Kamis, 10 Juli 2014

AKU, KAMU, DAN MEREKA

Assalamualaikum...
Hallo... aku bawa cerpen nih. Ini cerpen waktu ikut lomba dulu(?). Temanya berhubungan dengan hujan. Maaf jika ada persamaan latar cerita, atau semacamnya, itu murni ketidaksengajan. Kenapa aku bilang gitu? Karena aku ngerasa hal yang berhubungan dengan hujan mainstream abiss. Menurutku sihh hahaha...

Ya udah monggo dibaca:)

Hujan adalah bayanganku…..
Hujan adalah latar awal kehidupanku….
Suatu saat… Aku yakin, Aku akan seperti hujan dalam hidup orang – orang terdekatku….
Aku hanya mengembang senyum meperhatikannya mengomel. Kantong tertawaku sepertinya ingin mengeluarkan isi lebih banyak melihat kondisi sosok dihadapanku saat ini. Aku tak berniat menghentikan, juga tak berniat melawan. Sebab aku tahu, inilah cara dia menunjukkan rasa sayang padaku.
Raut wajahnya terlihat makin kesal melihatku hanya terkekeh. Lantas dia melangkah lebih dekat padaku. Saat ini aku terbaring kembali di ranjang yang berbungkus motif awan. Dia mengambil posisi duduk di tepi ranjang, membuatku secara reflek menggeser tubuh agar dia nyaman dengan posisinya di sampingku.
“Udah..?” tanyaku saat kurasa dia cukup bersuara.
“Kamu itu bisa gak sih nurut ucapanku sekali aja. Gini kan jadinya? Kamu sakit lagi.”
“Maaf… Bukannya setiap hari aku sudah berstatus sakit? Gak ada bedanya bukan?” tanyaku lalu menghela nafas lelah. Lelah mengetahui status paten yang dicap semenjak 3 tahun lalu tak kan bisa tercabut, kecuali keajaiban Tuhan.
Dia menghela nafas sepertiku.
“Kamu pasti sembuh sayang. Jangan pernah putus asa.
Kalimat inilah yang aku tak suka. Asalkan dia tahu, sama sekali tak terbesit rasa menyerah dalam diri. Kalau pun ada, aku pasti akan pergi sebelum ajalku datang. Pandanganku yang semula menatapnya, kini beralih ke balik jendela. Rintikan air hujan itu telah punah. Di ganti oleh sinar gradasi orange-kuning sore hari. Daun-daun, bunga-bunga yang mempercanti halaman rumahku, tampak lebih bersemangat menyambut siapa saja yang berkunjung. Aku tersenyum.
“Aku hanya kangen dengan mereka. Semenjak aku menyandang status ini, aku jarang berbaur dengan mereka. Aku… aku hanya ingin berbagi kebahagiaan atas keberhasilanku memenangkan lomba puisi tadi pada mereka. Dan tadi kamu bisa lihat kan?? Mereka sangat merindukanku juga. Mereka datang saat batinku memanggil, dan pergi saat aku terlepas dari mereka.”
Aku kembali memandangnya lembut. Membalas genggamannya di tangan kiriku. Aku terkekeh melihatnya mendengus sebal saat aku menggunakan senjata ampuh yang membuatnya luluh, tatapanku.
“Kali ini aku maafin. Tapi kalau sampai kamu main hujan lagi tanpa sepengetahuan aku, dan dalam durasi yang sama, aku bakalan marah. Kamu harus pikirkan kondisi-----”
“Aku tahu kondisiku buruk, tapi kan-----”
“Jangan membantahku sayang, aku gak bermaksud mengingatkan kondisi fisikmu. Aku------”
“Love you”
Aku memotong kalimatnya. Dia langsung terdiam menatapku terpaku. Kekehanku terlontar melihatnya sedetik kemudian kembali mendengus kesal dan mencibir.
“Kamu selalu berhasil membuat aku tak berkutik. Ayo sekarang kamu makan!”
Aku mengangguk. Akhirnya sepanjang sore, aku di dalam ruangan nuansa musim semi ini berdua dengannya. Bersama seseorang yang berstatus sebagai kekasihku semenjak kurang lebih setahun lalu. Aku tak pernah menyangka sebelumnya bisa meliewati setahun ini bersama sosok pemuda idaman para gadis -jika teman – temanku bilang. Sosok dengan tampang di atas standar dengan bola mata kecoklatan. Postur tubuh atletis karena dia memang menjabat sebagai kapten basket sekolah, serta penyumbang prestasi terbanyak mengharumkan Impian Bangsa yang tak kalah denganku. Kurang beruntung apakah aku?
***
Halaman belakang sekolah. Salah satu tempat favoritku saat menunggu dia berlatih dengan tim basketnya. Bel pulang sekolah telah berbunyi setengah jam lalu. Setelah berpamit akan menunggunya di tempat ini, aku langsung menempatkan diri dengan nyaman seperti biasa. Di bawah pohon paling rindang. Ku pasang headset pada I-Phone dan kedua telingaku, dan sedetik kemudian aku terhanyut dalam suara lembut penyanyi when you believe.
Sesuatu menyentil. Pikiranku tertuju pada kejadian tadi pagi. Dimana Kakak dan Bunda bertengkar hebat dengan permasalahan yang masih sama selama tiga tahun ini yaitu aku. Aku masih ingat bagaimana Kakak sangat menentang Bunda yang akan membawaku berobat ke negara tetangga. Aku juga masih ingat bagaimana Bunda tetap akan mempertahankanku di dunia ini.
“……Jangan pernah sekali – kali kamu berbicara seperti itu.”
“Kenapa Bun?? Itu kenyataannya kan? Dokter juga bilang dia gak akan bertahan lama. Kenapa Bunda ngotot mempertahankannya?”
“Dokter bukan tuhan. Kita harus tetap berusaha. Kamu kenapa menentang keputusan Bunda?”
“Karena di sini aku merasa dirugikan. Aku anak Bunda juga. Setelah ini aku akan lulus dan ingin masuk kedokteran. Kalau uang peninggalan Ayah itu Bunda gunakan untuk mempertahankannya sedangkan sia gak akan bisa bertahan lama, untuk apa Bun?”
Aku masih sangat ingat kalimat Kakak laki – lakiku itu. Setetes air menyentuh pipiku. Aku seperti benalu. Merugikan orang. Mengambil energi orang dan bergantung pada orang. Tak ada alasan sebenarnya untuk aku bertahan. Aku hanya mempunyai alasan untuk pergi dan menyimpannya rapi. Keinginanku bertemu Ayah, merupakan salah satu alasanku.
Putaran film kediupan singkat keluargaku itu terhenti saat seseorang menyentuh pipiku. Dia tersenyum tanpa dosa setelah mencuri kesempatan mencium pipiku lembut. Seperti tak melakukan kesalahan, ia mengambil posisi di sampingku.
“Kenapa?”
Aku tahu apa yang akan ia katakana. Aku sudah ingin menggeleng, tapi tak kulakukan setelah melihat tatapan tajamnya menusuk. Menandakan bahwa aku harus berbagi cerita dengannya.
“Kakak dan Bunda”
Dia mengangguk mengerti. Lantas membawa kepalaku bersandar di bahunya. Seperti biasa, saat aku mengungkap dua tokoh pendamping dalam film kehidupanku itu, dia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi.
“Aku tak pernah ingin jadi hujan yang merugikan. Hujan yang menyebabkan banjir dan menyusahkan semua orang. Aku hanya ingin jadi hujan membawa kebahagiaan. Memberi ketenangan bukan memberi kekhawatiran. Aku… Aku--
Rasa sesak mempersempit ruang pernafasanku. Dia mengerti, dan langsung mendekapku. Memberikanku keteduhan. Lama aku dalam pelukannya. Hingga air dari langit itu turun, dia memaksa untuk melepasku dan membawaku menghindar dari mereka. Aku tak mau kalah. Aku mempererat pelukanku padanya. Membuatnya marah. Kembali aku hanya tersenyum saat ia menyerah dan menuruti permintaan tersiratku.
“Kamu tahu?? Kalau aku disuruh memilih untuk terpisah denganmu atau dengan mereka, aku lebih memilih terpisah denganmu.”
Dia langsung mengomel. Aku hanya menertawakannya.
“Karena apa? Mereka telah ada sejak aku lahir. Di saat semua orang mengasingkan diri di dalam rumah ketika mereka datang. Kedua orang tuaku berjalan dikawal oleh mereka. Bunda dan Ayah berusaha bersahabat dengan mereka agar dapat mengenalkanku pada dunia, walaupun hanya dunia fana. Mereka menyambutku. Hujan menyambut kehadiranku di dunia. Menghilangkan peluh yang menetes pada pelipis Bunda saat melahirkanku. Mereka sudah ku anggap sebagai kembaranku yang terpisah.”
Aku meneruskan celotehanku di tengah hujan. Walaupun pohon yang meneduhkan kami itu rindang. Tak menutup kemungkinan air hujan tak membasahi kami. Aku tersenyum cerah melihat mereka menyapaku. Menyapa dengan caranya sendiri. Hujan kali ini sepertinya hanya semacam gerimis. Aku tahu bagaimana membuat mereka semua keluar dari kandang.
“Sayang…” Aku memanggilnya. Lantas mendongak untuk melihatnya. Dia menatapku bertanya. Wajahnya terlihat cemas. Aku hanya tersenyum meyakinkan bahwa aku baik – baik saja.
“Kamu tahu?? Mereka ini sangat senang melihat kita. Kamu ingat waktu kamu meminta aku untuk menjadikanmu kekasihku?? Beberapa saat aku menerimamu, mereka datang. Memberi selamat pada kita. Peristiwa itu tak terlalu penting sih. Yang membuat aku lebih yakin bahwa mereka lebih sayang padaku, saat Ayah melepas pelukanku. Saat beliau pergi, mereka datang. Menghiburku. Mereka membawa teman si warna – warni indah yang sering disebut pelangi. Membuat aku sadar, bahwa aku tak sendiri. Aku masih punya mereka, Bunda, Kakak, dan ditambah tokoh baru yang sangat aku cinta, yaitu kamu.”
Rasa sakit yang menyerang kepalaku sejak tadi semakin terasa. Aku sudah semaksimal mungkin memainset pikiranku kalau rasa sakit itu akan hilang dengan cara berceloteh ria tentang hubunganku dengan hujan. Tak masuk akal memang. Namun inilah yang tergores dalam kanvas kehidupanku. Mereka merupakan warna paling terang dan sering ku gunakan saat melukiskan kehidupanku dari saat aku dini hingga hampir berusia 17 tahun. Atau mungkin aku terlalu berlebihan memberi perhatian pada mereka? Mungkin itu masuk dalam hitungan. Sel – sel kanker yang tumbuh di dalam otakku saja sampai – sampai berkelebihan membuat fisikku juga berlebihan kadar kelemasannya. Hahaha aku hanya tertawa mengingat apa yang menyerang otakku sekarang. Mereka menjadi warna tersendiri. Warna yang sebelumnya tersembunyi di balik beberapa warna, dan sekarang terlihat jelas dalam kanvas.
***
Letakkanlah tanganmu di atas bahuku….
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu…
Di depan sana cahaya kecil tuk memandu….
Tak hilang arah kita berjalan…… menghadapinya….
Suasana mencekam menyelimuti ruangan dengan aroma khas obat menusuk. Kekasihku kembali terbaring lemah karena fisik yang tak berdaya setelah bercengkrama dengan hujan sore tadi. Seberapa keras aku menentang keinginannya, tapi hingga setahun berjalan hubungan kami, aku selalu kalah. Dia memiliki senjata kuat yang seketika meruntuhkan pendirianku, mata sayu dan suara lirih. Apabila kedua senjata itu yang ia gencarkan saat kami berselisih, pasti seketika aku diam dan tak melawan. Aku memang laki – laki bodoh yang tak dapat menjaga sosok yang ku miliki walau belum seutuhnya. Andai saja aku tadi terus memaksanya untuk tak bermain bersama mereka. Bermain dengan bayangannya-katanya. Kondisinya tak akan seperti ini.
Suara ketukan kaki menyadarkanku yang tengah menunduk di ruang tunggu. Mereka. Kakak laki – laki kekasihku dan bundanya. Seperti biasa aku menyambut mereka dangan bersalaman. Lantas kembali duduk di kursi ruang tunggu.
“Bagaimana keadaan Ify?”
“Rio juga belum tahu Tante, dokter masih belum keluar dari tadi.
Aku menjawab sekenanya, karena memang kecemasan ini melanda. Sudah sekitar 2 jam menunggu salah satu dari mereka yang menangani Ify tak kunjung keluar.
“Dia masih hidup?”
Degh… suara ketus sekilas pelan namun jelas itu menyentakku. Aku langsung menatapnya tajam. Persetan dengan statusnya sebagai saudara kandung gadisku. Dengan kalap aku langsung menarik krah kemejanya. Aku tak habis pikir dengan apa yang ada dalam otaknya. Di sana. Adiknya tengah berjuang melawan pasukan kuat dengan jumlah banyak, dia dengan seenaknya mengatakan apakah gadis itu masih hidup?? Itu suatu pertanyaan polos atau doa yang sangat ingin ia kabulkan?
Aku melirik Bunda Ify. Beliau hanya diam. Aku tahu bagaimana kondisi keluarga Ify. Semenjak ayahnya meninggal dalam suatu kecelakaan, seluruh keluarga besar menyalahkan gadis itu. Kenapa? Alasan mereka sangat tidak logis. Cuma dikarenakan sang Ayah keluar untuk membelikan buku yang diminta Ify, gadis itu langsung di sudutkan. Mereka selalu berkata, andai saja waktu itu Ify tak merengek meminta sebuah buku, pasti pria yang sudah tenang di sana tidak akan pergi. Sungguh sangat – sangat tak bisa terpikir olehku. Saat gadis itu mengatakan bahwa ia divonis mengidap penyakit mematikan itu, mereka hanya diam. Bukan prihatin, tapi tak peduli. Kalau saat itu aku tak mendesak Ify –yang memang pintar menyembunyikan rahasia- pasti aku tak akan tahu bagaimana keluarga satu – satunya memperlakukan dia.
Suara decitan pintu membuatku membatalkan niat untuk menghajar teman sebayaku. Aku langsung menerobos setelah meminta izin pada dokter. Kedua orang itu tak aku biarkan untuk masuk dalam ruang inap Ify. Tapi sepertinya mereka tidak keberatan, karena memang mereka tak berniat untuk meminta masuk apalagi bertanya pada dokter perihal kondisi bagian dari keluarganya.
***
Seperti biasa, aku kalah dalam perdebatan sengit pagi tadi. Sekarang kami berada dalam medan perlombaan lukis tingkat nasional. Dia –gadisku- sebulan lalu memenangkan lomba lukis mewakili sekolah hingga tahap nasional ini. Selain ia jago dalam merangkai kata – kata membentuk beberapa bait puisi indah menyentuh, ia juga lihai dalam memadukan beberapa warna dalam kanvas. Dalam hal adu kata, aku memang kalah telak dengannya walaupun aku juga suka dunia tulis, lebih tepatnya aku lebih suka menulias bentuk pendeskripsian kehidupan dibanding menuliskan satu kata dengan banyak makna.
Selama proses lomba yang diberi durasi 2 jam lebih 30 menit, senyum yang menjadi favoritku selalu menghiasi wajahnya. Entah kenapa diantara puluhan orang yang ikut serta dalam lomba, hanya dia yang terlihat paling bersinar di mataku. Mataku tak pernah lepas menatapnya yang terus menggoreskan warna pada kanvas berukuran sedang itu. Dahiku mengernyit melihat tangan itu terhenti. Keringat mulai menetes di pelipisnya. Genggaman kuas pada tangannya terlihat menguat. Aku telah ingin bangkit, namun dia terlebih dahulu mencegahku dengan memberikan sebuah kepastian melalui gerak bibirnya.
“Aku baik – baik saja”
Akhirnya sampai di penghujung acara. Ify telah duduk santai sambil menggigit kecil roti rasa coklat kesukaannya yang aku beli 30 menit sebelum berakhir durasi melukis. Kami berada pada barisan tak terlalu belakang namun hanya ada kami yang berada dalam barisan tersebut. Dia terlihat tenang padahal pengumuman juara akan di umumkan di atas stage ukuran kecil dekat tempat melukis tadi.
“Kamu yakin menang?”
Dia menoleh. Menyeringai lucu dan menggeleng.
“Kenapa?”
Hanya gerakan bahu yang menjawab.
“Tadi emangnya ngelukis apa?”
Memang sebelum dia melukis, dia berpesan agar aku tak boleh melihatnya.
“Kamu”
Aku diam mengangkat sebelah alisku. Aku?? Diriku?
“Kenapa?”
Sebelum menjawab ia memandang sosok yang berstatus sebagai juri perlombaan memberi beberapa kalimat untuk seluruh peserta. Lantas menghadapku sekilas dan menyandarkan kembali tubuh mungil seraya mencuil beberapa bagian roti yang tinggal setengah itu. Gemas dengan tingkahnya, poni yang mulai panjang melebihi alisnya aku acak – acak hingga terlihat sedikit berantakan.
“Temanya kan suasana hati, jadinya aku lukis kamu”
“Kok?”
Aku masih tak puas dengan jawabannya.
“Ihhhh… kok kamu kepo gini sih? Gak bisa diam ya?”
“Iya iya ak------”
Suaraku terpotong oleh juri yang mulai mengumumkan pemenang lomba. Juara 3 dan 2 terlewat begitu saja dengan tak disebutkannya nama Dify Alyssa. Dia masih tetap tenang. Roti yang sedari tadi ia geluti telah kandas. Aku langsung menggenggam telapak tangannya dan membawanya ke pangkuanku. Meyakinkan bahwa dia pasti menang.
“Juara 1 dengan total nilai 289 diraih oleh Denis Pradani Dewi.”
Aku langsung menatapnya. Tak ada raut kekecewaan. Sinar matanya masih tetap sama. Cerah ceria.
Beberapa menit terlewat. Suara ucapan selamat dari para guru yang mengantarkannya ke perlombaan terdengar beruntut. Rasa bangga menjalari tubuhku. Setelah segerombolan beberapa orang itu kembali pada tempat masing – masing, aku memeluknya. Dia berhasil. Berhasil membawa predikat sebagai pemenang sejati perlombaan ini. Dia berhasil merebut juara sebagai “lukisan terfavorit” yang melebihi ketiga juara lainnya.
“Kamu aja deh yang maju ngewakilin aku”
Aku menatapnya bingung.
“Aku males mau kesana. Kamu aja yang ke sana”
Aku menggeleng kuat – kuat. Melipat dada membuang muka.
“Kak…”
Shit… Suara lirih itu mengahancurkan benteng pertahananku. Dengan kesal aku bangkit dan menuruti permintaannya. Dia hanya terkekeh geli.
***
Aku hanya tertawa melihatnya menggerutu akibat permintaanku. Rasa sakit di sekujur tubuh yang sedari awal aku datang ke tempat ini semakin menjadi. Roti yang aku jadikan pelarian agar sakit itu hilang tak memberi efek apapun. Saat pengumuman pemenang dibacakan, aku hanya menatapnya biasa. Aku mencoba mencari fokus lain agar tak terlalu memperhatikan pegal – pegal di seluruh tubuhku. Tiba – tiba saja, di puncak pengumuman terakhir, sakit itu juga ikut memuncak. Bibir bawah yang sedari tadi aku gigit agar tak mengeluarkan erangan terasa sedikit asin. Darah mulai menyeruak akibat perbuatan gigiku.
Blas……
Tiba – tiba rasa sakit itu perlahan lenyap. Aku tersenyum dan bersyukur tak sampai mengambil perhatiannya. Tiba – tiba dia memelukku. Aku bingung. Ada apa? Apa dia tahu kalau aku...
“Selamat sayang, aku bangga padamu”
Aku menang? Ya tuhan, segitu kuatnya mereka yang beragresi militer menyerang tubuhku sampai – sampai aku tak sadar kalau aku menjadi pemenang. Dengan perasaan bahagia tak dapat aku utarakan dalam hal apapun, aku bersiap bangkit dari kursi yang ku duduki. Tapi kok? Kakiku susah membuatku berdiri dari kursi dan menghampiri stage. Sekali lagi aku coba. Kenapa ini? Rio terus memanggilku. Aku menatapnya dan meminta ia mewakiliku. Dengan alasan tak jelas namun berhasil, ia mewakiliku untuk mengambil penghargaan atas karyaku. Ya Allah… Ada apa dengan kedua kakiku?
Dia kembali dengan kedua tangan memegang piala, medali dan sebuah hadiah uang. Aku menyeriangai. Dia masih memandangku kesal dan berpamit untuk menaruh penghargaan itu di mobilnya.
“Ayo kita pulang.”
Aku menghembuskan nafas. Kenapa saat dia tadi menaruh hadiah itu aku tak memikirkan hal ini? Keringat dingin mengalir ke seluruh tubuh. Aku memainkan jemariku seraya berfikir.
“Kak… Gendong Ify donk…hehehehe”
“Nggak, kamu berat”
“Yah…. Anggap jadi hadiah atas keberhasilan Ify. Gendong…”
Sebisa mungkin aku mengeluarkan suara dengan nada sangat manja. Dia mengernyit, aku tahu dia heran dengan sikapku. Selama kami berpacaran, aku tak pernah menggunakan nada manja untuk meminta sesuatu padanya. Paling aku hanya memakai suara lirih yang menjadi senjataku. Aku mengulurkan kedua tanganku meminta untuk segera dituruti. Dia langsung menjongkokkan diri dengan membelakangiku. Buset dah, kenapa masih ada jarak mau ke punggungnya.
“Ayo!”
Mataku mulai memanas. Aku harus gimana?Pantas saja sakit itu hilang. Sudah terganti sama kakiku yang mati rasa.
“Kak…”
***
Lagi – lagi aku tak becus menjadi seorang kekasih yang baik untuk Ify. Kenapa rasa peka sama sekali tak mau melekat padaku? Setidaknya saat bersama Ify. Sudah jelas – jelas wajah Ify mengisyaratkan sebuah kecemasan, kesakitan, kepasrahan, aku malah menyadarinya saat gadis itu tergeletak saat akan kembali ke rumah sakit? Kakinya yang mati rasa saja aku baru tahu setelah dokter menjelaskan beberapa hal buruk mengenai kondisi gadis itu.
Di tambah keberadaan kami di tempat ini, tempat saat aku menyatakan perasaanku padanya membuatku kesal akan diriku sendiri. Yap, lagi – lagi aku tak bisa menolak permintaannya. Rintikan air yang semula hanya satu dua tetes langsung menjadi berkelompok. Dokter memasrahkan padaku untuk menuruti permintaan Ify atau pun tidak. Dia meminta bermain dengan hujan karena ingin membagi kebahagiaannya meraih juara dalam lomba kemarin pada mereka.
“Kak…”
Aku menunduk menatapnya yang terduduk di pangkuanku.
“Aku pernah buat Kakak kesal ya waktu aku bilang aku lebih memilih mereka dibanding Kakak?”
Perasaanku mulai tak enak. Di tambah ia memanggilku dengan embel – embel ‘kakak’.
“Nggak kok. Kenapa memang?”
“Bo’ong banget dah.”
Hening lagi. Dia meringsek menyamankan sandarannya di dadaku. Tanganku masih bertengger di tangan lentik yang berada di perutnya.
“Kak…”
“Hm?”
“Kalau aku tidur di sini boleh gak?”
“Nggak. Kita balik ke rumah sakit.”
“Aku gak mau.”
“Sayang…”
“Kakak…”
“Terserah kamu”
Aku mendengus kesal. Tawa renyah namun lemas terdengar miris di telingaku. Kami kembali diam memandang hujan dari bawah pohon rindang. Pikiranku melayang mengingat kejadian setahun yang lalu. Dia sempat mengerjaiku. Membuang bunga yang aku kasih sebagai wujud dia menerimaku jadi kekasihnya. Aku sempat patah semangat saat dia melempar jauh bunga itu, namun langsung lega saat dia berucap “Aku gak mau nerima bunga itu. Aku maunya nerima Kakak apa adanya”
Lamunanku lenyap merasakan sandaran itu memberat. Aku menggoyangkan lengan tanganku. Memanggilnya berulang kali. Tak ada respon. Dengan panik aku menegakkan tubuhku yang semula bersandar pada batang pohon. Memanggil – manggil namanya. Tak terasa air mata keluar dari kelopak mataku. Ya tuhan… aku tak ingin kehilangan gadis mungil menyebalkan ini. Aku sangat mencintainya.
Suara tawa menghentikan kelakuan dan tangisanku. Aku menatap Ify tak percaya. Gadis ini memang dari dulu jahil, bahkan di saat kondisinya seperti ini. Sangat menyebalkan.
“Parnoan banget sih jadi orang. Di bohongin gini aja udah nangis, gimana ntar beneran?”
“YA ALLAH, IFY… kamu tuh ya. Kamu tahu aku sampai lupa napas normal lihat kamu kayak tadi. Aku sam----”
“Kamu sayang banget ya sama aku?”
Ucapanku terpotong oleh kalimatnya yang terlontar dengan mimik wajah serius.
“Gak perlu aku jawab seharusnya kamu sudah tahu.”
Dia langsung memelukku. Mengucapkan kata maaf berulang kali. Aku hanya membalas pelukannya. Jantungku masih berdetak cepat. Belum bisa menyesuaikan kembali. Rasanya seperti sport jantung.
“Aku…juga…men hhhh cintaimu…”
***
“…………..itulah sedikit cuplikan kisah yang tertulis dalam novel pertama saya. Mungkin ada yang ingin bertanya?”
Sekarang aku berada dalam sebuah forum yang dikhususkan untukku mengupas novel pertama yang berhasil aku terbitkan. Belum sebulan masa penjualan. Novel – novelku yang sebar di beberapa toko telah kandas. Aku mendapatkan anugerah yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, selain Ify. Mereka menyambut antusias novel pertamaku dengan judul “Hujan terindah” yang terisnpirasi oleh ceritaku sendiri. Aku memasukkan tokoh seseorang yang telah pergi setahun yang lalu. Seseorang yang memberikan banyak kenangan dan banyak inspirasi untukku. Sosok gadis tegar yang memberikan goresan indah untuk sekolah walau fisiknya tak mendukung.
Aku masih ingat bagaimana dia berpesan.
“Jangan simpan aku dalam hatimu. Jangan ikat aku dalam hidupmu. Aku tak mau jadi penghalang untuk cinta yang baru saat dia dan kamu bertemu. Tapi yang harus kamu tahu, walau aku tak ingin ada dalam bagian hidupmu, aku masih bersilaturahmi melalui mereka, karena aku sekarang bagian dari mereka yang selalu mengiringmu, hujan.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar