Mulut Ify mengangga melihat apa yang terpampang di benda
mungil kesayangannya. 18 telpon tidak terjawab, 9 messages belum di read.
Dengan gerakan lincah dan cepat, seakan mengusai seluruh bagian dari BBnya, Ify
membaca satu persatu messages yang semuanya berasal dari Rio.
Message pertama..
“Malam… maaf baru ngubungin kamu. Gimana sekolahnya
tadi?”
Message kedua, ketiga, keempat masih dengan kata – kata
yang sama. Ify menggaruk – garuk tengkuknya bingung. Masih 5 yang baru ia buka.
Marah gak ya tuh orang dia gak ngebalas BBMnya? Duh, coba sebelum tidur dia cek
BB dulu. Gak langsung tidur. Tapi apa daya tangan tak sampai, dia udah ngantuk
banget. Gak bisa ditahan. Ia meletakkan BBnya saja tak tahu dimana. Baru ia
temukan BBnya di bawah kolong ranjang sewaktu bersihin tempat tidur.
Message terakhir
“Aku harap pemikiranku bahwa kamu marah karena aku gak
ngubungin kamu hampir seharian itu salah. Aku sayang kamu Alyssa. Tidur yang
nyenyak ya… Love you:*”
Message terakhir ini membuat dada Ify sesak. Rio pasti sebelumnya
mengira bahwa dia marah karena tak dihubungi sama sekali oleh Rio, sampai –
sampai dia tak mau menerima telpon dan messages dari Rio. Duh… kok jadi mampet
gini sich masalahnya? Dengan menekan tombol 3 lumayan lama. Panggilan langsung
terhubung.
“Halo….”
“……………………………………………………”
“Ini Ify Kak”
“……………………………………………………”
“Ify minta maaf Kak. Ify gak jawab telpon sama balas messages Kakak bukan
karena Ify marah sama Kakak. If------”
“……………………………………………………”
“Kak………”Rengek Ify.
“……………………………………………………”
“KAK RIO, LISTEN TO ME PLEASE…! Dengerin penjelasan Ify.
Ify tuh kemarin ada tamu, temen kakak Gabriel. Di------”
“……………………………………………………”
Ify menghela nafas lagi. Sebal juga lama – lama ucapannya
dipotong mulu sama Rio.
“Bisa gak sich, nunggu Ify selesai ngomong baru Kakak
nyahut…?”
“……………………………………………………”
“Gak ada yang perlu dimaafin”
“……………………………………………………”
“Terserah….”
Tut……. Dengan kesal Ify langsung menekan tombol merah
sebagai tombol pemutus hubungan komunikasi di BBnya. Ia lempar BBnya entah
kemana. Menyambar handuk yang terletak di gantungan dekat lemari dan masuk
kamar mandi. Bodo’ dah tuh cowok mau gimana.
***
Sepenggal lagu A Thousand Years mengejutkan Rio yang
masih terlelap dibad king sizenya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan
pukul 5 lebih 15 menit. Dia baru bisa tidur tadi malam pukul 01.00 WIB.
Pikirannya masih tertuju pada Ify yang masih tak dapat ia hubungi sampai jam
setengah 12 malam. Dengan gerakan lamban, Rio merogoh daerah badnya mencari
posisi BBnya. Tanpa melihat siapa yang menghubungi, Rio langsung menekan tombol
hijau pada BBnya.
“……………”
“Sapa sich loe? Jam loe mati di rumah. Ini hari minggu
loe nelpon pagi – pagi.”Jawab Rio gak ada nyambung – nyambungnya di setiap
kata.
“……………………………………………………”
“Oh…
kenapa?”Jawabnya tambah dingin mengetahui siapa yang menelpon.
“……………………………………………………”
“Iya gak papa….”
“……………………………………………………”
“Apalagi?? Aku udah bilang gak papa kan? Ya udah berarti
masalahnya clear. Git-----”
“……………………………………………………”
“Hah? Gabriel? Ngapain kamu sama dia?? Kamu jalan sama
dia sampai lupa sama aku?”
Rio terdiam mendengar jawaban Ify lumayan sengit. Sedari
tadi ia tak sadar kalau terus – terusan memotong ucapan Ify. Menyimpulkan
sebuah statement yang belum lengkap.
“Oke –oke, Kakak minta maaf…!”
“……………………………………………………”
“Trus mau kamu tuh apa ?”
“……………………………………………………”
Emosi Rio langsung naik. Dengan kesal ia melempar BBnya.
Sekarang benda mungil dan mahal itu benar – benar tak berwujud. Entah kenapa
dia langsung marah mendengar jawaban Ify. Di tambah kepalanya masih pusing
karena kurang tidur. Sampai – sampai ia tak sadar apa yang di ucapkannnya
membalas perkataan Ify. Kenapa masalah simple kalau ada kaitannya sama cinta
mesti jadi ribet gini sich??
***
“Kamu kenapa Yo? Kurang tidur? Tumben juga hari minggu
gini bangun pagi?”
Rio menghela nafas mendengar ocehan mamanya pagi ini. Dia
sudah terlihat lumayan rapi dengan celana santainya selutut dan kaos oblong
biru laut. Namun bagian bawah matanya terlihat lumayan jelas warna hitam,
menandakan dia kurang tidur. Rio menarik kursi yang berdekatan dengan meja
makan. Menyilangkan kedua tangannya guna menyanggah kepalanya. Mama menggeleng
pelan melihat tingkah Rio. Pasti masalah tadi malam itu.
“Masih belum bisa dihubungi?”Tanya beliau prihatin sambil
melanjutkan masaknya.
“Barusan dihubungi”
“Lah terus…?”
Heran mama Manda. Barusan dihubungi kok masih gak enak
gitu mukanya.
“Tengkar.”Jawab Rio mengacak – acak rambutnya frustasi.
Mama Manda tak bersuara lagi. Beliau sudah mengira hal
ini terjadi. Apalagi mengingat Rio kali pertama jatuh cinta dan bersikap
seperti ini. Cukup dapat dimaklumi perbuatannya. Mama Manda mengambil piring
bentuk daun, menaruh ayam goreng terakhir yang beliau goreng. Melangkah
mendekati meja makan. Meletakkan menu terakhir itu bersama masakan yang lain.
“Pagi Mama”
Ray turun bersama sang Papa. Mencium pipi kanan mamanya
diikuti Papa.
“Pagi sayang….”
Ray dan Papa mengambil tempat duduk seperti biasanya. Ray
mengambil posisi di sebelah Rio. Di hadapannya papa dan mama. Ray melirik Rio sebentar, ada yang aneh
dengan kakaknya ini. Godain gak ya? Tapi biasanya kalau lagi keliatan badmood
gini, dia jadi takut ngegoda. Sama aja ngebangunin gorila tidur.
“Kamu kenapa Yo?” Papa bersuara.
“Kenapa apanya Pa..?”
“Muka kamu kucel banget.”
“Biasanya kan juga gitu Pah”
Rio melotot. Dia langsung melirik tajam adiknya yang
masih duduk di kelas 2 SMP itu. Siapa yang ditanya, siapa yang ngejawab.
“Udah - udah. Kamu
makan aja Ray..!”Tegur Mama Manda. Mama manda beraliha ke Rio
“Setelah ini kamu mau ngapain Yo? Mau ngebiarin?”
“Nggak Ma… Rio mau ke rumah Ify. Rio yang salah.”
“Emang. Syukurlah kamu sadar”
Papa yang diam mengangguk – ngangguk mengerti. Masalah
percintaan ternyata. Beliau kembali melanjutkan kegiatan makannya. Menu pagi
ini seperti biasanya. Istrinya itu memang jago banget dalam hal memasak. Satu
jenis ikan bisa dijadikan beberapa masakan. Keadaan hening langsung dipecah
oleh papa Rio yang terlebih dahulu menyelesaikan makannya.
“Bagaimana sekolah kamu yo?”
Pertanyaan yang sama seperti pagi – pagi biasanya.
Walaupun beliau sibuk dengan pekerjaannya tak membuat beliau lupa akan
kewajibannya memperhatikan anak – anak, apalagi kedua putranya ini sudah
beranjak remaja dan dewasa. Rio langsung menghentikan makannya. Makanannya juga
sudah ludes beberapa menit setelah papanya bersuara.
“Gak ada masalah Pah, kemarin sekolah ngadain kerja sama
dengan SMA Pelita di berbagai bidang.”
“Kamu masih ikut? Bukannya udah lepas jabatan?”
“Gak tahu tuh Pah, kata kepseknya sendiri Rio harus tetep
ikut sekaligus ngajarin si Tristan.”
“Kok sampai malem?”
“Oh,,, itu Rio sama yang lain langsung survey tempat buat
proker pertama kita, yaitu acara baksos Pah. Yaudah ya Pah, Rio pamit dulu mau
ke rumah Ify.”
Papa mengangguk. Rio langsung mencium punggung telapak
tangan kedua orang tuanya.
“Titip salam buat keluarga Ify ya Yo, kapan – kapan ajak
ke sini. Papa pengen lihat.”
“Waktu itu kan pernah ke rumah Pah”
“Ya tapi pas papa lagi di luar kota.”
“Sip dech Pah. Ntar Rio bawa Ify ke rumah”
Rio melangkah senang meninggalkan meja makan. Menaiki
tangga ke lantai 2 –kamarnya- mengambil kunci cagiva. Rio tersenyum puas
mendapat sambutan lebih dari cukup akan hubungannya dengan Ify, walaupun masih
belum terikat apa – apa antara dirinya dengan Ify. Rupanya secara tak langsung
dia mendapat mandat, harus cepat – cepat menjadikan gadis itu sebagai
kekasihnya. Lampu hijau sudah dia dapat dari kedua orang tuanya. Tinggal kedua
orang tua Ify. Kalau mama Ify, sepertinya dia pasti mendapat SIM, tapi tak tahu
dengan ayah Ify. Dia belum berjumpa muka sama sekali dengan pria paruh baya
itu.
***
“Terima kasih Tante”Ucap Rio.
Mama Ify hanya tersenyum. Lantas menduduki diri di sofa
seberang Rio. Beliau sedikit heran, tumben pemuda ini pagi – pagi sekali sudah
nongol di rumahnya. Biasanya selain hari aktif kegiatan sekolah dalam kutip HARI
LIBUR, jam kunjungan atau lebih tepat jam apelnya sekitar jam 9 pagi. Ini masih
jam setengah 8 lebih sudah duduk manis di rumahnya. Bukannya keberatan sich,
hanya sekedar heran. Sepertinya ada masalah. Tapi entahlah itu urusan anak
muda, yang terpenting tidak sampai ngelangkahi norma.
“Maaf ya Tan, Rio terlalu pagi dech kayaknya dateng, gak
seperti biasanya. Ganggu banget ya Tan?”Ucap Rio merasa tak enak.
“Ya nggaklah Yo. Tante seneng kamu sering main – main ke
sini. Ify jadinya ada yang nemenin. Kan kamu tahu sendiri tiap minggu Deva
latihan di sanggar kamu. Tante juga sekarang ada pertemuan bareng Papa Ify.
Tante sedikit lega kalau Ify ada yang nemenin”
Rio tersenyum
senang. Emang dech ya camernya ini ramah banget. Memang seperti hari
minggu biasanya, ia selalu mengunjungi Ify. Entah itu untuk bermain-main atau
sekedar membantu mengerjakan tugas Ify dan tak tertinggal mengerjakan soal OSN
yang diberikan bu Winda. Masih ingat dia bagaimana berdebat dengan Ify.
“Ini susah Kak kalau pake’ caranya Kakak. Enakan caranya
Ify. Apalagi kalau dibuat event cerdas cermat.”
“Tapi kan Fy, yang kita ikutin itu olimpiade. Soalnya
essay bukan pilgan. Jadi ditulis cara selengkapnya.”
“Yaelah Kak, pake cara cepet Cuma sebaris gini juga gak
papa kali. Kalau tuh juri kagak ngerti ya tinggal gue jelasin. Yang penting kan
hasil. Ahhh…auk dah, malas gue kalo gini. Kerjain diri dech yang pinter”
Kalau gak ingat Ify itu incarannya, masa depannya, dan
segala – galanya, udah dia cekik. Gini nich kalau punya calon pacar pintar. Pasti
debat. Kagak mau kalah. Pas dia tanya ke Ify berapa hasil psikotes IQnya dulu
setelah seminggu tercatat sebagai siswi PUTRA BANGSA, dia cukup kaget. Walaupun
Cuma selisih dikit sama Ify, tetap saja dia kalah. Tuh anak IQnya 125 dan dia
Cuma 120.
Suara Papa Ify dari balik tirai sebagai pemisah antara
ruang tamu dan ruang keluarga menghintakan perbincangan Rio dan Mama Ify. Baru
pertama kali melihat Papa Ify, membuat Rio wah. Yang ada dalam pemikirannya
pertama kali yaitu hidung. Kedua orang
tua Ify dianugerahi hidung bangir. Pantas saja hidung Ify gak ada yang
nyaingin kecuali orang – orang luar yang memang rata – rata bentuk hidungnya
oke. Oke sip ini gak penting banget. Seakan menunjukkan bahwa dia memang anak
baik – baik, Rio bangkit dan langsung mencium punggung telapak pria paruh baya
yang sudah berpakaian rapi itu. Pria itu menyambutnya baik seperti mama Ify.
Jadi dia gak terlalu canggung. Papa Ify sendiri sudah mendengar dari istrinya
perihal tentang Rio. Ya,, beliau sangat happy, apalagi Ify sudah tak terpuruk
lagi akan meninggalnya septian.
“Ify kok gak dipanggil Ma?”
“Udah Pah,, tuh anaknya..”
Mama Ify langsung menunjuk Ify yang sudah berada di anak
tangga terakhir. Dengan was – was Ify menghampiri Rio dan orang tuanya. Sumpah,
walaupun dia masih kesal setengah mampus pada Rio, tak menututp kemungkinan dia
juga takut dengan tatapan Rio yang menyalang, seperti saat ini. Pelan namun
pasti, Ify semakin mendekat dengan orang – orang yang ia sayang.
“Papa sama Mama mau kemana?”
Papa Ify langsung tersenyum lebar. Biasanya, sebelum
kenal dengan si Rio ini, Ify tak pernah menanyakan atau bersuara terlebih
dahulu saat melihat beliau dan istri berpakaian rapi di hari minggu. Beliau
atau sang istrilah yang terlebih dahulu memberi tahu mereka akan kemana. Dengan
sayang, Papa langsung merangkul anak gadis satu – satunya itu. Mencium kening
Ify sebagai ucapan selamat pagi. Dan Ify hanya bisa pasrah mendapat perlakuan
dari sang Papa seperti 3 tahun lalu.
“Papa sama Mama ada pertemuan sayang. Maaf ya, hari
minggu ini gak bisa nemenin kamu. Nak Rio-----”
Rio terkesiap mendapat panggilan dari Papa Ify. Dari tadi
ia menyaksikan adegan antara anak dan Bapaknya sampai batas lewat kesadaran, ya
jadinya melamun. Dengan senyum ramah, ia bersuara.
“Iya Om, kenapa??”
“Om titip Ify ya Yo. Jagain bener – bener loh ya. Lecet
sedikit gak akan Om kasih restu kamu buat pacarin Ify.”
“Ih… Papa, apa – apaan sich. Ify udah gedhe juga… Bisa
jaga diri sendiri, pake dititip – titpin, emang barang?”Rengek Ify menutupi
kesaltingannya. Rio hanya terkekeh pelan.
“Belum, kamu masih belum besar. Masih 14 tahun gini
dibilang besar.”
Ify yang semula memang manyun, tambah manyun tak terima.
Tahu sich ya, untuk masuk criteria anak SMA yang sebenarnya. Dari segi umur,
terlalu belia masuk SMA, bayangkan man… bulan desember nanti dia masih mau umur
15 tahun. Nah sekarang masih November. Dari segi fisik, di antara ketiga
sahabatnya, dia yang paling mungil, untung untuk ukuran cewek dia bisa
terbilang tinggi. Tenang, masalah fisik masih dapat berkembang. Dan lebih
untungnya lagi, dia memiliki caya berfikir kuat. Menurut orang – orang yang
biasanya lagi gossip setiap beli sayuran di tukang sayuran, anak yang lebih
dulu masuk sekolah sebelum umurnya, daya serapnya lemah, karena otaknya masih
dalam tahap perkembangan. Itu katanya ibu – ibu tuh yang sering ia dengar di
depan rumah setiap nyiram bunga.
“Gak usah manyun gitu donk sayang. Ya udah maafin Papa
ya. Papa sama Mama pergi dulu. Kamu jaga diri baik – baik.”
“Eh iya, Papa sama Mama pulangnya malem ya?”
“Lebih tepatnya pagi sayang, soalnya acaranya sampai
malam. Jadi mama sama Papa nginap di hotel.”
“Loh,, acaranya bukan di jakarta?”Tanya Ify heran masih
bergelayut manja di rangkulan sang Papa.
“Bukan, di Surabaya Fy”
Kali ini mama yang menyahut. Beliau tampak telah membawa
tas suaminya serta berkas – berkas yang tak tahu isinya apa. Tadi saat anak dan
bapak ini berceloteh, beliau balik mengambil barang – barang yang wajib dibawa.
Memanggil supir pribadi guna meletakkan barang – barang tersebut, dan kembali
berkumpul. Ternyata anak laki – lakinya sudah terjaga dan ikut bergabung di
ruang tamu.
“Ma…. Deva laper. Bibi juga nich ngapain pulang di waktu
Mama gak ada sich?”Rengek Deva langsung menghampiri mama dan memeluk mamanya
manja. Mama Defy hanya pasrah mendapati bau khas orang bangun tidur masih
melekat di tubuh Deva. Dengan hangat beliau mengusap rambut anak bungsunnya itu
meminta pengertian.
“Manja banget…ihh”
Deva langsung melepas pelukannya. Menatap seseorang yang
asal nyeletuk yang tak lain dan tak bukan Ify, kakaknya. Dengan sok – sokan
menantang, ia menghampiri Ify yang juga menatapnya tajam.
“Terus loe mau apa kalo gue manja? Kaca loe pecah di
kamar? Gak ngaca benget kalo dirinya juga manja. Masih bocah juga, sok – sokan
ngeledek gue.” Mata Ify melotot lebar. Kurang ajar banget nich anak.
“Eh,, mulut loe sopan banget ngatain gue bocah. Loe tuh
yang bocah. Gue udah SMA tauk”
“Ohh.. SMA ya? Umur Cuma selisih 9 bulan sama gue aja
belagu banget loe”
“Loe yang belagu, LEAK. Macem – macem y aloe sama gue”
Sebelum perang itu terjadi. Sebelum bendera putih
terangkat. Sebelum segala barang di sekitar lemah tak berdaya. Ketiga orang
yang menonton perdebatan itu langsung tergerak sebagai penghalang. Papa Ify
bertugas menarik Ify yang akan maju menghampiri Deva. Rio langsung menarik
lengan kiri Deva, sedangkan mama Defy berada tepat diantara Deva dan Ify.
Dengan kesal. Masih pagi – pagi udah ribut, Mama Defy langsung menjewer telinga
kedua anaknya itu. Reflek, Rio dan Papa langsung melepas Ify dari pegangannya.
“….Kalian tuh ya.. Masih pagi juga, udah tengkar. Pagi –
pagi itu jangan tengkar mulu. Rejekinya ntar dipatok ayam. Kamu juga Dev,
sedikit apapun selisih kamu dengan Ify, dia tetep kakak kamu. Kamu juga Fy,
udah tahu Deva jahil, masih aja diladenin. Mama hukum kalian jangan keluar
rumah sampai mama dan papa pulang.”
“GAK USAH PROTES DEVA.” Lanjut bentak mama defy saat Deva
ingin mengajukan protes.
“Tapi Ma… Deva ada latihan sekarang..”
“Gak ada latihan – latihan. Rio---”
“Iya Tante?”
“Tolong bantu tante ya, jaga dua anak ini jangan sampai
keluar.”
Rio hanya bisa mengangguk. Dalam hati ia sudah ingin
tertawa melihat wajah kusut Deva. Anak itu langsung berlari ke lantai atas, dan
selang beberapa menit terdengar benturan keras. Papa hanya bisa geleng – geleng
kepala. Dia tak bisa membantu apa – apa kalau sang istri sudah memberi
ultimatum. Beliau sangat setuju dengan hukuman istrinya pada Deva. Kalau untuk
Ify sendiri ini bukan hukuman, karena memang gadis itu selalu berdiam diri di
rumah. Tapi untuk Deva berkebalikan. Lagian juga Deva berhak mendapat hal ini
sebagai hukuman tempo hari membuat anak gadisnya terluka akibat ulah jahil
remaja itu.
Mama Defy langsung mengecup kedua pipi Ify. Berpamitan
sekali lagi. Begitupu yang dilakukan Papa Ify. Anak gadisnya itu benar – benar
bikin gemas. Tambah cantik saja dengan rambut digelung keatas. Ify masih saja
tak mau melepas pelukan papanya. Ia benar – benar kangen dengan Papanya ini.
Baru kemarin malam, dia bertatap muka setelah 5 hari ke luar kota mengurus
beberapa cabang perusahaannya. Dan sekarang beliau harus pergi lagi?
“Ahhh… masih kangen sama Papa. Tadi malem kan gak sempet
peluk Papa.”Rajuk Ify semakin menenggelamkan kepalanya di dada Papa.
“Hahaha…. Besok ya, papa janji besok papa gak kemana –
mana. Waktu Papa buat Ify semua.”
“Yah…. Tapi Ify kan besok sekolah Pah, sama aja bohong.
Gak mau, Ify ikut yah…yah… kangen banget sama Papa..”
Beliau tambah berat meninggalkan Ify kalau gadis itu
sudah begini. DIa juga merasa kemejanya sedikit basah di bagian bahu sebelah kanan.
Anak gadisnya menangis. Pantas saja Ify langsung memeluk lehernya. Dengan
sabar, setelah menyuruh istrinya terlebih dahulu ke mobil –agar tak khawatir
dengan Ify- Papa mengusap puncak kepala Ify berulang. Menenangkan karena suara
isakan mulai terdengar.
***
Rio merasa nyaman berada di antara keluarga harmonis
seperti keluarganya ini. Dia jadi tambah tahu bagaimana sikap Ify yang selama
ini dia nanti. Apalagi saat berhadapan dengan Papanya. Gadis itu semakin manja.
Bergelayut terus di rangkulan sang Papa. Rio melirik Deva turun dari lantai
atas. Remaja seusia adiknya itu masih terlihat berantakan. Baru bangun
ternyata. Perasaannya mulai tak enak saat Ify melontarkan kata sakral.
Sepertinya perang saudara akan segera di mulai. Rio hanya bisa meringis menyaksikan
adu bacot antara Deva dan Ify. Kedua anak umari ini sama – sama keras kepala,
gak mau mengalah. Wajar saja sih kalau mengingat umur keduanya yang masih sama
– sama beranjak remaja. Dia saja yang sudah cukup umur (dewasa) juga kadang
menanggapi kejahilannya ray dan akhirnya perang.
Rio sedikit kaget diminta bantuan menjaga Ify dan Ray
dari mama Defy. Walaupun sempat ragu –takut tak bisa melaksanakan tugas dengan
baik- Rio mengangguk mantap mengiyakan. Di lihatnya Papa Ify menyuruh Mama Ify
terlebih dahulu karena Ify semakin mengeratkan pelukannya pada sang ayah,
ditambah gadis itu melingkarkan kedua tangannya di leher sang ayah. Raut wajah
Rio selang beberapa menit berubah panic. Dia mendengar suara isakan Ify. Penuh
khawatir Rio menatap Papa Ify meminta pernyataan. Pria paruh baya itu hanya
mengangkat telapak tangannya menandakan bahwa Ify tak kenapa – napa lengkap
dengan senyum wibawanya.
“Dia memang begini Yo. Kamu jangan panic gitu.”Ujar Papa
Ify padanya sambil terus menenangkan Ify.
Perasaan Rio sedikit lega, walaupun dipandangannya tubuh
Ify masih bergetar hebat. Namun tak lama, Papa Ify berhasil melepas pelukan Ify
pada beliau. Mengusap dengan lembut air mata Ify dan mencium kening gadis itu.
“Maafin Papa ya sayang. Papa janji besok dari Ify pulang
sekolah sampai malam, Papa akan temenin Ify. Besok malam kita main piano
bareng. OKEH…!”
Gadis itu mengangguk semangat. Menautkan jari
kelingkingnya pada sang Papa. Memeluk papanya sekali lagi dan mengecup pipi
kanan beliau. Kembali Rio dibuat surprised dengan tingkah Ify pagi ini. Benar –
benar tak menyangka. Terpikir saja tak pernah. Benar – benar dibalik benteng
sikap gadis ini. Misterius.
***
Ini mungkin kelima kalinya Rio mengucapkan kata maaf pada
Ify. Juga kelima kalinya Ify menjawab “Iya”. Keduanya telah duduk santai di
ruang keluarga. Seperti minggu – minggu biasanya. Sebelum Rio datang
berkunjung, biasanya ia menonton kartun pagi seperti spongebob dan di lanjut
dengan doraemon. Baru sekitar jam Sembilan-sepuluh si Rio nongol dengan pakaian
santai mengajaknya keluar rumah. Seperti hanya sekedar menghirup udara segar di
taman dekat kompleks, pergi ke sanggar karate nonton Deva yang lagi latihan.
Minggu kemarin ia diajak ke pantai oleh Rio. Cowok itu tak pernah mengajaknya
ke tempat – tempat ramai seperti mall. Mungkin dia udah tahu kali kalau dirinya
tidak begitu menyukai keramaian khas ibu – ibu dan ABG.
Melihat Ify diam menatap lurus pada tontonan kartun
dihadapannya, Rio beranjak dari sofa. Menghampiri suatu ruangan yang sering
terjamah terlebih kaum hawa-dapur. Tak berapa lama, sekitar 15 menit Rio
kembali dengan membawa dua mug berisikan coklat yang masih terlihat hangat
dengan asap mengepul meliuk – liuk di udara. Menaruh salah satuanya pelan pada
meja yang berada di depan sofa.
“Nih diminum…”Perintahnya seraya mengulurkan mug tersebut
pada Ify.
Ify hanya meliriknya sekilas. Melihat sejenak pembuat
coklat hangat tersebut dan mengambil alih.
“Makasih”Ucapnya.
Rio menjawab dengan usapan pada puncak kepala Ify dan
menyelipkan beberapa untai rambut ify ke balik daun telinga. Membenahi sedikit
poni Ify yang berantakan. Kebanyakan dalam artian tak sedikit dari kaum wanita
diseluruh dunia, jika diperlakukan seperti yang dilakukan oleh Rio pasti merasa
tersanjung. Hal kecil memang. Namun hal kecil itulah yang menandakan sepeduli
apakah orang itu terhadap kita. Hal – hal yang biasa terabai namun menjadi
senjata mematikan langkah seorang gadis untuk lebih menginginkan orang lain.
Berakibat membuat siapa saja akan stuck hanya pada dia seorang. Menyebabkan
efek – efek nervous, grogi, salting menjadi satu kelompok menyerang jiwa dan
rohani. Termasuk pada Ify. Mug tersebut masih terus menyentuh bibir mungilnya
seiring Rio merapikan beberapa helai rambut yang terlihat mengganggu. Kalau tak
karena Rio juga yang menegur, mungkin mug tersebut akan terus mencium bibirnya.
Efeknya? Kedua pipi merah memanas.
Pemuda itu sendiri hanya tersenyum tipis mendapati hasil
aksi yang ia dapatkan. Sekarang ia percaya, hukum III newton yang berbunyi
“Aksi sama dengan reaksi” terbukti benar dalam kisah percintaannya. Walaupun
berbelit – belit masalah kecil hingga lumayan besar menimpa pasti akan
ditemukan solusinya. Seperti hukum teorema sisa yang terbagi menjadi 3 teorema.
Apabila X bernilai satu, maka sisa sama dengan nilai. Apabila X tidak sama
dengan satu (ax-b), maka sisa sama dengan nilai dari perbandingan b dengan a.
Dalam pemecahan masalah juga begitu. Apabila masalah sama dengan 1, maka
solusinya sama dengan intropeksi. Dan apabila masalah tidak sama dengan satu,
maka solusinya intropeksi dibanding dengan ketenangan dalam perundingan.
*korbanmatematika**maksalagi*
“Udah maafin aku kan?”Tanya Rio memastikan.
“Gak ada yang harus dimaafin dan meminta maaf
bukan?”Balik tanya Ify. Keduanya saling pandanga dan menertawakan tingkah
mereka.
“Eh iya Fy, Gabriel ngapain ke rumah kamu kemarin
malem?”Tanya Rio setelah menghentikan tawanya. Ify meletakkan mugnya. Merubah
posisi menghadap Rio. Menatap mata teduh pemuda itu yang juga balik menatapnya.
“Ngegalau”Jawabnya singkat. Rio menaikkan alisnya
bertanya. Menandakan bahwa dia masih belum mengerti dan puas dengan jawaban
Ify.
“Maksud kamu?”
Ify menghela nafas sebagai prolog dalam ceritanya. Dengan
gerakan tangan –yang biasa ia lakukan saat berbicara maupun berdebat- Ify
menceritakan kejadian Gabriel datang ke rumahnya dengan wajah kusam dan pulang
dari rumahnya dengan wajah sedikit cerah. Tak lupa ia menceritakan detik –
detik Gabriel akan meninggalkan rumahnya dan meminta agar dia menjadi
adik-adikannya si Gabriel.
Dengan seksama tapi tetap santai, Rio membuka telinganya
lebar – lebar. Posisinya juga berubah menjadi menghadap Ify sepenuhnya.
Memainkan jemari – jemari Ify yang lumayan basah –mungkin karena grogi atau
apalah. Mata Rio melotot lebar diakhir cerita Ify bahwa Gabriel menyatakan
perasaannya dan meminta Ify menjadi adiknya. Dalam hati ia merutuki pemuda itu.
Waktu Ify diminta Alvin jadi adiknya saja dia sedikit tak rela. Nah ini?? Udah
dua orang. Cowok semua lagi. Gimana gak jealous?
“Nah.. gitu Kak.”Ucap Ify diending cerita.
“Tapi kok dia gak cerita – cerita ke aku ya? Padahal
biasanya dia curhatnya ke aku Fy..”
“Yaelah Kak, Kak Iel tahu diri juga kali.. Kakak kan
minggu terakhir ini lagi sibuk buk buk…. Gimana Kak Iel mau cerita. Keadaan
sekolah aja kakak belum tahu. Kejadian Ify di--------eh enggak”
Rio mengerutkan keningnya. Heran melihat Ify langsng
menutup bibirnya seperti keceplosan. Khawatir, curiga dan marah campur jadi
satu. Selama dia tak berada di sekolah ada apa sebenarnya?
“Kamu mau ngomong apa tadi?? Gak usah ditutup
gitu.”Marahnya seraya melepas tangan Ify yang membekap mulutnya sendiri. Ify
langsung menunduk. Ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa harus keceplosan? Kak
Rio kan lagi ribet. Huft…
“Ada apa Fy?”
Masih diam. Dia tak tahu harus mulai dari mana kalau
masalah satu ini. Pikirannya langsung bercabang seiring dia mulai mengeluarkan
kata. Tak perlu waktu lama, 10 detik setelah mendekati inti klimak, air mata
Ify langsung keluar deras. Sampai – sampai untuk nafas rasanya susah. Dengan
sigap, Rio langsung menarik gadis itu dalam dekapan. Memberikan usapan di
rambut halusnya berharap meredakan rasa sesak pada gadis itu.
“Hiks…hiks… If.. If..Ify takut Kakak ngejauh dari Ify.”
“Nggak sayang, gak bakal Kakak pergi dari kamu. Sekarang
fotonya masih di madding?”
“Hhh hiks… nggak Kak, di bawa Kak Alvin. Katanya
mau-mau-mau hiks…hiks”
“Sssssssssttttt cup cup cup…”
Rio melepas pelukannya. Memegang erat kedua bahu Ify.
Menatapnya dalam.
“Jangan nangis…”Ucapnya lembut namun tegas. Dengan patuh
Ify langsung menahan nafas –seperti biasa ia lakukan- guna menghentikan
tangisnya. Rio tersenyum manis. Kedua tangannya sudah berpindah di kedua pipi
Ify. Menghapus air mata yang mengalir. Dengan gemas ia menggoyang – goyangkan
wajah Ify.
CUP… kecupan manis langsung bertengger di hidung bangir
Ify. Membuat gadis itu menganga lebar. Detak jantungnya kembali tak terkendali.
Perutnya mulai geli digelitik oleh hewan – hewan cinta. Sebagai gerakan reflek,
Ify langsung menutup wajahnya yang ia yakini udah merah banget. Dia menepuk –
nepuk dada Rio yang langsung memeluknya erat. Pemuda itu hanya tertawa renyah
melihat kesalah tingkahannya.
“Gemes banget deh sama kamu….”Ucapnya ditengah derai
tawa.
Merasa cukup memberika waktu Rio memeluk dirinya, Ify
melepaskan diri dari dekapan tersebut. Memancing suara decakan dari bibir Rio.
Gadis itu langsung mencubit kecil namun pedas lengan kiri Rio yang dibalas
dengan cengiran khas pemuda itu. Bebannya sudah terangkat tiga perempat bagian.
Anggap saja masalahnya udah kelar.
Suara ketukan kaki mengalihkan perhatian keduanya. Mereka
langsung memandang sosok yang berdiri di anak tangga terakhir menuju lantai 2.
Deva. Cowok remaja itu telah rapi dengan seragam karatenya. Menatap Rio dan Ify
dengan tatapan sulit diartikan.
***
Senyum pemuda ini terus terukir menyaksikan sepasang
bukan kekasih bersenda gurau di ruang keluarga. Dia terus memperhatikan gerak –
gerik keduanya. Bayangan masa – masa saat sang kakak dulu menerjang satu
persatu. Membuat dirinya semakin terbang dibawa kebahagiaan. Kejadian tadi pagi
saat ia bertengkar dengan sang kakak sebenarnya tak serius ia lakukan. Namun
karena terbawa suasana, jadi melenceng sedikit ke arah serius.
Mata Deva melotot saat melihat Rio tiba – tiba nyosor ke
hidung kakaknya. Untung dia udah beranjak remaja. Ckckckk si Kak Rio bisa aja
ngambil kesempatan, batinnya. Mengingat omongan sebelumnya antara Rio dan Ify,
Deva ingat dengan sosok laki – laki kemarin. Berarti ia udah salah sangka
menganggap kakaknya mudah pindah hati. Kemarin malam dia menyaksikan bagaimana
kakaknya dengan sosok pemuda yang ia baru tahu namanya GABRIEL. Dengan senang
hati, dia langsung menjadi sosok tukang ngintil dan kagetnya dia saat melihat
kakaknya dipeluk oleh laki – laki itu. Dia sempat marah. Dengan sedikit emosi
ia langsung mengambil foto untuk ia tunjukkan pada Rio. Namun ternyata itu
semua salah, jadi dia harus cepat – cepat menghapus foto tersebut.
Saat niatan itu datang, Deva langsung merogoh saku baju
yang ia kenakan. Ah iya, ia baru ingat sebelum berangkat tadi, sang mama
menyita ponselnya agar tak bisa membuat janji untuk tak menetap di rumah di
hari minggu ini. Ia melirik sekilas jam dinding yang terletak di antara pintu
kamarnya dan Ify. sepuluh menit lagi, kegiatan latihan akan dimulai. Tanpa
melupakan ultimatum mama, Deva langsung merampas kasar tas punggung yang berada
tak jauh dari tempatnya.
Sambil melangkah menuruni tangga satu persatu, Deva
menimbang – nimbang akan pergi atau tidak. Kalau tidak, dia tak akan bisa ikut
dalam pertandingan karate antar sanggar yang diadakan pemerintah bulan depan
mengingat hari ini merupakan hari penentuan siapa saja yang akan berpartisipasi
dalam lomba tersebut. Kalau ia tidak hadir, bagaimana ia akan dipilih? Anak
tangga terakhir, ia menatap Ify dan Rio yang juga menatapnya dalam diam. Dengan
pelan menghembuskan nafas, ia menghampiri dua orang itu.
“Kak…!” Dilihatnya Ify hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Gu…gu…gue….Eeee… ijinin gue keluar ya kak? Sekarang gue
ada seleksi.!”Mohonnya setelah duduk di samping kiri Ify yang kosong. Jadi
sekarang posisinya Ify diapit Deva dan Rio.
“Seleksi apaan?”Tanya sang kakak dengan tatapan
menghujam. Mau – tak mau ia takut juga kalau Ify udah nunjukkin tatapan seperti
itu.
“Seleksi buat ngewakilin lomba karate antar sanggar
Kak”Jawabnya lirih dengan kepala menunduk.
Dalam hati Ify udah pengen ketawa semaksimal mungkin.
Adiknya yang suka jail, sedikit nakal, dan suka nyenggol emosinya ini sangat
lucu kalau udah kayak gini. Jadi anak manis yang takut dengan ultimatum mama.
Dengan memasang wajah yang masih menyeramkan, Ify bangkit dari sofa. Berkacak
pinggang di depan adiknya yang semakin kicep.
Hitungan ketiga yang digunakan Deva dalam meprediksi
kemarahan Ify akan mulai, dia merasakan pelukan kakaknya yang diiringi dengan
seruan yang membuat rasa takut, penuh harap itu terbang melepas ikatan dengan
tubuhnya.
“YA GUE IJININ LAH…! YUK KITA BERANGKAT, gue juga pengen
nonton”
Ify langsung melepas pelukannya pada Deva dan menarik
lengan kanan adiknya dan lengan kiri Rio untuk berangkat bersama. Deva
memandang takjub kakaknya. Dia memandang Rio meminta penjelasan yang hanya
dijawab dengan angkat bahu dari pemuda itu lengkap dengan senyum mengembang.
Rio langsung melepas pegangan Ify dilengannya dan tanpa ragu merangkul calon
gadisnya setelah terlebih dahulu mengacak – acak rambut kakak beradik itu.
Bahagia itu sangat – sangat sederhana.
TO BE CONTINUED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar