Rabu, 25 Desember 2013

MISS JUTEK KETEMU CINTA PART 29

Segelintir siswa di sekitar koridor sekolah merasa sangat surprise dengan kedatangan dua makhluk lain jenis yang biasanya tak pernah terlihat akur, terlihat jalan bergandengan. Berpuluh – puluh pertanyaan entah kenapa langsung terjun bebas dan ingin di selamatkan oleh parasut “jawaban”. Kenapa mereka akur? Kenapa tidak dengan gadis yang itu lagi? Kenapa degan dia? Dan masih banyak lagi kenapa – kenapa yang lain. Dasar orang kepo to the max.
***
Gadis putih yang juga memperhatikan pasangan baru terlihat bersama itu terdiam tak melanjutkan langkah menuju kelasnya yang berlainan arah dengan kelas kedua makhluk berjarak 30 meter darinya itu. Entah kenapa lantai koridor terasa sangat kasat membuat kedua sepatunya untuk melakukan gaya gesek. Bibirnya yang sedari awal masuk gerbang sekolah terus mengoceh beberapa lirik lagu yang didengar dari BB Gemini melalui sepasang headset itu pun terhenti. Membuka lebar tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Sepasang manusia itu semakin dekat dengannya. Dekat, dekat dan tepat berada di hadapannya.
“Hay Shill”
***
Sapaan umum yang dipakai oleh orang – orang awam maupun konglomerat itu terabaikan. Shilla-gadis itu- masih menatap kosong sosok pemuda yang ia puja – puja hingga saat ini walaupun sempat menjalankan aksi ngambek tanpa sebab yang tepat. Perlahan tatapannya berubah nanar. Gabriel yang sebenarnya menyadari perubahan dan apa yang dirasakan gadis di depannya kini -mengingat dia memiliki sifat dewasa yang membuatnya lebih peka- merasa jahat. Lantas ia melepas gandengannya pada telapak tangan Zahra –sosok cewek yang sedari tadi menunduk- mengganti dengan merangkul hangat gadis itu.
Zahra secara reflek langsung mendongak. Menatap Gabriel penuh tanya yang hanya dijawab dengan senyuman tipis menawan yang selalu ia inginkan kembali sejak komunikasinya dengan Gabriel merenggang. Gadis itu beralih menatap Shilla. Kedua bola mata Shilla mulai berkaca – kaca. Perasaan tiba tiba – tiba muncul, walaupun semula ia sangat tak suka dengan gadis itu namun ia dapat merasakan. Sakit, nyesek, cenat – cenut, nyeri, perih, semua melebur jadi satu menajadi sebuah kekecewaan dan bahkan sebuah kebencian yang besar.
Tak sengaja, Zahra melihat kepalan tangan Shilla, namun sekejap gadis itu langsung melenyapkan diri dari hadapannya dan Gabriel. Melangkah cepat –lebih tepat berlari- menuju kelas, bukan sepertiya gadis itu ke….toilet. Rasa tak enak menyergap. Dengan sedikit sentakan, Zahra melepas rangkulan Gabriel membuat pemuda itu mengernyit heran.
“Loe kenapa?” Tanyanya membuat gadis itu semakin mendengus kesal.
“Elo yang kenapa. Gak usah gitu juga ke Shilla bisa kan? Kasian tauk.”
“Ya ampun Ra------”
Gabriel meraih kedua pundak Zahra dan menghadapkan tubuh gadis itu tepat di depan kedua matanya. Menatap dalam membuat gadis itu merutuki perbuatannya karena memancing ketidaksukaan Gabriel dan menelan ludah.
“Kenapa gue salah mulu sich?? Dulu gue waktu deket sama tuh anak, loenya ngamuk – ngamuk, cemburu buta. Sekarang nyuekin tuh anak, loenya ngedumel. Raraaaaaaaaaaaaaaa Errrrrrrrr….”
Semburat merah langsung mewarnai wajah gadis dengan panggilan Rara itu. Terpaksa ia harus mengingat hal yang memalukan-yang ia berjanji tak akan mengulangi- kala itu. Dimana saat masa MOS 4 bulan kemarin ia mengucapkan kata – kata tak pantas yang sebelumnya jarang ia lontarkan. Mencaci maki sekaligus mengancam gadis itu. Baru ia sadari ternyata pergaulannya memang berada pada lingkup yang salah. Bisa – bisanya dia yang akrab Gabriel sebagai gadis baik – baik, sopan dalam berkata, pintar, dan bersikap hangat pada siapa pun berubah menjadi sosok 180 derajat dari kenyataan. Astaga… berapa bulan dia menghabiskan waktu dengan sosok devil itu?
“Hay Bro..... Gue doa’in langgeng ya sama si Rara”
Mata Gabriel melotot lebar pada Cakka yang sudah duduk manis di bangkunya bersama Alvin dan Rio berteriak nyaring mengundang seluruh teman sekelasnya berhenti sejenak menyalin pr untuk jam pelajaran pertama –FISIKA- menatap dirinya dengan senyum – senyum menggoda. Tak perlu menunggu beberapa detik, seruan selamat, meminta pajak jadian dan lain sebagainya menyerbu Gabriel. Gabriel hanya menghela nafas dan melanjutkan langkahnya menghampiri ketiga sahabatnya. Dia hanya menghela nafas melihat Cakka nyengir tanpa dosa. Memang ia semalam mengundang ketiga sahabatnya sekitar pukul 22.00 WIB dan bercerita lebar masalah percintaannya. Masih ingat Alvin yang mencak – mencak sambil memainkan gitarnya kasar karena telah dibangunkan secara paksa. Cakka yang sampai pulang dari rumahnya sekitar tengah malam merutukinya ampun – ampunan dan Rio yang hanya diam karena memang pemuda itu langsung malas ngomong kalau marah. Dia hanya tertawa dan meminta maaf tak niat telah membohongi mereka untuk segera datang ke rumahnya. Ia bilang ia lagi ada masalah besar di rumah dengan sang Mama dan berniat untuk kabur. Secara serempak tak sampai 15 menit setelah ia menghubungi ketiga sahabatnya, mereka langsung datang nyelonong masuk dan disuguhkan pemandangan dirinya tengah santai memainkan gitar.
“Iya – iya istirahat pertama loe semua gue traktir--”
“Tapi inget masing – masing satu jenis”
Teriakan turut bersuka cita terdengar riuh. Untung saja ia telah mendapatkan uang saku plus uang bulanan mengingat sekarang tanggal muda di bulan Desember. Iel meletakkan tas punggungnya di atas meja dan mengambil duduk di kursi teman sebangkunya.
“Gimana Vin foto yang di madding itu?”
Alvin menggeleng lemah. Rio yang berada di sampingnya mengernyit heran. Namun dia langsung ingat cerita Ify kemarin dan bilang kalau foto itu di bawa oleh Alvin langsung tersentak.
“Sekarang mana fotonya Vin?”
“Ify udah cerita?”
Rio mengangguk dan menyodor – nyodorkan tangannya meminta foto yang dipegang oleh Alvin. Alvin langsung merogoh tas bagian depan tempat ia meletakkan foto itu setelah di cermati benar – benar dan mencoba menguak kebohongan yang ada di foto. Ini yang bikin ia lemas dari pagi dan gak mood mau ngoceh.Ia tak berhasil membantu Ify dengan kemampuannya dalam soal pengeditan foto.
“Editannya terlalu rapi. Gue udah buka mata lebar – lebar tapi rasanya gak ada celah buat dibilang editan. Yang ngedit gue acungin jempol. Apalagi posisi Ifynya pas banget buat dipaduin.”Tutur Alvin seraya meletakkan foto di atas meja.
Gabriel, Rio dan Cakka mendekatkan dirinya dengan meja dihadapan Alvin dan menajamkan penglihatan dan pendengaran mereka karena Alvin menerangkannya dengan suara yang dibuat sekecil mungkin agar tak terdengar kemana – mana.
“Gue udah coba jalan lain yaitu nyari foto Ify di facebook maupun twitternya gak ada yang posenya kayak gini. Gue mikirnya, dalang dari ini semua emang mateng – mateng ngerencanain dan ngambil foto Ify diem – diem dan kayaknya ini pas bareng loe Yo”
Telapak tangan Rio yang telah mengepal semakin mengepal erat. Nafasnya memburu. Tatapanny yang tadi tenang seketika menyalang lurus memandang papan putih di hadapannya. Alvin langsung mengusap pundak Rio. Cakka dan Gabriel hanya diam. Mereka juga akan seperti Rio jika orang yang mereka sayang mendapat cobaan seperti ini.
“Loe tenang dulu Yo, pasti ada jalan lain buat ngebuktiin masalah ini. Oh ya Yel, foto ini gak sampe’ nyampek guru kan??”
“Nggak lah Vin, kemarin guru – guru pada rapat dan sebagian sama Rio pergi ke sekolah sebelah ngadain kerja sama itu.”
“Syukurlah, kalau nggak bisa – bisa-------------”
Belum Alvin menyelesaikan masalah. Belum hembusan nafas lega Cakka dan Gabriel menyeruak seluruhnya dan kepalan tangan Rio belum sempat terlepas, suara teriakan yang memanggil keempatnya dari ambang pintu menghentikan dan seketika membuat mereka tegang.
***
“Gimana ceritanya Vi, Ag?”
Cakka, Alvin, Gabriel dan Rio serta Sivia dan Agni, dengan langkah cepat melewati koridor kelas 11 menuju ruang guru yang berada setelah dua ruangan dari daerah kelas 12. Setelah mendengar teriakan Sivia yang mengatakan bahwa Ify dipanggil oleh bu Winda dan wali kelas, serempak keempat cowok itu langsung meloncat dari bangku dan mengajak dua sahabat Ify mengampiri gadis itu.
“Tadi pas lagi asik – asik cerita tiba – tiba ketua kelas kita bilang kalau Ify segera ke ruang guru Kak. Masak masalah madding itu sich kak?? Bukannya kemarin sepi guru ya?”
“Gue juga mikirnya gitu Vi. Mungkin pas kita udah ngambil foto itu sebelumnya tim tatib udah lihat dan berniat ngomongin. Kalau mereka tahu pas sebelum pulang sekolah, Ify pasti langsung dipanggil pas hari itu juga.”
Rio langsung ketar – ketir mendengarkan kemungkinan – kemungkinan yang dituturkan oleh Alvin. BBM yang sedari tadi ia terima hanya dibaca. Bodo’ amat mau dari orang penting atau siapa yang penting sekarang ia harus melindungi peri kecilnya. Gadis itu sekarang pasti ketakutan menghadapi serangan guru yang bertubi – tubi. Untung saja ia mantan ketua OSIS yang mempunyai hak juga dalam mengurusi permasalahan siswa dan terkadang juga boleh membantu tugas guru BK dalam memberi solusi pada siswa yang membuat onar. Tuhan… Kuatkan Ify.
“Assalamualaikum…..”
Seluruh manusia yang berada di ruangan itu langsung menoleh. Rio dan Alvin langsung masuk setelah meminta izin sebelumnya. Sedangkan Cakka dan Gabriel mereka suruh tunggu di luar bersama Agni dan Sivia, takutnya tidak diperbolehkan membawa massa dalam jumlah banyak.
Ify langsung mendongak dan memberi tempat untuk Rio dan Alvin agar duduk di sebelahnya. Dia benar – benar takut sekarang. Rio dapat melihat mata Ify mulai berkaca – kaca. Mungkin dia terlambat sedikit saat Ify diintrogasi. Di ruangan ini sudah ada Tristan-ketos periode 2012/2013-, Wali kelas Ify, bu Winda, dan pak Hardi selaku ketua tim tatib. Kalau gak ingat ini ruang guru, langsung ia peluk si Ify. Sayangnya keadaan tak memungkinkan, dia hanya dapat menggenggam tangan kanan Ify. Sidang dimulai kembali. Debo yang katanya sekarang juga menjadi korban sama seperti Ify, bedanya Ify korban pemfitnahan sedangkan Debo menganggap dirinya korban pengikut campuran privasi oleh pengambilan fotonya dan Ify.
“Saya bersumpah Bu, saya gak pernah melakukan hal seperti yang tertangkap foto itu. Dengan Kak Debo saja saya takut Bu. Itu editan Bu.”
“Kamu bilang ini editan Ify?? LIAT INI, kamu teliti. Gak ada unsur editan di foto ini. Kamu jangan mengada – ngada.”
Air mata Ify akhirnya tumpah. Dadanya sesak. Seumur – umur dia tak pernah difitnah seperti ini. Walaupun waktu masih duduk di bangku SD dulu dia pernah difitnah namun tak separah ini. Dia harus bagaimana lagi sekarang?? Berkata jujur salah, berkata bohong dengan mengakui bahwa itu dirinya lebih – lebih salah. Masih berusaha menahan tangis yang terus berproses, Ify menggigit bibir bawahnya. Berada di samping gadis yang tengah menangis terlebih sosok yang ia sayang, Rio tak kuasa menahan diri untuk memberi ketenangan pada gadis itu. Perhatiannya kembali teralih pada bu Winda yang berlanjut memberikan pernyataan – pernyataan yang membuat Ify dan Debo semakin tersudut. Memberi kesempatan keduanya untuk membela namun segera ditolak karena tak logis. Kepalan tangan sosok cowok dihadapan Rio semakin kuat. Cowok itu duduk diantara Tristan dan wali kelas Ify-Debo. Tatapannya menyalang terarah lurus pada Rio.
“Rio”
Perhatian pemuda itu –yang sebelumnya mencuri pandang melihat reaksi Debo-langsung teralih. Dia menatap penuh tanya bu Winda yang memanggilnya.
“Kamu bawa Debo keluar!”
Seperti mengerti maksud bu Winda, Rio langsung bangkit. Namun sebuah tangan menahannya. Ify menggelengkan kepala untuk menyuruhnya tak mengindahkan amanat bu Winda. Ketar – ketir Ify menanti keputusan Rio. Apalagi saat selama bu Winda berpendapat dan menyudutkannya tadi, tiba – tiba saja laki – laki itu melepas genggamannya dan menatap lurus cowok yang juga menjadi tersangka seperti dirinya. Dengan sekali sentakan, membuat mata Ify melotot tak percaya hingga rasa sakit tangan kanannya yang terbentur bagian bawah kursi kayu akibat sentakan Rio tak terasa, lelaki itu meninggalkannya dan dengan kasar menarik lengan baju Debo. Dada Ify bertambah sesak. Ia menatap kosong meja yang memisahkan kursi panjang yang ia duduki sekarang dengan sosok lain dalam ruangan itu.
“Fy….”Panggil Alvin khawatir melihat tubuh gadis disampingnya bergetar. Saat akan  mendekatkan diri dan menyentuh pundak Ify, Sosok yang baru saja keluar memanggilnya.
“LOE IKUT GUE SEKARANG!”
“Tap tap—"
“VIN!!!”
Dengan segera, pemuda keturunan china itu bangkit dan sedikit berlari menghampiri Rio setelah berpamit terlebih dahulu. Bu Winda yang sedari tadi memperhatikan tingkah anak didiknya langsung berdeham keras mengalihkan suasana dan perhatian orang – orang yang masih berada dalam ruangan.
***
Dari awal ia menarik Debo hingga sampai di lapangan basket indoor SMA PUTRA BANGSA, lelaki itu terus memberontak. Untung ia memanggil Alvin untuk membantunya membawa Debo ke tempat ini. Bisa – bisa ia kewalahan. Dengan kaki kanannya, Rio membanting pintu lapangan. Mengedarkan seluruh pandangan ke penjuru ruangan dan berteriak.
“WOY…….. YANG MASIH ADA DISINI, CEPET KELUAR!! KAGAK USAH PAKE’ ACARA SEMBUNYI – SEMBUNYIAN. GUE ITUNG SAMPE’ 3 BELUM KELUAR. GUE LAPOR TATIB!”
Belum sempat Rio mengambil nafas, segerombolan murid dengan penampilan urakan keluar dari balik tempat duduk penonton paling ujung. Dengan langkah cepat, mereka menuruni tangga penonton dengan membawa barang – barang yang sepertinya disembunyikan di balik punggung. Rio menatap 6 orang yang sepertinya kakak kelasnya itu curiga, namun tetap dengan tampang datar agar tak memancing.
“Loe kok gak asik sekarang Yo? CK”
Marah salah satu dari mereka padanya sambil melirik sosok yang masih ia kurung bersama Alvin. Alvin hanya menelan ludah melihat kakak kelas yang ia tahu sebagai troublemaker di sekolah ini. Tampangnya men,, sangar abis. Lebih parah dari Sion-teman disanggar karatenya Rio. Rio hanya nyengir kuda dan menepuk pundak kakak kelas itu dengan satu tangannya yang bebas.
“Sorry deh Kak, gue butuh banget nih tempat buat ngeksikusi nih orang----” menunjuk Debo dengan dagunya.
“Nih gue ganti” Lanjutnya seraya menyerahkan selembar kertas berwarna biru plus merah yang totalnya Rp 150.000,00 pada kakak kelasnya yang dibalas dengan senyuman lebar dan menggoyang – goyangkan lembaran itu di depan teman – temannya.
“Sip dah! Gue cabut dulu. Thank’s Bro…!”
Rio mengangguk. Segerombolan pemuda itu berlalu namun belum sempat melangkah untuk yang ketujuh kalinya, Rio kembali memanggil. Tatapan kesal menghajarnya. Dengan segera ia melempar sebungkus tisu dari saku celananya.
“Tutup barang – barang loe pake’ itu Kak. Tatib sekarang lagi ngawas di koridor kelas 3.”
“Thanks Bro..”
“Urwel Kak. Gue mohon ini yang terakhir loe ngepil ya. Gue gak mau ngelihat kakak kelas yang gue sayang didamprat sebelum waktunya.”
“HAHAHAHHAHHAH”
Mereka tersenyum sumringah dan mengacungkan jempol kepada Rio sebagai tanda terima kasih. Rio hanya mengangkat bahu acuh. Dia melakukan ini bukan karena setuju dengan apa yang mereka lakukan. Dari sudut pandang manapun hal yang mereka lakukan itu salah besar. Menyakiti diri sendiri. Dia hanya menolong melindungi mereka karena waktu mereka di sekolah ini tinggal hitungan bulan. Bulan april mendatang kakak kelasnya itu sudah out. Masalah akibat dari perbuatan yang mereka lakukan, dia bodo’ amat. Toh mereka sendiri yang akan menanggung akibatnya. Mereka juga mempunyai pemikiran untuk melakukan yang terbaik. Kalau hal itu merupakan yang terbaik untuk dilakukan? Apaboleh buat?? Mau ngehukum kayak yang BNN lakukan terhadap Rafi?? Kagak ada kerjaan banget. Kalau dipikir – pikir, negara ini lucu juga. Koruptor yang ngerugiin bangsa kagak sampai dihukum ribet kayak Rafi yang Cuma ngerugiin diri sendiri. HA to the HAJ
“Loe ketos gak beres!” Ketus Debo.
Rio mengangkat alisnya sebelah dan tersenyum miring sambil mendudukkan Debo di kursi penonton paling depan. Dan ikut duduk di sebelahnya bersama Alvin membuat Debo terkurung.
“Thanks, pujian yang menarik. Gue sich Deb, selama itu bukan urusan gue dan orang itu gak ngusik hidup gue. Gue mah adem ayem. Asal bisa diajak kerja sama dan nurut sama yang gue bilang. What ever they do.”
“Yakin banget kalau mereka nurut sama loe.”
“Gue yakin.”
Debo mencibir. Rio hanya tertawa. Ia bangkit mengambil basket yang ia minta dari Alvin untuk melemparkan padanya. Memainkan bola orange itu di hadapan Debo. Terlihat santai.
“Foto itu siapa yang ngedit Deb?”Tanya Rio masih bergelut dengan bola orangenya.
Debo mendelik.
“Loe kok tanya gue? Gue jadi korban pemfitnahan itu juga. SHIT”
Masih berputar- putar dan mendekati ring dengan lari kecil mendrible bola, Rio tersenyum miring.
“Biasa aja kali Deb. Kalau emang gak tahu gak usah Shat shit shat shit”
Langkah tiga kali, lompat dan masuk. Lay up yang sempurna telah dilakukan Rio dengan sangat santai.
Dengan kesal Debo mengambil bola basket lain yang berada di bangku penonton belakangnya dan melempar kasar ke sembarang arah. Dia lantas  berdiri dan jatuh dengan lutut menyentuh lapangan basket, mengacak – acak rambutnya frustasi. Rio mengambil bola yang ia drible dan menatap Alvin untuk menghampiri Debo. Laki – laki itu segera berlari kecil dan menahan pergerakan kasar tangan Debo yang masih mengacak – acak bahkan menjambak rambutnya.
“Loe kenapa Deb. Sadar Deb..!”
“ARGH……… kenapa semua nyalahin gue?? Gue gak tahu masalah foto itu. Sumpah gue gak tahu. Walaupun gua suka sama Ify, tapi itu dulu. Akhir – akhir ini juga gue gak ada deketin tuh anak lagi. Gue ikhlasin dia sama loe Yo. Kenapa semuanya malah nyalahin gue?? Gue emang pernah dalam posisi itu, tapi bukan sama Ify, sama--------”
“Febby?”
Debo mendongak. Rio telah berada tepat dihadapannya. Mengulurkan telapak tangannya yang tak memeluk bola basket. Masih dengan heran, Debo menyambut uluran tangan Rio. Kembali ketiganya menuju tempat duduk penonton.
“Kok loe tahu Yo?”Tanya Debo setelah beberapa menit hening dengan pikiran masing – masing. Rio nyengir dan membebaskan si orange yang berada dalam pelukannya.
“Orang dia yang jadi dalang masalah ini Deb” Belum Rio menyahut, Alvin nyerocos terlebih dahulu dan alhasil mendapat tatapan tajam dari Rio. Debo semakin  bingun menatap kedua pemuda di samping kanan – kirinya.
“Mmm.. gini loh Deb, sebenarnya semua ini gue yang ngerencanain. Gue mau bikin surprised ultah Ify sekarang. Jadi kemarin – kemarin sampai sekarang gue ngerjain dia dulu.”Tutur Rio hati – hati dan bangkit dari duduknya melihat pancaran mata Debo yang mulai mengerti dan seakan ingin langsung menyerang Rio.
“Loe….”
“Kabur Vin..”
***
Rio tersenyum sumringah melihat hasil program kerja hatinya telah berjalan sesuai rencana walaupun masih separuh. Kalau dipikir – pikir, akting dia sama Alvin oke juga. Ntar kalau ada casting, boleh tuh dicoba. Lumayan pekerjaan sampingan sekaligus nambah tenar. Debo yang masih disebelahnya setelah saling bermain kejar – kejaran bak Tom and Jerry, masih mendengus dan mencak – mencak tak karuan. Berulang kali ia meminta maaf pada pemuda itu. Dia juga tak menyangka Debo sampai sestres ini menghadapi masalah pemfitnaan yang ia buat. Dia berjanji setelah surprised Ify ini selesai hingga tahap akhir yang nantinya ada something special, dia akan berbicara lewat pusat pengumuman untuk mengembalikan kembali citra Debo yang sebelumnya emang gak bagus – bagus banget.
Saat ini ketiganya masih berada di ruang indoor lapangan basket. Masih di tempat penonton yang semula. Alvin sendiri memilih diam. Adegan kejar – kejaran tadi ia tak ikut andil. Lagian dia kan gak terlibat apa – apa, cuma masalah fotonya doank. Selebihnya Rio, kalau mau nyidang, ya seharusnya menyidang Rio. Betul dah tadi yang dilakukan Debo. Debo memukul perut Rio sekali sebagai pengganti stressnya beberapa hari yang dibalas tawa oleh Rio. Oh, by the way masalah antara Debo dan Rio sendiri terselesaikan setiap berjalannya waktu.
Suatu hari kala itu, saat dimana Rio pulang sore dan tak bisa mengantar Ify pulang karena urusan program akhir OSIS periodenya yaitu merekrut anggota baru OSIS, dia menyempatkan diri menemui Debo yang memang pada saat itu masih berada di area sekolah bersama teman – teman sejawatnya. Seperti yang dikatakan Debo tadi. Pemuda itu memang telah melepas Ify karena memang kalah telak dengan Rio yang berhasil mengambil perhatian terlebih hati Ify. Sekarang ia memiliki incaran lain yaitu Febby, gadis jurusan IPA yang lebih tua setahun darinya. Gadis pendiam namun ternyata ramai saat telah bersamanya dan orang – orang yang akrab dengannya.
“Sampai kapan kita di sini Yo?”
Suara Alvin langsung menyadarkannya dari lamunan sementara. Dia menoleh menatap Alvin seraya bertanya melalui bahasa tubuh menunjuk pergelangan kiri dengan telunjuk kanannya.
“10.15”
Rio mengangguk. Lantas bangkit mengambil bola basket yang ia taruh di bawah bangku penonton tadi dan melemparnya pada Debo yang langsung memelototinya karena tak siap dengan serangan yang mendadak. Rio hanya cengengesan dan melalui kontak matanya menuntut Debo untuk main one by one dengannya. Dengan malas Debo menuruti dan mendrible  si orange.
“Wasit Vin…” Seru Rio yang hanya diacungi jempol oleh Alvin.
Pertandingan setengah minta, setengah serius, cenderung males pun di mulai saat  bola orange lumayan keras kalau ditimpukin ke muka orang itu di lempar oleh Alvin. Kembali Alvin menuju tempat duduknya semula seraya mengutak – atik BBnya yang sedari tadi berbunyi riang menandakan beberapa messages masuk. Diantaranya dari Sivia dan kebanyakan dari fans – fans fanatiknya yang masuk dalam daftar list kontak BBnya.
Sivia
Kak, loe nyangkut dimana?? Kok kagak balik – balik? Kak Rio juga di mana?? Si Ify nangis kejer nih. Bu Winda marah – marah. Cepet balik, 10 menit gak nongol awas aja loe?!:@

Alvin tersenyum tipis membaca pesan BB dari Via. Tak menyangka Sivia telah menjadi kekasihnya saat ini. Masih ingat bagaimana Sivia tersipu saat ia menggoda gadis itu. Semburat merah muncul menghiasi kedua pipi bakpao itu. Dengan segera ia membalas dan bangkit meninggalkan kedua cowok yang masih seru berebut bola untuk dimasukkan ke ring dan mencetak point.
***
“Gimana hubungan loe sama Febby Deb??”
Debo mendengus sebal. Rio masih terus mendrible bola itu berkeliling mengitari lapangan dengan Debo yang mencoba menghalangi pergerakan Rio menuju ring milik Debo.
“Gak usah sok bego dech loe.”Ketus Debo mencoba meraih bola orange itu. Namun masih dapat dihalang oleh Rio.
“Hahahahha. Sorry, sorry. Dia tahu kok Deb yang sebenarnya.”
“Hah?”
Rio tersenyum tipis. Lantas memfokuskan diri pada pergerakan defend Debo yang tepat berada di depan ring. Masih tercetak jelas senyum miring, Rio terus melakukan drible dengan langkah kanan, langkah kiri mencoba membingungkan lawan memprediksikan kemanakah Rio akan membawa bola. Dengan pelan, ia mengambil posisi kiri, gerak cepat ke kanan dan berbalik lebih cepat ke posisi kiri. Lay up dan 2 point ia dapatkan.
Debo berdecak. Kekagumannya pada permainan Rio dalam mengecoh lawan melalui pergerakannya masih tetap sama. Bola masih berada di pihak Rio. Mulai terlihat sangat santai dibanding sebelum Rio melakukan lay up tadi. Rio terkekeh pelan mendapat tatapan menuntut penjelasan dari mata Debo. Seraya berfikir –ia akan mulai dari mana-bagaimana ia bercerita, ia tetap mengitari setengah lapangan basket menimbulkan decakan kesal dari Debo.
“Ya…dia tahu kalau gue yang bikin suasana sedemikian rupa.”
“Dan sejahat rupa.”Desis Debo langsung memancing tawa Rio.
“Eh.., tapi, kok dia tetep marah – marah sama gue Yo?”Lanjutnya sambil mengambil bola orange itu saat Rio lengah –yang menatap  menunggu respon darinya.
“Gue yang nyuruh lah. Bego’ apa loe? Kalo dia biasa aja, ya loe bisa curiga.”
Rio berhenti mengikuti Debo untuk merebut si orange. Ia melangkah kembali ke tempat duduk semula, mengembalikan kembali nafasnya yang lumayan memburu. Walau permainan ini hanya sekenanya, tapi benar-benar menguras tenaga, mengingat yang bermain merupakan atlet dalam bidang ini.
“Oh, iya iya. Eh kok loe berhenti?”
Debo menyusul Rio dengan bersungut. Nakal banget nih bocah, dia udah prepare melakukan three point, eh malah ditinggal. Secara gak langsung menghentikan permainan.
“Bu Winda sms suruh ke sana. Si Ify nangis.”Ucap Rio terengah.
Seragam sekolah bagian belakang benar – benar basah, mandi keringat. Dengan cepat ia membalas pesan singkat guru yang menobatkannya sebagai “murid kesayangan” itu. Hanya sekedar mengucapkan kata OTW. Rio melirik Debo yang  udah kayak orang kena asma. Nafas sepenggal – sepenggal parah.
“Baik – baik kan loe Deb?”
“Sialan loe”
Debo langsung memberi pukulan ringan kepalan tangannya di bahu kiri Rio yang berada d sebelah kanannya. Rio kembali tertawa. Coba dari dulu si Debo dapat ia ajak kompromi seperti ini. Ia gak perlu susah – susah menghajar dan mengancam pemuda ini karena masalah percintaannya.
“Loe tega juga bikin Ify nangis.”
Rio mengangkat bahu sambil menatap lurus lapangan dengan pandangan menerawang. Khayalannya ke depan yang akan ia habiskan dengan Ify berada di pelupuk mata. Mau tak mau membentuk senyuman yang menurut Debo aneh dan menakutkan. Takut hilang kesadaran. Tak mau ambil resiko ia menonjok pelan bahu Rio.
“Ini yang pertama sengaja gue bikin dia nangis dan yang terakhir pula bikin dia nangis selama bersama gue sekarang, nanti, dan seterusnya.” Rio menoleh mendapati Debo yang mencibir karena jawabannya. Kembali ia terkekeh.
“Yok..!”Ajaknya seraya bangkit dari kursi penonton. Dengan segenap rasa lelah energi terforsir habis oleh Rio, Debo menyusul dan berusaha menyamai langkah lebar Rio mengingat tinggi dirinya hanya sebatas pelipis pemuda jangkung itu.
“Eh iya yo, ngomong-ngomong Bu Winda. Guru killer itu tahu?”Tanyanya
“Kalau kagak,gak begini jadinya Deb.”
Debo manggut – manggut. Setengah perjalanan menuju pintu keluar lapangan indoor basket telah dilewati.
“Kok loe gampang banget jinakin tuh guru buat nurutin misi loe Yo?”Tanyanya lagi membuat Rio berdecak keras dan menatapnya tajam yang hanya dibalas cengiran. Gak tahu kali nih si Debo, dia kecapekan membuat malas ngomong apalagi gerak. Tahu gitu tadi gak main.
“Jadi anak kesayangan guru, gak afdol kalo sekali gak minta bantuan dan minta hak lebih dari murid – murid lain. Percuma, gue mantan ketos, anak donator sekolah, penyumbang prestasi terbanyak, tapi gak diturutin minta bayaran sedikit dari guru – guru.”
“Anjir loe!!”
“Hahhahahah!”
Keduanya tertawa di ambang pintu. Rio langsung mengeluarkan kunci lapangan basket. Dia diberi kepercayaan memegang kunci serep basket itu, takut aka nada keperluan yag menyangkut tempat itu. Dengan sekali kunci, ia lantas berbalik dan langsung merangkul Debo dengan rangkulan hangat seorang sahabat.
***
“Kamu telephone orang tuamu sekarang! Suruh cepat ke sekolah!”
Ify melongo akan perintah bu Winda. Tangisannya mulai reda, hanya isakan tertahan yang tersisa. Agni, Sivia dan Gabriel yang sedari tadi menunggu di luar, sekarang ikut memenuhi ruangan untuk menenangkan Ify.
“Ayo Ify!” Gertak bu Winda melihat anak didiknya masih diam.
“Tapi Bu, Ify bener – bener gak tahu dan gak ngelakuin hal yang ada di foto ini.”Protes Ify masih tak terima.
Bu Winda melotot tajam. Dengan tubuh gemetar, terpaksa Ify melakukan yang bu Winda perintah. Dia menekan tombol 0 lama pada BBnya untuk menghubungi sang mama dengan cara pintas. Tak lama terdengar suara sambungan yang terputus. Ify menggeleng.
“Papa kamu!”
Lantas Ify menekan tombol 2. Papa pasti kecewa dengan apa yang terjadi hari ini. Belum 5 detik berjalan, Ify menatap penuh permohonan pada bu Winda yang dibalas tatapan makin menyalang. Ify menunduk, menatap BBnya. Masih belum melakukan kembali hal yang diperintahkan oleh bu Winda. Bu Winda terus menatap Ify penuh tuntutan. Jujur saja beliau mulai tak tega dengan gadis tirus ini. Matanya mulai sembab dan rada’ bengkak. Rambut kuncir kuda dengan pita hijau tosca ukuran cukup besar itu mulai melepas beberapa helai rambut, menjatuhkannya disekitar pelipis gadis itu. Kalau bukan karena permintaan Rio –yang notabane marid kesayangannya- yang baru pertama kali ini, tak mungkin mau beliau bersikap kasar apalagi sampai membentak-bentak gadis ini sedari tadi mengingat Ify telah menempati tampat sebagai murid kesayangan kedua di hatinya.
Suara pintu terbuka lebar, menyita perhatian bu Winda dan penghuni ruangan lainnya. Rio dan Debo muncul dari balik pintu dengan keadaan biasa. Rio dengan pembawaan tenang namun tatapan tajam mengarah lurus pada gadis yang sedang ia jaili dan Debo dengan wajah kusut yang sebelumnya telah diperintahkan oleh Rio untuk berakting sesuai porsinya. Alvin telah terlebih dulu memasuki ruangan ini dan mengambil tempat tepat di sebelah Sivia.
“Ayo Ify!” Tegur bu Winda melihat Ify hanya diam menatap Rio yang baru saja memenuhi ruangan. Ify tersentak. Hampir saja BBnya jatuh kalau tidak terlebih dahulu diambil Tristan yang sedari tadi berada di sampingnya. Ify mengalihkan BB itu ke bu Winda di seberang yang terpisah oleh meja berukuran lumayan besar.
“I…I..Ibu aja yang telephone Pa..pa”Ucap Ify terbata.
Kalau sudah berurusan dengan Papa, ia benar-benar gemetar ketakutan. Walaupun Papa sangat memanjakannya namun tak memungkiri pria paruh baya itu terlihat seram jika dalam kondisi marah. Waktu itu saja, dia diantar pulang oleh Rio pas keadaannya lemah, Papa marah karena sifat keras kepalanya yang tetap memaksa masuk padahal fisik dia benar-benar lemah dan pastinya merepotkan Rio. Marahnya Papa gak sampai bentak-bentak sich, tapi tetep aja serem. Marahnya lembut tapi tandas jleb membuat dia benar- benar merinding. Dia lebih baik diomelin dari pada diomongi dengan suara lembut tapi tajam.
Sempat ragu, namun pada akhirnya bu Winda mengambil alih alat komunikasi itu. Seluruh isi ruangan menegang, terkecuali Rio, Debo, dan Alvin tentunya. Bu Winda langsung beranjak dari kursi dan keluar ruangan saat nada sambung terdengar. Beberapa saat terdiam. Dengan takut-takut Ify melirik Rio yang berada di seberang dekat dengan tempat bu Winda tadi. Pemuda itu langsung membuang muka. Enggan menatapnya. Nafas Ify mulai tak beraturan. Gini nich efeknya kalau dia nahan tangis, nafas udah tinggal 1 liter rasanya. Sembari menunduk, ia mencoba mengatur nafasnya. Kedua tangannya mencengkram rok bagian pinggir kuat-kuat. Susah payah ia menstabilkan nafasnya.
Aksinya membuang muka saat Ify menatap, ia lakukan karena benar-benar tak tega dengan gadis itu. Ia juga merasakan Ify susah untuk bernafas normal. Gadis itu menunduk. Rio melotot tajam, saat Tristan berniat akan merangkul Ify sekedar menenangkan. Pemuda itu manarik tangannya kembali sebelum menyentuh Ify. Padahal niatnya baik. Bagaimana pun Ify tetap temannya walaupun dia kakak kelas. Nama gadis itu sering ia dengar dari teman-temannya karena kecantikan dan kepintaran yang gadis itu punya. Awalnya ia tak tahu siapa Ify karena gadis itu jarang terlihat atau mungkin dia yang tak melihat di sekitar sekolah. Akhirnya pada saat ia telah dinobatkan sebagai pengganti Rio, sebagai acara pembuka masa jabatannya ia memperkenalkan diri serta harapan dan lain-lain ke satiap kelas pada saat itu juga. Dan saat itu pula, ia tahu bagaimana sosok Ify yang sering ia dengar dari teman-temannya. Sosok gadis cantik sekaligus manis membuat siapa saja tak akan bosan melihatnya dengan bola mata indah, hidung bangir dan betuk wajah yang jarang dimiliki seorang gadis-tirus.
“Orang tua kamu sudah di jalan”Ucapan bu Winda memecah keheningan. Ketenangan Ify juga mulai pecah.
***
Ketegangan itu sudah berlangsung beberapa menit yang lalu. Di ruangan ini hanya tinggal Ify, kedua orang tua Ify, Debo, Rio, dan bu Winda. Ify duduk di antara Mama dan Papa, sedangkan bu Winda diapit oleh Rio dan Debo. Ify sedikit merasa heran. Rio kan tidak terlibat apapun dengan masalah ini, tapi kenapa ikut gabung juga?? “Mmmm mungkin karena dia ketos, tapi kan udah pension.”Pikir Ify bingung. Tangannya tak berhenti memproduksi keringat dingin sedari tadi. Begitu pula air matanya. Ia terus terisak mendengar penuturan bu Winda yang jauh dari kata benar. Tapi bukan salah bu Winda pula, itu foto juga ngapain kecetak kayak gitu, bikin rusuh, bikin gemetar, bikin nangis, pokoknya bikin dia berada diantara hidup dan mati.
“Puas kamu Fy?? Papa gak nyangka SMA ini kamu jadi liar seperti ini.”
Tangisan Ify mengeras. Tak pernah ada dalam bayangan Papa marah seperti ini padanya. Apalagi mengatakannya anak liar. Sumpah nyesek. Dia mending di PHPin ketimbang Papanya beranggapan dia buruk. Dia ingin protes. Dia ingin bicara panjang lebar, tapi kenapa suaranya seakan tertelan bumi?? Kenapa hanya tangisan yang bersuara??
Lewat belakang tubuh bu Winda, Debo mencolek Rio, membuat cowok itu menatap kesal padanya. Debo berdecak pelan melihat Rio kembali teralih pada apa yang ada di hadapannya. Lumayan kaget dia mendengar penuturan Papa Ify. Rio benar-benar dah. Benar-benar sukses bikin Ify nangis kejer. Lihat nih, abis ini si Ify sakit gara-gara kebanyakan nangis. “Duh…mantan inceran gue berhenti kek nangisnya elah… gue kagak tega sumpah”Batinnya.
Mama terus mengusap punggung Ify. Beliau sangat kecewa dengan laporan bu Winda mengenai Ify. Foto itu terlihat tak pantas untuk dilihat. Posenya bikin orang berpikiran tidak-tidak pada anak gadisnya. Beliau merasakan Ify langsung memeluk tubuhnya. Hal yang ia khawatirkan datang, tubuh Ify terasa hangat. Pasti nanti gadis ini akan sakit. Baru beberapa hari lalu gadis mungil ini sakit, masak sakit lagi??
“Maaf Pak, terpaksa sekolah mengeluarkan Ify”
JDARRR… tangisan Ify lebih keras. Bahunya naik turun sangat cepat.
“Apa tidak bisa dipertimbangkan lagi Bu?? Misalnya Ify dipindahkan sekolah terlebih dahulu. Saya tidak ingin nilai kelakuan anak saya di raport C. Itu membuat Ify susah mendapat sekolah lagi.”
“Bisa Pak, mari kita urus di ruang kepala sekolah. Beliau telah menunggu.”
****
Ruangan ini masih sama. Isakan Ify masih terdengar memenuhi ruang eksekusi setengah mendadak itu. Tersisa sahabatnya, Sivia dan Agni serta Tristan, Alvin, Debo dan Gabriel. Kemanakah Rio?? Cowok itu berpamit ke ruang OSIS karena sebelumnya mendapat utusan dari bu Winda untuk mengambil berkas penting yang tak tahu isinya apa. Sivia dan Agni yang masih terus mengapit Ify seraya memberi usapan lembut di pundak gadis tirus itu lama-lama tak tega. Mata sahabatnya kini terlihat bengkak. Tampilan rambutnya juga sedikit berantakan.
“Udah Fy. Berhenti nangis. Semua bakalan baik-baik aja kok. Yakin deh”
Ify terus sesenggukan. Kedua tangannya tak berhenti mengusap cairan asin yang diproduksi kelopak matanya. Usap yang kiri,yang kanan terus ngalir. Usap kanan, yang kiri nyusul minta diusap. Pokoknya dari awal masuk ruang ini sampai sekarang, gak kehitung deh berapa kali tangan kanan-kiri bolak-balik gerak.
“Hiks… Kak Rio hiks.. kemarin bilangnya percaya sama gue. Tapi sekarang malah dinginin gue. Papa lagi. Gue gak bisa lihat Papa marah..hiks. Papa sayang banget sama gue. Gue jarang liat Papa marah karena gue gak pernah buat beliau marah. Tapi sekarang? Gue bikin Papa kecewa dan marah sama gue…huhuhu”
Sivia langsung menarik Ify ke dalam rangkulannya. Gadis itu langsung menangis di bahu Sivia. Tubuhnya semakin gemetar. Sivia mengernyit saat merasakan perubahan suhu tubuh Ify. Hangat cenderung panas. Dia mencoba menyentuh leher Ify. Lumayantidak dapat dibilang normal suhu tubuhnya. Sivia menatap orang-orang disekitarnya. Mencoba memberi tahukan dengan kalimat yang tak bersuara bagaimana kondisi Ify sambil terus mengusap-usap punggung Ify.
***
Alis Alvin terangkat meliha gelagat Debo yang sedari tadi tak bisa duduk tenang di sampingnya. Kelihatan banget kalau cowok yang kalah kece-menurutnya- itu gelisah. Setelah memastikan BBnya dalam kondisi aman di saku celanan kanan, tangannya menepuk keras pundak Debo membuat ia mendapat pelototan tajam dari korban.
“Gatel tangan loe?”Kesal Debo.
“Pantat loe yang gatel? Dari tadi, duduk gak beres. Geser sana geser sini. Pengen gue gampar tuh pantat.”Sahut Alvin dengan alis masih terangkat (kagak capek pin?)
“Ck. Gue samperin aja si Ify. Kagak tega gue lama-lama”Ucap Debo gak nyambung dengan kalimat Alvin. Mata Alvin menyipit. Tak mengerti namun paham.
“Loe mau keluar dari sini tinggal badan doank, kagak pake’ nyawa? Siap buat nulis wasiat?”
Debo yang sudah beranjak kembali menghempaskan tubuhnya di samping Alvin dengan kasar. Dia dilema sekarang. Melihat keadaan Ify, membuatnya terenyuh. Mungkin efek sisa-sisa rasa sayangnya ke Ify masih beras itu membuat ia tak tega melihat badan mungil itu terus bergetar dalam pelukan Sivia yang masih terus menenangkannya. Dia tak bisa membayangkan, tubuh itu bakalan tambah mungil karena kesedot buat nambah tenaga Ify untuk menambah frekunsi tangisannya. Duh gimana kalau hal itu terjadi?? Adik kelas yang sangat good looking itu nanti terlihat sama dengan siswi lainnya. Nggak, hal itu tak boleh terjadi. “Gue harus bantu berhentiin Ify nangis. Gue gak rela makhluk cantik, manis plus mungil harus hilang dari pandangan”. Tekadnya yang sebenarnya tak ada penting-pentingnya. Tanpa memberi perhatian pada cegahan untuk melaksanakan aksinya, Debo mulai berjalan mendekati gadis itu.
Alvin hanya menghela nafas pasrah dan mencoba acuh seperti biasanya kalau nanti bakalan ada upacara pembukaan perang sekolah perdana.
***
Secara cover tak peduli. Dalam hati memperhitungkan. Belum selesai ia menghitung mudur dari angka 10 kesuakaannya hingga mendekati nol. Sosok yang diwaspadai mengenai niat yang dilakukan oleh Debo dalm bentuk perbuatan, muncul dari balik pintu. Pemuda yang baru saja melangkah  sekali memasuki ruang yang sebelumnya ia keluar dari ruangan ini juga, langsung mematung. Tak hampir semenit, pemuda itu lenjut menggerakkan tungkai menghampirinya.
“Loe ikut gue sekarang Vin”Bisik Rio, pemuda tersebut.
“Gak usah bacot dulu”Lanjut Rio saat melihatnya akan mengeluarkan protes atau pun pertanyaan. Dengan sedikit mendengus, ia mengikuti Rio yang telah terlebih dahulu menunju pintu keluar kembali.
“Kak….”
Lirihan gadis yang sedang tereksikusi itumenghentikan langkah Alvin. Ia berniat menoleh melihat gadis yang memanggil “Kak” tadi, sebelum sebuah tangan menariknya terlebih dahulu.
“Gue bilang sekarang, gak ada yang namanya molor jadi nanti”
***
IFY POV
Aku benar-benar bingung sekarang. Kenapa rasanya aku yang disudutkan dalam masalah ini. Bukannya kak Debo juga terlibat dengan masalah perfotoan ini?? Tapi kenapa aku merasa hanya aku yang dikambing hitamkan. Di tambah lagi aku tak bersalah dalam hal ini. Ini sebuah pemfitnahan yang gak bisa aku maafkan. Pose di foto itu saat aku bersama Kak Rio beberapa hari lalu. Aku masih ingat. Saat itu Kak Rio hendak mencium keningku namun tak jadi karena ada daun jatuh dari pohon rindang yang kami singgahi untuk meneduh dari panasnya matahari. Kalau aku menjelaskan seperti yang memang benar-benar terjadi, aku malu sendiri donk?? Terus Kak Rio juga kenapa diam saja?? Saat di rumah kemarin, pemuda itu bilang percaya dan akan membantuku. Nyatanya?? Kenapa laki-laki bulshit banget di dunia ini?? Kenapa sampai sekrang aku tak menemukan sosok yang seperti Papanya dan Septian yang selalu memanjakan dan memperlakukanku dengan special?? Kenapa aku gampang tergoda untuk melepas topeng yang selama ini aku kenakan hanya kerana sosok Kak Rio, yang sepertinya aku salah hipotesa sosok itu?
Otakku berfikir. Ada hal yang sangat janggal di sini. Kenapa orang tua Kak Debo tidak disuruh ke sini? Seperti yang ku bilang sebelumnya, dia juga tersangka dan akan menjadi terdakwa sepertiku. Orang yang sedang bergelut dengan pemerkiraanku berada tepat di sampingku. Sebagai gerak reflek, aku menegang dan langsung menggeser tubuh menjaga jarak dengannya. Ngapain dia ke sini. Aku menoleh ke seluruh ruangan –karena sedari tadi aku menatap lantai ruang eksekusi- tak kutemukan siapa pun di sekitarku. Kemana mereka?? Kemana Agni dan Sivia?? Bukannya sedari tadi mereka berada disisi ku??
“Jangan mendekat Kak… Ify takut”Lirihku.
***
Debo langsung disambut tatapan tak mengenakkan dari Rio saat ia keluar dari ruangan meninggalkan Ify. Gadis itu yang telah berhenti beberapa saat tangisannya semakin banyak memproduksi air mata. Debo sendiri awalnya tak mau maninggalkan Ify, namun karena udah jelas Ify bilang kalau dirinya takut, akhirnya ia memilih keluar. Dan ternyata, orang-orang yang berada dalam ruangan tadi ditambah beberapa guru yang memang jam kosong-tapi mungkin disengaja kosong karena seluruh murid juga berkumpul di sekitar agak jauh dari ruangan tempat Ify berada agar tetap tepelihari keadaan yang kondusif.
“Yo, sumpah gue gak tega Yo. Itu adik gue Yo, loe tega bener. Kalo sampe’ tuh anak sakit, gue bunuh loe Yo”Omel Gabriel yang sedari tak tak berhenti mondar-mandir di koridor jauh tapi lumayan dekat dengan ruang eksekusi.
“Gue juga ikut Yel. Kita bunuh bareng-bareng.”Tambah Alvin yang berdiri di samping Rio.
Papa dan mama Ify serta sahabat-sahabat Ify hanya geleng-geleng kepala. Saat ini mereka menanti Bu Winda –yang katanya Rio, menawarkan diri untuk membuat kue ulang tahun special untuk Ify- yang tak kunjung muncul sejak 20 menit yang lalu. Kedua orang tua Ify salang pandang, menatap ngeri satu sama lain. Tak mau membayangkan hal yang akan terjadi nanti mendengar tangisan semakin histeris Ify yang terdengar hingga tempatnya berada. Pita suara anak gadisnya itu gimana??
Mata mereka membinar melihat bu Winda muncul dari belokan koridor bersama guru PKN Ify yang katanya tuh guru suka banget ngeliatin Ify. Dengan gerakan hampir bersamaan, mereka berbondong-bondong menuju Ify yang ternyata telah meringkuk di sudut ruangan.
***
“HAPPY BIRTHDAY IFY…. HAPPY BIRTHDAY IFY……… HAPPY BIRTHDAY IFY…….. HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY IFY”
Degh… Dia yang sudah berada di posisi pas untuk mengeluarkan semua air mata kesedihan, langsung terhenti mendengar suara-suara layaknya paduan suara namun sedikit fals. Kepalanya mendongak. Dengan sedikit buram, ia menatap sahabat-sahabatnya, Bu Winda, Pak Hasyim, Papa, Mama, Rio dkk, dan seluruh teman-teman sekelasnya berada dengan jarak 10 meter darinya. Masih diam, tak berniat bangkit karena memang tenaganya sudah terkuras habis meratapi nasib, membiarkan mereka terus mengumandangkan lagu special untuknya. Ia sendiri sempat kaget. Menatap sambil berfikir tanggal berapakah sekarang, membuatnya sedikit tak suka akan dirinya sendiri yang pelupa akan tanggal lahirnya. Coba kalau ingat, dia pasti gak bakal dijailin begini nich sama mereka. Lihat tuh. Mereka pada senyum-senyum ngelihat dia yang udah berantakan efek dikerjain.
Suara ketukan sepatu berturut-turut mendekat yang hanya ditatapnya datar, kosong tanpa nyawa. Hingga perlahan jarak itu semakin tipis dan berada tepat lima jengkal darinya dengan formasi bu Winda berada di barisan depan bersama Mama dan Papa. Ketiga orang paruh baya itu bingung akan reaksi Ify. Kenapa malah diam?? Gak gerak dengan pose memeluk lutut?
“Sayang…”Panggil Mama seraya menyentuh puncak kepala Ify.
Beliau sebenarnya tak tahu menahu hal ini. Beberapa jam lalu, saat sang suami menerima telphone yang mengatakan bahwa telephone itu dari guru Ify, beliau sedikit heran. Keheranannya berganti keterkejutan saat sang suami mengatakan mereka berdua harus segera ke sekolah Ify karena anak sulung mereka sedang terlibat kasus. Otomatis beliau shock donk?? Selama Ify sekolah, gadis itu bukan tipe gadis pembuat onar apalagi setelah kehilangan sosok yang sangat berarti yang memebuatnya malah jadi pendiam banget. Pas sampai di sekolah. Mereka langsung di sambut hangat oleh bu Winda. Selang beberapa menit Bu Winda berbicara, beliau langsung lega bahwa ini hanya sebuah scenario belaka.
Mama menatap lesu dan beralih menengok Rio yang tak jauh darinya. Seakan mengerti apa yang diperintah wanita anggun itu, ia langsung menghampiri Ify, menunduk dan mensejajarkan tubuhnya dengan Ify.
“Fy… Ayo bangun…”Ucapnya lembut seraya meraih tubuh mungil Ify agar bangkit dan merespon apa yang ia berikan.
Rio menghela nafas penuh rasa bersalah. Tubuh mungil Ify yang ia raih terasa panas dan juga sangat lemas. Parah emang dia bikin beginian? Ify hanya menatap Rio tak berekspresi. Membiarkan tubuhnya dirangkul oleh pemuda itu dan menuntunnya. Tepat berada di depan kue tart ukuran lumayan besar berbentuk pita yang sering dipakai Ify, Rio merasakan tubuh itu semakin memberat dalam rangkulannya. Ify sendiri tak tahu bagaimana mendeskripsikan fisik dan batinnya sekarang. Ia senang ternyata ini hanya sebuah permainan, tapi ia juga kesal, terjatuh dalam permainan yag separah ini.
“Capek… hhh..gak kuat mau…hh.. berdiri”
Seluruh ruangan menahan nafas melihat gadis tirus itu langsung menyandarkan tubuhnya pada Rio yang sigap dan menuntunnya ke sofa. Diikuti dengan yang lain. Bu Winda langsung menaruh kue tartnya dan segera bergegas mengambil sesuatu yang mungkin bisa membantu memulihkan keadaan Ify sebelum suara mencegah.
“Gak usah Bu. Ify gak kenapa-napa. Kalian semua tetap disini.”
Ify menegakkan tubuhnya supaya mereka percaya bahwa ia baik-baik saja. Memasang senyum manis mengatakan bahwa dia sangat-sangat behagia dengan perayaan ulang tahunnya sekarang. Dengan gerakan tubuh Ify menyuruh semua mendekat. Rio yang berada di samping gadis itu langsung bangkit bertukar posisi dengan kedua orang tua Ify dan mengambil posisi di seberang sofa yang lain.
“Terima kasih kejutannya. Ify seneng. Cuma lain kali jangan gini ya… bikin pusing”
Perkataan Ify mengundang tawa lega seisi ruangan. Bu Winda langsung mengambil korek api untuk menghidupkan lilin –mati karena kelamaan- yang akan ditiup oleh Ify. Bersama-sama mereka menyanyikan tiup lilin. Berulang kali. Namun Ify tak kunjung bergerak. Hanya menatap lilin itu dengan dahi mengernyit.
“Kenapa Ify?”Tanya Bu Winda yang berada di sebelah Mama.
Ify menggeleng dan menatap Bu Winda.
“Angkanya salah Bu. Ify masih 15 tahun”
Sontak mereka langsung memandang kue tart degan lilin angka 16 dan segera beralih pada Ify yang menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum kikuk memandang Bu Winda. Mama dan Papa Ify juga tak menyadari kekeliruan yang terdapat pada kue tart itu. Mereka hanya tersenyum memandang Bu Winda yang merasa salah informasi. Bu Winda sendiri tak tahu berapa umur Ify. Saat ia menyanggupi untuk membuat kue, beliau langsung membeli angka 16 karena angka 16 sangat betul untuk ukuran kelas 1 SMA. Tapi ini??

“Hehehe gak papa dah Bu. Lumayan 16 lebih tua dikit. Gak enak jadi remaja. Kalau 16 kan kurang setahun mau usia dewasa. Nah 15 belas?? Masih lama?”Ucap Ify memecah tawa dan keheningan sesaat. Lantas ia langsung meniup lilin itu yang disambut tepukan meriah.
THE END 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar