Jumat, 14 Oktober 2016

HAVING BABIES? WHY NOT?! #CERITA LEPAS (2/3)



PART SEBELUMNYA...
@
@
@
 Sontak mereka tertawa mendengar kalimat pasrah Rama. Tak tega melihat wajah masam Rama, satu kecupan hangat Masya persembahkan di pipi kanan kakaknya. Lalu memeluk tubuh jangkung melebihi tinggi ayahnya. Ify makin mengeratkan pelukannya di pinggang Rio menyaksikan anugerah terindah yang dititipkan tuhan padanya itu seperti harapannya dalam mengasuh mereka. Sejak kecil mereka jarang bertengkar. Masya yang manja dan permintaannya harus diindahkan diimbangi dengan Rasya yang memang dari dulu malas berbelit-belit menanggapi Masya. Akhirnya setiap Masya meminta mainan Rasya, laki-laki itu langsung memberikannya dan mencari mainan lain. Kalau Rama, mungkin karena pemuda itu tak punya adik, akhirnya Masya-Rasya menjadi satu-satunya yang ia limpahi kasih sayang sebagai seorang kakak. Terlebih pada Masya yang sering membuatnya gemas. Kondisi tersebut jika mereka dalam keadaan sadar dan segar. Pertengkaran sering kali terjadi saat mereka dalam keadaan setengah mengantuk atau lelah. Ify tersenyum bahagia. Dia berharap adik-adik mereka juga sama, akan saling menyayangi seperti ini. Namun mendengar teriakan Yofi, untuk saat ini, harapannya masih ngambang.
“BUNDAAA, AYAHHH, ADIK TENGKAR TARIK-TARIK RAMBUT. MAS GAK BISA LEPAS.”
Langsung saja, mereka meninggalkan halaman. Rama dan Rasya lebih dulu tiba di antara kedua adiknya yang tergeletak di lantai dan saling serang dengan kuat. Memisahkan keduanya dan menggendongnya. Ify meringis ngeri. Sementara Rio hanya tertawa ringan.
“Mereka akan jadi anak-anak hebat.”
###
PART 2/3
Suara takbir terdengar bersamaan dengan tangisan histeris dari kamar sebelah. Ify yang memang akan beranjak dari ranjang, menyingkirkan lengan kokoh Rio di perutnya dengan kasar. Berlari-lari kecil meninggalkan kamar, dan memasuki kamar Rafa dan Marsha. Sudah ada Rama di sana. Menggendong Marsha yang menjerit-jerit dengan sebelah tangan mengusap-usap dahi Marsha menggunakan rambut pendeknya. Melihat posisi Rafa yang terkapar di tengah ranjang membuat dugaannya menguat. Jatuh dari ranjang sepertinya. Ify berdecak kesal pada Rio yang baru saja muncul dan mengambil alih Marsha dari pelukan Rama.
“Pokoknya ini jadi pertama dan terakhir Marsha gak tidur bareng kita. Gak ada lain waktu.” ucap Ify menatap Rio yang hanya bisa pasrah menunggu anak perempuannya berusia 4-5 tahun untuk bisa tidur berdua saja.
Rama memilih pamit. Tak ingin tertawa di depan kedua orang tuanya, terlebih melihat betapa melas Ayahnya. Dia akan tertawa sembari membangunkan adik-adiknya yang lain. Namun tepat di depan pintu, ia baru ingat melupakan sesuatu. Ia balik badan bertujuan membangunkan Rafa dan memandikannya. Tawa gelinya keluar juga melihat Bunda dengan sekuat tenaga memukul bahu Ayahnya yang baru saja mengambil jatah morning kissnya di tempat yang kurang benar.
“Kamu tuh Kak.” Ayahnya mendelik kesal.
“Kakak lupa kalau Rafa masih di sini, Yah. Lagian Ayah kayak yang kepergok siapa.” ujarnya sambil berusaha mengangkat tubuh Rafa yang enggan dipisah dengan ranjang.
“Bundamu nih loh. Ayah ya biasa aja.” balas Rio yang kembali memperoleh pukulan ringan dari Ify.
“Kembar sama Mas Yofi udah bangun, Kak?” tanya Ify sebelum Rama kembali melanjutkan membalas kalimat Rio.
“Belum, Bun. Ini Kakak mau bangunin. Kakak ke atas dulu ya Yah, Bun.” jawab Rama sekaligus pamit berlalu meninggalkannya dan Rio yang masih anteng menggendong Marsha.
Marsha masih terisak-isak manja dalam pelukan Ayahnya. Menyembunyikan muka di lekukan leher.
“Aku yang mandiin.” tutur Rio yang tak menunggu responnya.
Ify meninggalkan kamar dengan kebahagiaan yang tak ada habisnya. Hingga saat ini, Rio adalah laki-laki yang paling bertanggung jawab dalam hidupnya, setelah papa.
***
“Mas Yofi?” tegur Rio dengan suara rendah ketika melihat tanda-tanda Yofi dan Rafa akan menciptakan kegaduhan.
Yofi yang saat itu berusaha keras mempertahankan sesuatu yang diributkan bersama Rafa, langsung mengambil tempat di depan Masya. Sementara Rafa dibawa ke dalam dekapan Rasya. Mereka berbaris di depan ayah dan bundanya dengan formasi dari depan ke belakang yaitu Yofi, Masya, Rasya bersama Rafa dalam gendongan, Rama,. Sedangkan adik paling kecil mereka yang berusia 2 tahun duduk manis di pangkuan bunda.
Ify menahan geli melihat wajah Masya dengan air mata sudah merebak. Mengerti, ia memindahkan Marsha ke pangkuan Rio. Merentangkan lengan yang langsung disambut cepat oleh anak gadisnya. Tubuh yang lebih mungil darinya itu bergetar hebat. Mengungkapkan perasaan yang tak bisa diucapkan oleh kata-kata. Ia berbisik menenangkan seraya mengusap-usap punggung kecil Masya.
“Bunda juga minta maaf ya, Mbak.” ucapnya yang direspon gelengan kuat dari Masya di lekukan lehernya.
Masya mengangkat wajah. Masih menggeleng. Mulutnya terbuka ingin mengucapkan sesuatu namun terhalang oleh isakannya. Alhasil tak satu kata pun terlontar. Ify menangkup pipi Masya yang tak segembul waktu kecil dulu. Mendaratkan ciuman di kening selagi doa-doa terbaik terpanjat pada Sang Pencipta.
“Masya sayang Bunda.” lirih Masya kembali memeluk erat dirinya.
Pelukan itu dipastikan tak berhenti sampai sore nanti kalau saja Yofi tak memaksa nyempil di antara mereka.
“Gantian dong, Mbak.” gerutu Yofi karena masih separuh badan memisahkan kakak perempuannya dan Bunda.
Masya tak bereaksi apa-apa selain melepas lingkaran lengannya. Lantas bergeser dan sungkem ke ayahnya. Sepertinya habis tenaga.
Ritual sungkeman terus berlangsung dengan suasana haru yang tak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Masya yang selalu menangis didekapan bunda dan ayah. Yofi yang tak pernah absent memberi kecupan lengkap di wajah kedua orang tuanya. Rafa yang sekarang sudah bisa memohon maaf dengan kalimat yang disusunnya sendiri. Rasya dan Rama yang dengan kompaknya mengecup pipi bunda setelah sama-sama tenggelam dalam dekapan hangatnya.
“Bunda sehat terus ya, Bun. Abang belum bahagiain Bunda.”
“Nanti kalau Kakak sudah jadi orang hebat, Bunda harus jadi orang pertama yang Kakak peluk.”
Di titik inilah Ify lemah menahan tangis. Semalaman ia sudah menyiapkan diri agar saat ritual sungkeman tak terlalu terbawa suasana. Namun yang namanya hati seorang ibu. Mendapati anak-anaknya menyalami punggung telapak tangannya tiap kali mereka berangkat untuk menjadi anak yang membanggakan, sudah sukses membungkamnya sedemikian rupa.
Usapan di kedua pipinya makin membuatnya baper kalau anak zaman sekarang bilang. Alhasil, ritul sungkeman tahun ini tak ubahnya seperti tahun kemarin. Membuatnya makin mensyukuri atas segala nikmat dari Sang Pemberi Rezeki.
Sementara di samping Ify, Rio tengah tertawa renyah sambil mengacak-acak tatanan rambut Rafa. Pria kecilnya itu jatuh tersungkur gara-gara kedua siku yang menumpu kain sarung yang licin, merosot cepat sebelum Rafa sadar. Untung saja dagu Rafa jatuh di atas telapak kakinya.
“Anak laki-laki Ayah harus apa?” tanyanya ketika melihat tanda-tanda Rafa akan menangis.
“Kuat.” jawab Rafa berteriak lantang.
Mimik wajahnya berubah cepat dan dengan semangat menyambut uluran tos dari Rio yang setelahnya membawa tubuh sedikit gempal Rafa di pupu sebelah kanannya.
“Afa mau kayak Ayah.”, kalimat itulah mewakili sesuatu yang terungkap dari anak usia 4 tahun keturunan Haling-Umari.
Giliran selanjutnya adalah Yofi. Anak laki-laki paling gesit –kata ganti nakal bagi Rio— di antara lainnya itu dengan gerakan kalem berlutut. Wajah tengilnya sepertinya disetting hingga tampak benar-benar serius dalam megucapkan kata-kata paten di ritual seungkeman.
“Mas minta maaf kalau sering ngajak Ayah main di sekolah. Mas janji kalau sudah kelas 6, Mas akan jadi kayak Kakak dan Abang.” tutur Yofi membuatnya tak bisa menahan sentilan di hidung pesek persis miliknya itu.
“Selama Mas berpikir dan siap atas resiko dari perbuatan Mas, apapun itu Ayah gak masalah. Ayah yakin Mas gak akan ngecewain Ayah karena Mas akan selalu berusaha untuk buat Ayah bangga, kan? Untuk membuat Ayah bangga, Mas gak perlu jadi persis seperti Abang atau Kakak. Jadilah seperti keinginan Mas. Ayah akan dukung.” ujar Rio yang diperhatikan seksama oleh Yofi.
“Mas mau jadi pilot, Yah. Gak papa kan Yah kalau nanti Mas gak bisa bantu Ayah di perusahaan?”
Ya Allah... Rio tak mampu menjawab lagi selain hanya dengan anggukan dan menyambut Yofi dalam pelukannya bersama adik-adiknya.
Jadi apapun kamu nanti, tugas Ayah hanya mendukung. Bukan hak Ayah untuk menghalangi langkah kamu menggapai titik di mana kamu menjadi seseorang yang kamu harapkan, Nak. Lakukan yang terbaik dan sesuai dengan jalan yang diridho’i Tuhan. In shaa allah kamu selamat hingga tiba di tujuanmu.
***
Idul fitri kali ini, Rio dan keluarga tiba di kediaman Umari sore hari. Tahun kemarin, pusat pertemuan keluarga besar kedua belah pihak di istana megah Haling. Gantian. Setelah bersih-bersih rumah terkhusus ruang makan dan tamu selepas acara open house, mereka langsung berangkat ke Jakarta. Ify tak menyewa jasa untuk acara ini. Pure dia yang menghandle bersama anak-anaknya. Mulai memasak hidangan khas idul fitri sampai cuci piring dan kawan-kawan yang menumpuk di lantai dapur dan membersihkan noda-noda di lantai ruang makan khususnya. Untuk bagian terakhir itu, ia serahkan total pada anak laki-lakinya yang dipandu Rio.
Dengan semangat 45, anak-anaknya yang berbaris rapi mulai melewati pintu utama. Saat itulah suara salam menggelegar ke penjuru ruangan. Yofi memimpin di barisan paling depan, diikuti oleh Masya, Rasya yang menggendong Marsha, dan Rama yang menggandeng Rafa. Langsung saja pekikan riang gembira menyambut keenam turunan Haling-Umari.
“Setelah sungkeman langsung ke belakang ya.” ajak Rio yang hanya meminta 1 respon darinya, mengangguk.
Rio tersenyum puas. Di kecupnya mesra puncak kepala Ify sebelum merangkulnya hangat menuju orang tua mereka di ruang keluarga. Terkadang saat-saat di mana seluruh anak-anaknya tengah bersama kakek-nenek dan saudara-suadaranya yang lain inilah Rio senang. Senang karena bisa memberi sumbangsih dalam meramaikan suasana di hari raya, dan memperoleh waktu berdua dengan wanitanya tanpa gangguan selama kurang lebih 1 jam. Yakin tanpa gangguan? Rio menjawab “ya” dengan lantang dalam hati. Dia sudah bekerja sama dengan Mama Manda, Mama Gina, Papa Umari, Ray, dan Deva.
***
Masih ingat tiap Rio makan opor, pria itu selalu menolak tahu? Kalau lupa baca HBWN special lebaran part D (hehehe). Ify nyaris kehilangan kesabaran menghadapi Rio yang memanfaatkan waktu 1 jam dengan kemanjaan di atas wajar. Dia tahu bahwa Rio lebih memilih tempe. Namun karena Rio meminta untuk disuapi, akhirnya ia menggunakan piring oval yang berukuran lebih besar untuk menampung porsi makan 2 orang. Berhubung dia terlalu larut dalam suasana masakan khas hari raya yang satu itu, lupa dia menuangkan banyak tahu di atas nasi.
“Ayolah, Kak. Tahunya udah Ify pinggirin.”
Rio masih bergeming. Ify memilih beranjak dari gazebo. Lengannya ditahan sebelum ia berlalu meninggalkan tempat.
“Laper, Dear. Tega ya.” gerutu Rio.
Ify menghela nafas sebelum berkata, “Iya. Ini Ify mau pisahin tahunya, Kak. Sabar ya.” mengusap lembut sebelah pipi Rio.
Dalam hati Rio bersorak kegirangan. Bodo dibilang manja atau dibilang gak ingat umur. Lagian dia masih kepala 3. Kapan lagi ya kan? Tak lama Ify kembali duduk bersila di hadapannya. Ia menarik diri lebih dekat hingga tempurung lututnya bersentuhan dengan Ify.
“Tahunya kamu buang?” tanyanya setelah menyambut suapan pertama.
Ify menggeleng, “Deva bersedia makan.”
Rio mengangguk lega. Ia mengambil alih sendok, dan balik menyuapi Ify. Sambil menunggu Ify menelan habis suapannya, ia gunakan waktu dengan mengamati perubahan wajah Ify di usianya yang akan memasuki angka 36 tahun. Tak banyak berubah. Masih segar. Masih mulus. Masih cantik ya jelas. Makin cantik malah. Makin tajam lekukan yang dibentuk oleh Tuhan. Wajah Ify di waktu remaja tak secantik sekarang. Kecantikannya sekarang terpancar lebih diperoleh melalui perannya sebagai istri, ibu, dan seorang dokter.
Cup..
Ify nyengir lebar, “Belum puas aja ya tiap malem mandangin Ify? Masih sayang banget ya?”
“Gitu pake ditanyain?” jawab Rio dengan nada sinis dibuat-buat.
Ify tertawa renyah. Tak menjawab. Melainkan kembali mengulurkan satu suapan. Ia tersenyum lebar menyaksikan betapa bahagianya Rio dengan aktivitas mereka sekarang. Waktu telah berlalu hampir setengah jam. Belum ada tanda-tanda salah satu dari anak mereka lolos dari penjagaan. Saat ke dapur tadi, Marsha masih seru bermain dengan adik iparnya—istri Deva.
“Kamu bahagia?”
“Gitu pake ditanyain?” jawab Ify dengan kalimat dan nada yang meniru Rio persis.
Giliran Rio yang terbahak. Ia sudah akan membalas jawaban Ify dengan kecupannya saat terdengar suara Yofi dan Rafa memanggil keduanya. Rio menepuk jidat. Belum juga 1 jam, sudah harus diakhiri. Iseng, ia meletakkan piring kosong itu ke pojok gazebo, lalu melingkarkan lengan di leher Ify dan menyembunyikan wajah di sana. Ia memang menginginkan banyak anak. Tapi bisa tidak jangan sampai mengorup terlalu sadis waktu berdua dengan istrinya.
“AYAAAHHH...” teriak Rafa yang berhasil naik ke gazebo dengan bantuan Yofi dan sekarang mulai berusaha menarik lengan Rio untuk melepaskan bundanya.
“Ayah berat kasihan Bunda, gitu Dek.” dikte Yofi yang turut duduk di samping bundanya.
Ify terkikik. Terlebih ketika Rafa beralih ke belakang tubuhnya dan dengan sekuat tenaga melepas tautan tangan Rio. Menyerah, anak laki-lakinya itu malah ikut mengalungkan lengan di lehernya. Sempurna sudah. Ia makin susah untuk bergerak. Suara dari arah pintu penghubung membuat pelukan Rio makin erat. Ampun... alhasil, 6 turunan Haling-Umari itu mengerubungi keduanya.
***
“Abang sama Mbak nanti lulus SMA mau lanjut kemana?” tanya Rio setelah adegan semut ketemu gula itu berakhir.
Mereka duduk melingkari gazebo. Dari ujung kanan ke kiri yaitu Rio dengan memangku Marsha yang sekarang sibuk dengan ice cream tiga rasanya, Rama, Rafa, Rasya, Masya, Yofi, terakhir Ify berseberangan dengan Rio. Di tengah-tengah mereka terdapat beberapa jenis makanan ringan yang wajib ada saat hari raya, hasil bawaan anak-anak mereka yang nyusul Yofi-Rafa.
“Abang mau ambil arsitek ya, Yah? Udah cari info-infonya juga. Untuk ilmu bisnis, Abang belajar ke Ayah aja.” jawab Rasya nyengir lebar.
Melewati tubuh Rafa, pundak Rasya berhasil didorong oleh Rama. Rasya hanya tertawa kecil. Mungkin Rama tak terima dengan akal liciknya dalam meraih ilmu banyak tanpa mengeluarkan banyak uang. Kakaknya itu sudah masuk tahun kedua menjadi mahasiswa manajemen bisnis. Dulu Rama sempat dilema selama setahun sebelum lulus SMA antara memilih hukum atau jurusan yang akan ia terjuni. Ia ingin ke hukum karena merasa nyambung tiap kali mendapat informasi terkait pengetahuan tersebut. Namun alasan itu tak berhasil menekan balas budinya pada Ayah sambungnya yang sudah berbaik hati memberikan kehidupan layak padanya. Ia ingin menjadi anak yang dapat dibagi beban oleh Ayahnya, walaupun ia yakin sekalipun pemikiran untuk membagi beban itu tak terlintas di pikiran Ayahnya.
“Ayah terserah kalian. Mau mengikuti jejak Ayah atau Bunda, ya silahkan. Nggak pun gak jadi masalah.” balas Rio tersenyum hangat.
“Kalau Mbak?” lanjutnya tak melihat tanda-tanda Masya akan bicara.
“Mbak mau kerja di balik layar acara televisi, Yah. Itu kuliah apa nanti?” jawab dan tanya Masya dengan mata berbinar.
Di kepalanya sudah terbayang-bayang ia berkutat dengan komputer, kamera, dan lain-lain yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi tiap akhir acara. Pasti seru.
Ify membelalak kaget. Dalam pikirannya, Masya akan menjawab, fashion design mengingat cerita terakhir gadis itu mengagumi Sivia dan aktivitasnya di butik. Cepat sekali berubahnya. Sementara Rio, dahinya mengernyit mengingat-ingat.
“Ilmu komunikasi deh, Mbak. Kalau Ayah gak salah. Coba nanti kamu searching aja.” jawab Rio meminta kebenaran informasi pada Rama yang mengangguk.
“Mau jadi apapun kalian, setidaknya dipersiapkan dari sekarang biar persiapannya matang. Serius memikirkan masa depan di masa kalian yang masih sangat muda itu perlu, tapi tetap santai, jadi bisa terhindar dari ambisi berlebihan yang berdampak pada stress. Ayah dan Bunda akan terus mendukung kalian sebisa mungkin.” tambahnya menasihati yang diangguki keempat anaknya yang tingkat berpikirnya sudah lebih tinggi dibanding kedua adik mereka yang dari tadi sibuk dengan makanannya.
“Abang sama Mbak mau ikut jejak Kak Rama?” giliran Ify bersuara.
Si kembar sama-sama mengerutkan kening. Tak paham. Kan tadi udah bilang mau lanjut kemana, sekarang ditanya lagi. Sepertinya beda makna.
“Maksud Bunda akselerasi juga?” ucap Ify memperjelas pertanyaannya.
Si kembar saling pandang. Nyengir. Lantas balik menatap Ify dengan gelengan kepala kuat-kuat dan ekspresi yang mendukung.
“Why?” tanya Ify dengan tawa kecil memperoleh jawaban kompak mereka.
“Kita mau nikmati masa-masa remaja kita semaksimal mungkin, Bun. Sayang banget kalau dilewati dengan ngeskip(?) masa sekolah. Abang lagi suka berorganisasi. Abang gak mau kalau sampe waktu belajar mengurangi waktu organisasi, begitupun sebaliknya Bun.” jawab Rasya yang lagi-lagi memperoleh pukulan di pundaknya dari Rama.
Tersindir lagi si Rama. Dia dan Rasya memang tidak sedikit beda pemikiran. Rama adalah orang yang meletakkan fokus pada sesuatu yang ia kerjakan. Masa sekolah adalah masa ia belajar mata pelajaran sekolah. Tidak ada waktu untuk organisasi maupun lainnya. Baru ketika memasuki bangku kuliah, dia belajar mati-matian mengenai pengaplikasian ilmu sosial dari Ayahnya. Mulai bagaimana memperluas koneksi sampai dapat mempengaruhi orang lain dalam hal ini yaitu kemampuan kepemimpinan. Untuk menjadi seorang pemimpin memang tak terlepas dari faktor bawaan, namun jika kita belajar, setidaknya tahu. Usaha tidak akan mengkhianati hasil bukan? Itu terbukti oleh posisi Rama saat ini yang berhasil menempati kedudukan penting di BEM tingkat univ karena kemampuannya, bukan hanya mengandalkan suara.
“Mbak juga sekarang lagi seru-serunya ngembangin bakat, Bunda. Mbak gak mau waktu Mbak untuk itu dikorupsi habis-habisan sama belajar.” jawaban Masya yang dapat diterima oleh Ify maupun Rio.
“Asal itu membawa kebaikan untuk hidup kalian, Bunda dan Ayah gak akan menghalangi alur yang kalian buat. Terpenting, ibadahnya jangan sampai lepas ya, Sayang. Bunda dan Ayah yakin kalian akan terus membuat kami Bangga.” tutur Ify yang diangguki langsung oleh keduanya.
“Mas gak ditanya?” gerutuan Yofi menciptakan tawa.
Rio yang lebih dulu menjawab, “Mas kan pengen jadi pilot tadi bilang Ayah?”
“Ada sekolahnya kan Yah?” tanya Yofi melupakan gerutuannya tadi.
“Ada dong. Menjadi apapun itu pasti ada tempat untuk belajarnya. Mas mau ke sana?” jawab Rio diakhiri dengan ajakan yang membuat Yofi terpekik senang, bahkan nyaris melompat ke pangkuan Ayahnya kalau tak dihadang oleh Ify. Bisa-bisa Marsha kegencet.
“Kapan Yahhh? Kapannn?”
Rio tertawa, “Nanti. Kalau Mas Yofi puas dengan hasil belajarnya Mas di sekolah.”
Ekspresi riang itu lenyap seketika ketika berkata, “Mas sih selalu puas, Yah.”
Rio tekekeh geli , begitu pula Rasya dan Rama.
“Yakin puas?” tanyanya membuat Yofi berpikir ulang.
“Yakin.”
“Serius?”
Dan akhirnya semua tergelak ketika Yofi memasang wajah tak suka dan dengan gerakan cepat menyingkir dari barisan. Rio hanya menyaksikan dengan minat. Terlebih ketika tubuh kecil Yofi kembali berbalik ke arah mereka. Tatapannya mengarah pada Rafa.
“Ikut Mas gak?”
Dan muka Yofi makin tertekuk ketika mendapati Rafa menolak untuk diajak dan memilih mengalungkan lengan di leher Abangnya yang memeletkan lidah ke arahnya. Tawa mereka makin menjadi, terlebih saat Yofi nyaring terjengkang karena menabrak Deva ketika berbalik. Ify memilih bereaksi. Beranjak menghampiri Yofi yang tampak makin kesal sebelum anak itu bertingkah di luar kendali.
“Kak, ada wartawan nungguin di ruang tamu. Minta Kak Ify nongol sama Kak Rio lengkap sama anak-anak kalian.”
Ify menghela napas. Ia menoleh pada Rio yang menatapnya datar. Ia pasang wajah memelas sebelum mendapat gelengan tegas dari Rio. Di tempatnya, Rio mendengus sebelum mengangguk tak minat. Gini nih kalau punya bini cantik, dokter, sekaligus nyandang gelar sebagai selebgram di tahun ini.     


Minggu, 02 Oktober 2016

ALWAYS BE MY PARTNER (HOPE) #H


Ilustrasi: NA

PART SEBELUMNYA...
@
@
@
@
“Geli gue ngelihat loe malu-malu anjing begini, Py.” seloroh Irsyad mengacak-acak poni miringnya hingga terlepas dari jepitan rambut.
Ify mendelik, seketika hawa-hawa tak nyaman enyah. Kembali ia menoyor kepala kakak tingkatnya. Sementara Irsyad tertawa renyah melihat tampang sinis Ify. Suara gaduh di belakang Irsyad mengalihkan perhatian mereka. Ify menunduk setelah memperoleh lirikan tajam Rio sebelum meninggalkan tempat. Sedangkan Irsyad geleng-geleng kepala sambil berkata.
“Itu presma tahun kemarin.” gumam Irsyad dengan nada mengambang antara bentuk pertanyaan atau pernyataan sambil sepasang matanya terus mengikuti Rio dan gadis yang berajalan di belakangnya.
Ify menahan ekspresi ketika tatapan Irsyad yang beralih padanya, menyatakan bahwa laki-laki ini menyadari sesuatu setelah beberapa saat diam. Memandangnya seakan menguliti untuk memperoleh hipotesa yang tepat mengenai situasi beberapa menit lalu. Ia harus waspada. Irsyad ini peka parah.
“Jangan bilang, loe—”
“Hehe.”
Dan Ify merutuki pemuda di hadapannya habis-habisan. Menghindar dari cengkraman Irsyad adalah hal yang sia-sia dilakukan.
***
PART G...
@
@
@
Rio tiba kembali di pelataran parkir cafe di mana ia menikmati makan makan malamnya sejam lalu, ketika bola matanya menemukan sosok kekasihnya berjalan bersama laki-laki yang ia kenal sekilas. Ia hanya tahu pemuda itu teman satu organisasi Ify di UKM paduan suara yang sudah 2 tahun digeluti. Segera ia turun dari mobil. Melangkah panjang. Cengkramannya berhasil meraih pergelangan kanan Ify sebelum gadis itu menaiki mobil jeep hitam temannya.
“Ka—kak...” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ify.
Rio memandang lurus menembus sepasang manik mata Ify. Menahannya beberapa saat sebelum mengedikkan dagunya ke arah jazz putihnya.
Ify membasahin bibir bawahnya. Ia menoleh pada Irsyad yang memandang mereka dengan alis terangkat.
Sorry, Bang.” cicitnya yang masih terdengar Irsyad.
Laki-laki itu mengangguk. Tersenyum tipis memandangnya yang lalu memandang Rio yang masih bertahan dengan tatapan mengintimidasi mengarah padanya. Ia berlalu dengan langkah terbirit-birit menyesuaikan langkah panjang Rio. Mendengar kata sorry membuat amarah Rio kembali muncul. Goblok. Kenapa laki-laki itu yang harus memperolehnya? Ify ini minta dikasih trining.
“Sivia gak kakak antar pulang?” tanya Ify saat mobil keluar dari area cafe, menoleh pada Rio yang menatap jalanan.
“Aku gak ada niatan ganti kelamin, Fy.” jawab Rio kalem tanpa menoleh.
Ify mengerjap. Shock dengan jawaban Rio yang tak sesuai dengan pertanyaannya. Namun beberapa detik berlalu ia sadar, dan menggumam kata maaf. Menunduk memainkan jemarinya.
Rio menghela nafas. Ia tak bermaksud menjawab pertanyaan Ify dengan kalimat sarkasme seperti itu. Tangan kirinya beralih dari stir, menumpu pada kedua tangan Ify. Meremasnya pelan membuat Ify terkesiap.
“Kakak nyetir aja.” ucap Ify berusaha melepas.
“Hm.”
“Ih... Kak Rio.” geregetnya. Pasalnya Rio ham hem gitu tapi tak dilepas.
“Aku menyayangi kamu, Fy.”
Mendadak Ify berhenti menggerutu. Gelenyar aneh merangkak dengan cepat ke seluruh tubuhnya. Semenjak mereka jadian, ini pertama kali Rio menyatakan perasaannya secara gamblang seperti ini. Ify mendongak. Ia baru sadar Rio menghentikan laju mobilnya di tepi jalan yang cukup lengang. Ia menoleh mendapati Rio memandangnya dengan senyum tipis namun manis yang ia sukai. Ia meloloskan sebelah tangannya untuk membalas remasan tangan Rio. Tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang rapi.
“Lify Putri Ardiansyah juga menyayangi Kakak. Terima kasih sudah menyayangi anak gadis Bapak Ardiansyah yang sering buat Kakak uring-uringan ini.” ucapnya dengan nada riang gembira, menyebabkan kedua pipinya tak terhindar dari kecupan manis Rio.
Ify kembali terkesiap dengan wajah memanas, sementara Rio kembali ke posisinya bersandar di kursi kemudi. Terkekeh pelan melihat muka Ify. Di acak-acaknya poni Ify yang tadi ia lihat sempat disentuh pria lain. Berharap sentuhannya dapat menyingkirkan bekas tangan pria tadi.
Sambil memandang lembut Ify ia bertanya, “Besok pulang ngampus kita makan bareng dan diskusi di apartemen?”
Ringisan Ify yang langsung menjawab yang ia ketahui maknanya.
“Malam jumat deh, ya? Aku minggu ini gak pulang kok, Kak.” ucap Ify memasang muka melas yang ia balas dengan memutar bola mata.
“Oke. Sekalian sunnah rasul.” putusnya yang direspon delikan sama Ify.
“Ngaji bareng maksudnya, Sayang. Jorok mulu itu isi kepala.” ralatnya.
Ify menahan bibirnya untuk tak melengkung membentuk senyuman menggelikan mendengar panggilan sayang dari Rio.
“Oke—”
“BTW itu bukan jorok Kak, tapi sedia payung sebelum gerimis apalagi hujan.” tambahnya diakhiri dengan cengiran.
“Yayaya terserah kamu, Fy.” balas Rio mengalah sambil kembali melajukan mobilnya.
“Bawa baju ganti. Kamu sekalian nginap.” tambahnya yang disambut dengusan dari Ify.
“Ngoleksi dosa gak gitu juga sih, Kak.” ucap Ify sarat akan penolakan atas usulan Rio.
“Di sana ada 2 kamar. Aku ingatin kalau kamu lupa.”
Lagi-lagi Ify mendengus. Tetap saja itu di luar norma. Walaupun tidak satu kamar, kan tetap satu atap. Kasarannya, kumpul kebo tipis-tipis.
“Kalau setan berkuasa, mau ada 10 kamar juga tetap endingnya kita nanti satu kamar. Mencegah lebih baik dari pada kejadian, Kak.” ucapnya masih tak mau menerima usulan Rio.
“Ya setannya kamu Fy. Tuh pikiranmu kemana-mana.” balas Rio.
Ify mendelik, “Bangsat deh.”
“Lagian kamu, Fy. Aku jamin kamar 2 akan kepake dua-duanya.”
Ify mencak-mencak di tempat duduknya. Rio ini masih ngotot aja. Masak tak bisa mengartikan maksud kalimat-kalimatnya.
“Jaminan Kakak apa?” tanyanya dengan nada menantang.
“Nikah.” jawab Rio memasang senyum tengil yang ingin sekali digampar sama Ify.
“KAKAK! AKU SERIUS.”
“Aku juga serius Ify.”
“Pokoknya aku gak mau.”
“Ya udah kalau gak mau.”
Aih... Ify menoleh pada Rio. Pemuda itu tertawa kecil dengan lirikan kilat penuh ledekan padanya.
“Tinggal bilang langsung gak mau apa susahnya. Apa-apa nunggu debat dulu. Hidup kamu ribet juga ternyata.” ucap Rio menggerakkan stirnya ke kiri saat mulai memasuki gang kos Ify.
Bibir Ify mengerucut, “Kalau gitu kayaknya malam jumat aku juga gak bisa.”
“Jangan macam-macam kamu, Fy.” ancam Rio.
“Siapa yang macam-macam duluan?” balas Ify tak gentar, kelewat kesal.
Rio mengakhiri pembicaraan dengan tawa renyah seraya menghentikan mesin mobilnya tepat di depan kos Ify. Tubuhnya condong ke arah Ify. Melepaskan safety belt yang dikenakan Ify.
“Aku minta maaf atas candaanku.” bisiknya di samping wajah Ify, lalu mengecup pelipisnya.
Ify melirik sinis, “Gini mau satu atap semalam?”
Rio tersenyum tipis, “Iya-iya maaf atuh Neng geulis. Kita jadi kek orang pacaran biasanya.”
Ify memutar bola mata, “Maunya kok sama yang mainstreem-mainstreem.”
“Kamu tuh ya, bisa banget ngehancurin kesenangan orang. Sana masuk.”
Sekarang giliran Ify memasang senyum tengil, “Skor sama.”
Umpatan Rio sampai ke telinganya. Ia tertawa renyah. Membuka pintu mobil dengan riang gembira. Kaca mobil diturunkan oleh Rio ketika ia kembali menutup mobil.
“Aku balik. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
***
Ify menghembuskan nafas kuat-kuat mencoba menekan kecemasannya. Ia sudah berada di depan kontrakan Sivia. Dia tak akan lagi mengizinkan dirinya menyerah karena keberaniannya yang tiba-tiba luntur dan mendorongnya untuk segera berbalik meninggalkan tempat. Ia harus menyelesaikannya sekarang. Ia harus memperoleh maaf sekarang. Setidaknya maaf dulu. Masalah nanti Sivia menolak untuk bersahabat dengannya lagi, ia tak mengapa. Sudah menjadi konsekuensi atas kesalahannya.
"Ngapain loe di sini?"
Ify mengerjap. Baru juga akan mengetuk pintu, sudah disembur duluan.
"Minggir." gertak Sivia sambil menenteng sepatu ketsnya.
Tadi Sivia berniat memasang sepatu di kursi yang ada di latar kontrakan. Berhubung ada tamu tak diharapkan, alhasil ia tenteng sepatunya menuju mobil yang berjarak 10m dari posisinya.
"Sivia, please. Izinin gue ngomong sama loe."cegah Ify menahan lengan bawahnya.
Ia berdecak. Memasang ekspresi datar ketika berkata, "Biar gue kesannya gak php, mulai sekarang gue putusin tolong jaga jarak sama gue. Gue terima maaf loe. Gue terima kenyataan kalau loe sama dia. Gue terima semua kelakuan muna loe di depan gue. Gue terima, dan gue mohon loe juga terima keputusan gue."
Ify menahan nafas sejak Sivia menoleh dan tampak dari mimiknya melontarkan kalimat yang menyesakkan.
"Via..."lirih Ify hanya bisa memandang kepergian Sivia dengan teman sekelas yang ia tahu sekilas.
Ify tak pernah menyangka kedepannya akan seperti ini. Ia berusaha keras mempertahankan emosi positifnya jika bertemu dan berbincang dengan Sivia. Namun hasil yang ia peroleh sama saja. Ketidaksudian untuk kembali menatapnya sebagai seorang teman. Ia bingung. Sisi lain dirinya tak bisa menerima sikap Sivia. Ia yang tak bisa merasakan apa yang Sivia rasakan sekarang, ataukah memang pandangannya mengenai cinta serta bagaimana cinta menjatuhkan atau membangunkan kita, yang memang membuatnya tidak setuju dengan sikap Sivia. Dia bahkan 2 kali mengalami cinta sepihak, dan kedua kalinya itu dia harus tetap bertemu dengan pihak yang bersangkutan. Mungkin nasib cinta sepihak yang menimpanya lebih dulu membuatnya memandang permasalahan ini seharusnya tak perlu sampai harus terjadi seperti ini.
Hari berlalu, bulan berlalu, tahun pun berlalu, lambankan segala rasa yang.ada pada orang yang sama.
Ify meraih smartphonenya yang bernyanyi. Meneguk ludah menyadari kesalahannya pada orang di seberang sana yang sekarang menghubunginya.
"Sorry, gue ada urusan. Setengah jam lagi gue nyampek."
"_______"
"Iye udah gue rumusin semua. Tinggal bahas doang ntar. Udah yee gue mau naik angkot nih. Keburu ngambek Abangnya nungguin."
Tanpa menunggu sahutan, segera ia putuskan sambungan. Ketupel ospek jurusan tahun ini cerewetnya ngalahi emak-emak protes harga minyak lebih 1000 dari toko sebelah. Ia bergegas dari latar kontrakan Sivia. Berlari kecil ketika dari arah gang tampak angkot melintas pelan. Dan ia meninggalkan tempat Sivia dengan perasaan bersalah yang tak berkurang kapasitas.
***
Manik mata Ify di balik kacamata minus 1,5-nya menangkap sosok yang ia ingin temui sejak pagi tadi. Ia melambai tangan ketika pria itu bertemu mata dengannya. Menyuruhnya segera merapat. Cengkraman di pergelangan kiri membuatnya menoleh. Matanya membelalak kaget. Gabriel. Seorang Gabriel yang notabenenya nomor 1 pria yang digandrungi para gadis di lingkup fakultas yang namanya nyaris menyejajari nama kekasihnya, sekarang tengah mencengkram lengannya. Tolong katakan segera bahwa ini bukan mimpi. Ify megap-megap bingung harus berbuat apa dan bisa-bisa mati konyol kalau suara Rio tak mengintrupsi.
“Balik ke tujuanmu.”
Ify mengerjap, lantas mengangguk dan berjalan cepat meninggalkan Gabriel yang tampak menunjukkan senyum miringnya yang membuat Ify nyaris balik badan. Sementara Rio menahan geram dalam kepalan tangannya. Bisa-bisanya ia memiliki kekasih bertingkah seperti itu ketika berjumpa dengan idolanya, bahkan saat ada dia sekalipun.
Gue perlu ngomong sama loe.” cegah Gabriel sebelum ia berlalu keluar kantin pusat.
Bangkit dari kursi, berjalan selangkah di depannya. Ia hanya mengangkat sebelah alis sembari menyeret langkah mengikuti. Mereka mengambil tempat tak jauh dari area kantin, namun sepi.
“Berapa lama?” tanya Gabriel langsung yang ia angguki paham.
“Loe gak ada kepentingan buat tahu.” jawabnya santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.
Gabriel tertawa sinis.
“Sejauh mana loe nyeret dia?”
Awalnya Rio mengernyit tak mengerti, namun ketika melihat senyuman penuh makna Gabriel yang menunggu jawabannya, dia lebih dari sekedar tahu. Tanpa berniatan menuntaskan penasaran Gabriel, ia balik badan. Saat itu juga ia mendengar kalimat terdengar brengsek yang terlontar cukup keras hingga meraup beberapa perhatian mahasiswa di sekitar mereka yang tengah hening. Tanpa sadar, dibalik saku celananya telah siap bogeman mentah jika dia ingin mengeksekusinya.
***
Setengah jam berlalu stok kesabaran Rio masih berkurang seperempat dari seluruh isi. Ia tetap dalam posisinya yaitu duduk di bangku paling pojok belakang ruangan kedap suara berukuran selapangan sepak bola. Bunyi not-not piano yang tengah digeluti kekasihnya terdengar menenangkan. Terlebih dilengkapi dengan suara indah yang terdengar mantab tanpa cela dalam mengalunkan lirik lagu. Ruangan sunyi, sepi, tentram menaungi mereka yang hanya berdua setelah latihan paduan suara berakhir 45 menit lalu.
It's obvious you're meant for me
Every piece of you, it just fits perfectly
Every second, every thought, I'm in so deep
But I'll never show it on my face

But we know this.
We got a love that is homeless

Why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't we be like that?

 “Cause I’m yours......”
Rio membuka mata pada bagian lirik itu. Beranjak dari tempatnya. Menghampiri tempat kekasihnya dengan langkah tenang. Lengkungan bibirnya makin tercetak sempurna saat jarak makin terkikis oleh tiap langkah. Ia mengumpat ketika pembicaraannya dengan Gabriel tiba-tiba terputar dengan jelas seakan memenuhi tembok di balik badan Ify. Membuat langkahnya tersendat beberapa meter dari sasarannya.
Why cann’t you hold me in the street
Why cann’t I kiss you on the dance floor
I wish that it could be like that
Why cann’t we be like that
Cause I’m yours
Seiring dengan umpatannya berharap bayangan percakapan tadi enyah, Rio menuntaskan langkah. Di peluknya tubuh mungil itu ketika telah berada tepat di belakang. Ify yang tak ada firasat apapun terkait peristiwa ini nyaris tumbang kalau tubuh Rio di belakang punggungnya tak menahan. Kedua tangannya terkulai di atas not-not piano. Begitu pula kakinya yang turut berkontribusi dalam penciptaan nada selama ia bernyanyi.
Ify tak mampu menggerakkan tubuhnya. Dekapan yang ia terima sanggup melumpuhkan saraf-saraf untuk sementara selagi ia berusaha keras menormalkan deru nafas. Sulit. Terlebih Rio yang menenggelamkan wajah di pundaknya dan bernafas tak kalah memburu. Menimbulkan gelenyar aneh yang kalau tak segera ia tanggapi cepat akan menjalar kemana-mana. Oleh karena itu dengan sisa tenaga, ia meraih kedua tangan Rio yang nyaman melingkar di perut dan memutari bahu. Bangkit berdiri. Balik badan menatap Rio yang memandang sayu.
Ify menggeleng dengan pandangan menegur. Lantas melirik ganas ke seluruh penjuru gedung. Ia mengernyit saat menangkap punggung lebar pria yang berjalan menjauhi area gedung. Tampak familiar.
“Siapa?”
Eh? Ify mengangkat bahu. Lalu kembali menatap Rio yang ternyata turut mengikuti arah pandangnya.
“Sejak kapan?” tanya Ify yang tak tahu kapan Rio datang.
Gak ada suara tapak kaki, tiba-tiba ada yang meluk.
“Berangkat sekarang?”
Ify mendengus. Memutar bola mata kesal.
Please, Kak. Kakak jawab atau kita gak jadi malam jumatan.” ancamnya.
Rio tertawa kecil. Namun tak menjawab. Ia malah berlalu dari hadapan Ify, meraih tas punggung Ify yang tergeletak di bawah lantai panggung. Lalu mengulurkan tangan ke hadapan Ify.
“Lify?”
Ify menghembuskan nafas kasar. Di sambutnya telapak kokoh Rio dengan sungutan-sungutan dalam hati. Selalu saja. Tak pernah mau menjawab.
“Mau belajar drum?” tawar Rio mencari cara agar Ify tak bungkam sepanjang jalan nantinya, sambil membenahi safety belt yang dipasang sekenanya oleh Ify.
Tawaran menggiurkan. Mau tak mau Ify lupa dengan aksi diamnya. Akhirnya ia menoleh mendapati senyum meneduhkan Rio yang menanti jawabannya. Ia mengangguk kuat seraya memamerkan cengirannya.
“Belajarnya di mana, Kak?” tanya Ify antusias mengawali percakapan meninggalkan area kampus.
“Di tempatku. Kebetulan aku membuka bidang usaha baru.”
Mata Ify berbinar ketika berkata, “Kakak buka usaha rental musik?” tubuhnya miring ke arah Rio.
“Sejak kapan? Tempatnya di mana?”
“Hari ini. Nanti malam peresmian. Tetanggaan dengan cafe. Maka dari itu semalaman kita di sana ya? Nanti kamu tidur di ruanganku.”
Ify tak menghiraukan kalimat terakhirnya. Ia terlalu excited. Rio buka rental musik? We o we deh. Ia bisa tiap hari refreshing. Oh ya?
“Ada undangan berarti?”
“Ya iyalah.”
Ify diam. Tentu ada Sivia juga. Kejadian siang tadi masih membekas. Penolakan yang dilontarkan Sivia, masih terasa menusuk hingga sekarang. Rio yang menyadari perubahan mood Ify, meraih sepasang tangan mungil Ify dan menenggelamkan dalam jemarinya. Meremas lembut. Meyakinkan bahwa nantinya akan baik-baik saja. Dan anggukan samar Ify menandakan bahwa gadis itu memperoleh keyakinan yang sama.
***
“Kamu sudah menguasai piano. Gak susah untuk belajar drum.”
Pengantar awal ketika mereka memasuki ruangan kedap suara yang menyediakan alat band lengkap. Ify mengangguk optimis. Benar juga. Dengan semangat membara, ia menghampiri Rio yang sudah berada di balik seperangkat alat drum. Menyuruhnya untuk segera duduk.
“Kakak dulu contohin.”
“Oke.”
Dan suara gedebuk-gedebuk yang berirama pun terdengar. Ify mengamati dengan jeli setiap gerakan yang dilakukan Rio, juga mendengar penuh seksama kalimat-kalimat penjelas yang dilontarkan. Melihat seperti gampang untuk menaklukkan. Semangatnya makin terisi. Dengan riang gembira ia bertukar posisi.
DUK...
Kok?
“Kak Riooo...” rengeknya.
Rio tertawa. Ia pindah di belakang tubuh Ify. Meletakkan genggamannya masing-masing di tangan Ify yang menangkup stik drum erat-erat. Menggerakkan sesuai yang ia contohkan tadi.
“Ketukannya diperhatikan.”
Ify mengangguk-angguk. Masih dalam kendali Rio, ia memainkan drum yang sejak SMA ingin dipelajarinya. Tapi apa daya baru keturutan.
“Ify coba sendiri Kak.” pintanya.
Rio melepas pegangannya, tanpa mundur memberi jarak. Menyaksikan kelihaian koordinasi tangan dan kaki Ify dalam menciptakan nada melalui drum. Ia sudah menduga, tak membutuhkan waktu lama untuk membuat Ify beradaptasi dengan alat musik ini. Kecintaannya pada seni, terlebih musik serta kemampuan basic yang dia punya, membuat Ify mudah memakan semua alat musik dalam ruangan ini sebenarnya. Namun untuk gitar, Ify lebih memilih melihat dia memainkannya. Belum tergugah untuk belajar gitar.
Ia mencondongkan badan. Menempelkan dada pada punggung Ify. Wajahnya setara. Ia memiringkan muka. Mengamati begitu dekat mimik wajah Ify yang sedang serius campur senang dengan alat musik yang baru digelutinya. Bibir ranum itu mengerucut ketika terdengar nada yang miss. Saat itulah Rio meminta upah tanpa persetujuan. Lantas keluar ruangan. Meninggalkan Ify yang menyentuh bibir dengan tangan gemetar, sementara kedua stik drum terkapar di bawah kaki.

***