Ilustrasi: NA
PART
SEBELUMNYA...
@
@
@
“Aku
beranggapan bahwa Kakak cukup bijak, cerdas, dan matang dalam menyikapi masalah
dan konsekuensi atas penyelesaian masalah yang Kakak pilih nantinya. Aku memang
mengumpat Kakak awalnya saat tahu itu dari Sivia. Tapi setelahnya, ya udah lah
itu keputusan Kakak. Aku gak ada hak untuk merespon lebih dari sekedar diam dan
menyimak.”
Rio
menggertakkan kedua rahangnya mendengar jawaban santai Ify. Pemikiran buruk
akan sikap Ify terhadap hubungan mereka kembali muncul dan langsung menguat.
“Penjelasan
kamu menunjukkan kalau kamu gak antusias dengan hubungan kita, Fy. Buruknya,
aku menganggap kamu tak menganggap hubungan ini ada.” ucapnya berusaha keras
menekan nada geramnya.
Ify yang tak
mau terpancing walaupun dalam hati sudah menyumpahi Rio habis-habisan yang tak
mau diam dengan suasana hangat dan tentram tiap kali mereka duduk bersama,
membalas dengan tenang.
“Aku bahagia
saat mengetahui perasaanku dibalas setimpal, kalau itu yang mau Kakak dengar.”
“Aku hanya
ingin kamu serius dengan hubungan ini.” balas Rio yang nyaris membuatnya
mengeluarkan decak kesal.
Tadi
antusias. Sekarang serius. Nanti apalagi?
“Apa sikapku
yang kelihatan gak peduli dan bertolak belakang dengan gadis lain pada umumnya
tiap menjalin hubungan spesial bersama pemuda idaman mereka, yang membuat Kakak
berkata demikian?”
Ify
menganggap keterdiaman Rio sebagai jawaban yang mengamini. Dia semakin paham
bahasan mereka, dan kalau begini ia tahu cara membuat Rio skakmat dengan
balasan terakhirnya.
“Kalau
misalnya Kakak memintaku untuk bersikap lebih atas hubungan ini, maaf aku gak
bisa. Kurang tepat rasanya jika hubungan yang sekarang kita jalani ini harus
aku sikapi dengan serius, karena bagiku hubungan yang serius antara kaum adam
dan hawa hanya ada dalam suatu pernikahan. Di sanalah aku akan memainkan
peranku dengan sungguh-sungguh.”
Sejak detik
ini, Rio tahu bahwa satu lagi tentang Ify yang baru ia sadari. Gadis itu tak
akan segan untuk menunjukkan keberaniannya selama dirinya dalam posisi benar
atau dalam artian hubungan mereka, bukan Ify yang menciptakan perkara.
***
PART F...
@
@
@
@
Tiba-tiba saja suara tawa di sekitarnya mereda. Ia yang turut
menikmati hiburan ketiga teman sekelasnya selama menuruni anak tangga gedung
menuju lantai dasar walaupun menunduk menekuni berlembar-lembar kertas dalam
tumpuan kedua tangannya, mendadak berhenti melangkah. Rupanya ia telah lebih
dulu berada di anak tangga terakhir. Ketiga teman wanitanya terdiam sambil
memandang lurus melewati keberadaannya. Ify mendongak. Menelan ludah mendapati
Rio bersandar di tembok seberang dengan gaya coolnya yang khas.
“Kita duluan ya Fy.” salah satu dari mereka berkata seraya
melanjutkan menuruni anak tangga tersisa.
Ia mengangguk dengan pandangan masih tertuju pada Rio yang
tersenyum tipis membalas sapaan mereka.
“Hutang loe besok.”
“Hah?”
Hutang apaan? Terlambat. Ketiganya telah berjalan cepat menuju
mobil salah satu dari mereka terparkir. Belum sempat berpikir, suara dehaman
Rio terdengar. Kembali ia memandang Rio. Menunduk menerima tatapan dalam Rio
yang ia maknai tengah memujinya, kalau tak salah. Tapi sepertinya banyak
salahnya.
“Ada rapat?”
Ia menggeleng. Masih menunduk.
“Ada latihan?”
Lagi ia menggeleng dengan sepasang mata tetap tertuju pada kedua flat shoesnya.
“Ada deadline tugas?” sepertinya ini pertanyaan terakhir yang
dilempar Rio oleh karena itu ia mulai berani mengangkat wajah.
“Gak ada Kak.” lirihnya.
“Terakhir—” Loh?
Ify memasang wajah was-was. Seluruh kegiatan rutinnya dalam
seminggu yang menghambat pertemuannya dengan Rio telah ditanyakan semua. Rio
tak kunjung bersuara. Sedangkan dari arah atas, terdengar perbincangan beberapa
mahasiswa yang telah selesai kelas, yang artinya akan banyak pasang mata
menyaksikan mereka walau hanya dengan lirikan sekilas.
“Besok balik rumah?”
Mulutnya membentuk huruf O, dan setelahnya menghela nafas lega.
Dia suka heran dengan dirinya sendiri. Terkadang berhadapan dengan Rio itu
biasa saja, namun tak jarang pula seperti ini. Dia tak berkutik. Salahkan Rio
yang sangat pintar mengintimidasi orang, terlebih dia yang sedang dalam keadaan
belum mempersiapkan diri matang-matang. Di tambah perasaan lebihnya pada Rio
yang sepertinya menguat tiap harinya. Menimbulkan getaran yang makin terasa
hebat mengaliri setiap bagian tubuhnya.
“Iya Kak.” jawabnya.
“Udah pesan tiket?” tanya Rio lagi melahirkan anak dari pertanyaan
sebelumnya.
Ia menggeleng, “Rencananya malam nanti.”
“Gak usah. Biar aku yang ngantar. Aku mau ketemu orang tua kamu.”
Mulut Ify mangap total. Bodo amat dari kaca belakang punggung Rio
dengan penampilannya yang sudah kusut akibat menelan 4 mata kuliah seharian
ini, dia benar-benar tak enak dipandang.
“Nga—nga—ngapain, Kak?” cicitnya mendadak ingin membatalkan
kepulangannya, tapi dia sudah tak mampu lagi menahan rindu pada keluarga.
Di hadapannya, Rio tersenyum misterius yang membuatnya semakin
gelisah.
“Melakukan satu langkah untuk mewujudkan hubungan serius versi
kamu.” ucap Rio yang membuatnya tak sadar telah ditarik meninggalkan koridor
lantai dasar menuju jazz putih Rio
berada.
Ify baru sadar ketika mendengar suara pintu mobil sebelahnya
tertutup, disusul Rio menempati kursi kemudinya. Menjalankan mesin dan
meninggalkan pelataran parkir gedung fakultasnya. Mendadak Ify pusing
mengalihkan rasa takut dan khawatirnya terhadap kalimat terakhir Rio tadi agar
lebih tenang. Dia ingin melarang tapi bingung caranya gimana, kecuali...
“Aku belum siap untuk menikah, Kak.” ucapnya dengan nada tegas
menoleh pada Rio dengan berani.
“Siapa yang mau ngajak kamu nikah, Fy?”
Jlebbb... tutup tuh muka Fy. Malu kan loe? Mana Rio pasang senyum
geli gitu.
“Lalu maksud ucapan Kakak tadi apa?” tanyanya gemas.
“Aku tadi bilang satu langkah untuk mewujudkan hubungan serius
versi kamu. Banyak langkah menuju hubungan serius versi kamu itu yang sekarang
juga menjadi versiku, yang artinya hubungan serius versi kita. Langkah pertama
aku mau mengenalkan diri pada orang tua kamu dulu.” jelas Rio terkekeh di akhir
mengingat cara berpikir Ify yang terlewat baik.
“Aku tahu kamu punya banyak impian, Ify. Aku gak akan menghambat
jalan kamu untuk meraihnya dengan menikahi kamu sekarang, kalau yang kamu
takutkan dengan menikah akan sulit bagi kamu fokus pada impianmu.” tambah Rio
tersenyum menyenangkan dan menenangkan.
Rio menginjak rem melihat rambu lalu lintas berwarna merah
menyala. Sekitar 120 detik lagi mobilnya baru bisa melaju kembali. Dua menit
itu ia ambil kesempatan meraih kesepuluh jari Ify yang saling bertautan.
Meremasnya pelan.
“Aku gak akan lagi mempermasalahkan bagaimana hubungan kita
berjalan sejauh ini dan kedepannya nanti. Setelah memikirkannya beberapa hari
ini, aku pro dengan ucapan kamu tempo hari, karena yang terpenting yaitu kita
saling menjaga hati.”
Senyum lebar Ify mengembang. Ia mengangguk kuat-kuat. Melepas
tautan jemarinya dan membalas genggaman tangan Rio. Dengan menjaga hati
masing-masing, tak akan ada lagi kekhawatiran atau kecurigaan terhadap
pasangan, tak akan ada drama-drama menggelikan karena kecemburuan, dan yang pasti
ruang lingkup pertemanan akan tetap sama atau bahkan lebih luas mengingat
relasi pasangan kita cukup banyak.
“Sekarang kita fokus menjadi pribadi yang membanggakan di depan
kedua orang tua kita.” tutur Rio mengakhiri obrolan serius nan menggembirakan mereka
ketika lampu hijau giliran menyala.
Ify mengalihkan pandangan menatap berlawanan dengan Rio ke balik
jendela. Dia tak berhenti memamerkan deretan giginya yang rapi. Semoga
percakapan mereka ini tak hanya angin lewat untuk mereka. Semoga saat mereka khilaf
melanggar kesepakatan tersirat dari “saling menjaga hati” itu, Tuhan langsung
menegurnya. Sadarkan dia segera jika Rio hanya teman special ketika hal paling
buruk yang menghancurkan suatu hubungan sesakral apapun itu datang, yaitu
cemburu. Semoga hal ini juga berlaku untuk Rio.
***
Sudah lewat setengah jam dia berada di sini. Pemuda yang
bertanggung jawab membawanya ke tempat penuh ketenangan dalam istilah lain
cukup sepi dengan hanya dipenuhi oleh beberapa pasang, baru saja berlalu menuju
jazznya terparkir. Lampu menyala
terang sehingga tak bisa dijadikan tempat lebih dari sekedar tangan saling
bertautan. Ia membuka lagi lembaran buku yang sejak beberapa menit lalu resmi
disewa olehnya. Buku lumayan tebal yang kata pemiliknya berisi renungan mengenai
negeri ini yang dibungkus dengan humor. “Waras di Zaman Edan” begitu judul yang
tertulis di cover buku dengan penulis
yaitu Prie G.S.
Merasa cukup untuk testimoni, Ify menutup buku tersebut dan
menaruhnya ke dalam tas punggungnya. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru
taman yang masih belum terlalu dijamah oleh pemerintah. Semi-semi alami. Dan
tatapannya tertuju pada sosok Rio yang tengah merengkuh tubuh gadis yang ia
rindukan kebawelannya. Sivia? Mungkin lagi kangen Sivianya. Rio juga mungkin.
Eh jangan. Seketika Ify menegakkan tubuhnya yang setengah bersandar di batang
pohon. Menghirup udara di sekitarnya dan menghembuskan kembali kuat-kuat. Lalu
balik bersandar. Kamu bisa apa Fy, selain nunggu Rio datang setelah melepas
pelukannya terhadap Sivia. Untuk menghalau hawa-hawa panas agar tak semakin
meracuninya, ia membuka akun bbmnya. Kasihan dari tadi getar-getar tak direspon
olehnya.
Adeeaa
Malam kamis pada ngapain guys?
Irsyad_GTG
Sunnah rasul
Gigita_Gigi
Sunnah rasul masih sempet balas chat grup, Bang? :O
Irsyad_GTG
Sempet, lagi istirahat menuju ronde selanjutnya.
Adeeaa
Please deh
loe berdua. Loe juga Bang, sunnah rasul itu malam jumat.
Irsyad_GTG
Sunnah rasul gue tiap hari. Sorry gue bukan jombs macem loe.
Gigita_Gigi
Out
Adeeaa
Astaghfirullah. Semoga Tuhan segera menurunkan hidayahnya ke loe
Bang.
Irsyad_GTG
Astaghfirullah. Canda kali Dee. Gue masih perawan. Loe nanggepin serius
mulu. Pantes tuh muka boros bener. Tiru tuh si Ify. Usia segitu masih cocok
dipakein baju SD.
Ify geleng-geleng kepala. Dia sudah tahu tabiat Irsyad. Mana
namanya disebut-sebut segala lagi. Chat-chat selanjutnya kalau dia tak segera
nongol, sampe pagi namanya tak akan berhenti disebut.
Adeeaa
Perjaka kali Bang, perjaka. Loe sengaja bego apa beneran bego? Gue
gak boros. Kalau dibandingin sama si Ify, Ifynya aja pertumbuhannya lambat.
Ify misuh dalam hati alih-alih menahan senyum gelinya. Dengan
semangat 45 seakan pemandangan beberapa menit lalu tak pernah ada, ia mengetik
balasan.
Fyify
Pantes gue bersin2. Kelakuan loe berdua ya.
Irsyad_CTG
Exit
Adeeaa
Close
Fyify
Bangke loe pada>,<
“Astaghfirullah..” serunya ditepuk tiba-tiba pada pundak.
Ify mendengus kentara. Ia mengernyit melihat Rio tanpa
berkata-kata langsung menumpu kepala di atas pangkuannya. Sepasang mata yang
sering mengintimidasi itu terpejam. Kedua tangan kokohnya terlipat dan
bertengger di atas kening. Sedang banyak pikiran. Jelas. Di cintai 2 orang
terdekat. Ia bisa apa selain bersandar kembali pada batang pohon. Mendongak
memandang langit yang berbanding terbalik dengan suasana hati ketika
menyaksikan pertunjukkan tadi.
“Fy.”
“Hm..”
“Ify.”
“Ehemm.”
“Lify Putri Ardiansyah.” panggil Rio dengan nama lengkapnya.
“Iya, Gerio Tarren.” balasnya turut menyebut nama lengkap Rio.
“Kamu lihat?” tanya Rio yang ia jawab dengan anggukan malas.
“Maaf.”
“Dengan syarat.” sambarnya membuat Rio bangkit dari posisi
tidurnya di rerumputan taman.
Dahinya mengernyit. Dalam pandangannya, terdapat binar jahil dari
sepasang mata bening Ify yang masih terlindung kaca mata minusnya. Ia menyamankan
posisi di samping ify dengan arah duduk berlawanan. Sama-sama selonjoran.
Menyanggah beban tubuhnya dengan kedua tangan menumu pada tanah taman. Sebelah
alisnya terangkat menanyakan syarat yang ada di otak Ify.
“Tadi kan Kakak peluk Sivia—”
“Ralat. Dia yang meluk aku.” potong Rio.
“Tapi dibalas kan? Tangan Kakak juga ngelingkar kan?” sambarnya.
“Reflek. Tapi dia yang mulai.” sanggah Rio.
Ify memutar bola mata kesal sebelum menjawab, “Oke fine. Sivia meluk Kakak. Cukup?”
Rio tersenyum penuh kemenangan dan mengangguk. Ify mendesah
seperti biasa ketika harus mengalah dalam debat tak penting dengan Rio. Bisa
bayangkan jika ia masih membidasi kalimat Rio, berapa lama lagi ia duduk di
taman ini.
“Semisal aku ketemu Kak Gabriel nih pas lagi jalan sama Kakak.
Saat itu Kak Gabriel lagi khilaf dan tiba-tiba peluk aku. Gak akan jadi masalah
ya.” ucap Ify dengan mata berbinar-binar.
Rio mengumpat dalam hati. Kedua rahangnya beradu. Kepalanya perlahan
miring dengan tatapan tajam tertuju pada Ify yang tak segan membalasnya.
Bisa-bisanya gadis ini.
“Masalah.” tandasnya tak bisa dibantah.
Ify mendelik, dan sebelum mengeluarkan protes, Rio telah beranjak
dari posisi duduknya. Semakin melebarkan kelopak mata Ify. Masih dengan
posisinya yang duduk bersandar, ia berkata.
“Baru berapa jam lewat, udah dianginin. Bilangnya gak akan
mempermasalahkan jalannya hub—“
“Tapi tidak dengan dipeluk atau peluk cowok lain Ify!” marah Rio
langsung berbalik.
“Ahh gak asik. Jadi situ doang yang boleh ngerasain berbagai macam
kehangatan pelukan lawan jenis. Ego—”
“Oke fine aku akan
dorong Sivia atau gadis lain kalau tiba-tiba mereka meluk aku. Impas kan? Buang
imajinasi nakal kamu itu.” sambar Rio menghentikan ucapan Ify.
Nafasnya memburu. Gila. Dia bukan pertama kalinya berhadapan
dengan wanita, tapi Ify benar-benar berhasil menguras tenaganya tanpa
keterlibatan fisik apapun.
“Berdiri!” titahnya setelah menekah amarahnya, mengulurkan tangan.
Ify tak kunjung menyambut ulurannya. Malah memberinya senyuman tengil.
Ia melotot yang malah dibalas dengan tawa renyah. Gadis itu berdiri tanpa
dibantu olehnya. Lalu memeluk lengan kanannya yang masih terulur.
Terkekeh-kekeh dengan sebelah tangannya yang bebas menoel-noel pinggangnya.
“Mulai berani ya.” ucapnya sengit.
Ify menghentikan kekehannya. Masih dengan senyum menyebalkan ia
menjawab.
“Artinya sudah mulai beradaptasi, Kak. Aku berterima kasih pada
Sivia, karena adanya masalah kemarin aku bisa dengan santai tiap kali bertemu
dengan Kakak. Soalnya harus siap mental dan iman dulu kalau ingin menghadapi
Kakak dengan tenang. Hehe.” jelasnya yang membuatnya memperoleh decakan kesal.
“Aku yang emosi.”
“Hahaha... berlatihlah mengendalikan diri, Kak.” ucapnya langsung
melepas rangkulan di lengan Rio dan berlari menuju kendaraan yang membawa
mereka ke sini.
Rio memutar bola mata jengah. Bodoh. Makinya dalam hati. Mau Ify
lari beberapa menit lebih dulu, tetap akan tertangkap olehnya. Lihat saja,
hanya mengandalkan langkah panjang dan cepat, Ify sudah dalam perangkapnya. Tak
sadarkah gadis itu dengan perawakannya yang kecil tak akan bisa menyainginya.
Suara teriakan Ify ia hentikan dengan membekap mulut gadis itu dengan tangan
besarnya. Ify memberontak dalam gendongannya. Jelas saja, ia menggendong
seperti mengangkut kambing. Tinggal diikat tali aja biar tak lari kemana-mana.
RIO KAMPRETTT...
***
“Siapa?”
Ia mendengar suara berat seorang pria saat Ify pamit berlalu
meninggalkannya yang baru saja berkenalan dengan sosok yang melahirkan Ify.
“Teman, Yah. Ayah temui dulu ya, Mbak bantu Bunda buat minum.”
jawaban Ify yang tepat.
Ia lupa bahwa Ify itu cerdas.
“Adik kamu samperin dulu.”
“Iya, Yah.”
Dan selanjutnya terdengar langkah mendekat. Muncul pria paruh baya
yang berpenampilan santai dengan polo T-Shirt hitam dan masih tampak muda.
Kalau diperkirakan usianya pertengahan 40. Ia baru ingat bahwa Ify anak
pertama. Ia beranjak dan menyalami punggung telapak tangan ayah Ify.
“Saya Gerio Tarren, Om. Di panggil Rio. Kakak tingkat Ify.”
Pria itu mengangguk.
“Satu jurusan sama Ify?”
Rio menggeleng sopan, “Saya jurusan teknik industri, Om.”
Lagi, ayah Ify mengangguk.
“Semester berapa?”
Fyuh... untung rampung di semester ini.
“Baru lulus Om. Beberapa hari lalu yudisium.”
Obrolan berjalan dengan santai sesuai dengan harapan Rio. Benar
kata pepatah, entah siapa yang bilang. Selagi kita terus berpikir positif,
segala macam persembahan dunia akan diterima dan dihadapi dengan baik. Dia
nervous? Pasti. Tapi mengingat tujuannya untuk saat ini hanya mengenalkan diri,
dia cukup matang menekan kegugupannya.
Bunda Ify berperawakan sama seperti Ify. Mungil. Tapi sepertinya,
untuk sifat Ify lebih cenderung pada ayahnya. Dalam obrolan mereka, ayah Ify
tak menunjukkan tampang ramah ataupun menakutkan. Cara bicaranya lugas dan
tegas, membuat siapa saja segan untuk memotong pembicaraannya. Seperti pada
umumnya laki-laki, tak memusingkan sesuatu yang nantinya juga akan mereka
ketahui dengan mudah. Sepanjang obrolan, ayah Ify tak mengeluarkan kalimat
curiga akan kedatangannya mengingat perkataan Ify saat perjalanan bahwa tak
sekali pun gadis itu membawa teman laki-laki seorang diri maksudnya tidak
berkelompok campur laki-laki dan perempuan ke rumahnya.
“Di makan Nak Rio jamuannya.” ucap Bunda Ify yang sudah kembali
dengan menggendong adik laki-laki Ify yang beberapa kali Ify ceritakan. Adik
paling hebat. Begitu kata Ify.
“Iya, Tante. Terima kasih.”
Ify muncul dari balik selambu dengan rok span panjang warna biru
tosca dan atasan kaos belang hitam-putih. Rambut diikat air mancur seperti
biasa. Mengambil tempat di samping ayahnya. Menjawil kedua pipi adiknya yang
terpekik senang dan menyambar jemari lentiknya.
“Ayo salam Kakaknya.” ucap Ify meminta adiknya berkenalam pada
Rio.
“Hallo Kak Rio. Aku Atara. Panggil aku Ata. Salam kenal, Kakak.”
tuturnya perlahan melatih adiknya berbicara sembari menggerak-gerakkan
tangannya yang digenggam Ata untuk melambai pada Rio.
“Ayo, Sayang.” titahnya dengan sabar yang hanya dibalas cengiran
khas adiknya.
“Aku akan terus belajar, Kak. Sambung doa ya, Kak.” lanjut Ify
dengan riangnya berharap Ata menirukannya.
Namun hanya gumaman yang terdengar kabur di pendengaran seperti
biasa yang keluar. Masih dengan senyumnya, Ify mengacak rambut adik
kesayangannya. Ia ingin mendaratkan kecupan, namun terhalang tubuh ayahnya.
Lantas ia kembali memandang Rio dan ayahnya bergantian. Mengeluarkan suara yang
sukses membuat Rio terperangah mendengar kalimatnya.
“Ini Kakak tingkat Mbak yang sering Mbak ceritain ke Ayah itu.”
Ify memang penuh kejutan.
***
“Gue duduk sini ya.” pamit Ify pada Sivia yang tengah menyantap
batagor khas bandung paling nikmat di kantin pusat kampus.
“Sekeliling loe masih banyak meja kursi.”
Ify yang sudah mempersiapkan diri, tersenyum menjawab, “Gue maunya
duduk sini. Keberatan?”
Ify berjengit saat tak diduga Sivia membanting sendok dan garpu
yang digenggamnya. Menimbulkan bunyi nyaring pertemuan kedua alat makan itu
dengan piring. Mendadak niat Ify bubar jalan, dan ia mulai merutuki dirinya
sendiri.
“Loe itu sok polos atau gak tahu diri? Loe masih bisa tanya
keberatan?—”
Sivia memberi jeda. Bangkit dari kursinya dengan tatapan masih
mengarah tajam pada Ify.
“JELAS. Jelas gue keberatan. Lihat muka loe aja gue pengen beli
ini kampus. Bangsat.” Sivia mengamuk dengan mendaratkan telunjuknya tepat di
depan wajah Ify.
Ify menelan ludah. Beberapa pengunjung kantin tampak melalui
lirikannya, mulai terpusat pada mereka. Suara Sivia nyaring banget sih.
Terpaksa ia mundur.
“Oke sorry. Gue duduk di
tempat yang lain.” ucapnya meringis tertahan melangkah mundur dan berbalik.
Baru beberapa langkah, tangan seseorang menumpu di pundaknya
sekaligus memaksa untuk kembali balik badan, dan di saat itulah Sivia
menyemburkan kalimatnya dengan jarak wajah dua jengkal darinya.
“Gue udah gak napsu, Brengsek.”
Tadi bangsat, sekarang brengsek. Ntar ketemu lagi apa sebutan
untuknya. Sepadan lah ya dengan apa yang ia perbuat.
Fyuhhh... hembuskan nafas pelan-pelan Ify. Tarik nafas, hembuskan
lagi. Anggap latihan yoga. Ia memandang punggung Sivia yang semakin mengecil
dalam pandangannya. Meringis menyadari orang-orang sekitar memusatkan fokus
padanya dan Sivia secara bergantian. Salah dia memang mencari timing dan tempat yang tak tepat. Untung
banyak yang tak ia kenal. Huft... duduk dulu. Habiskan bakso dan es teh
manisnya. Baru berpikir lagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar