Minggu, 02 Oktober 2016

ALWAYS BE MY PARTNER (HOPE) #H


Ilustrasi: NA

PART SEBELUMNYA...
@
@
@
@
“Geli gue ngelihat loe malu-malu anjing begini, Py.” seloroh Irsyad mengacak-acak poni miringnya hingga terlepas dari jepitan rambut.
Ify mendelik, seketika hawa-hawa tak nyaman enyah. Kembali ia menoyor kepala kakak tingkatnya. Sementara Irsyad tertawa renyah melihat tampang sinis Ify. Suara gaduh di belakang Irsyad mengalihkan perhatian mereka. Ify menunduk setelah memperoleh lirikan tajam Rio sebelum meninggalkan tempat. Sedangkan Irsyad geleng-geleng kepala sambil berkata.
“Itu presma tahun kemarin.” gumam Irsyad dengan nada mengambang antara bentuk pertanyaan atau pernyataan sambil sepasang matanya terus mengikuti Rio dan gadis yang berajalan di belakangnya.
Ify menahan ekspresi ketika tatapan Irsyad yang beralih padanya, menyatakan bahwa laki-laki ini menyadari sesuatu setelah beberapa saat diam. Memandangnya seakan menguliti untuk memperoleh hipotesa yang tepat mengenai situasi beberapa menit lalu. Ia harus waspada. Irsyad ini peka parah.
“Jangan bilang, loe—”
“Hehe.”
Dan Ify merutuki pemuda di hadapannya habis-habisan. Menghindar dari cengkraman Irsyad adalah hal yang sia-sia dilakukan.
***
PART G...
@
@
@
Rio tiba kembali di pelataran parkir cafe di mana ia menikmati makan makan malamnya sejam lalu, ketika bola matanya menemukan sosok kekasihnya berjalan bersama laki-laki yang ia kenal sekilas. Ia hanya tahu pemuda itu teman satu organisasi Ify di UKM paduan suara yang sudah 2 tahun digeluti. Segera ia turun dari mobil. Melangkah panjang. Cengkramannya berhasil meraih pergelangan kanan Ify sebelum gadis itu menaiki mobil jeep hitam temannya.
“Ka—kak...” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ify.
Rio memandang lurus menembus sepasang manik mata Ify. Menahannya beberapa saat sebelum mengedikkan dagunya ke arah jazz putihnya.
Ify membasahin bibir bawahnya. Ia menoleh pada Irsyad yang memandang mereka dengan alis terangkat.
Sorry, Bang.” cicitnya yang masih terdengar Irsyad.
Laki-laki itu mengangguk. Tersenyum tipis memandangnya yang lalu memandang Rio yang masih bertahan dengan tatapan mengintimidasi mengarah padanya. Ia berlalu dengan langkah terbirit-birit menyesuaikan langkah panjang Rio. Mendengar kata sorry membuat amarah Rio kembali muncul. Goblok. Kenapa laki-laki itu yang harus memperolehnya? Ify ini minta dikasih trining.
“Sivia gak kakak antar pulang?” tanya Ify saat mobil keluar dari area cafe, menoleh pada Rio yang menatap jalanan.
“Aku gak ada niatan ganti kelamin, Fy.” jawab Rio kalem tanpa menoleh.
Ify mengerjap. Shock dengan jawaban Rio yang tak sesuai dengan pertanyaannya. Namun beberapa detik berlalu ia sadar, dan menggumam kata maaf. Menunduk memainkan jemarinya.
Rio menghela nafas. Ia tak bermaksud menjawab pertanyaan Ify dengan kalimat sarkasme seperti itu. Tangan kirinya beralih dari stir, menumpu pada kedua tangan Ify. Meremasnya pelan membuat Ify terkesiap.
“Kakak nyetir aja.” ucap Ify berusaha melepas.
“Hm.”
“Ih... Kak Rio.” geregetnya. Pasalnya Rio ham hem gitu tapi tak dilepas.
“Aku menyayangi kamu, Fy.”
Mendadak Ify berhenti menggerutu. Gelenyar aneh merangkak dengan cepat ke seluruh tubuhnya. Semenjak mereka jadian, ini pertama kali Rio menyatakan perasaannya secara gamblang seperti ini. Ify mendongak. Ia baru sadar Rio menghentikan laju mobilnya di tepi jalan yang cukup lengang. Ia menoleh mendapati Rio memandangnya dengan senyum tipis namun manis yang ia sukai. Ia meloloskan sebelah tangannya untuk membalas remasan tangan Rio. Tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang rapi.
“Lify Putri Ardiansyah juga menyayangi Kakak. Terima kasih sudah menyayangi anak gadis Bapak Ardiansyah yang sering buat Kakak uring-uringan ini.” ucapnya dengan nada riang gembira, menyebabkan kedua pipinya tak terhindar dari kecupan manis Rio.
Ify kembali terkesiap dengan wajah memanas, sementara Rio kembali ke posisinya bersandar di kursi kemudi. Terkekeh pelan melihat muka Ify. Di acak-acaknya poni Ify yang tadi ia lihat sempat disentuh pria lain. Berharap sentuhannya dapat menyingkirkan bekas tangan pria tadi.
Sambil memandang lembut Ify ia bertanya, “Besok pulang ngampus kita makan bareng dan diskusi di apartemen?”
Ringisan Ify yang langsung menjawab yang ia ketahui maknanya.
“Malam jumat deh, ya? Aku minggu ini gak pulang kok, Kak.” ucap Ify memasang muka melas yang ia balas dengan memutar bola mata.
“Oke. Sekalian sunnah rasul.” putusnya yang direspon delikan sama Ify.
“Ngaji bareng maksudnya, Sayang. Jorok mulu itu isi kepala.” ralatnya.
Ify menahan bibirnya untuk tak melengkung membentuk senyuman menggelikan mendengar panggilan sayang dari Rio.
“Oke—”
“BTW itu bukan jorok Kak, tapi sedia payung sebelum gerimis apalagi hujan.” tambahnya diakhiri dengan cengiran.
“Yayaya terserah kamu, Fy.” balas Rio mengalah sambil kembali melajukan mobilnya.
“Bawa baju ganti. Kamu sekalian nginap.” tambahnya yang disambut dengusan dari Ify.
“Ngoleksi dosa gak gitu juga sih, Kak.” ucap Ify sarat akan penolakan atas usulan Rio.
“Di sana ada 2 kamar. Aku ingatin kalau kamu lupa.”
Lagi-lagi Ify mendengus. Tetap saja itu di luar norma. Walaupun tidak satu kamar, kan tetap satu atap. Kasarannya, kumpul kebo tipis-tipis.
“Kalau setan berkuasa, mau ada 10 kamar juga tetap endingnya kita nanti satu kamar. Mencegah lebih baik dari pada kejadian, Kak.” ucapnya masih tak mau menerima usulan Rio.
“Ya setannya kamu Fy. Tuh pikiranmu kemana-mana.” balas Rio.
Ify mendelik, “Bangsat deh.”
“Lagian kamu, Fy. Aku jamin kamar 2 akan kepake dua-duanya.”
Ify mencak-mencak di tempat duduknya. Rio ini masih ngotot aja. Masak tak bisa mengartikan maksud kalimat-kalimatnya.
“Jaminan Kakak apa?” tanyanya dengan nada menantang.
“Nikah.” jawab Rio memasang senyum tengil yang ingin sekali digampar sama Ify.
“KAKAK! AKU SERIUS.”
“Aku juga serius Ify.”
“Pokoknya aku gak mau.”
“Ya udah kalau gak mau.”
Aih... Ify menoleh pada Rio. Pemuda itu tertawa kecil dengan lirikan kilat penuh ledekan padanya.
“Tinggal bilang langsung gak mau apa susahnya. Apa-apa nunggu debat dulu. Hidup kamu ribet juga ternyata.” ucap Rio menggerakkan stirnya ke kiri saat mulai memasuki gang kos Ify.
Bibir Ify mengerucut, “Kalau gitu kayaknya malam jumat aku juga gak bisa.”
“Jangan macam-macam kamu, Fy.” ancam Rio.
“Siapa yang macam-macam duluan?” balas Ify tak gentar, kelewat kesal.
Rio mengakhiri pembicaraan dengan tawa renyah seraya menghentikan mesin mobilnya tepat di depan kos Ify. Tubuhnya condong ke arah Ify. Melepaskan safety belt yang dikenakan Ify.
“Aku minta maaf atas candaanku.” bisiknya di samping wajah Ify, lalu mengecup pelipisnya.
Ify melirik sinis, “Gini mau satu atap semalam?”
Rio tersenyum tipis, “Iya-iya maaf atuh Neng geulis. Kita jadi kek orang pacaran biasanya.”
Ify memutar bola mata, “Maunya kok sama yang mainstreem-mainstreem.”
“Kamu tuh ya, bisa banget ngehancurin kesenangan orang. Sana masuk.”
Sekarang giliran Ify memasang senyum tengil, “Skor sama.”
Umpatan Rio sampai ke telinganya. Ia tertawa renyah. Membuka pintu mobil dengan riang gembira. Kaca mobil diturunkan oleh Rio ketika ia kembali menutup mobil.
“Aku balik. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
***
Ify menghembuskan nafas kuat-kuat mencoba menekan kecemasannya. Ia sudah berada di depan kontrakan Sivia. Dia tak akan lagi mengizinkan dirinya menyerah karena keberaniannya yang tiba-tiba luntur dan mendorongnya untuk segera berbalik meninggalkan tempat. Ia harus menyelesaikannya sekarang. Ia harus memperoleh maaf sekarang. Setidaknya maaf dulu. Masalah nanti Sivia menolak untuk bersahabat dengannya lagi, ia tak mengapa. Sudah menjadi konsekuensi atas kesalahannya.
"Ngapain loe di sini?"
Ify mengerjap. Baru juga akan mengetuk pintu, sudah disembur duluan.
"Minggir." gertak Sivia sambil menenteng sepatu ketsnya.
Tadi Sivia berniat memasang sepatu di kursi yang ada di latar kontrakan. Berhubung ada tamu tak diharapkan, alhasil ia tenteng sepatunya menuju mobil yang berjarak 10m dari posisinya.
"Sivia, please. Izinin gue ngomong sama loe."cegah Ify menahan lengan bawahnya.
Ia berdecak. Memasang ekspresi datar ketika berkata, "Biar gue kesannya gak php, mulai sekarang gue putusin tolong jaga jarak sama gue. Gue terima maaf loe. Gue terima kenyataan kalau loe sama dia. Gue terima semua kelakuan muna loe di depan gue. Gue terima, dan gue mohon loe juga terima keputusan gue."
Ify menahan nafas sejak Sivia menoleh dan tampak dari mimiknya melontarkan kalimat yang menyesakkan.
"Via..."lirih Ify hanya bisa memandang kepergian Sivia dengan teman sekelas yang ia tahu sekilas.
Ify tak pernah menyangka kedepannya akan seperti ini. Ia berusaha keras mempertahankan emosi positifnya jika bertemu dan berbincang dengan Sivia. Namun hasil yang ia peroleh sama saja. Ketidaksudian untuk kembali menatapnya sebagai seorang teman. Ia bingung. Sisi lain dirinya tak bisa menerima sikap Sivia. Ia yang tak bisa merasakan apa yang Sivia rasakan sekarang, ataukah memang pandangannya mengenai cinta serta bagaimana cinta menjatuhkan atau membangunkan kita, yang memang membuatnya tidak setuju dengan sikap Sivia. Dia bahkan 2 kali mengalami cinta sepihak, dan kedua kalinya itu dia harus tetap bertemu dengan pihak yang bersangkutan. Mungkin nasib cinta sepihak yang menimpanya lebih dulu membuatnya memandang permasalahan ini seharusnya tak perlu sampai harus terjadi seperti ini.
Hari berlalu, bulan berlalu, tahun pun berlalu, lambankan segala rasa yang.ada pada orang yang sama.
Ify meraih smartphonenya yang bernyanyi. Meneguk ludah menyadari kesalahannya pada orang di seberang sana yang sekarang menghubunginya.
"Sorry, gue ada urusan. Setengah jam lagi gue nyampek."
"_______"
"Iye udah gue rumusin semua. Tinggal bahas doang ntar. Udah yee gue mau naik angkot nih. Keburu ngambek Abangnya nungguin."
Tanpa menunggu sahutan, segera ia putuskan sambungan. Ketupel ospek jurusan tahun ini cerewetnya ngalahi emak-emak protes harga minyak lebih 1000 dari toko sebelah. Ia bergegas dari latar kontrakan Sivia. Berlari kecil ketika dari arah gang tampak angkot melintas pelan. Dan ia meninggalkan tempat Sivia dengan perasaan bersalah yang tak berkurang kapasitas.
***
Manik mata Ify di balik kacamata minus 1,5-nya menangkap sosok yang ia ingin temui sejak pagi tadi. Ia melambai tangan ketika pria itu bertemu mata dengannya. Menyuruhnya segera merapat. Cengkraman di pergelangan kiri membuatnya menoleh. Matanya membelalak kaget. Gabriel. Seorang Gabriel yang notabenenya nomor 1 pria yang digandrungi para gadis di lingkup fakultas yang namanya nyaris menyejajari nama kekasihnya, sekarang tengah mencengkram lengannya. Tolong katakan segera bahwa ini bukan mimpi. Ify megap-megap bingung harus berbuat apa dan bisa-bisa mati konyol kalau suara Rio tak mengintrupsi.
“Balik ke tujuanmu.”
Ify mengerjap, lantas mengangguk dan berjalan cepat meninggalkan Gabriel yang tampak menunjukkan senyum miringnya yang membuat Ify nyaris balik badan. Sementara Rio menahan geram dalam kepalan tangannya. Bisa-bisanya ia memiliki kekasih bertingkah seperti itu ketika berjumpa dengan idolanya, bahkan saat ada dia sekalipun.
Gue perlu ngomong sama loe.” cegah Gabriel sebelum ia berlalu keluar kantin pusat.
Bangkit dari kursi, berjalan selangkah di depannya. Ia hanya mengangkat sebelah alis sembari menyeret langkah mengikuti. Mereka mengambil tempat tak jauh dari area kantin, namun sepi.
“Berapa lama?” tanya Gabriel langsung yang ia angguki paham.
“Loe gak ada kepentingan buat tahu.” jawabnya santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.
Gabriel tertawa sinis.
“Sejauh mana loe nyeret dia?”
Awalnya Rio mengernyit tak mengerti, namun ketika melihat senyuman penuh makna Gabriel yang menunggu jawabannya, dia lebih dari sekedar tahu. Tanpa berniatan menuntaskan penasaran Gabriel, ia balik badan. Saat itu juga ia mendengar kalimat terdengar brengsek yang terlontar cukup keras hingga meraup beberapa perhatian mahasiswa di sekitar mereka yang tengah hening. Tanpa sadar, dibalik saku celananya telah siap bogeman mentah jika dia ingin mengeksekusinya.
***
Setengah jam berlalu stok kesabaran Rio masih berkurang seperempat dari seluruh isi. Ia tetap dalam posisinya yaitu duduk di bangku paling pojok belakang ruangan kedap suara berukuran selapangan sepak bola. Bunyi not-not piano yang tengah digeluti kekasihnya terdengar menenangkan. Terlebih dilengkapi dengan suara indah yang terdengar mantab tanpa cela dalam mengalunkan lirik lagu. Ruangan sunyi, sepi, tentram menaungi mereka yang hanya berdua setelah latihan paduan suara berakhir 45 menit lalu.
It's obvious you're meant for me
Every piece of you, it just fits perfectly
Every second, every thought, I'm in so deep
But I'll never show it on my face

But we know this.
We got a love that is homeless

Why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't we be like that?

 “Cause I’m yours......”
Rio membuka mata pada bagian lirik itu. Beranjak dari tempatnya. Menghampiri tempat kekasihnya dengan langkah tenang. Lengkungan bibirnya makin tercetak sempurna saat jarak makin terkikis oleh tiap langkah. Ia mengumpat ketika pembicaraannya dengan Gabriel tiba-tiba terputar dengan jelas seakan memenuhi tembok di balik badan Ify. Membuat langkahnya tersendat beberapa meter dari sasarannya.
Why cann’t you hold me in the street
Why cann’t I kiss you on the dance floor
I wish that it could be like that
Why cann’t we be like that
Cause I’m yours
Seiring dengan umpatannya berharap bayangan percakapan tadi enyah, Rio menuntaskan langkah. Di peluknya tubuh mungil itu ketika telah berada tepat di belakang. Ify yang tak ada firasat apapun terkait peristiwa ini nyaris tumbang kalau tubuh Rio di belakang punggungnya tak menahan. Kedua tangannya terkulai di atas not-not piano. Begitu pula kakinya yang turut berkontribusi dalam penciptaan nada selama ia bernyanyi.
Ify tak mampu menggerakkan tubuhnya. Dekapan yang ia terima sanggup melumpuhkan saraf-saraf untuk sementara selagi ia berusaha keras menormalkan deru nafas. Sulit. Terlebih Rio yang menenggelamkan wajah di pundaknya dan bernafas tak kalah memburu. Menimbulkan gelenyar aneh yang kalau tak segera ia tanggapi cepat akan menjalar kemana-mana. Oleh karena itu dengan sisa tenaga, ia meraih kedua tangan Rio yang nyaman melingkar di perut dan memutari bahu. Bangkit berdiri. Balik badan menatap Rio yang memandang sayu.
Ify menggeleng dengan pandangan menegur. Lantas melirik ganas ke seluruh penjuru gedung. Ia mengernyit saat menangkap punggung lebar pria yang berjalan menjauhi area gedung. Tampak familiar.
“Siapa?”
Eh? Ify mengangkat bahu. Lalu kembali menatap Rio yang ternyata turut mengikuti arah pandangnya.
“Sejak kapan?” tanya Ify yang tak tahu kapan Rio datang.
Gak ada suara tapak kaki, tiba-tiba ada yang meluk.
“Berangkat sekarang?”
Ify mendengus. Memutar bola mata kesal.
Please, Kak. Kakak jawab atau kita gak jadi malam jumatan.” ancamnya.
Rio tertawa kecil. Namun tak menjawab. Ia malah berlalu dari hadapan Ify, meraih tas punggung Ify yang tergeletak di bawah lantai panggung. Lalu mengulurkan tangan ke hadapan Ify.
“Lify?”
Ify menghembuskan nafas kasar. Di sambutnya telapak kokoh Rio dengan sungutan-sungutan dalam hati. Selalu saja. Tak pernah mau menjawab.
“Mau belajar drum?” tawar Rio mencari cara agar Ify tak bungkam sepanjang jalan nantinya, sambil membenahi safety belt yang dipasang sekenanya oleh Ify.
Tawaran menggiurkan. Mau tak mau Ify lupa dengan aksi diamnya. Akhirnya ia menoleh mendapati senyum meneduhkan Rio yang menanti jawabannya. Ia mengangguk kuat seraya memamerkan cengirannya.
“Belajarnya di mana, Kak?” tanya Ify antusias mengawali percakapan meninggalkan area kampus.
“Di tempatku. Kebetulan aku membuka bidang usaha baru.”
Mata Ify berbinar ketika berkata, “Kakak buka usaha rental musik?” tubuhnya miring ke arah Rio.
“Sejak kapan? Tempatnya di mana?”
“Hari ini. Nanti malam peresmian. Tetanggaan dengan cafe. Maka dari itu semalaman kita di sana ya? Nanti kamu tidur di ruanganku.”
Ify tak menghiraukan kalimat terakhirnya. Ia terlalu excited. Rio buka rental musik? We o we deh. Ia bisa tiap hari refreshing. Oh ya?
“Ada undangan berarti?”
“Ya iyalah.”
Ify diam. Tentu ada Sivia juga. Kejadian siang tadi masih membekas. Penolakan yang dilontarkan Sivia, masih terasa menusuk hingga sekarang. Rio yang menyadari perubahan mood Ify, meraih sepasang tangan mungil Ify dan menenggelamkan dalam jemarinya. Meremas lembut. Meyakinkan bahwa nantinya akan baik-baik saja. Dan anggukan samar Ify menandakan bahwa gadis itu memperoleh keyakinan yang sama.
***
“Kamu sudah menguasai piano. Gak susah untuk belajar drum.”
Pengantar awal ketika mereka memasuki ruangan kedap suara yang menyediakan alat band lengkap. Ify mengangguk optimis. Benar juga. Dengan semangat membara, ia menghampiri Rio yang sudah berada di balik seperangkat alat drum. Menyuruhnya untuk segera duduk.
“Kakak dulu contohin.”
“Oke.”
Dan suara gedebuk-gedebuk yang berirama pun terdengar. Ify mengamati dengan jeli setiap gerakan yang dilakukan Rio, juga mendengar penuh seksama kalimat-kalimat penjelas yang dilontarkan. Melihat seperti gampang untuk menaklukkan. Semangatnya makin terisi. Dengan riang gembira ia bertukar posisi.
DUK...
Kok?
“Kak Riooo...” rengeknya.
Rio tertawa. Ia pindah di belakang tubuh Ify. Meletakkan genggamannya masing-masing di tangan Ify yang menangkup stik drum erat-erat. Menggerakkan sesuai yang ia contohkan tadi.
“Ketukannya diperhatikan.”
Ify mengangguk-angguk. Masih dalam kendali Rio, ia memainkan drum yang sejak SMA ingin dipelajarinya. Tapi apa daya baru keturutan.
“Ify coba sendiri Kak.” pintanya.
Rio melepas pegangannya, tanpa mundur memberi jarak. Menyaksikan kelihaian koordinasi tangan dan kaki Ify dalam menciptakan nada melalui drum. Ia sudah menduga, tak membutuhkan waktu lama untuk membuat Ify beradaptasi dengan alat musik ini. Kecintaannya pada seni, terlebih musik serta kemampuan basic yang dia punya, membuat Ify mudah memakan semua alat musik dalam ruangan ini sebenarnya. Namun untuk gitar, Ify lebih memilih melihat dia memainkannya. Belum tergugah untuk belajar gitar.
Ia mencondongkan badan. Menempelkan dada pada punggung Ify. Wajahnya setara. Ia memiringkan muka. Mengamati begitu dekat mimik wajah Ify yang sedang serius campur senang dengan alat musik yang baru digelutinya. Bibir ranum itu mengerucut ketika terdengar nada yang miss. Saat itulah Rio meminta upah tanpa persetujuan. Lantas keluar ruangan. Meninggalkan Ify yang menyentuh bibir dengan tangan gemetar, sementara kedua stik drum terkapar di bawah kaki.

***

3 komentar:

  1. Great to see that someone still understand how to create an awesome blog.
    The blog is genuinely impressive in all aspects.
    Great, I like this blog.
    dewa poker

    BalasHapus
  2. Greget bgt astagfirullah 😂 nulis di wattpad dong kak

    BalasHapus