Segelintir siswa di
sekitar koridor sekolah merasa sangat surprise dengan kedatangan dua makhluk
lain jenis yang biasanya tak pernah terlihat akur, terlihat jalan bergandengan.
Berpuluh – puluh pertanyaan entah kenapa langsung terjun bebas dan ingin di
selamatkan oleh parasut “jawaban”. Kenapa mereka akur? Kenapa tidak dengan
gadis yang itu lagi? Kenapa degan dia? Dan masih banyak lagi kenapa – kenapa
yang lain. Dasar orang kepo to the max.
***
Gadis putih yang juga
memperhatikan pasangan baru terlihat bersama itu terdiam tak melanjutkan
langkah menuju kelasnya yang berlainan arah dengan kelas kedua makhluk berjarak
30 meter darinya itu. Entah kenapa lantai koridor terasa sangat kasat membuat
kedua sepatunya untuk melakukan gaya gesek. Bibirnya yang sedari awal masuk
gerbang sekolah terus mengoceh beberapa lirik lagu yang didengar dari BB Gemini
melalui sepasang headset itu pun terhenti. Membuka lebar tak percaya dengan apa
yang ia lihat sekarang. Sepasang manusia itu semakin dekat dengannya. Dekat,
dekat dan tepat berada di hadapannya.
“Hay Shill”
***
Sapaan umum yang dipakai
oleh orang – orang awam maupun konglomerat itu terabaikan. Shilla-gadis itu-
masih menatap kosong sosok pemuda yang ia puja – puja hingga saat ini walaupun
sempat menjalankan aksi ngambek tanpa sebab yang tepat. Perlahan tatapannya
berubah nanar. Gabriel yang sebenarnya menyadari perubahan dan apa yang
dirasakan gadis di depannya kini -mengingat dia memiliki sifat dewasa yang
membuatnya lebih peka- merasa jahat. Lantas ia melepas gandengannya pada
telapak tangan Zahra –sosok cewek yang sedari tadi menunduk- mengganti dengan merangkul
hangat gadis itu.
Zahra secara reflek langsung mendongak. Menatap Gabriel
penuh tanya yang hanya dijawab dengan senyuman tipis menawan yang selalu ia
inginkan kembali sejak komunikasinya dengan Gabriel merenggang. Gadis itu
beralih menatap Shilla. Kedua bola mata Shilla mulai berkaca – kaca. Perasaan tiba
tiba – tiba muncul, walaupun semula ia sangat tak suka dengan gadis itu namun
ia dapat merasakan. Sakit, nyesek, cenat – cenut, nyeri, perih, semua melebur
jadi satu menajadi sebuah kekecewaan dan bahkan sebuah kebencian yang besar.
Tak sengaja, Zahra melihat kepalan tangan Shilla, namun
sekejap gadis itu langsung melenyapkan diri dari hadapannya dan Gabriel.
Melangkah cepat –lebih tepat berlari- menuju kelas, bukan sepertiya gadis itu
ke….toilet. Rasa tak enak menyergap. Dengan sedikit sentakan, Zahra melepas
rangkulan Gabriel membuat pemuda itu mengernyit heran.
“Loe kenapa?” Tanyanya membuat gadis itu semakin mendengus
kesal.
“Elo yang kenapa. Gak usah gitu juga ke Shilla bisa kan?
Kasian tauk.”
“Ya ampun Ra------”
Gabriel meraih kedua pundak Zahra dan menghadapkan tubuh
gadis itu tepat di depan kedua matanya. Menatap dalam membuat gadis itu
merutuki perbuatannya karena memancing ketidaksukaan Gabriel dan menelan ludah.
“Kenapa gue salah mulu sich?? Dulu gue waktu deket sama tuh
anak, loenya ngamuk – ngamuk, cemburu buta. Sekarang nyuekin tuh anak, loenya
ngedumel. Raraaaaaaaaaaaaaaa Errrrrrrrr….”
Semburat merah langsung mewarnai wajah gadis dengan
panggilan Rara itu. Terpaksa ia harus mengingat hal yang memalukan-yang ia
berjanji tak akan mengulangi- kala itu. Dimana saat masa MOS 4 bulan kemarin ia
mengucapkan kata – kata tak pantas yang sebelumnya jarang ia lontarkan. Mencaci
maki sekaligus mengancam gadis itu. Baru ia sadari ternyata pergaulannya memang
berada pada lingkup yang salah. Bisa – bisanya dia yang akrab Gabriel sebagai
gadis baik – baik, sopan dalam berkata, pintar, dan bersikap hangat pada siapa
pun berubah menjadi sosok 180 derajat dari kenyataan. Astaga… berapa bulan dia
menghabiskan waktu dengan sosok devil itu?
“Hay Bro..... Gue doa’in langgeng ya sama si Rara”
Mata Gabriel melotot lebar pada Cakka yang sudah duduk manis
di bangkunya bersama Alvin dan Rio berteriak nyaring mengundang seluruh teman
sekelasnya berhenti sejenak menyalin pr untuk jam pelajaran pertama –FISIKA-
menatap dirinya dengan senyum – senyum menggoda. Tak perlu menunggu beberapa
detik, seruan selamat, meminta pajak jadian dan lain sebagainya menyerbu
Gabriel. Gabriel hanya menghela nafas dan melanjutkan langkahnya menghampiri
ketiga sahabatnya. Dia hanya menghela nafas melihat Cakka nyengir tanpa dosa.
Memang ia semalam mengundang ketiga sahabatnya sekitar pukul 22.00 WIB dan
bercerita lebar masalah percintaannya. Masih ingat Alvin yang mencak – mencak
sambil memainkan gitarnya kasar karena telah dibangunkan secara paksa. Cakka
yang sampai pulang dari rumahnya sekitar tengah malam merutukinya ampun –
ampunan dan Rio yang hanya diam karena memang pemuda itu langsung malas ngomong
kalau marah. Dia hanya tertawa dan meminta maaf tak niat telah membohongi
mereka untuk segera datang ke rumahnya. Ia bilang ia lagi ada masalah besar di
rumah dengan sang Mama dan berniat untuk kabur. Secara serempak tak sampai 15
menit setelah ia menghubungi ketiga sahabatnya, mereka langsung datang
nyelonong masuk dan disuguhkan pemandangan dirinya tengah santai memainkan
gitar.
“Iya – iya istirahat pertama loe semua gue traktir--”
“Tapi inget masing – masing satu jenis”
Teriakan turut bersuka cita terdengar riuh. Untung saja ia
telah mendapatkan uang saku plus uang bulanan mengingat sekarang tanggal muda
di bulan Desember. Iel meletakkan tas punggungnya di atas meja dan mengambil
duduk di kursi teman sebangkunya.
“Gimana Vin foto yang di madding itu?”
Alvin menggeleng lemah. Rio yang berada di sampingnya
mengernyit heran. Namun dia langsung ingat cerita Ify kemarin dan bilang kalau
foto itu di bawa oleh Alvin langsung tersentak.
“Sekarang mana fotonya Vin?”
“Ify udah cerita?”
Rio mengangguk dan menyodor – nyodorkan tangannya meminta foto
yang dipegang oleh Alvin. Alvin langsung merogoh tas bagian depan tempat ia
meletakkan foto itu setelah di cermati benar – benar dan mencoba menguak
kebohongan yang ada di foto. Ini yang bikin ia lemas dari pagi dan gak mood mau
ngoceh.Ia tak berhasil membantu Ify dengan kemampuannya dalam soal pengeditan
foto.
“Editannya terlalu rapi. Gue udah buka mata lebar – lebar
tapi rasanya gak ada celah buat dibilang editan. Yang ngedit gue acungin
jempol. Apalagi posisi Ifynya pas banget buat dipaduin.”Tutur Alvin seraya
meletakkan foto di atas meja.
Gabriel, Rio dan Cakka mendekatkan dirinya dengan meja
dihadapan Alvin dan menajamkan penglihatan dan pendengaran mereka karena Alvin
menerangkannya dengan suara yang dibuat sekecil mungkin agar tak terdengar
kemana – mana.
“Gue udah coba jalan lain yaitu nyari foto Ify di facebook
maupun twitternya gak ada yang posenya kayak gini. Gue mikirnya, dalang dari
ini semua emang mateng – mateng ngerencanain dan ngambil foto Ify diem – diem
dan kayaknya ini pas bareng loe Yo”
Telapak tangan Rio yang telah mengepal semakin mengepal
erat. Nafasnya memburu. Tatapanny yang tadi tenang seketika menyalang lurus
memandang papan putih di hadapannya. Alvin langsung mengusap pundak Rio. Cakka
dan Gabriel hanya diam. Mereka juga akan seperti Rio jika orang yang mereka
sayang mendapat cobaan seperti ini.
“Loe tenang dulu Yo, pasti ada jalan lain buat ngebuktiin
masalah ini. Oh ya Yel, foto ini gak sampe’ nyampek guru kan??”
“Nggak lah Vin, kemarin guru – guru pada rapat dan sebagian
sama Rio pergi ke sekolah sebelah ngadain kerja sama itu.”
“Syukurlah, kalau nggak bisa – bisa-------------”
Belum Alvin menyelesaikan masalah. Belum hembusan nafas lega
Cakka dan Gabriel menyeruak seluruhnya dan kepalan tangan Rio belum sempat
terlepas, suara teriakan yang memanggil keempatnya dari ambang pintu
menghentikan dan seketika membuat mereka tegang.
***
“Gimana ceritanya Vi, Ag?”
Cakka, Alvin, Gabriel dan Rio
serta Sivia dan Agni, dengan langkah cepat melewati koridor kelas 11 menuju
ruang guru yang berada setelah dua ruangan dari daerah kelas 12. Setelah
mendengar teriakan Sivia yang mengatakan bahwa Ify dipanggil oleh bu Winda dan
wali kelas, serempak keempat cowok itu langsung meloncat dari bangku dan
mengajak dua sahabat Ify mengampiri gadis itu.
“Tadi pas lagi asik – asik
cerita tiba – tiba ketua kelas kita bilang kalau Ify segera ke ruang guru Kak.
Masak masalah madding itu sich kak?? Bukannya kemarin sepi guru ya?”
“Gue juga mikirnya gitu Vi.
Mungkin pas kita udah ngambil foto itu sebelumnya tim tatib udah lihat dan
berniat ngomongin. Kalau mereka tahu pas sebelum pulang sekolah, Ify pasti
langsung dipanggil pas hari itu juga.”
Rio langsung ketar – ketir
mendengarkan kemungkinan – kemungkinan yang dituturkan oleh Alvin. BBM yang
sedari tadi ia terima hanya dibaca. Bodo’ amat mau dari orang penting atau
siapa yang penting sekarang ia harus melindungi peri kecilnya. Gadis itu
sekarang pasti ketakutan menghadapi serangan guru yang bertubi – tubi. Untung
saja ia mantan ketua OSIS yang mempunyai hak juga dalam mengurusi permasalahan
siswa dan terkadang juga boleh membantu tugas guru BK dalam memberi solusi pada
siswa yang membuat onar. Tuhan… Kuatkan Ify.
“Assalamualaikum…..”
Seluruh manusia yang berada di
ruangan itu langsung menoleh. Rio dan Alvin langsung masuk setelah meminta izin
sebelumnya. Sedangkan Cakka dan Gabriel mereka suruh tunggu di luar bersama
Agni dan Sivia, takutnya tidak diperbolehkan membawa massa dalam jumlah banyak.
Ify langsung mendongak dan
memberi tempat untuk Rio dan Alvin agar duduk di sebelahnya. Dia benar – benar
takut sekarang. Rio dapat melihat mata Ify mulai berkaca – kaca. Mungkin dia
terlambat sedikit saat Ify diintrogasi. Di ruangan ini sudah ada Tristan-ketos
periode 2012/2013-, Wali kelas Ify, bu Winda, dan pak Hardi selaku ketua tim
tatib. Kalau gak ingat ini ruang guru, langsung ia peluk si Ify. Sayangnya
keadaan tak memungkinkan, dia hanya dapat menggenggam tangan kanan Ify. Sidang
dimulai kembali. Debo yang katanya sekarang juga menjadi korban sama seperti
Ify, bedanya Ify korban pemfitnahan sedangkan Debo menganggap dirinya korban
pengikut campuran privasi oleh pengambilan fotonya dan Ify.
“Saya bersumpah Bu, saya gak
pernah melakukan hal seperti yang tertangkap foto itu. Dengan Kak Debo saja
saya takut Bu. Itu editan Bu.”
“Kamu bilang ini editan Ify??
LIAT INI, kamu teliti. Gak ada unsur editan di foto ini. Kamu jangan mengada –
ngada.”
Air
mata Ify akhirnya tumpah. Dadanya sesak.
Seumur – umur dia tak pernah difitnah seperti ini. Walaupun waktu masih duduk
di bangku SD dulu dia pernah difitnah namun tak separah ini. Dia harus
bagaimana lagi sekarang?? Berkata jujur salah, berkata bohong dengan mengakui
bahwa itu dirinya lebih – lebih salah. Masih berusaha menahan tangis yang terus
berproses, Ify menggigit bibir bawahnya. Berada di samping gadis yang tengah
menangis terlebih sosok yang ia sayang, Rio tak kuasa menahan diri untuk
memberi ketenangan pada gadis itu. Perhatiannya kembali teralih pada bu Winda
yang berlanjut memberikan pernyataan – pernyataan yang membuat Ify dan Debo
semakin tersudut. Memberi kesempatan keduanya untuk membela namun segera
ditolak karena tak logis. Kepalan tangan sosok cowok dihadapan Rio semakin
kuat. Cowok itu duduk diantara Tristan dan wali kelas Ify-Debo. Tatapannya
menyalang terarah lurus pada Rio.
“Rio”
Perhatian pemuda itu –yang
sebelumnya mencuri pandang melihat reaksi Debo-langsung teralih. Dia menatap
penuh tanya bu Winda yang memanggilnya.
“Kamu bawa Debo keluar!”
Seperti mengerti maksud bu
Winda, Rio langsung bangkit. Namun sebuah tangan menahannya. Ify menggelengkan
kepala untuk menyuruhnya tak mengindahkan amanat bu Winda. Ketar – ketir Ify
menanti keputusan Rio. Apalagi saat selama bu Winda berpendapat dan
menyudutkannya tadi, tiba – tiba saja laki – laki itu melepas genggamannya dan
menatap lurus cowok yang juga menjadi tersangka seperti dirinya. Dengan sekali
sentakan, membuat mata Ify melotot tak percaya hingga rasa sakit tangan
kanannya yang terbentur bagian bawah kursi kayu akibat sentakan Rio tak terasa,
lelaki itu meninggalkannya dan dengan kasar menarik lengan baju Debo. Dada Ify
bertambah sesak. Ia menatap kosong meja yang memisahkan kursi panjang yang ia
duduki sekarang dengan sosok lain dalam ruangan itu.
“Fy….”Panggil Alvin khawatir
melihat tubuh gadis disampingnya bergetar. Saat akan mendekatkan diri dan menyentuh pundak Ify,
Sosok yang baru saja keluar memanggilnya.
“LOE IKUT GUE SEKARANG!”
“Tap tap—"
“VIN!!!”
Dengan segera, pemuda keturunan
china itu bangkit dan sedikit berlari menghampiri Rio setelah berpamit terlebih
dahulu. Bu Winda yang sedari tadi memperhatikan tingkah anak didiknya langsung
berdeham keras mengalihkan suasana dan perhatian orang – orang yang masih
berada dalam ruangan.
***
Dari awal ia menarik Debo
hingga sampai di lapangan basket indoor SMA PUTRA BANGSA, lelaki itu terus
memberontak. Untung ia memanggil Alvin untuk membantunya membawa Debo ke tempat
ini. Bisa – bisa ia kewalahan. Dengan kaki kanannya, Rio membanting pintu
lapangan. Mengedarkan seluruh pandangan ke penjuru ruangan dan berteriak.
“WOY…….. YANG MASIH ADA DISINI,
CEPET KELUAR!! KAGAK USAH PAKE’ ACARA SEMBUNYI – SEMBUNYIAN. GUE ITUNG SAMPE’ 3
BELUM KELUAR. GUE LAPOR TATIB!”
Belum sempat Rio mengambil
nafas, segerombolan murid dengan penampilan urakan keluar dari balik tempat
duduk penonton paling ujung. Dengan langkah cepat, mereka menuruni tangga
penonton dengan membawa barang – barang yang sepertinya disembunyikan di balik
punggung. Rio menatap 6 orang yang sepertinya kakak kelasnya itu curiga, namun
tetap dengan tampang datar agar tak memancing.
“Loe kok gak asik sekarang Yo?
CK”
Marah salah satu dari mereka
padanya sambil melirik sosok yang masih ia kurung bersama Alvin. Alvin hanya
menelan ludah melihat kakak kelas yang ia tahu sebagai troublemaker di sekolah
ini. Tampangnya men,, sangar abis. Lebih parah dari Sion-teman disanggar
karatenya Rio. Rio hanya nyengir kuda dan menepuk pundak kakak kelas itu dengan
satu tangannya yang bebas.
“Sorry deh Kak, gue butuh
banget nih tempat buat ngeksikusi nih orang----” menunjuk Debo dengan dagunya.
“Nih gue ganti” Lanjutnya
seraya menyerahkan selembar kertas berwarna biru plus merah yang totalnya Rp
150.000,00 pada kakak kelasnya yang dibalas dengan senyuman lebar dan
menggoyang – goyangkan lembaran itu di depan teman – temannya.
“Sip dah! Gue cabut dulu.
Thank’s Bro…!”
Rio mengangguk. Segerombolan
pemuda itu berlalu namun belum sempat melangkah untuk yang ketujuh kalinya, Rio
kembali memanggil. Tatapan kesal menghajarnya. Dengan segera ia melempar
sebungkus tisu dari saku celananya.
“Tutup barang – barang loe
pake’ itu Kak. Tatib sekarang lagi ngawas di koridor kelas 3.”
“Thanks Bro..”
“Urwel Kak. Gue mohon ini yang
terakhir loe ngepil ya. Gue gak mau ngelihat kakak kelas yang gue sayang
didamprat sebelum waktunya.”
“HAHAHAHHAHHAH”
Mereka tersenyum sumringah dan
mengacungkan jempol kepada Rio sebagai tanda terima kasih. Rio hanya mengangkat
bahu acuh. Dia melakukan ini bukan karena setuju dengan apa yang mereka
lakukan. Dari sudut pandang manapun hal yang mereka lakukan itu salah besar.
Menyakiti diri sendiri. Dia hanya menolong melindungi mereka karena waktu
mereka di sekolah ini tinggal hitungan bulan. Bulan april mendatang kakak
kelasnya itu sudah out. Masalah akibat dari perbuatan yang mereka lakukan, dia
bodo’ amat. Toh mereka sendiri yang akan menanggung akibatnya. Mereka juga
mempunyai pemikiran untuk melakukan yang terbaik. Kalau hal itu merupakan yang
terbaik untuk dilakukan? Apaboleh buat?? Mau ngehukum kayak yang BNN lakukan
terhadap Rafi?? Kagak ada kerjaan banget. Kalau dipikir – pikir, negara ini
lucu juga. Koruptor yang ngerugiin bangsa kagak sampai dihukum ribet kayak Rafi
yang Cuma ngerugiin diri sendiri. HA to the HAJ
“Loe ketos gak beres!” Ketus
Debo.
Rio mengangkat alisnya sebelah
dan tersenyum miring sambil mendudukkan Debo di kursi penonton paling depan.
Dan ikut duduk di sebelahnya bersama Alvin membuat Debo terkurung.
“Thanks, pujian yang menarik.
Gue sich Deb, selama itu bukan urusan gue dan orang itu gak ngusik hidup gue.
Gue mah adem ayem. Asal bisa diajak kerja sama dan nurut sama yang gue bilang.
What ever they do.”
“Yakin banget kalau mereka
nurut sama loe.”
“Gue yakin.”
Debo mencibir. Rio hanya
tertawa. Ia bangkit mengambil basket yang ia minta dari Alvin untuk melemparkan
padanya. Memainkan bola orange itu di hadapan Debo. Terlihat santai.
“Foto itu siapa yang ngedit
Deb?”Tanya Rio masih bergelut dengan bola orangenya.
Debo mendelik.
“Loe kok tanya gue? Gue jadi
korban pemfitnahan itu juga. SHIT”
Masih berputar- putar dan
mendekati ring dengan lari kecil mendrible bola, Rio tersenyum miring.
“Biasa aja kali Deb. Kalau
emang gak tahu gak usah Shat shit shat shit”
Langkah tiga kali, lompat dan
masuk. Lay up yang sempurna telah dilakukan Rio dengan sangat santai.
Dengan kesal Debo mengambil
bola basket lain yang berada di bangku penonton belakangnya dan melempar kasar
ke sembarang arah. Dia lantas berdiri
dan jatuh dengan lutut menyentuh lapangan basket, mengacak – acak rambutnya
frustasi. Rio mengambil bola yang ia drible dan menatap Alvin untuk menghampiri
Debo. Laki – laki itu segera berlari kecil dan menahan pergerakan kasar tangan
Debo yang masih mengacak – acak bahkan menjambak rambutnya.
“Loe kenapa Deb. Sadar Deb..!”
“ARGH……… kenapa semua nyalahin
gue?? Gue gak tahu masalah foto itu. Sumpah gue gak tahu. Walaupun gua suka
sama Ify, tapi itu dulu. Akhir – akhir ini juga gue gak ada deketin tuh anak
lagi. Gue ikhlasin dia sama loe Yo. Kenapa semuanya malah nyalahin gue?? Gue
emang pernah dalam posisi itu, tapi bukan sama Ify, sama--------”
“Febby?”
Debo mendongak. Rio telah
berada tepat dihadapannya. Mengulurkan telapak tangannya yang tak memeluk bola
basket. Masih dengan heran, Debo menyambut uluran tangan Rio. Kembali ketiganya
menuju tempat duduk penonton.
“Kok loe tahu Yo?”Tanya Debo
setelah beberapa menit hening dengan pikiran masing – masing. Rio nyengir dan
membebaskan si orange yang berada dalam pelukannya.
“Orang dia yang jadi dalang
masalah ini Deb” Belum Rio menyahut, Alvin nyerocos terlebih dahulu dan alhasil
mendapat tatapan tajam dari Rio. Debo semakin bingun menatap kedua pemuda di samping kanan –
kirinya.
“Mmm.. gini loh Deb, sebenarnya
semua ini gue yang ngerencanain. Gue mau bikin surprised ultah Ify sekarang.
Jadi kemarin – kemarin sampai sekarang gue ngerjain dia dulu.”Tutur Rio hati –
hati dan bangkit dari duduknya melihat pancaran mata Debo yang mulai mengerti
dan seakan ingin langsung menyerang Rio.
“Loe….”
“Kabur Vin..”
***
Rio tersenyum sumringah melihat
hasil program kerja hatinya telah berjalan sesuai rencana walaupun masih
separuh. Kalau dipikir – pikir, akting dia sama Alvin oke juga. Ntar kalau ada
casting, boleh tuh dicoba. Lumayan pekerjaan sampingan sekaligus nambah tenar.
Debo yang masih disebelahnya setelah saling bermain kejar – kejaran bak Tom and
Jerry, masih mendengus dan mencak – mencak tak karuan. Berulang kali ia meminta
maaf pada pemuda itu. Dia juga tak menyangka Debo sampai sestres ini menghadapi
masalah pemfitnaan yang ia buat. Dia berjanji setelah surprised Ify ini selesai
hingga tahap akhir yang nantinya ada something special, dia akan berbicara
lewat pusat pengumuman untuk mengembalikan kembali citra Debo yang sebelumnya
emang gak bagus – bagus banget.
Saat ini ketiganya masih berada
di ruang indoor lapangan basket. Masih di tempat penonton yang semula. Alvin
sendiri memilih diam. Adegan kejar – kejaran tadi ia tak ikut andil. Lagian dia
kan gak terlibat apa – apa, cuma masalah fotonya doank. Selebihnya Rio, kalau
mau nyidang, ya seharusnya menyidang Rio. Betul dah tadi yang dilakukan Debo.
Debo memukul perut Rio sekali sebagai pengganti stressnya beberapa hari yang
dibalas tawa oleh Rio. Oh, by the way masalah antara Debo dan Rio sendiri
terselesaikan setiap berjalannya waktu.
Suatu hari kala itu, saat
dimana Rio pulang sore dan tak bisa mengantar Ify pulang karena urusan program
akhir OSIS periodenya yaitu merekrut anggota baru OSIS, dia menyempatkan diri
menemui Debo yang memang pada saat itu masih berada di area sekolah bersama
teman – teman sejawatnya. Seperti yang dikatakan Debo tadi. Pemuda itu memang
telah melepas Ify karena memang kalah telak dengan Rio yang berhasil mengambil
perhatian terlebih hati Ify. Sekarang ia memiliki incaran lain yaitu Febby,
gadis jurusan IPA yang lebih tua setahun darinya. Gadis pendiam namun ternyata
ramai saat telah bersamanya dan orang – orang yang akrab dengannya.
“Sampai kapan kita di sini Yo?”
Suara Alvin langsung
menyadarkannya dari lamunan sementara. Dia menoleh menatap Alvin seraya bertanya
melalui bahasa tubuh menunjuk pergelangan kiri dengan telunjuk kanannya.
“10.15”
Rio mengangguk. Lantas bangkit
mengambil bola basket yang ia taruh di bawah bangku penonton tadi dan
melemparnya pada Debo yang langsung memelototinya karena tak siap dengan
serangan yang mendadak. Rio hanya cengengesan dan melalui kontak matanya
menuntut Debo untuk main one by one dengannya. Dengan malas Debo menuruti dan
mendrible si orange.
“Wasit Vin…” Seru Rio yang hanya
diacungi jempol oleh Alvin.
Pertandingan setengah minta,
setengah serius, cenderung males pun di mulai saat bola orange lumayan keras kalau ditimpukin ke
muka orang itu di lempar oleh Alvin. Kembali Alvin menuju tempat duduknya
semula seraya mengutak – atik BBnya yang sedari tadi berbunyi riang menandakan
beberapa messages masuk. Diantaranya dari Sivia dan kebanyakan dari fans – fans
fanatiknya yang masuk dalam daftar list kontak BBnya.
Sivia
Kak, loe nyangkut dimana?? Kok
kagak balik – balik? Kak Rio juga di mana?? Si Ify nangis kejer nih. Bu Winda
marah – marah. Cepet balik, 10 menit gak nongol awas aja loe?!:@
Alvin tersenyum tipis membaca
pesan BB dari Via. Tak menyangka Sivia telah menjadi kekasihnya saat ini. Masih
ingat bagaimana Sivia tersipu saat ia menggoda gadis itu. Semburat merah muncul
menghiasi kedua pipi bakpao itu. Dengan segera ia membalas dan bangkit
meninggalkan kedua cowok yang masih seru berebut bola untuk dimasukkan ke ring
dan mencetak point.
***
“Gimana hubungan loe sama Febby
Deb??”
Debo mendengus sebal. Rio masih
terus mendrible bola itu berkeliling mengitari lapangan dengan Debo yang mencoba
menghalangi pergerakan Rio menuju ring milik Debo.
“Gak usah sok bego dech
loe.”Ketus Debo mencoba meraih bola orange itu. Namun masih dapat dihalang oleh
Rio.
“Hahahahha. Sorry, sorry. Dia
tahu kok Deb yang sebenarnya.”
“Hah?”
Rio tersenyum tipis. Lantas
memfokuskan diri pada pergerakan defend Debo yang tepat berada di depan ring.
Masih tercetak jelas senyum miring, Rio terus melakukan drible dengan langkah
kanan, langkah kiri mencoba membingungkan lawan memprediksikan kemanakah Rio
akan membawa bola. Dengan pelan, ia mengambil posisi kiri, gerak cepat ke kanan
dan berbalik lebih cepat ke posisi kiri. Lay up dan 2 point ia dapatkan.
Debo berdecak. Kekagumannya
pada permainan Rio dalam mengecoh lawan melalui pergerakannya masih tetap sama.
Bola masih berada di pihak Rio. Mulai terlihat sangat santai dibanding sebelum
Rio melakukan lay up tadi. Rio terkekeh pelan mendapat tatapan menuntut
penjelasan dari mata Debo. Seraya berfikir –ia akan mulai dari mana-bagaimana
ia bercerita, ia tetap mengitari setengah lapangan basket menimbulkan decakan
kesal dari Debo.
“Ya…dia tahu kalau gue yang
bikin suasana sedemikian rupa.”
“Dan sejahat rupa.”Desis Debo
langsung memancing tawa Rio.
“Eh.., tapi, kok dia tetep
marah – marah sama gue Yo?”Lanjutnya sambil mengambil bola orange itu saat Rio
lengah –yang menatap menunggu respon
darinya.
“Gue yang nyuruh lah. Bego’ apa
loe? Kalo dia biasa aja, ya loe bisa curiga.”
Rio berhenti mengikuti Debo
untuk merebut si orange. Ia melangkah kembali ke tempat duduk semula, mengembalikan
kembali nafasnya yang lumayan memburu. Walau permainan ini hanya sekenanya,
tapi benar-benar menguras tenaga, mengingat yang bermain merupakan atlet dalam
bidang ini.
“Oh, iya iya. Eh kok loe
berhenti?”
Debo menyusul Rio dengan
bersungut. Nakal banget nih bocah, dia udah prepare melakukan three point, eh
malah ditinggal. Secara gak langsung menghentikan permainan.
“Bu Winda sms suruh ke sana. Si
Ify nangis.”Ucap Rio terengah.
Seragam sekolah bagian belakang
benar – benar basah, mandi keringat. Dengan cepat ia membalas pesan singkat
guru yang menobatkannya sebagai “murid kesayangan” itu. Hanya sekedar
mengucapkan kata OTW. Rio melirik Debo yang
udah kayak orang kena asma. Nafas sepenggal – sepenggal parah.
“Baik – baik kan loe Deb?”
“Sialan loe”
Debo langsung memberi pukulan
ringan kepalan tangannya di bahu kiri Rio yang berada d sebelah kanannya. Rio
kembali tertawa. Coba dari dulu si Debo dapat ia ajak kompromi seperti ini. Ia
gak perlu susah – susah menghajar dan mengancam pemuda ini karena masalah
percintaannya.
“Loe tega juga bikin Ify
nangis.”
Rio mengangkat bahu sambil menatap
lurus lapangan dengan pandangan menerawang. Khayalannya ke depan yang akan ia
habiskan dengan Ify berada di pelupuk mata. Mau tak mau membentuk senyuman yang
menurut Debo aneh dan menakutkan. Takut hilang kesadaran. Tak mau ambil resiko
ia menonjok pelan bahu Rio.
“Ini yang pertama sengaja gue
bikin dia nangis dan yang terakhir pula bikin dia nangis selama bersama gue sekarang,
nanti, dan seterusnya.” Rio menoleh mendapati Debo yang mencibir karena
jawabannya. Kembali ia terkekeh.
“Yok..!”Ajaknya seraya bangkit
dari kursi penonton. Dengan segenap rasa lelah energi terforsir habis oleh Rio,
Debo menyusul dan berusaha menyamai langkah lebar Rio mengingat tinggi dirinya
hanya sebatas pelipis pemuda jangkung itu.
“Eh iya yo, ngomong-ngomong Bu
Winda. Guru killer itu tahu?”Tanyanya
“Kalau kagak,gak begini jadinya
Deb.”
Debo manggut – manggut.
Setengah perjalanan menuju pintu keluar lapangan indoor basket telah dilewati.
“Kok loe gampang banget jinakin
tuh guru buat nurutin misi loe Yo?”Tanyanya lagi membuat Rio berdecak keras dan
menatapnya tajam yang hanya dibalas cengiran. Gak tahu kali nih si Debo, dia
kecapekan membuat malas ngomong apalagi gerak. Tahu gitu tadi gak main.
“Jadi anak kesayangan guru, gak
afdol kalo sekali gak minta bantuan dan minta hak lebih dari murid – murid
lain. Percuma, gue mantan ketos, anak donator sekolah, penyumbang prestasi
terbanyak, tapi gak diturutin minta bayaran sedikit dari guru – guru.”
“Anjir loe!!”
“Hahhahahah!”
Keduanya tertawa di ambang
pintu. Rio langsung mengeluarkan kunci lapangan basket. Dia diberi kepercayaan
memegang kunci serep basket itu, takut aka nada keperluan yag menyangkut tempat
itu. Dengan sekali kunci, ia lantas berbalik dan langsung merangkul Debo dengan
rangkulan hangat seorang sahabat.
***
“Kamu telephone orang tuamu
sekarang! Suruh cepat ke sekolah!”
Ify melongo akan perintah bu
Winda. Tangisannya mulai reda, hanya isakan tertahan yang tersisa. Agni, Sivia
dan Gabriel yang sedari tadi menunggu di luar, sekarang ikut memenuhi ruangan untuk
menenangkan Ify.
“Ayo Ify!” Gertak bu Winda
melihat anak didiknya masih diam.
“Tapi Bu, Ify bener – bener gak
tahu dan gak ngelakuin hal yang ada di foto ini.”Protes Ify masih tak terima.
Bu Winda melotot tajam. Dengan
tubuh gemetar, terpaksa Ify melakukan yang bu Winda perintah. Dia menekan
tombol 0 lama pada BBnya untuk menghubungi sang mama dengan cara pintas. Tak
lama terdengar suara sambungan yang terputus. Ify menggeleng.
“Papa kamu!”
Lantas Ify menekan tombol 2.
Papa pasti kecewa dengan apa yang terjadi hari ini. Belum 5 detik berjalan, Ify
menatap penuh permohonan pada bu Winda yang dibalas tatapan makin menyalang.
Ify menunduk, menatap BBnya. Masih belum melakukan kembali hal yang
diperintahkan oleh bu Winda. Bu Winda terus menatap Ify penuh tuntutan. Jujur
saja beliau mulai tak tega dengan gadis tirus ini. Matanya mulai sembab dan
rada’ bengkak. Rambut kuncir kuda dengan pita hijau tosca ukuran cukup besar
itu mulai melepas beberapa helai rambut, menjatuhkannya disekitar pelipis gadis
itu. Kalau bukan karena permintaan Rio –yang notabane marid kesayangannya- yang
baru pertama kali ini, tak mungkin mau beliau bersikap kasar apalagi sampai
membentak-bentak gadis ini sedari tadi mengingat Ify telah menempati tampat
sebagai murid kesayangan kedua di hatinya.
Suara pintu terbuka lebar,
menyita perhatian bu Winda dan penghuni ruangan lainnya. Rio dan Debo muncul
dari balik pintu dengan keadaan biasa. Rio dengan pembawaan tenang namun
tatapan tajam mengarah lurus pada gadis yang sedang ia jaili dan Debo dengan
wajah kusut yang sebelumnya telah diperintahkan oleh Rio untuk berakting sesuai
porsinya. Alvin telah terlebih dulu memasuki ruangan ini dan mengambil tempat
tepat di sebelah Sivia.
“Ayo Ify!” Tegur bu Winda
melihat Ify hanya diam menatap Rio yang baru saja memenuhi ruangan. Ify
tersentak. Hampir saja BBnya jatuh kalau tidak terlebih dahulu diambil Tristan
yang sedari tadi berada di sampingnya. Ify mengalihkan BB itu ke bu Winda di
seberang yang terpisah oleh meja berukuran lumayan besar.
“I…I..Ibu aja yang telephone
Pa..pa”Ucap Ify terbata.
Kalau sudah berurusan dengan
Papa, ia benar-benar gemetar ketakutan. Walaupun Papa sangat memanjakannya
namun tak memungkiri pria paruh baya itu terlihat seram jika dalam kondisi
marah. Waktu itu saja, dia diantar pulang oleh Rio pas keadaannya lemah, Papa
marah karena sifat keras kepalanya yang tetap memaksa masuk padahal fisik dia
benar-benar lemah dan pastinya merepotkan Rio. Marahnya Papa gak sampai
bentak-bentak sich, tapi tetep aja serem. Marahnya lembut tapi tandas jleb
membuat dia benar- benar merinding. Dia lebih baik diomelin dari pada diomongi
dengan suara lembut tapi tajam.
Sempat ragu, namun pada
akhirnya bu Winda mengambil alih alat komunikasi itu. Seluruh isi ruangan
menegang, terkecuali Rio, Debo, dan Alvin tentunya. Bu Winda langsung beranjak
dari kursi dan keluar ruangan saat nada sambung terdengar. Beberapa saat
terdiam. Dengan takut-takut Ify melirik Rio yang berada di seberang dekat
dengan tempat bu Winda tadi. Pemuda itu langsung membuang muka. Enggan
menatapnya. Nafas Ify mulai tak beraturan. Gini nich efeknya kalau dia nahan
tangis, nafas udah tinggal 1 liter rasanya. Sembari menunduk, ia mencoba
mengatur nafasnya. Kedua tangannya mencengkram rok bagian pinggir kuat-kuat.
Susah payah ia menstabilkan nafasnya.
Aksinya membuang muka saat Ify
menatap, ia lakukan karena benar-benar tak tega dengan gadis itu. Ia juga
merasakan Ify susah untuk bernafas normal. Gadis itu menunduk. Rio melotot
tajam, saat Tristan berniat akan merangkul Ify sekedar menenangkan. Pemuda itu
manarik tangannya kembali sebelum menyentuh Ify. Padahal niatnya baik.
Bagaimana pun Ify tetap temannya walaupun dia kakak kelas. Nama gadis itu
sering ia dengar dari teman-temannya karena kecantikan dan kepintaran yang
gadis itu punya. Awalnya ia tak tahu siapa Ify karena gadis itu jarang terlihat
atau mungkin dia yang tak melihat di sekitar sekolah. Akhirnya pada saat ia
telah dinobatkan sebagai pengganti Rio, sebagai acara pembuka masa jabatannya
ia memperkenalkan diri serta harapan dan lain-lain ke satiap kelas pada saat
itu juga. Dan saat itu pula, ia tahu bagaimana sosok Ify yang sering ia dengar
dari teman-temannya. Sosok gadis cantik sekaligus manis membuat siapa saja tak
akan bosan melihatnya dengan bola mata indah, hidung bangir dan betuk wajah
yang jarang dimiliki seorang gadis-tirus.
“Orang tua kamu sudah di
jalan”Ucapan bu Winda memecah keheningan. Ketenangan Ify juga mulai pecah.
***
Ketegangan itu sudah
berlangsung beberapa menit yang lalu. Di ruangan ini hanya tinggal Ify, kedua
orang tua Ify, Debo, Rio, dan bu Winda. Ify duduk di antara Mama dan Papa,
sedangkan bu Winda diapit oleh Rio dan Debo. Ify sedikit merasa heran. Rio kan
tidak terlibat apapun dengan masalah ini, tapi kenapa ikut gabung juga?? “Mmmm
mungkin karena dia ketos, tapi kan udah pension.”Pikir Ify bingung. Tangannya
tak berhenti memproduksi keringat dingin sedari tadi. Begitu pula air matanya.
Ia terus terisak mendengar penuturan bu Winda yang jauh dari kata benar. Tapi
bukan salah bu Winda pula, itu foto juga ngapain kecetak kayak gitu, bikin
rusuh, bikin gemetar, bikin nangis, pokoknya bikin dia berada diantara hidup
dan mati.
“Puas kamu Fy?? Papa gak
nyangka SMA ini kamu jadi liar seperti ini.”
Tangisan Ify mengeras. Tak
pernah ada dalam bayangan Papa marah seperti ini padanya. Apalagi mengatakannya
anak liar. Sumpah nyesek. Dia mending di PHPin ketimbang Papanya beranggapan
dia buruk. Dia ingin protes. Dia ingin bicara panjang lebar, tapi kenapa
suaranya seakan tertelan bumi?? Kenapa hanya tangisan yang bersuara??
Lewat belakang tubuh bu Winda,
Debo mencolek Rio, membuat cowok itu menatap kesal padanya. Debo berdecak pelan
melihat Rio kembali teralih pada apa yang ada di hadapannya. Lumayan kaget dia
mendengar penuturan Papa Ify. Rio benar-benar dah. Benar-benar sukses bikin Ify
nangis kejer. Lihat nih, abis ini si Ify sakit gara-gara kebanyakan nangis.
“Duh…mantan inceran gue berhenti kek nangisnya elah… gue kagak tega
sumpah”Batinnya.
Mama terus mengusap punggung
Ify. Beliau sangat kecewa dengan laporan bu Winda mengenai Ify. Foto itu
terlihat tak pantas untuk dilihat. Posenya bikin orang berpikiran tidak-tidak
pada anak gadisnya. Beliau merasakan Ify langsung memeluk tubuhnya. Hal yang ia
khawatirkan datang, tubuh Ify terasa hangat. Pasti nanti gadis ini akan sakit.
Baru beberapa hari lalu gadis mungil ini sakit, masak sakit lagi??
“Maaf Pak, terpaksa sekolah
mengeluarkan Ify”
JDARRR… tangisan Ify lebih
keras. Bahunya naik turun sangat cepat.
“Apa tidak bisa dipertimbangkan
lagi Bu?? Misalnya Ify dipindahkan sekolah terlebih dahulu. Saya tidak ingin
nilai kelakuan anak saya di raport C. Itu membuat Ify susah mendapat sekolah
lagi.”
“Bisa Pak, mari kita urus di
ruang kepala sekolah. Beliau telah menunggu.”
****
Ruangan ini masih sama. Isakan
Ify masih terdengar memenuhi ruang eksekusi setengah mendadak itu. Tersisa
sahabatnya, Sivia dan Agni serta Tristan, Alvin, Debo dan Gabriel. Kemanakah
Rio?? Cowok itu berpamit ke ruang OSIS karena sebelumnya mendapat utusan dari
bu Winda untuk mengambil berkas penting yang tak tahu isinya apa. Sivia dan
Agni yang masih terus mengapit Ify seraya memberi usapan lembut di pundak gadis
tirus itu lama-lama tak tega. Mata sahabatnya kini terlihat bengkak. Tampilan
rambutnya juga sedikit berantakan.
“Udah Fy. Berhenti nangis.
Semua bakalan baik-baik aja kok. Yakin deh”
Ify terus sesenggukan. Kedua
tangannya tak berhenti mengusap cairan asin yang diproduksi kelopak matanya.
Usap yang kiri,yang kanan terus ngalir. Usap kanan, yang kiri nyusul minta
diusap. Pokoknya dari awal masuk ruang ini sampai sekarang, gak kehitung deh
berapa kali tangan kanan-kiri bolak-balik gerak.
“Hiks… Kak Rio hiks.. kemarin
bilangnya percaya sama gue. Tapi sekarang malah dinginin gue. Papa lagi. Gue
gak bisa lihat Papa marah..hiks. Papa sayang banget sama gue. Gue jarang liat
Papa marah karena gue gak pernah buat beliau marah. Tapi sekarang? Gue bikin
Papa kecewa dan marah sama gue…huhuhu”
Sivia langsung menarik Ify ke
dalam rangkulannya. Gadis itu langsung menangis di bahu Sivia. Tubuhnya semakin
gemetar. Sivia mengernyit saat merasakan perubahan suhu tubuh Ify. Hangat
cenderung panas. Dia mencoba menyentuh leher Ify. Lumayantidak dapat dibilang
normal suhu tubuhnya. Sivia menatap orang-orang disekitarnya. Mencoba memberi
tahukan dengan kalimat yang tak bersuara bagaimana kondisi Ify sambil terus
mengusap-usap punggung Ify.
***
Alis Alvin terangkat meliha
gelagat Debo yang sedari tadi tak bisa duduk tenang di sampingnya. Kelihatan
banget kalau cowok yang kalah kece-menurutnya- itu gelisah. Setelah memastikan
BBnya dalam kondisi aman di saku celanan kanan, tangannya menepuk keras pundak
Debo membuat ia mendapat pelototan tajam dari korban.
“Gatel tangan loe?”Kesal Debo.
“Pantat loe yang gatel? Dari
tadi, duduk gak beres. Geser sana geser sini. Pengen gue gampar tuh
pantat.”Sahut Alvin dengan alis masih terangkat (kagak capek pin?)
“Ck. Gue samperin aja si Ify.
Kagak tega gue lama-lama”Ucap Debo gak nyambung dengan kalimat Alvin. Mata
Alvin menyipit. Tak mengerti namun paham.
“Loe mau keluar dari sini
tinggal badan doank, kagak pake’ nyawa? Siap buat nulis wasiat?”
Debo yang sudah beranjak
kembali menghempaskan tubuhnya di samping Alvin dengan kasar. Dia dilema
sekarang. Melihat keadaan Ify, membuatnya terenyuh. Mungkin efek sisa-sisa rasa
sayangnya ke Ify masih beras itu membuat ia tak tega melihat badan mungil itu
terus bergetar dalam pelukan Sivia yang masih terus menenangkannya. Dia tak
bisa membayangkan, tubuh itu bakalan tambah mungil karena kesedot buat nambah
tenaga Ify untuk menambah frekunsi tangisannya. Duh gimana kalau hal itu
terjadi?? Adik kelas yang sangat good looking itu nanti terlihat sama dengan
siswi lainnya. Nggak, hal itu tak boleh terjadi. “Gue harus bantu berhentiin
Ify nangis. Gue gak rela makhluk cantik, manis plus mungil harus hilang dari
pandangan”. Tekadnya yang sebenarnya tak ada penting-pentingnya. Tanpa memberi
perhatian pada cegahan untuk melaksanakan aksinya, Debo mulai berjalan
mendekati gadis itu.
Alvin hanya menghela nafas
pasrah dan mencoba acuh seperti biasanya kalau nanti bakalan ada upacara
pembukaan perang sekolah perdana.
***
Secara cover tak peduli. Dalam
hati memperhitungkan. Belum selesai ia menghitung mudur dari angka 10
kesuakaannya hingga mendekati nol. Sosok yang diwaspadai mengenai niat yang
dilakukan oleh Debo dalm bentuk perbuatan, muncul dari balik pintu. Pemuda yang
baru saja melangkah sekali memasuki
ruang yang sebelumnya ia keluar dari ruangan ini juga, langsung mematung. Tak
hampir semenit, pemuda itu lenjut menggerakkan tungkai menghampirinya.
“Loe ikut gue sekarang
Vin”Bisik Rio, pemuda tersebut.
“Gak usah bacot dulu”Lanjut Rio
saat melihatnya akan mengeluarkan protes atau pun pertanyaan. Dengan sedikit
mendengus, ia mengikuti Rio yang telah terlebih dahulu menunju pintu keluar
kembali.
“Kak….”
Lirihan gadis yang sedang
tereksikusi itumenghentikan langkah Alvin. Ia berniat menoleh melihat gadis
yang memanggil “Kak” tadi, sebelum sebuah tangan menariknya terlebih dahulu.
“Gue bilang sekarang, gak ada
yang namanya molor jadi nanti”
***
IFY
POV
Aku benar-benar bingung
sekarang. Kenapa rasanya aku yang disudutkan dalam masalah ini. Bukannya kak
Debo juga terlibat dengan masalah perfotoan ini?? Tapi kenapa aku merasa hanya
aku yang dikambing hitamkan. Di tambah lagi aku tak bersalah dalam hal ini. Ini
sebuah pemfitnahan yang gak bisa aku maafkan. Pose di foto itu saat aku bersama
Kak Rio beberapa hari lalu. Aku masih ingat. Saat itu Kak Rio hendak mencium
keningku namun tak jadi karena ada daun jatuh dari pohon rindang yang kami
singgahi untuk meneduh dari panasnya matahari. Kalau aku menjelaskan seperti
yang memang benar-benar terjadi, aku malu sendiri donk?? Terus Kak Rio juga
kenapa diam saja?? Saat di rumah kemarin, pemuda itu bilang percaya dan akan
membantuku. Nyatanya?? Kenapa laki-laki bulshit banget di dunia ini?? Kenapa
sampai sekrang aku tak menemukan sosok yang seperti Papanya dan Septian yang
selalu memanjakan dan memperlakukanku dengan special?? Kenapa aku gampang
tergoda untuk melepas topeng yang selama ini aku kenakan hanya kerana sosok Kak
Rio, yang sepertinya aku salah hipotesa sosok itu?
Otakku berfikir. Ada hal yang
sangat janggal di sini. Kenapa orang tua Kak Debo tidak disuruh ke sini?
Seperti yang ku bilang sebelumnya, dia juga tersangka dan akan menjadi terdakwa
sepertiku. Orang yang sedang bergelut dengan pemerkiraanku berada tepat di
sampingku. Sebagai gerak reflek, aku menegang dan langsung menggeser tubuh
menjaga jarak dengannya. Ngapain dia ke sini. Aku menoleh ke seluruh ruangan
–karena sedari tadi aku menatap lantai ruang eksekusi- tak kutemukan siapa pun
di sekitarku. Kemana mereka?? Kemana Agni dan Sivia?? Bukannya sedari tadi
mereka berada disisi ku??
“Jangan mendekat Kak… Ify
takut”Lirihku.
***
Debo langsung disambut tatapan
tak mengenakkan dari Rio saat ia keluar dari ruangan meninggalkan Ify. Gadis
itu yang telah berhenti beberapa saat tangisannya semakin banyak memproduksi
air mata. Debo sendiri awalnya tak mau maninggalkan Ify, namun karena udah
jelas Ify bilang kalau dirinya takut, akhirnya ia memilih keluar. Dan ternyata,
orang-orang yang berada dalam ruangan tadi ditambah beberapa guru yang memang
jam kosong-tapi mungkin disengaja kosong karena seluruh murid juga berkumpul di
sekitar agak jauh dari ruangan tempat Ify berada agar tetap tepelihari keadaan
yang kondusif.
“Yo, sumpah gue gak tega Yo.
Itu adik gue Yo, loe tega bener. Kalo sampe’ tuh anak sakit, gue bunuh loe Yo”Omel
Gabriel yang sedari tak tak berhenti mondar-mandir di koridor jauh tapi lumayan
dekat dengan ruang eksekusi.
“Gue juga ikut Yel. Kita bunuh
bareng-bareng.”Tambah Alvin yang berdiri di samping Rio.
Papa dan mama Ify serta
sahabat-sahabat Ify hanya geleng-geleng kepala. Saat ini mereka menanti Bu
Winda –yang katanya Rio, menawarkan diri untuk membuat kue ulang tahun special
untuk Ify- yang tak kunjung muncul sejak 20 menit yang lalu. Kedua orang tua
Ify salang pandang, menatap ngeri satu sama lain. Tak mau membayangkan hal yang
akan terjadi nanti mendengar tangisan semakin histeris Ify yang terdengar
hingga tempatnya berada. Pita suara anak gadisnya itu gimana??
Mata mereka membinar melihat bu
Winda muncul dari belokan koridor bersama guru PKN Ify yang katanya tuh guru
suka banget ngeliatin Ify. Dengan gerakan hampir bersamaan, mereka
berbondong-bondong menuju Ify yang ternyata telah meringkuk di sudut ruangan.
***
“HAPPY BIRTHDAY IFY…. HAPPY
BIRTHDAY IFY……… HAPPY BIRTHDAY IFY…….. HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY HAPPY
BIRTHDAY IFY”
Degh… Dia yang sudah berada di
posisi pas untuk mengeluarkan semua air mata kesedihan, langsung terhenti
mendengar suara-suara layaknya paduan suara namun sedikit fals. Kepalanya
mendongak. Dengan sedikit buram, ia menatap sahabat-sahabatnya, Bu Winda, Pak
Hasyim, Papa, Mama, Rio dkk, dan seluruh teman-teman sekelasnya berada dengan
jarak 10 meter darinya. Masih diam, tak berniat bangkit karena memang tenaganya
sudah terkuras habis meratapi nasib, membiarkan mereka terus mengumandangkan
lagu special untuknya. Ia sendiri sempat kaget. Menatap sambil berfikir tanggal
berapakah sekarang, membuatnya sedikit tak suka akan dirinya sendiri yang
pelupa akan tanggal lahirnya. Coba kalau ingat, dia pasti gak bakal dijailin
begini nich sama mereka. Lihat tuh. Mereka pada senyum-senyum ngelihat dia yang
udah berantakan efek dikerjain.
Suara ketukan sepatu
berturut-turut mendekat yang hanya ditatapnya datar, kosong tanpa nyawa. Hingga
perlahan jarak itu semakin tipis dan berada tepat lima jengkal darinya dengan
formasi bu Winda berada di barisan depan bersama Mama dan Papa. Ketiga orang
paruh baya itu bingung akan reaksi Ify. Kenapa malah diam?? Gak gerak dengan
pose memeluk lutut?
“Sayang…”Panggil Mama seraya
menyentuh puncak kepala Ify.
Beliau sebenarnya tak tahu
menahu hal ini. Beberapa jam lalu, saat sang suami menerima telphone yang
mengatakan bahwa telephone itu dari guru Ify, beliau sedikit heran.
Keheranannya berganti keterkejutan saat sang suami mengatakan mereka berdua
harus segera ke sekolah Ify karena anak sulung mereka sedang terlibat kasus.
Otomatis beliau shock donk?? Selama Ify sekolah, gadis itu bukan tipe gadis
pembuat onar apalagi setelah kehilangan sosok yang sangat berarti yang
memebuatnya malah jadi pendiam banget. Pas sampai di sekolah. Mereka langsung
di sambut hangat oleh bu Winda. Selang beberapa menit Bu Winda berbicara,
beliau langsung lega bahwa ini hanya sebuah scenario belaka.
Mama menatap lesu dan beralih
menengok Rio yang tak jauh darinya. Seakan mengerti apa yang diperintah wanita
anggun itu, ia langsung menghampiri Ify, menunduk dan mensejajarkan tubuhnya
dengan Ify.
“Fy… Ayo bangun…”Ucapnya lembut
seraya meraih tubuh mungil Ify agar bangkit dan merespon apa yang ia berikan.
Rio menghela nafas penuh rasa
bersalah. Tubuh mungil Ify yang ia raih terasa panas dan juga sangat lemas.
Parah emang dia bikin beginian? Ify hanya menatap Rio tak berekspresi.
Membiarkan tubuhnya dirangkul oleh pemuda itu dan menuntunnya. Tepat berada di
depan kue tart ukuran lumayan besar berbentuk pita yang sering dipakai Ify, Rio
merasakan tubuh itu semakin memberat dalam rangkulannya. Ify sendiri tak tahu
bagaimana mendeskripsikan fisik dan batinnya sekarang. Ia senang ternyata ini
hanya sebuah permainan, tapi ia juga kesal, terjatuh dalam permainan yag
separah ini.
“Capek… hhh..gak kuat mau…hh..
berdiri”
Seluruh ruangan menahan nafas
melihat gadis tirus itu langsung menyandarkan tubuhnya pada Rio yang sigap dan
menuntunnya ke sofa. Diikuti dengan yang lain. Bu Winda langsung menaruh kue
tartnya dan segera bergegas mengambil sesuatu yang mungkin bisa membantu
memulihkan keadaan Ify sebelum suara mencegah.
“Gak usah Bu. Ify gak
kenapa-napa. Kalian semua tetap disini.”
Ify menegakkan tubuhnya supaya
mereka percaya bahwa ia baik-baik saja. Memasang senyum manis mengatakan bahwa
dia sangat-sangat behagia dengan perayaan ulang tahunnya sekarang. Dengan
gerakan tubuh Ify menyuruh semua mendekat. Rio yang berada di samping gadis itu
langsung bangkit bertukar posisi dengan kedua orang tua Ify dan mengambil
posisi di seberang sofa yang lain.
“Terima kasih kejutannya. Ify
seneng. Cuma lain kali jangan gini ya… bikin pusing”
Perkataan Ify mengundang tawa
lega seisi ruangan. Bu Winda langsung mengambil korek api untuk menghidupkan
lilin –mati karena kelamaan- yang akan ditiup oleh Ify. Bersama-sama mereka
menyanyikan tiup lilin. Berulang kali. Namun Ify tak kunjung bergerak. Hanya
menatap lilin itu dengan dahi mengernyit.
“Kenapa Ify?”Tanya Bu Winda
yang berada di sebelah Mama.
Ify menggeleng dan menatap Bu
Winda.
“Angkanya salah Bu. Ify masih
15 tahun”
Sontak mereka langsung
memandang kue tart degan lilin angka 16 dan segera beralih pada Ify yang
menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum kikuk memandang Bu Winda. Mama dan
Papa Ify juga tak menyadari kekeliruan yang terdapat pada kue tart itu. Mereka
hanya tersenyum memandang Bu Winda yang merasa salah informasi. Bu Winda
sendiri tak tahu berapa umur Ify. Saat ia menyanggupi untuk membuat kue, beliau
langsung membeli angka 16 karena angka 16 sangat betul untuk ukuran kelas 1
SMA. Tapi ini??
“Hehehe gak papa dah Bu.
Lumayan 16 lebih tua dikit. Gak enak jadi remaja. Kalau 16 kan kurang setahun
mau usia dewasa. Nah 15 belas?? Masih lama?”Ucap Ify memecah tawa dan
keheningan sesaat. Lantas ia langsung meniup lilin itu yang disambut tepukan
meriah.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar