Ilustrasi: NA
PART
SEBELUMNYA...
@
@
@
@
“Geli gue
ngelihat loe malu-malu anjing begini, Py.” seloroh Irsyad mengacak-acak poni
miringnya hingga terlepas dari jepitan rambut.
Ify
mendelik, seketika hawa-hawa tak nyaman enyah. Kembali ia menoyor kepala kakak
tingkatnya. Sementara Irsyad tertawa renyah melihat tampang sinis Ify. Suara
gaduh di belakang Irsyad mengalihkan perhatian mereka. Ify menunduk setelah
memperoleh lirikan tajam Rio sebelum meninggalkan tempat. Sedangkan Irsyad
geleng-geleng kepala sambil berkata.
“Itu presma
tahun kemarin.” gumam Irsyad dengan nada mengambang antara bentuk pertanyaan
atau pernyataan sambil sepasang matanya terus mengikuti Rio dan gadis yang
berajalan di belakangnya.
Ify menahan
ekspresi ketika tatapan Irsyad yang beralih padanya, menyatakan bahwa laki-laki
ini menyadari sesuatu setelah beberapa saat diam. Memandangnya seakan menguliti
untuk memperoleh hipotesa yang tepat mengenai situasi beberapa menit lalu. Ia
harus waspada. Irsyad ini peka parah.
“Jangan
bilang, loe—”
“Hehe.”
Dan Ify
merutuki pemuda di hadapannya habis-habisan. Menghindar dari cengkraman Irsyad
adalah hal yang sia-sia dilakukan.
***
PART G...
@
@
@
Rio tiba
kembali di pelataran parkir cafe di
mana ia menikmati makan makan malamnya sejam lalu, ketika bola matanya
menemukan sosok kekasihnya berjalan bersama laki-laki yang ia kenal sekilas. Ia
hanya tahu pemuda itu teman satu organisasi Ify di UKM paduan suara yang sudah
2 tahun digeluti. Segera ia turun dari mobil. Melangkah panjang. Cengkramannya
berhasil meraih pergelangan kanan Ify sebelum gadis itu menaiki mobil jeep hitam temannya.
“Ka—kak...”
hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ify.
Rio
memandang lurus menembus sepasang manik mata Ify. Menahannya beberapa saat
sebelum mengedikkan dagunya ke arah jazz putihnya.
Ify
membasahin bibir bawahnya. Ia menoleh pada Irsyad yang memandang mereka dengan
alis terangkat.
“Sorry, Bang.” cicitnya yang masih
terdengar Irsyad.
Laki-laki
itu mengangguk. Tersenyum tipis memandangnya yang lalu memandang Rio yang masih
bertahan dengan tatapan mengintimidasi mengarah padanya. Ia berlalu dengan
langkah terbirit-birit menyesuaikan langkah panjang Rio. Mendengar kata sorry membuat amarah Rio kembali muncul.
Goblok. Kenapa laki-laki itu yang harus memperolehnya? Ify ini minta dikasih trining.
“Sivia gak
kakak antar pulang?” tanya Ify saat mobil keluar dari area cafe, menoleh pada Rio yang menatap jalanan.
“Aku gak ada
niatan ganti kelamin, Fy.” jawab Rio kalem tanpa menoleh.
Ify mengerjap.
Shock dengan jawaban Rio yang tak
sesuai dengan pertanyaannya. Namun beberapa detik berlalu ia sadar, dan
menggumam kata maaf. Menunduk memainkan jemarinya.
Rio menghela
nafas. Ia tak bermaksud menjawab pertanyaan Ify dengan kalimat sarkasme seperti
itu. Tangan kirinya beralih dari stir, menumpu pada kedua tangan Ify.
Meremasnya pelan membuat Ify terkesiap.
“Kakak
nyetir aja.” ucap Ify berusaha melepas.
“Hm.”
“Ih... Kak
Rio.” geregetnya. Pasalnya Rio ham hem gitu tapi tak dilepas.
“Aku
menyayangi kamu, Fy.”
Mendadak Ify
berhenti menggerutu. Gelenyar aneh merangkak dengan cepat ke seluruh tubuhnya.
Semenjak mereka jadian, ini pertama kali Rio menyatakan perasaannya secara gamblang
seperti ini. Ify mendongak. Ia baru sadar Rio menghentikan laju mobilnya di tepi
jalan yang cukup lengang. Ia menoleh mendapati Rio memandangnya dengan senyum
tipis namun manis yang ia sukai. Ia meloloskan sebelah tangannya untuk membalas
remasan tangan Rio. Tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang rapi.
“Lify Putri
Ardiansyah juga menyayangi Kakak. Terima kasih sudah menyayangi anak gadis Bapak
Ardiansyah yang sering buat Kakak uring-uringan ini.” ucapnya dengan nada riang
gembira, menyebabkan kedua pipinya tak terhindar dari kecupan manis Rio.
Ify kembali
terkesiap dengan wajah memanas, sementara Rio kembali ke posisinya bersandar di
kursi kemudi. Terkekeh pelan melihat muka Ify. Di acak-acaknya poni Ify yang
tadi ia lihat sempat disentuh pria lain. Berharap sentuhannya dapat
menyingkirkan bekas tangan pria tadi.
Sambil
memandang lembut Ify ia bertanya, “Besok pulang ngampus kita makan bareng dan
diskusi di apartemen?”
Ringisan Ify
yang langsung menjawab yang ia ketahui maknanya.
“Malam jumat deh, ya? Aku minggu ini gak pulang kok, Kak.” ucap Ify memasang muka melas yang
ia balas dengan memutar bola mata.
“Oke.
Sekalian sunnah rasul.” putusnya yang direspon delikan sama Ify.
“Ngaji
bareng maksudnya, Sayang. Jorok mulu itu isi kepala.” ralatnya.
Ify menahan
bibirnya untuk tak melengkung membentuk senyuman menggelikan mendengar panggilan
sayang dari Rio.
“Oke—”
“BTW itu
bukan jorok Kak, tapi sedia payung sebelum gerimis apalagi hujan.” tambahnya
diakhiri dengan cengiran.
“Yayaya
terserah kamu, Fy.” balas Rio mengalah sambil kembali melajukan mobilnya.
“Bawa baju
ganti. Kamu sekalian nginap.” tambahnya yang disambut dengusan dari Ify.
“Ngoleksi
dosa gak gitu juga sih, Kak.” ucap Ify sarat akan penolakan atas usulan Rio.
“Di sana ada
2 kamar. Aku ingatin kalau kamu lupa.”
Lagi-lagi
Ify mendengus. Tetap saja itu di luar norma. Walaupun tidak satu kamar, kan
tetap satu atap. Kasarannya, kumpul kebo tipis-tipis.
“Kalau setan
berkuasa, mau ada 10 kamar juga tetap endingnya
kita nanti satu kamar. Mencegah lebih baik dari pada kejadian, Kak.” ucapnya
masih tak mau menerima usulan Rio.
“Ya setannya
kamu Fy. Tuh pikiranmu kemana-mana.” balas Rio.
Ify
mendelik, “Bangsat deh.”
“Lagian
kamu, Fy. Aku jamin kamar 2 akan kepake dua-duanya.”
Ify
mencak-mencak di tempat duduknya. Rio ini masih ngotot aja. Masak tak bisa
mengartikan maksud kalimat-kalimatnya.
“Jaminan
Kakak apa?” tanyanya dengan nada menantang.
“Nikah.”
jawab Rio memasang senyum tengil yang ingin sekali digampar sama Ify.
“KAKAK! AKU
SERIUS.”
“Aku juga
serius Ify.”
“Pokoknya
aku gak mau.”
“Ya udah
kalau gak mau.”
Aih... Ify
menoleh pada Rio. Pemuda itu tertawa kecil dengan lirikan kilat penuh ledekan padanya.
“Tinggal
bilang langsung gak mau apa susahnya. Apa-apa nunggu debat dulu. Hidup kamu
ribet juga ternyata.” ucap Rio menggerakkan stirnya ke kiri saat mulai memasuki
gang kos Ify.
Bibir Ify
mengerucut, “Kalau gitu kayaknya malam jumat aku juga gak bisa.”
“Jangan
macam-macam kamu, Fy.” ancam Rio.
“Siapa yang
macam-macam duluan?” balas Ify tak gentar, kelewat kesal.
Rio
mengakhiri pembicaraan dengan tawa renyah seraya menghentikan mesin mobilnya tepat
di depan kos Ify. Tubuhnya condong ke arah Ify. Melepaskan safety belt yang dikenakan Ify.
“Aku minta
maaf atas candaanku.” bisiknya di samping wajah Ify, lalu mengecup pelipisnya.
Ify melirik
sinis, “Gini mau satu atap semalam?”
Rio
tersenyum tipis, “Iya-iya maaf atuh Neng geulis.
Kita jadi kek orang pacaran biasanya.”
Ify memutar
bola mata, “Maunya kok sama yang mainstreem-mainstreem.”
“Kamu tuh
ya, bisa banget ngehancurin kesenangan orang. Sana masuk.”
Sekarang
giliran Ify memasang senyum tengil, “Skor sama.”
Umpatan Rio
sampai ke telinganya. Ia tertawa renyah. Membuka pintu mobil dengan riang
gembira. Kaca mobil diturunkan oleh Rio ketika ia kembali menutup mobil.
“Aku balik.
Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
***
Ify
menghembuskan nafas kuat-kuat mencoba menekan kecemasannya. Ia sudah berada di
depan kontrakan Sivia. Dia tak akan lagi mengizinkan dirinya menyerah karena
keberaniannya yang tiba-tiba luntur dan mendorongnya untuk segera berbalik
meninggalkan tempat. Ia harus menyelesaikannya sekarang. Ia harus memperoleh
maaf sekarang. Setidaknya maaf dulu. Masalah nanti Sivia menolak untuk
bersahabat dengannya lagi, ia tak mengapa. Sudah menjadi konsekuensi atas
kesalahannya.
"Ngapain
loe di sini?"
Ify
mengerjap. Baru juga akan mengetuk pintu, sudah disembur duluan.
"Minggir."
gertak Sivia sambil menenteng sepatu ketsnya.
Tadi Sivia
berniat memasang sepatu di kursi yang ada di latar kontrakan. Berhubung ada
tamu tak diharapkan, alhasil ia tenteng sepatunya menuju mobil yang berjarak
10m dari posisinya.
"Sivia,
please. Izinin gue ngomong sama loe."cegah Ify menahan lengan bawahnya.
Ia berdecak.
Memasang ekspresi datar ketika berkata, "Biar gue kesannya gak php, mulai
sekarang gue putusin tolong jaga jarak sama gue. Gue terima maaf loe. Gue
terima kenyataan kalau loe sama dia. Gue terima semua kelakuan muna loe di
depan gue. Gue terima, dan gue mohon loe juga terima keputusan gue."
Ify menahan
nafas sejak Sivia menoleh dan tampak dari mimiknya melontarkan kalimat yang
menyesakkan.
"Via..."lirih
Ify hanya bisa memandang kepergian Sivia dengan teman sekelas yang ia tahu
sekilas.
Ify tak
pernah menyangka kedepannya akan seperti ini. Ia berusaha keras mempertahankan
emosi positifnya jika bertemu dan berbincang dengan Sivia. Namun hasil yang ia
peroleh sama saja. Ketidaksudian untuk kembali menatapnya sebagai seorang
teman. Ia bingung. Sisi lain dirinya tak bisa menerima sikap Sivia. Ia yang tak
bisa merasakan apa yang Sivia rasakan sekarang, ataukah memang pandangannya
mengenai cinta serta bagaimana cinta menjatuhkan atau membangunkan kita, yang
memang membuatnya tidak setuju dengan sikap Sivia. Dia bahkan 2 kali mengalami
cinta sepihak, dan kedua kalinya itu dia harus tetap bertemu dengan pihak yang
bersangkutan. Mungkin nasib cinta sepihak yang menimpanya lebih dulu membuatnya
memandang permasalahan ini seharusnya tak perlu sampai harus terjadi seperti
ini.
Hari berlalu, bulan berlalu, tahun pun
berlalu, lambankan segala rasa yang.ada pada orang yang sama.
Ify meraih
smartphonenya yang bernyanyi. Meneguk ludah menyadari kesalahannya pada orang
di seberang sana yang sekarang menghubunginya.
"Sorry,
gue ada urusan. Setengah jam lagi gue nyampek."
"_______"
"Iye
udah gue rumusin semua. Tinggal bahas doang ntar. Udah yee gue mau naik angkot
nih. Keburu ngambek Abangnya nungguin."
Tanpa
menunggu sahutan, segera ia putuskan sambungan. Ketupel ospek jurusan tahun ini
cerewetnya ngalahi emak-emak protes harga minyak lebih 1000 dari toko sebelah.
Ia bergegas dari latar kontrakan Sivia. Berlari kecil ketika dari arah gang
tampak angkot melintas pelan. Dan ia meninggalkan tempat Sivia dengan perasaan
bersalah yang tak berkurang kapasitas.
***
Manik mata
Ify di balik kacamata minus 1,5-nya menangkap sosok yang ia ingin temui sejak pagi
tadi. Ia melambai tangan ketika pria itu bertemu mata dengannya. Menyuruhnya
segera merapat. Cengkraman di pergelangan kiri membuatnya menoleh. Matanya
membelalak kaget. Gabriel. Seorang Gabriel yang notabenenya nomor 1 pria yang
digandrungi para gadis di lingkup fakultas yang namanya nyaris menyejajari nama
kekasihnya, sekarang tengah mencengkram lengannya. Tolong katakan segera bahwa
ini bukan mimpi. Ify megap-megap bingung harus berbuat apa dan bisa-bisa mati
konyol kalau suara Rio tak mengintrupsi.
“Balik ke
tujuanmu.”
Ify mengerjap,
lantas mengangguk dan berjalan cepat meninggalkan Gabriel yang tampak
menunjukkan senyum miringnya yang membuat Ify nyaris balik badan. Sementara Rio
menahan geram dalam kepalan tangannya. Bisa-bisanya ia memiliki kekasih
bertingkah seperti itu ketika berjumpa dengan idolanya, bahkan saat ada dia
sekalipun.
“Gue perlu ngomong sama loe.” cegah Gabriel
sebelum ia berlalu keluar kantin pusat.
Bangkit dari
kursi, berjalan selangkah di depannya. Ia hanya mengangkat sebelah alis sembari
menyeret langkah mengikuti. Mereka mengambil tempat tak jauh dari area kantin,
namun sepi.
“Berapa
lama?” tanya Gabriel langsung yang ia angguki paham.
“Loe gak ada
kepentingan buat tahu.” jawabnya santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku
celana.
Gabriel
tertawa sinis.
“Sejauh mana
loe nyeret dia?”
Awalnya Rio
mengernyit tak mengerti, namun ketika melihat senyuman penuh makna Gabriel yang
menunggu jawabannya, dia lebih dari sekedar tahu. Tanpa berniatan menuntaskan penasaran
Gabriel, ia balik badan. Saat itu juga ia mendengar kalimat terdengar brengsek yang
terlontar cukup keras hingga meraup beberapa perhatian mahasiswa di sekitar
mereka yang tengah hening. Tanpa sadar, dibalik saku celananya telah siap
bogeman mentah jika dia ingin mengeksekusinya.
***
Setengah jam
berlalu stok kesabaran Rio masih berkurang seperempat dari seluruh isi. Ia tetap
dalam posisinya yaitu duduk di bangku paling pojok belakang ruangan kedap suara
berukuran selapangan sepak bola. Bunyi not-not piano yang tengah digeluti
kekasihnya terdengar menenangkan. Terlebih dilengkapi dengan suara indah yang
terdengar mantab tanpa cela dalam mengalunkan lirik lagu. Ruangan sunyi, sepi,
tentram menaungi mereka yang hanya berdua setelah latihan paduan suara berakhir
45 menit lalu.
It's obvious you're meant for me
Every piece of you, it just fits perfectly
Every second, every thought, I'm in so deep
But I'll never show it on my face
But we know this.
We got a love that is homeless
Why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't we be like that?
Every piece of you, it just fits perfectly
Every second, every thought, I'm in so deep
But I'll never show it on my face
But we know this.
We got a love that is homeless
Why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't we be like that?
“Cause I’m yours......”
Rio membuka
mata pada bagian lirik itu. Beranjak dari tempatnya. Menghampiri tempat
kekasihnya dengan langkah tenang. Lengkungan bibirnya makin tercetak sempurna
saat jarak makin terkikis oleh tiap langkah. Ia mengumpat ketika pembicaraannya
dengan Gabriel tiba-tiba terputar dengan jelas seakan memenuhi tembok di balik
badan Ify. Membuat langkahnya tersendat beberapa meter dari sasarannya.
Why cann’t you hold me in the street
Why cann’t I kiss you on the dance floor
I wish that it could be like that
Why cann’t we be like that
Cause I’m yours
Seiring
dengan umpatannya berharap bayangan percakapan tadi enyah, Rio menuntaskan
langkah. Di peluknya tubuh mungil itu ketika telah berada tepat di belakang.
Ify yang tak ada firasat apapun terkait peristiwa ini nyaris tumbang kalau
tubuh Rio di belakang punggungnya tak menahan. Kedua tangannya terkulai di atas
not-not piano. Begitu pula kakinya yang turut berkontribusi dalam penciptaan
nada selama ia bernyanyi.
Ify tak mampu
menggerakkan tubuhnya. Dekapan yang ia terima sanggup melumpuhkan saraf-saraf untuk
sementara selagi ia berusaha keras menormalkan deru nafas. Sulit. Terlebih Rio
yang menenggelamkan wajah di pundaknya dan bernafas tak kalah memburu.
Menimbulkan gelenyar aneh yang kalau tak segera ia tanggapi cepat akan menjalar
kemana-mana. Oleh karena itu dengan sisa tenaga, ia meraih kedua tangan Rio
yang nyaman melingkar di perut dan memutari bahu. Bangkit berdiri. Balik badan
menatap Rio yang memandang sayu.
Ify
menggeleng dengan pandangan menegur. Lantas melirik ganas ke seluruh penjuru
gedung. Ia mengernyit saat menangkap punggung lebar pria yang berjalan menjauhi
area gedung. Tampak familiar.
“Siapa?”
Eh? Ify
mengangkat bahu. Lalu kembali menatap Rio yang ternyata turut mengikuti arah pandangnya.
“Sejak kapan?”
tanya Ify yang tak tahu kapan Rio datang.
Gak ada
suara tapak kaki, tiba-tiba ada yang meluk.
“Berangkat
sekarang?”
Ify
mendengus. Memutar bola mata kesal.
“Please, Kak. Kakak jawab atau kita gak
jadi malam jumatan.” ancamnya.
Rio tertawa
kecil. Namun tak menjawab. Ia malah berlalu dari hadapan Ify, meraih tas punggung
Ify yang tergeletak di bawah lantai panggung. Lalu mengulurkan tangan ke hadapan
Ify.
“Lify?”
Ify
menghembuskan nafas kasar. Di sambutnya telapak kokoh Rio dengan
sungutan-sungutan dalam hati. Selalu saja. Tak pernah mau menjawab.
“Mau belajar
drum?” tawar Rio mencari cara agar Ify tak bungkam sepanjang jalan nantinya,
sambil membenahi safety belt yang dipasang
sekenanya oleh Ify.
Tawaran
menggiurkan. Mau tak mau Ify lupa dengan aksi diamnya. Akhirnya ia menoleh
mendapati senyum meneduhkan Rio yang menanti jawabannya. Ia mengangguk kuat
seraya memamerkan cengirannya.
“Belajarnya
di mana, Kak?” tanya Ify antusias mengawali percakapan meninggalkan area kampus.
“Di tempatku.
Kebetulan aku membuka bidang usaha baru.”
Mata Ify
berbinar ketika berkata, “Kakak buka usaha rental musik?” tubuhnya miring ke
arah Rio.
“Sejak kapan?
Tempatnya di mana?”
“Hari ini.
Nanti malam peresmian. Tetanggaan dengan cafe. Maka dari itu semalaman kita di
sana ya? Nanti kamu tidur di ruanganku.”
Ify tak
menghiraukan kalimat terakhirnya. Ia terlalu excited. Rio buka rental musik? We o we deh. Ia bisa tiap hari
refreshing. Oh ya?
“Ada
undangan berarti?”
“Ya iyalah.”
Ify diam.
Tentu ada Sivia juga. Kejadian siang tadi masih membekas. Penolakan yang
dilontarkan Sivia, masih terasa menusuk hingga sekarang. Rio yang menyadari perubahan
mood Ify, meraih sepasang tangan mungil Ify dan menenggelamkan dalam jemarinya.
Meremas lembut. Meyakinkan bahwa nantinya akan baik-baik saja. Dan anggukan
samar Ify menandakan bahwa gadis itu memperoleh keyakinan yang sama.
***
“Kamu sudah
menguasai piano. Gak susah untuk belajar drum.”
Pengantar
awal ketika mereka memasuki ruangan kedap suara yang menyediakan alat band
lengkap. Ify mengangguk optimis. Benar juga. Dengan semangat membara, ia
menghampiri Rio yang sudah berada di balik seperangkat alat drum. Menyuruhnya
untuk segera duduk.
“Kakak dulu
contohin.”
“Oke.”
Dan suara
gedebuk-gedebuk yang berirama pun terdengar. Ify mengamati dengan jeli setiap
gerakan yang dilakukan Rio, juga mendengar penuh seksama kalimat-kalimat penjelas
yang dilontarkan. Melihat seperti gampang untuk menaklukkan. Semangatnya makin
terisi. Dengan riang gembira ia bertukar posisi.
DUK...
Kok?
“Kak
Riooo...” rengeknya.
Rio tertawa.
Ia pindah di belakang tubuh Ify. Meletakkan genggamannya masing-masing di
tangan Ify yang menangkup stik drum erat-erat. Menggerakkan sesuai yang ia
contohkan tadi.
“Ketukannya
diperhatikan.”
Ify
mengangguk-angguk. Masih dalam kendali Rio, ia memainkan drum yang sejak SMA
ingin dipelajarinya. Tapi apa daya baru keturutan.
“Ify coba
sendiri Kak.” pintanya.
Rio melepas pegangannya,
tanpa mundur memberi jarak. Menyaksikan kelihaian koordinasi tangan dan kaki
Ify dalam menciptakan nada melalui drum. Ia sudah menduga, tak membutuhkan
waktu lama untuk membuat Ify beradaptasi dengan alat musik ini. Kecintaannya pada
seni, terlebih musik serta kemampuan basic
yang dia punya, membuat Ify mudah memakan semua alat musik dalam ruangan
ini sebenarnya. Namun untuk gitar, Ify lebih memilih melihat dia memainkannya.
Belum tergugah untuk belajar gitar.
Ia
mencondongkan badan. Menempelkan dada pada punggung Ify. Wajahnya setara. Ia
memiringkan muka. Mengamati begitu dekat mimik wajah Ify yang sedang serius campur
senang dengan alat musik yang baru digelutinya. Bibir ranum itu mengerucut ketika
terdengar nada yang miss. Saat itulah
Rio meminta upah tanpa persetujuan. Lantas keluar ruangan. Meninggalkan Ify
yang menyentuh bibir dengan tangan gemetar, sementara kedua stik drum terkapar
di bawah kaki.
***
Great to see that someone still understand how to create an awesome blog.
BalasHapusThe blog is genuinely impressive in all aspects.
Great, I like this blog.
dewa poker
kak lnjt lagi dong...
BalasHapusGreget bgt astagfirullah 😂 nulis di wattpad dong kak
BalasHapus