Senin, 15 Agustus 2016

ALWAYS BE MY PARTNER (HOPE) #G


Ilustrasi: NA

Bagi yang bertanya kenapa gak bisa buka link NDWN dan HBWN dari part awal sampai akhir yang ada di blog, mohon maaf cerita aku tarik dari peredaran. Untuk cerita ABMP akan dilanjut, tapi setiap kali part ini dilanjut, maka part sebelumnya akan dihapus.  Terima kasih atas apresiasinya selama ini.


PART SEBELUMNYA...
@
@
@
“Loe itu sok polos atau gak tahu diri? Loe masih bisa tanya keberatan?—”
Sivia memberi jeda. Bangkit dari kursinya dengan tatapan masih mengarah tajam pada Ify.
“JELAS. Jelas gue keberatan. Lihat muka loe aja gue pengen beli ini kampus. Bangsat.” Sivia mengamuk dengan mendaratkan telunjuknya tepat di depan wajah Ify.
Ify menelan ludah. Beberapa pengunjung kantin tampak melalui lirikannya, mulai terpusat pada mereka. Suara Sivia nyaring banget sih. Terpaksa ia mundur.
“Oke sorry. Gue duduk di tempat yang lain.” ucapnya meringis tertahan melangkah mundur dan berbalik.
Baru beberapa langkah, tangan seseorang menumpu di pundaknya sekaligus memaksa untuk kembali balik badan, dan di saat itulah Sivia menyemburkan kalimatnya dengan jarak wajah dua jengkal darinya.
“Gue udah gak napsu, Brengsek.”
Tadi bangsat, sekarang brengsek. Ntar ketemu lagi apa sebutan untuknya. Sepadan lah ya dengan apa yang ia perbuat.
Fyuhhh... hembuskan nafas pelan-pelan Ify. Tarik nafas, hembuskan lagi. Anggap latihan yoga. Ia memandang punggung Sivia yang semakin mengecil dalam pandangannya. Meringis menyadari orang-orang sekitar memusatkan fokus padanya dan Sivia secara bergantian. Salah dia memang mencari timing dan tempat yang tak tepat. Untung banyak yang tak ia kenal. Huft... duduk dulu. Habiskan bakso dan es teh manisnya. Baru berpikir lagi.
***
PART G...
@
@
@
@
Pesan sekian menit lalu membuatnya mendesah lelah. Ia baru saja akan balik ke kos saat pemberitahuan latihan paduan suara muncul di layar smartphonenya. Ify melenggang meninggalkan sekber fakultas yang biasa digunakan sebagai tempat rapat HIMA jurusannya yang terjadwal di hari selasa. Kali ini mereka membahas persiapan OSPEK yang dua bulan lagi akan dilaksanakan, dan dia tertimpa tanggung jawab sebagai koordinator acara. Rapat pertama persiapan OSPEK kali ini hanya dihadiri sekitar 50% pengurus HIMA, mengingat jam aktif kuliah yang digunakan, dan dia sendiri sedang tak ada dosen di mata kuliah terakhirnya di hari ini. Kebetulan yang menguntungkan.
Ify melirik arloji di pergelangan kirinya. Masih ada waktu 45 menitan untuk makan seraya menunggu waktu ashar. Ia rencana mengenyangkan perut di kantin fakultas pertanian yang gedungnya bersebelahan dengan gedung fakultasnya, mengingat menu di sana lebih beragam. Dengan langkah santai ia melewati koridor lantai dasar gedung, dan langkahnya terhenti saat menangkap sosok Shilla dan Cakka memasuki gedung yang akan ia singgahi. Di belakang mereka, ada Sivia dengan langkah panjang menyusul. Yang bikin seru kalau dia juga ke sana, beberapa meter dari Sivia, Rio muncul dari arah parkiran. Sepertinya ada yang terlewat. Sigap ia merogoh benda canggih di saku celana kulotnya.
From: Racakka
Kita tunggu di kantin fakultas pertanian. Sekarang.
“Tiap gue gak sedia payung sebelum hujan, selalu dipertemukan.” gerutunya melanjutkan langkah.
***
“Loe apa, Yo?” tanya Cakka ketika menuliskan pesanan Shilla.
“Lalapan ayam 2, es jeruk 2.” jawab Rio menghentikan gerakan menulis Cakka. Pemuda itu menaikkan sebelah alis.
“Buat Ify.” jelas Rio singkat masih memandang layar smartphonenya.
Cakka mengangguk-angguk. Ia beranjak dari kursi bersamaan dengan tubuh Ify yang dibalut kemeja pink polos panjang dengan bagian bawah hanya sepinggang dan celana kulot putih. Rambut seperti biasa diikat kuda. Ia menggerakkan bola matanya meminta Ify duduk di tempatnya. Gadis itu mengangguk dan ia berlalu menyerahkan lembar pesanan.
“Hallo Shil, Vi, Kak Rio.” sapanya setelah menempatkan diri di sebelah Shilla, berhadapan dengan Rio.
Shilla membalas dengan senyuman tipis. Sivia mengalihkan pandang pada Cakka yang berjalan kembali ke meja mereka. Sementara Rio mengangguk singkat sebelum kembali menatap gadgetnya.
"Habis ini latihan ya Vi?" tanyanya basa basi menoleh pada Sivia yang berada di sebelah Shilla yang lain.
Tak ada sahutan. Dia menghembuskan nafas pelan.
"Kemana Fy?" tanya Cakka setelah mengambil tempat di samping Rio, melihatnya berdiri.
"Pesan makan." jawabnya.
"Duduk! Rio udah pesan."
"Oh." ucapnya kembali duduk.
Merogoh saku celana mengambil smartphonenya. Mengetikkan pesan pada pria di hadapannya.

Makasih, Kak.

Rio mendongak. Mengangguk samar sembari menyimpan gadgetnya ke dalam saku kemeja. Ia memandang sekelilingnya sebelum terpusat pada Ify yang menunduk memainkan smartphonenya. Lantas melirik jam tangannya. Mepet.
"Gue balik."
Suara Sivia mengalihkan perhatian di sekitarnya dari kesibukan masing-masing. Shilla merengek meminta gadis cubby itu untuk tak beranjak mengingat masih tersisa beberapa menit lagi menuju waktu latihan. Sementara di hadapan Shilla, Cakka menghela nafas lalu berkata yang membuat Sivia seketika murka.
"Loe gak bisa lebih dewasa dikit, Siv? Minggu depan loe UAS yang tandanya semester 4 loe akan berakhir."
"Bukan soal dewasa atau nggak gue begini. Duduk sebaris sama orang yang jelas-jelas fake di depan gue, duduk berseberangan sama cowok yang gue sayang gak berhenti ngelirik ceweknya, duduk bareng sepasang kekasih yang buat komunikasi di depan gue aja pake via sms, loe minta gue harus gimana?—”
“LOE MINTA SIKAP GUE YANG KEK GIMANA?" marah Sivia persetan dengan mahasiswa-mahasiswi yang hampir memenuhi kantin.
Tak peduli kedua tangan Shilla yang mencoba menahan dirinya. Sivia menepis keras sampai Shilla nyaris terjengkang kalau tak ditahan Ify. Dengan langkah panjang dan cepat ia meninggalkan kantin. Mengusap kelopak matanya, menghalau air mata yang siap untuk diperlihatkan pada orang-orang yang memusatkan perhatian padanya. Ia tak bisa jika harus menahan diri barang 1 menit di sana memaknai setiap gerak-gerik Rio yang tampak menjaga Ify dalam penampilan tak pedulinya. Ia tak cukup lapang dada untuk menerima kenyataan bahwa perasaannya mutlak tak terbalas mengartikan setiap lirikan Rio terhadap Ify.
"Kamu gak usah ngambil peran buat ngelanjutin drama. Duduk!" ucap Cakka setengah membentak Shilla yang terlihat akan mengomeli Ify sebelum menyusul Sivia.
Cakka sudah bisa menebak isi pikiran Shilla. Tak usah repot-repot menunggu Shilla menuntaskan perbuatannya, baru ia menghentikan. Shilla berdecak kesal. Kembali duduk dengan gusar. Ia menyempatkan memberikan lirikan sinis pada Ify.
“Loe gak bisa di pihak netral, Shill?” tanya Ify merasakan sikap Shilla yang juga terkesan menjadikannya musuh.
Gadis putih nan tinggi itu mendelik menoleh padanya.
“Loe bisa kasih penjelasan kenapa gue harus di pihak netral, sementara sahabat gue tersakiti?”
Ify mangap dan menghembuskan nafas berat sebelum menjawab.
“Gue ingatin kalau loe lupa. Loe, Sivia, gue, Kak Rio, dan Kak Cakka menetapkan bahwa kita bersahabat yang artinya gue juga sahabat loe. Sumber masalah emang gue. Tapi apakah loe gak bisa bersikap seperti Kak Cakka terhadap gue?”
Tampak sepasang mata Shilla semakin melebar. Telunjuk kanannya mengarah tepat di wajahnya. Dalam hati ia memaki-maki mulutnya yang tak bisa menahan kalimat-kalimat yang tersusun di pikirannya. Ia memejamkan mata menyiapkan diri untuk menerima cacian dari Shilla.
“Loe masih bisa bilang kita sahabat setelah loe nyembunyiin fakta yang gak sepatutnya loe simpan berdua sama Rio? Benar-benar gak tahu di—”
“SHILLA.” potong Cakka dengan nada membentak yang membuat Ify lagi-lagi merutuki perbuatannya, terlebih mendengar ucapan Shilla setelahnya.
“Kita putus.” tandas Shilla langsung bangkit dari tempatnya tanpa menoleh.
Dan rasa-rasanya ia ingin menangisi perbuatannya. Setelah ini, siapa lagi yang akan tersakiti karenanya? Setelah ini hubungan siapa lagi yang akan kandas karenanya?
***
Suara menyerukan namanya ketika berjalan menghampiri motor matic putih, membuatnya mendesah lelah. Ia tahu siapa yang memanggilnya. Demi tuhan, ia ingin merebahkan diri. Dengan malas, Ify balik badan.
“Ya Bang?” tanyanya dengan mata sayu memandang pemuda yang tersenyum riang gembira.
“Habis isya’ gue jemput?”
Ia mengernyit, “Ngapain?” tanyanya mundur selangkah merasa terlalu dekat.
“Makan malam? Gue traktir.”
Mendengar itu, dia sumringah. Bertepatan sekali dengan uang jajannya yang menipis. Wacana buruk makan malam dengan mie instan melayang. Seketika ia mengangguk. Langsung segar.
“Habis jadian ya Bang Syad?” tanyanya menaik-turunkan kedua alisnya, lengkap dengan senyuman menggoda.
“Loe berapa kali gue bilang. Kalau manggil nama gue, ambil suku kata pertama. Gue dengarnya ngeri, Py. Apalagi gue anak baik-baik.”
Ify terkekeh geli mendengar protes Irsyad. Ia mengangguk-angguk saja. Lalu menggerakkan sebelah tangannya seperti mengusir ayam. Kembali pada maticnya. Meloloskan transportasi satu-satunya yang ia miliki dari kendaraan mahasiswa lainnya yang masih betah ngerem di kampus.
Thanks, Bang. Gue duluan.” ucapnya setelah menghidupkan mesin, dan irsyad membalasnya dengan anggukan serta lambai tangan.
Baru akan masuk kawasan menuju gerbang utama kampus, tampak Sivia berjalan sambil memainkan smartphonenya. Ia menimbang-nimbang dalam hati. Nyapa, minta dicela. Gak nyapa, gak tahu diri sekali dia. Hidup begini amat. Dengan niat kuat, ia memilih menghampiri Sivia. Namun, saat mobil Rio melewatinya dan berhenti tepat di samping Sivia, mendadak ia menekan rem. Menyimak dengan tenang ketika sosok Sivia telah lenyap di balik mobil. Cinta sama orang yang banyak mencintai, begini amat.
***
Berusaha mengabaikan sekitar, Ify menyantap sajian di depannya penuh nafsu. Sesekali ia membalas dengan pandangan datar tatapan Rio di meja sebelahnya. Bertatapan langsung dengannya, hanya sedikit tertutupi punggung Irsyad yang duduk di hadapannya. Dari wajahnya yang tampak mengeras dan tatapan tajamnya yang kalau ia tak alihkan pada makanan bisa membuatnya keder, sepertinya Rio sedang menahan gejolak amarah yang terpaksa ditekan.
Ify mana peduli. Anggap impas. Situ kan juga lagi makan sama Sivia. Ngamuk ya tinggal putusin aja. Benar begitu Fy? Batinnya bertanya. Ia menggeleng ngeri. Jangan. Sayang kalau diputusin. Siapa lagi yang khilaf mau menjadi kekasihnya kalau bukan Rio, mengingat dia biasa saja sebagai seorang gadis.
“Fy.”
“Ya Bang?” tanyanya dengan alis terangkat.
“Loe gak ada niat buat punya pacar?”
“Hah?”
Ify melongo. Lantas mengerjap. Untung telah selesai makan. Minum dulu, baru jawab.
“Gue punya kok, Bang.”
Giliran Irsyad memasang wajah melongo. Ia menaik-turunkan pandangannya pada Ify. Menilai gadis itu dari luar yang membuat si pemilik tubuh risih dan menjitak kepalanya.
“Segitu gak percaya loe Bang kalau gue punya gandengan.”
“Nggak. Cuma kaget aja ternyata ada juga yang tertarik sama loe selain gue.”
“Hah?”
Mendadak Ify pusing. Ia jadi gelisah sendiri di kursinya. Gerakannya mengaduk-aduk jus wortelnya yang tersisa separuh gelas, terhenti. Kedua matanya mengedip-ngedip.
“Omongan gue bikin loe minder ya?” lanjut Irsyad yang tak sepaham dengan perasaannya sekarang.
Ify menelan ludah. Lalu menggeleng. Bukan itu, Bang. Bukan. Belakang badan loe noh, ada cewek suka sama Rio. Nah sekarang di belakang cewek yang suka Rio, ada cowok yang suka gue. Doble date yuk, Bang sekalian biar kelar.
“Loe sebenarnya cantik Fy. Loe putih, bersih, hidung bangir, dagu tirus,  cuma no make up itu yang bikin loe terlihat biasa aja.—”
“Rambut loe. Loe selalu ngepang rambut loe. Coba sesekali loe gerai.”
Ify menggeram dalam hati. Bukan itu, BANG SYAD. Malah mendeskripsikan dirinya yang membuat ia sedikit mulai melting. Rio aja gak pernah bilang dia cantik.  Ealahhh kan, sifat manusiawinya –membanding-bandingkan— menguak ke permukan.
Lagi ia menelan ludah sebelum menunjukkan senyum lebarnya, “Hehe... loe bisa aja, Bang.”
“Geli gue ngelihat loe malu-malu anjing begini, Py.” seloroh Irsyad mengacak-acak poni miringnya hingga terlepas dari jepitan rambut.
Ify mendelik, seketika hawa-hawa tak nyaman enyah. Kembali ia menoyor kepala kakak tingkatnya. Sementara Irsyad tertawa renyah melihat tampang sinis Ify. Suara gaduh di belakang Irsyad mengalihkan perhatian mereka. Ify menunduk setelah memperoleh lirikan tajam Rio sebelum meninggalkan tempat. Sedangkan Irsyad geleng-geleng kepala sambil berkata.
“Itu presma tahun kemarin.” gumam Irsyad dengan nada mengambang antara bentuk pertanyaan atau pernyataan sambil sepasang matanya terus mengikuti Rio dan gadis yang berajalan di belakangnya.
Ify menahan ekspresi ketika tatapan Irsyad yang beralih padanya, menyatakan bahwa laki-laki ini menyadari sesuatu setelah beberapa saat diam. Memandangnya seakan menguliti untuk memperoleh hipotesa yang tepat mengenai situasi beberapa menit lalu. Ia harus waspada. Irsyad ini peka parah.
“Jangan bilang, loe—”
“Hehe.”
Dan Ify merutuki pemuda di hadapannya habis-habisan. Menghindar dari cengkraman Irsyad adalah hal yang sia-sia dilakukan.

***

5 komentar:

  1. Jajur, aku masih belum paham sama ceritanya, banyak bnaget yang di tdk di perjelas, tp aku jadi penasaran, aku tunggu terus ya, jangan lama", wkwk semngt :)

    BalasHapus
  2. kasar amat sih viaaaaa.. omoooo :( shilla jga huhuhuuuuuuu itu lagi sirio knp hanya diam aja cobaaaaa :( next next next yg lebih panjang ya kk :( ditunggu loh

    BalasHapus
  3. Ka kapan lanjut? udah penasaran..

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus