kedua rahangnya mendengar jawaban santai Ify. Pemikiran buruk akan sikap Ify terhadap hubungan mereka kembali muncul dan langsung menguat.
“Penjelasan kamu menunjukkan kalau kamu gak antusias dengan hubungan kita, Fy. Buruknya, aku menganggap kamu tak menganggap hubungan ini ada.” ucapnya berusaha keras menekan nada geramnya.
Ify yang tak mau terpancing walaupun dalam hati sudah menyumpahi Rio habis-habisan yang tak mau diam dengan suasana hangat dan tentram tiap kali mereka duduk bersama, membalas dengan tenang.
“Aku bahagia saat mengetahui perasaanku dibalas setimpal, kalau itu yang mau Kakak dengar.”
“Aku hanya ingin kamu serius dengan hubungan ini.” balas Rio yang nyaris membuatnya mengeluarkan decak kesal.
Tadi antusias. Sekarang serius. Nanti apalagi?
“Apa sikapku yang kelihatan gak peduli dan bertolak belakang dengan gadis lain pada umumnya tiap menjalin hubungan spesial bersama pemuda idaman mereka, yang membuat Kakak berkata demikian?”
Ify menganggap keterdiaman Rio sebagai jawaban yang mengamini. Dia semakin paham bahasan mereka, dan kalau begini ia tahu cara membuat Rio skakmat dengan balasan terakhirnya.
“Kalau misalnya Kakak memintaku untuk bersikap lebih atas hubungan ini, maaf aku gak bisa. Kurang tepat rasanya jika hubungan yang sekarang kita jalani ini harus aku sikapi dengan serius, karena bagiku hubungan yang serius antara kaum adam dan hawa hanya ada dalam suatu pernikahan. Di sanalah aku akan memainkan peranku dengan sungguh-sungguh.”
Sejak detik ini, Rio tahu bahwa satu lagi tentang Ify yang baru ia sadari. Gadis itu tak akan segan untuk menunjukkan keberaniannya selama dirinya dalam posisi benar atau dalam artian hubungan mereka, bukan Ify yang menciptakan perkara.
***
PART F...
@
@
@
@
Tiba-tiba saja suara tawa di sekitarnya mereda. Ia yang turut menikmati hiburan ketiga teman sekelasnya selama menuruni anak tangga gedung menuju lantai dasar walaupun menunduk menekuni berlembar-lembar kertas dalam tumpuan kedua tangannya, mendadak berhenti melangkah. Rupanya ia telah lebih dulu berada di anak tangga terakhir. Ketiga teman wanitanya terdiam sambil memandang lurus melewati keberadaannya. Ify mendongak. Menelan ludah mendapati Rio bersandar di tembok seberang dengan gaya coolnya yang khas.
“Kita duluan ya Fy.” salah satu dari mereka berkata seraya melanjutkan menuruni anak tangga tersisa.
Ia mengangguk dengan pandangan masih tertuju pada Rio yang tersenyum tipis membalas sapaan mereka.
“Hutang loe besok.”
“Hah?”
Hutang apaan? Terlambat. Ketiganya telah berjalan cepat menuju mobil salah satu dari mereka terparkir. Belum sempat berpikir, suara dehaman Rio terdengar. Kembali ia memandang Rio. Menunduk menerima tatapan dalam Rio yang ia maknai tengah memujinya, kalau tak salah. Tapi sepertinya banyak salahnya.
“Ada rapat?”
Ia menggeleng. Masih menunduk.
“Ada latihan?”
Lagi ia menggeleng dengan sepasang mata tetap tertuju pada kedua flat shoesnya.
“Ada deadline tugas?” sepertinya ini pertanyaan terakhir yang dilempar Rio oleh karena itu ia mulai berani mengangkat wajah.
“Gak ada Kak.” lirihnya.
“Terakhir—” Loh?
Ify memasang wajah was-was. Seluruh kegiatan rutinnya dalam seminggu yang menghambat pertemuannya dengan Rio telah ditanyakan semua. Rio tak kunjung bersuara. Sedangkan dari arah atas, terdengar perbincangan beberapa mahasiswa yang telah selesai kelas, yang artinya akan banyak pasang mata menyaksikan mereka walau hanya dengan lirikan sekilas.
“Besok balik rumah?”
Mulutnya membentuk huruf O, dan setelahnya menghela nafas lega. Dia suka heran dengan dirinya sendiri. Terkadang berhadapan dengan Rio itu biasa saja, namun tak jarang pula seperti ini. Dia tak berkutik. Salahkan Rio yang sangat pintar mengintimidasi orang, terlebih dia yang sedang dalam keadaan belum mempersiapkan diri matang-matang. Di tambah perasaan lebihnya pada Rio yang sepertinya menguat tiap harinya. Menimbulkan getaran yang makin terasa hebat mengaliri setiap bagian tubuhnya.
“Iya Kak.” jawabnya.
“Udah pesan tiket?” tanya Rio lagi melahirkan anak dari pertanyaan sebelumnya.
Ia menggeleng, “Rencananya malam nanti.”
“Gak usah. Biar aku yang ngantar. Aku mau ketemu orang tua kamu.”
Mulut Ify mangap total. Bodo amat dari kaca belakang punggung Rio dengan penampilannya yang sudah kusut akibat menelan 4 mata kuliah seharian ini, dia benar-benar tak enak dipandang.
“Nga—nga—ngapain, Kak?” cicitnya mendadak ingin membatalkan kepulangannya, tapi dia sudah tak mampu lagi menahan rindu pada keluarga.
Di hadapannya, Rio tersenyum misterius yang membuatnya semakin gelisah.
“Melakukan satu langkah untuk mewujudkan hubungan serius versi kamu.” ucap Rio yang membuatnya tak sadar telah ditarik meninggalkan koridor lantai dasar menuju jazz putih Rio berada.
Ify baru sadar ketika mendengar suara pintu mobil sebelahnya tertutup, disusul Rio menempati kursi kemudinya. Menjalankan mesin dan meninggalkan pelataran parkir gedung fakultasnya. Mendadak Ify pusing mengalihkan rasa takut dan khawatirnya terhadap kalimat terakhir Rio tadi agar lebih tenang. Dia ingin melarang tapi bingung caranya gimana, kecuali...
“Aku belum siap untuk menikah, Kak.” ucapnya dengan nada tegas menoleh pada Rio dengan berani.
“Siapa yang mau ngajak kamu nikah, Fy?”
Jlebbb... tutup tuh muka Fy. Malu kan loe? Mana Rio pasang senyum geli gitu.
“Lalu maksud ucapan Kakak tadi apa?” tanyanya gemas.
“Aku tadi bilang satu langkah untuk mewujudkan hubungan serius versi kamu. Banyak langkah menuju hubungan serius versi kamu itu yang sekarang juga menjadi versiku, yang artinya hubungan serius versi kita. Langkah pertama aku mau mengenalkan diri pada orang tua kamu dulu.” jelas Rio terkekeh di akhir mengingat cara berpikir Ify yang terlewat baik.
“Aku tahu kamu punya banyak impian, Ify. Aku gak akan menghambat jalan kamu untuk meraihnya dengan menikahi kamu sekarang, kalau yang kamu takutkan dengan menikah akan sulit bagi kamu fokus pada impianmu.” tambah Rio tersenyum menyenangkan dan menenangkan.
Rio menginjak rem melihat rambu lalu lintas berwarna merah menyala. Sekitar 120 detik lagi mobilnya baru bisa melaju kembali. Dua menit itu ia ambil kesempatan meraih kesepuluh jari Ify yang saling bertautan. Meremasnya pelan.
“Aku gak akan lagi mempermasalahkan bagaimana hubungan kita berjalan sejauh ini dan kedepannya nanti. Setelah memikirkannya beberapa hari ini, aku pro dengan ucapan kamu tempo hari, karena yang terpenting yaitu kita saling menjaga hati.”
Senyum lebar Ify mengembang. Ia mengangguk kuat-kuat. Melepas tautan jemarinya dan membalas genggaman tangan Rio. Dengan menjaga hati masing-masing, tak akan ada lagi kekhawatiran atau kecurigaan terhadap pasangan, tak akan ada drama-drama menggelikan karena kecemburuan, dan yang pasti ruang lingkup pertemanan akan tetap sama atau bahkan lebih luas mengingat relasi pasangan kita cukup banyak.
“Sekarang kita fokus menjadi pribadi yang membanggakan di depan kedua orang tua kita.” tutur Rio mengakhiri obrolan serius nan menggembirakan mereka ketika lampu hijau giliran menyala.
Ify mengalihkan pandangan menatap berlawanan dengan Rio ke balik jendela. Dia tak berhenti memamerkan deretan giginya yang rapi. Semoga percakapan mereka ini tak hanya angin lewat untuk mereka. Semoga saat mereka khilaf melanggar kesepakatan tersirat dari “saling menjaga hati” itu, Tuhan langsung menegurnya. Sadarkan dia segera jika Rio hanya teman special ketika hal paling buruk yang menghancurkan suatu hubungan sesakral apapun itu datang, yaitu cemburu. Semoga hal ini juga berlaku untuk Rio.
***
Sudah lewat setengah jam dia berada di sini. Pemuda yang bertanggung jawab membawanya ke tempat penuh ketenangan dalam istilah lain cukup sepi dengan hanya dipenuhi oleh beberapa pasang, baru saja berlalu menuju jazznya terparkir. Lampu menyala terang sehingga tak bisa dijadikan tempat lebih dari sekedar tangan saling bertautan. Ia membuka lagi lembaran buku yang sejak beberapa menit lalu resmi disewa olehnya. Buku lumayan tebal yang kata pemiliknya berisi renungan mengenai negeri ini yang dibungkus dengan humor. “Waras di Zaman Edan” begitu judul yang tertulis di cover buku dengan penulis yaitu Prie G.S.
Merasa cukup untuk testimoni, Ify menutup buku tersebut dan menaruhnya ke dalam tas punggungnya. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru taman yang masih belum terlalu dijamah oleh pemerintah. Semi-semi alami. Dan tatapannya tertuju pada sosok Rio yang tengah merengkuh tubuh gadis yang ia rindukan kebawelannya. Sivia? Mungkin lagi kangen Sivianya. Rio juga mungkin. Eh jangan. Seketika Ify menegakkan tubuhnya yang setengah bersandar di batang pohon. Menghirup udara di sekitarnya dan menghembuskan kembali kuat-kuat. Lalu balik bersandar. Kamu bisa apa Fy, selain nunggu Rio datang setelah melepas pelukannya terhadap Sivia. Untuk menghalau hawa-hawa panas agar tak semakin meracuninya, ia membuka akun bbmnya. Kasihan dari tadi getar-getar tak direspon olehnya.
Adeeaa
Malam kamis pada ngapain guys?
Irsyad_GTG
Sunnah rasul
Gigita_Gigi
Sunnah rasul masih sempet balas chat grup, Bang? :O
Irsyad_GTG
Sempet, lagi istirahat menuju ronde selanjutnya.
Adeeaa
Please deh loe berdua. Loe juga Bang, sunnah rasul itu malam jumat.
Irsyad_GTG
Sunnah rasul gue tiap hari. Sorry gue bukan jombs macem loe.
Gigita_Gigi
Out
Adeeaa
Astaghfirullah. Semoga Tuhan segera menurunkan hidayahnya ke loe Bang.
Irsyad_GTG
Astaghfirullah. Canda kali Dee. Gue masih perawan. Loe nanggepin serius mulu. Pantes tuh muka boros bener. Tiru tuh si Ify. Usia segitu masih cocok dipakein baju SD.
Ify geleng-geleng kepala. Dia sudah tahu tabiat Irsyad. Mana namanya disebut-sebut segala lagi. Chat-chat selanjutnya kalau dia tak segera nongol, sampe pagi namanya tak akan berhenti disebut.
Adeeaa
Perjaka kali Bang, perjaka. Loe sengaja bego apa beneran bego? Gue gak boros. Kalau dibandingin sama si Ify, Ifynya aja pertumbuhannya lambat.
Ify misuh dalam hati alih-alih menahan senyum gelinya. Dengan semangat 45 seakan pemandangan beberapa menit lalu tak pernah ada, ia mengetik balasan.
Fyify
Pantes gue bersin2. Kelakuan loe berdua ya.
Irsyad_CTG
Exit
Adeeaa
Close
Fyify
Bangke loe pada>,<
“Astaghfirullah..” serunya ditepuk tiba-tiba pada pundak.
Ify mendengus kentara. Ia mengernyit melihat Rio tanpa berkata-kata langsung menumpu kepala di atas pangkuannya. Sepasang mata yang sering mengintimidasi itu terpejam. Kedua tangan kokohnya terlipat dan bertengger di atas kening. Sedang banyak pikiran. Jelas. Di cintai 2 orang terdekat. Ia bisa apa selain bersandar kembali pada batang pohon. Mendongak memandang langit yang berbanding terbalik dengan suasana hati ketika menyaksikan pertunjukkan tadi.
“Fy.”
“Hm..”
“Ify.”
“Ehemm.”
“Lify Putri Ardiansyah.” panggil Rio dengan nama lengkapnya.
“Iya, Gerio Tarren.” balasnya turut menyebut nama lengkap Rio.
“Kamu lihat?” tanya Rio yang ia jawab dengan anggukan malas.
“Maaf.”
“Dengan syarat.” sambarnya membuat Rio bangkit dari posisi tidurnya di rerumputan taman.
Dahinya mengernyit. Dalam pandangannya, terdapat binar jahil dari sepasang mata bening Ify yang masih terlindung kaca mata minusnya. Ia menyamankan posisi di samping ify dengan arah duduk berlawanan. Sama-sama selonjoran. Menyanggah beban tubuhnya dengan kedua tangan menumu pada tanah taman. Sebelah alisnya terangkat menanyakan syarat yang ada di otak Ify.
“Tadi kan Kakak peluk Sivia—”
“Ralat. Dia yang meluk aku.” potong Rio.
“Tapi dibalas kan? Tangan Kakak juga ngelingkar kan?” sambarnya.
“Reflek. Tapi dia yang mulai.” sanggah Rio.
Ify memutar bola mata kesal sebelum menjawab, “Oke fine. Sivia meluk Kakak. Cukup?”
Rio tersenyum penuh kemenangan dan mengangguk. Ify mendesah seperti biasa ketika harus mengalah dalam debat tak penting dengan Rio. Bisa bayangkan jika ia masih membidasi kalimat Rio, berapa lama lagi ia duduk di taman ini.
“Semisal aku ketemu Kak Gabriel nih pas lagi jalan sama Kakak. Saat itu Kak Gabriel lagi khilaf dan tiba-tiba peluk aku. Gak akan jadi masalah ya.” ucap Ify dengan mata berbinar-binar.
Rio mengumpat dalam hati. Kedua rahangnya beradu. Kepalanya perlahan miring dengan tatapan tajam tertuju pada Ify yang tak segan membalasnya. Bisa-bisanya gadis ini.
“Masalah.” tandasnya tak bisa dibantah.
Ify mendelik, dan sebelum mengeluarkan protes, Rio telah beranjak dari posisi duduknya. Semakin melebarkan kelopak mata Ify. Masih dengan posisinya yang duduk bersandar, ia berkata.
“Baru berapa jam lewat, udah dianginin. Bilangnya gak akan mempermasalahkan jalannya hub—“
“Tapi tidak dengan dipeluk atau peluk cowok lain Ify!” marah Rio langsung berbalik.
“Ahh gak asik. Jadi situ doang yang boleh ngerasain berbagai macam kehangatan pelukan lawan jenis. Ego—”
“Oke fine aku akan dorong Sivia atau gadis lain kalau tiba-tiba mereka meluk aku. Impas kan? Buang imajinasi nakal kamu itu.” sambar Rio menghentikan ucapan Ify.
Nafasnya memburu. Gila. Dia bukan pertama kalinya berhadapan dengan wanita, tapi Ify benar-benar berhasil menguras tenaganya tanpa keterlibatan fisik apapun.
“Berdiri!” titahnya setelah menekah amarahnya, mengulurkan tangan.
Ify tak kunjung menyambut ulurannya. Malah memberinya senyuman tengil. Ia melotot yang malah dibalas dengan tawa renyah. Gadis itu berdiri tanpa dibantu olehnya. Lalu memeluk lengan kanannya yang masih terulur. Terkekeh-kekeh dengan sebelah tangannya yang bebas menoel-noel pinggangnya.
“Mulai berani ya.” ucapnya sengit.
Ify menghentikan kekehannya. Masih dengan senyum menyebalkan ia menjawab.
“Artinya sudah mulai beradaptasi, Kak. Aku berterima kasih pada Sivia, karena adanya masalah kemarin aku bisa dengan santai tiap kali bertemu dengan Kakak. Soalnya harus siap mental dan iman dulu kalau ingin menghadapi Kakak dengan tenang. Hehe.” jelasnya yang membuatnya memperoleh decakan kesal.
“Aku yang emosi.”
“Hahaha... berlatihlah mengendalikan diri, Kak.” ucapnya langsung melepas rangkulan di lengan Rio dan berlari menuju kendaraan yang membawa mereka ke sini.
Rio memutar bola mata jengah. Bodoh. Makinya dalam hati. Mau Ify lari beberapa menit lebih dulu, tetap akan tertangkap olehnya. Lihat saja, hanya mengandalkan langkah panjang dan cepat, Ify sudah dalam perangkapnya. Tak sadarkah gadis itu dengan perawakannya yang kecil tak akan bisa menyainginya. Suara teriakan Ify ia hentikan dengan membekap mulut gadis itu dengan tangan besarnya. Ify memberontak dalam gendongannya. Jelas saja, ia menggendong seperti mengangkut kambing. Tinggal diikat tali aja biar tak lari kemana-mana.
RIO KAMPRETTT...
***
“Siapa?”
Ia mendengar suara berat seorang pria saat Ify pamit berlalu meninggalkannya yang baru saja berkenalan dengan sosok yang melahirkan Ify.
“Teman, Yah. Ayah temui dulu ya, Mbak bantu Bunda buat minum.” jawaban Ify yang tepat.
Ia lupa bahwa Ify itu cerdas.
“Adik kamu samperin dulu.”
“Iya, Yah.”
Dan selanjutnya terdengar langkah mendekat. Muncul pria paruh baya yang berpenampilan santai dengan polo T-Shirt hitam dan masih tampak muda. Kalau diperkirakan usianya pertengahan 40. Ia baru ingat bahwa Ify anak pertama. Ia beranjak dan menyalami punggung telapak tangan ayah Ify.
“Saya Gerio Tarren, Om. Di panggil Rio. Kakak tingkat Ify.”
Pria itu mengangguk.
“Satu jurusan sama Ify?”
Rio menggeleng sopan, “Saya jurusan teknik industri, Om.”
Lagi, ayah Ify mengangguk.
“Semester berapa?”
Fyuh... untung rampung di semester ini.
“Baru lulus Om. Beberapa hari lalu yudisium.”
Obrolan berjalan dengan santai sesuai dengan harapan Rio. Benar kata pepatah, entah siapa yang bilang. Selagi kita terus berpikir positif, segala macam persembahan dunia akan diterima dan dihadapi dengan baik. Dia nervous? Pasti. Tapi mengingat tujuannya untuk saat ini hanya mengenalkan diri, dia cukup matang menekan kegugupannya.
Bunda Ify berperawakan sama seperti Ify. Mungil. Tapi sepertinya, untuk sifat Ify lebih cenderung pada ayahnya. Dalam obrolan mereka, ayah Ify tak menunjukkan tampang ramah ataupun menakutkan. Cara bicaranya lugas dan tegas, membuat siapa saja segan untuk memotong pembicaraannya. Seperti pada umumnya laki-laki, tak memusingkan sesuatu yang nantinya juga akan mereka ketahui dengan mudah. Sepanjang obrolan, ayah Ify tak mengeluarkan kalimat curiga akan kedatangannya mengingat perkataan Ify saat perjalanan bahwa tak sekali pun gadis itu membawa teman laki-laki seorang diri maksudnya tidak berkelompok campur laki-laki dan perempuan ke rumahnya.
“Di makan Nak Rio jamuannya.” ucap Bunda Ify yang sudah kembali dengan menggendong adik laki-laki Ify yang beberapa kali Ify ceritakan. Adik paling hebat. Begitu kata Ify.
“Iya, Tante. Terima kasih.”
Ify muncul dari balik selambu dengan rok span panjang warna biru tosca dan atasan kaos belang hitam-putih. Rambut diikat air mancur seperti biasa. Mengambil tempat di samping ayahnya. Menjawil kedua pipi adiknya yang terpekik senang dan menyambar jemari lentiknya.
“Ayo salam Kakaknya.” ucap Ify meminta adiknya berkenalam pada Rio.
“Hallo Kak Rio. Aku Atara. Panggil aku Ata. Salam kenal, Kakak.” tuturnya perlahan melatih adiknya berbicara sembari menggerak-gerakkan tangannya yang digenggam Ata untuk melambai pada Rio.
“Ayo, Sayang.” titahnya dengan sabar yang hanya dibalas cengiran khas adiknya.
“Aku akan terus belajar, Kak. Sambung doa ya, Kak.” lanjut Ify dengan riangnya berharap Ata menirukannya.
Namun hanya gumaman yang terdengar kabur di pendengaran seperti biasa yang keluar. Masih dengan senyumnya, Ify mengacak rambut adik kesayangannya. Ia ingin mendaratkan kecupan, namun terhalang tubuh ayahnya. Lantas ia kembali memandang Rio dan ayahnya bergantian. Mengeluarkan suara yang sukses membuat Rio terperangah mendengar kalimatnya.
“Ini Kakak tingkat Mbak yang sering Mbak ceritain ke Ayah itu.”
Ify memang penuh kejutan.
***
“Gue duduk sini ya.” pamit Ify pada Sivia yang tengah menyantap batagor khas bandung paling nikmat di kantin pusat kampus.
“Sekeliling loe masih banyak meja kursi.”
Ify yang sudah mempersiapkan diri, tersenyum menjawab, “Gue maunya duduk sini. Keberatan?”
Ify berjengit saat tak diduga Sivia membanting sendok dan garpu yang digenggamnya. Menimbulkan bunyi nyaring pertemuan kedua alat makan itu dengan piring. Mendadak niat Ify bubar jalan, dan ia mulai merutuki dirinya sendiri.
“Loe itu sok polos atau gak tahu diri? Loe masih bisa tanya keberatan?—”
Sivia memberi jeda. Bangkit dari kursinya dengan tatapan masih mengarah tajam pada Ify.
“JELAS. Jelas gue keberatan. Lihat muka loe aja gue pengen beli ini kampus. Bangsat.” Sivia mengamuk dengan mendaratkan telunjuknya tepat di depan wajah Ify.
Ify menelan ludah. Beberapa pengunjung kantin tampak melalui lirikannya, mulai terpusat pada mereka. Suara Sivia nyaring banget sih. Terpaksa ia mundur.
“Oke sorry. Gue duduk di tempat yang lain.” ucapnya meringis tertahan melangkah mundur dan berbalik.
Baru beberapa langkah, tangan seseorang menumpu di pundaknya sekaligus memaksa untuk kembali balik badan, dan di saat itulah Sivia menyemburkan kalimatnya dengan jarak wajah dua jengkal darinya.
“Gue udah gak napsu, Brengsek.”
Tadi bangsat, sekarang brengsek. Ntar ketemu lagi apa sebutan untuknya. Sepadan lah ya dengan apa yang ia perbuat.
Fyuhhh... hembuskan nafas pelan-pelan Ify. Tarik nafas, hembuskan lagi. Anggap latihan yoga. Ia memandang punggung Sivia yang semakin mengecil dalam pandangannya. Meringis menyadari orang-orang sekitar memusatkan fokus padanya dan Sivia secara bergantian. Salah dia memang mencari timing dan tempat yang tak tepat. Untung banyak yang tak ia kenal. Huft... duduk dulu. Habiskan bakso dan es teh manisnya. Baru berpikir lagi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar