Simfoni
Hitam-Sherina
Adakah aku?
~RAIN~
Malam sunyi kuimpikanmu.
Ku lukiskan cita bersama.
Namun selalu aku bertanya.
Adakah aku di mimpimu.
Tak henti aku tersenyum menyapa penghuni dunia.
Melangkah lebar menuju gedung tua yang mengantarku bertemu cinta. Cinta yang
membangkitkan hasrat untuk selalu ingin tahu tentangnya. Untuk selalu
memandangnya penuh memuja. Membayangkan kisah yang akan kami rajut bersama.
Memimpikan dia yang balas menatapku penuh cinta.
Mimpi semalam yang terasa begitu nyata membuatku
melupakan kenyataan yang terpampang jelas di depan mata. Melupakan bahwa hanya
aku yang mencinta. Melupakan bahwa kemungkinan kecil dia membalasku dengan
cinta yang sama.
“Hallo Kak. Selamat pagi.”
Dia tak menyahut. Berbalik badan meninggalkanku
yang berdiri di ambang pintu. Sudah biasa. Hey, apa kau bilang? Biasa? Hanya
sekedar merespon salam umum yang kau ucapkan saja dia enggan. Apalagi merespon
perasaanmu? Kau masih mau lanjut dengan sakit tanpa kesembuhan atau berhenti
menemukan kebahagiaan? Aku mengangkat bahu menjawab teriakan batinku. Melangkah
memasuki gedung dan bergabung dengan yang lain.
Di hatiku terukir namamu, cinta
rindu beradu satu.
Namun s’lalu aku bertanya,
adakah aku di hatimu.
Aku mendesah lelah merasakan cinta yang
bergemuruh mengelu-elukan namanya seusai berada dalam satu waktu dan tempat yang
sama dengannya. Juga merasa senang dengan emosi lain yang ditimbulkan oleh
perasaan cinta. Merasakan emosi positif yang lebih dulu dialami teman
seperjuanganku yang tiap malam mencurahkan kisah cinta bersama anak adam yang
memilihnya. Walaupun kutahu pasti beda sensasinya mencintai dan dicintai dengan
mencintai tanpa dicintai kembali.
“Kau tak bosan melakukannya?”
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.
Menutup buku harianku yang berisi tentang dia yang kucinta. Menuliskan namanya
diakhir kalimat pendek yang mendeskripsikan pertemuanku kali ini dengannya.
“Tidak. Seperti kau yang tak pernah bosan
bercerita tentang kekasihmu yang selalu kau rindukan padahal setiap hari
bertemu itu.”
Dia mendengus ketara mendengar balasanku. Aku
terkikik.
“Kau tahu kan, dia orang pertama yang membuatku
merasakan apa itu cinta selain cinta pada keluargaku dan sanak saudara. Dia
yang membangkitkan perasaan lebihku terhadap lawan jenis setelah 19 tahun lamanya
tak tersentuh. Bagaimana bisa aku akan bosan untuk mengukir namanya di buku
kesayanganku.” tambahku beranjak dari ranjang menggenggam erat
lembaran-lembaran berisi pengalaman berkesan dalam hidupku.
Bila saja kau di sisiku, kan kuberi kau
segalanya.
Namun tak henti aku bertanya, adakah aku
dirindumu.
Jantungku berpacu cepat melihatnya terkapar tak
berdaya di atas ranjang rumah sakit. Aku melesat segera saat mendengar kabar
dia mengalami kecelakaan tunggal yang langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat
kampus. Lukanya tak begitu parah, namun juga tak bisa dikatakan baik-baik saja.
Di sampingnya, berdiri seorang gadis membantunya membasahi tenggorokan dengan
segelas air melalui sedotan. Aku berjalan di belakang punggung ketua UKM kami.
Meringis saat pandangannya yang lembut menatap gadisnya berubah datar ketika
menangkap sosokku.
“Kenapa bisa gini?”
“Ngantuk. Gak merhatiin ada becak lewat.
Banting setir ya endingnya kau bisa menebak sendiri.”
Aku hanya bisa menahan nafas mendengar
percakapan mereka sekaligus melihat gadis di sampingnya yang mengusap kepalanya
yang diperban itu berulang. Selain memanjatkan doa, aku bisa apa melihatmu
begini, Kak? Coba saja kau izinkan aku di sisimu. Aku akan berusaha
mengumpulkan cara untuk membuatmu terbebas dari rasa sakit akan luka itu. Tapi,
kau saja tak sudi untukku lihat. Apalagi mengizinkan aku menyentuhmu?
Menyembuhkan luka yang bersarang di tubuhmu.
Lidahku kelu. Ku rasakan nafaku mulai memburu.
Berlomba dengan kedua kelopak mataku yang siap mempersembahkan hasil
produksinya. Ku alihkan pandangan. Aku semakin tak mampu berbuat apapun melihat
kekasihmu yang begitu membuatmu nyaman dengan caranya mereduksi kesakitanmu.
Tak bisa kah kau sedikit saja dengar aku
Dengar simfoniku, simfoni hanya untukmu
Salahku dari awal yang begitu berani menaruh
hati padanya yang sudah menemukan pelukan ternyaman. Aku menghentakkan kaki
berulang kali berharap rasa sakit yang menghimpit ini lelah dan memilih
menyingkir. Mengusap kasar air mata yang sudah tak mampu ku tahan sejak keluar
dari kamar inapnya. Aku paham sikap ramahnya berubah 180 derajat setelah aku
dengan keberanian yang kukumpulkan selama seminggu mengungkapkan cinta padanya.
Menutup mata bahwa dia sudah ada yang punya. Menutup telinga akan kisah cinta
mereka yang terjalin sejak SMA. Aku paham kenapa dia berubah kejam seperti itu.
Jika dia berbuat sebaliknya dengan hati yang tak pernah bisa kuraih, itu lebih
menyakitkanku. Lebih baik secara gamblang dia tak bisa merespon baik
perasaanku. Aku tahu itu. Aku sangat tahu.
“Saranku, kamu berhenti. Tak seharusnya kam---”
“Ya aku tahu, Kak. Aku menangisi sikapku. Bukan
sikapnya terhadapku.”
Dia mengangkat bahu. Mengusap bahuku sekilas
sebelum meninggalkanku yang kembali menangis di bangku taman kampus yang sepi
di malam senin penuh kelabu. Sakit, tapi aku tak kuasa membuang perasaan ini.
Hanya mengabaikannya saja terasa begitu sulit. Setahun berlalu memaksa untuk
tak mengacuhkan malah membuat perasaan ini semakin utuh. Aku menyayanginya
tanpa pamrih, Tuhan. Kenapa yang kuterima hanya kebahagiaan yang menyimpan
perih?
T’lah kunyanyikan alunan-alunan senduku.
T’lah kubisikkan cerita-cerita gelapku.
T’lah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku.
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu.
Untukmu yang ku cinta sepenuh hati...
Maafkan aku yang mengganggumu karena
perasaanku, Kak. Maafkan aku yang dengan tanpa pikir panjang membiarkanmu tahu
perasaanku. Aku tak kuasa hanya berbagi rasa ini berdua dengan Tuhan. Aku lelah
harus menahan gejolak rasa yang selalu mengelu-elukan namamu dengan sempurna. Oleh
karena itu, sebaiknya aku pergi. Enyah sesuai keputusan hati. Enyah karena
kemampuan menahan perasaan ini semakin sulit untuk kukuasai. Enyah dari Kakak
kemungkinan kecil bisa kuraih. Selamat tinggal, Kak. Jagalah diri Kakak
baik-baik.
With love
Aku
yang mencintaimu sepenuh hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar