Hallo... aku bawa cerpen nih. Ini cerpen waktu ikut lomba dulu(?). Temanya berhubungan dengan hujan. Maaf jika ada persamaan latar cerita, atau semacamnya, itu murni ketidaksengajan. Kenapa aku bilang gitu? Karena aku ngerasa hal yang berhubungan dengan hujan mainstream abiss. Menurutku sihh hahaha...
Ya udah monggo dibaca:)
Hujan adalah bayanganku…..
Hujan adalah latar awal kehidupanku….
Suatu saat… Aku yakin, Aku akan seperti hujan dalam hidup orang – orang
terdekatku….
Aku hanya mengembang senyum meperhatikannya mengomel.
Kantong tertawaku sepertinya ingin mengeluarkan isi lebih
banyak melihat kondisi sosok dihadapanku saat ini. Aku tak
berniat menghentikan, juga tak berniat melawan. Sebab aku tahu, inilah cara dia menunjukkan
rasa sayang padaku.
Raut wajahnya terlihat makin kesal melihatku hanya
terkekeh. Lantas dia melangkah lebih dekat padaku. Saat ini
aku terbaring kembali di ranjang yang berbungkus motif awan. Dia mengambil posisi duduk di tepi ranjang, membuatku
secara reflek menggeser tubuh agar dia nyaman dengan posisinya di sampingku.
“Udah..?”
tanyaku saat kurasa dia cukup bersuara.
“Kamu itu bisa gak sih nurut ucapanku sekali aja. Gini kan jadinya? Kamu
sakit lagi.”
“Maaf… Bukannya setiap hari aku sudah berstatus
sakit? Gak ada bedanya bukan?” tanyaku lalu menghela
nafas lelah. Lelah mengetahui status paten yang dicap semenjak 3 tahun lalu tak kan bisa
tercabut, kecuali keajaiban Tuhan.
Dia menghela nafas sepertiku.
“Kamu pasti sembuh sayang. Jangan pernah putus asa.”
Kalimat inilah yang aku tak suka. Asalkan dia tahu, sama sekali tak
terbesit rasa menyerah dalam diri. Kalau pun ada, aku pasti akan pergi sebelum
ajalku datang. Pandanganku yang semula menatapnya, kini beralih ke balik jendela.
Rintikan air hujan
itu telah punah. Di ganti oleh sinar gradasi orange-kuning sore hari. Daun-daun,
bunga-bunga yang mempercanti halaman rumahku, tampak lebih
bersemangat menyambut siapa saja yang berkunjung. Aku tersenyum.
“Aku hanya kangen dengan mereka. Semenjak aku menyandang status ini, aku jarang berbaur dengan mereka. Aku… aku hanya ingin berbagi kebahagiaan atas keberhasilanku memenangkan lomba
puisi tadi pada mereka. Dan tadi kamu bisa lihat kan?? Mereka sangat
merindukanku juga. Mereka datang saat batinku memanggil, dan pergi saat aku
terlepas dari mereka.”
Aku kembali memandangnya lembut. Membalas genggamannya di tangan kiriku.
Aku terkekeh melihatnya mendengus sebal saat aku menggunakan senjata ampuh yang
membuatnya luluh, tatapanku.
“Kali ini aku maafin. Tapi kalau sampai kamu main hujan lagi tanpa sepengetahuan
aku, dan dalam durasi yang sama, aku bakalan marah. Kamu harus pikirkan
kondisi-----”
“Aku tahu kondisiku buruk, tapi kan-----”
“Jangan membantahku sayang, aku gak bermaksud mengingatkan kondisi fisikmu.
Aku------”
“Love you”
Aku memotong kalimatnya. Dia langsung terdiam menatapku terpaku. Kekehanku
terlontar melihatnya sedetik kemudian kembali mendengus kesal dan mencibir.
“Kamu selalu berhasil membuat aku tak berkutik. Ayo sekarang kamu makan!”
Aku mengangguk. Akhirnya sepanjang sore, aku di dalam ruangan nuansa musim semi ini berdua dengannya. Bersama seseorang yang berstatus sebagai
kekasihku semenjak kurang lebih setahun lalu. Aku tak pernah menyangka sebelumnya bisa meliewati setahun ini bersama sosok pemuda idaman para gadis -jika teman – temanku bilang. Sosok dengan tampang di atas standar dengan bola mata kecoklatan. Postur tubuh atletis karena
dia memang menjabat sebagai kapten basket sekolah, serta penyumbang prestasi
terbanyak mengharumkan Impian Bangsa yang tak kalah denganku. Kurang beruntung apakah aku?
***
Halaman belakang sekolah. Salah satu tempat favoritku saat menunggu dia
berlatih dengan tim basketnya. Bel pulang sekolah telah berbunyi setengah jam lalu.
Setelah berpamit akan menunggunya di tempat ini, aku langsung menempatkan diri
dengan nyaman seperti biasa. Di bawah pohon paling rindang. Ku pasang headset
pada I-Phone dan kedua telingaku, dan sedetik kemudian aku terhanyut dalam
suara lembut penyanyi ‘when you believe’.
Sesuatu menyentil. Pikiranku tertuju pada kejadian tadi pagi. Dimana Kakak
dan Bunda bertengkar hebat dengan permasalahan yang masih sama selama tiga tahun
ini yaitu aku. Aku masih ingat bagaimana Kakak sangat
menentang Bunda yang akan membawaku berobat ke negara tetangga. Aku juga masih ingat bagaimana Bunda tetap akan mempertahankanku di dunia
ini.
“……Jangan pernah sekali – kali kamu berbicara seperti itu.”
“Kenapa Bun?? Itu kenyataannya kan? Dokter juga bilang dia gak akan
bertahan lama. Kenapa Bunda ngotot mempertahankannya?”
“Dokter bukan tuhan. Kita harus tetap berusaha. Kamu kenapa
menentang keputusan Bunda?”
“Karena di
sini aku merasa dirugikan. Aku anak Bunda juga. Setelah ini
aku akan lulus dan ingin masuk kedokteran. Kalau uang peninggalan Ayah itu
Bunda gunakan untuk mempertahankannya sedangkan sia gak akan bisa bertahan lama, untuk apa Bun?”
Aku masih sangat ingat kalimat Kakak laki – lakiku itu. Setetes air menyentuh pipiku. Aku seperti benalu. Merugikan orang. Mengambil
energi orang dan bergantung pada orang. Tak ada alasan sebenarnya untuk aku
bertahan. Aku hanya mempunyai alasan untuk pergi dan menyimpannya rapi.
Keinginanku bertemu Ayah, merupakan salah satu alasanku.
Putaran film kediupan singkat keluargaku itu terhenti saat seseorang menyentuh pipiku. Dia tersenyum tanpa dosa setelah mencuri
kesempatan mencium pipiku lembut. Seperti tak melakukan kesalahan, ia mengambil
posisi di sampingku.
“Kenapa?”
Aku tahu apa
yang akan ia katakana. Aku sudah ingin menggeleng, tapi tak
kulakukan setelah melihat tatapan tajamnya menusuk. Menandakan bahwa aku harus berbagi cerita dengannya.
“Kakak dan Bunda”
Dia mengangguk mengerti. Lantas membawa kepalaku bersandar di bahunya.
Seperti biasa, saat aku mengungkap dua tokoh pendamping dalam film kehidupanku itu, dia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi.
“Aku tak pernah ingin jadi hujan yang merugikan. Hujan yang menyebabkan banjir dan
menyusahkan semua orang. Aku hanya ingin jadi hujan membawa kebahagiaan. Memberi ketenangan bukan memberi kekhawatiran. Aku… Aku--”
Rasa sesak mempersempit ruang pernafasanku. Dia mengerti, dan
langsung mendekapku. Memberikanku keteduhan. Lama aku dalam pelukannya. Hingga
air dari langit itu turun, dia memaksa untuk melepasku dan membawaku menghindar dari
mereka. Aku tak mau kalah. Aku mempererat pelukanku padanya. Membuatnya marah.
Kembali aku hanya tersenyum saat ia menyerah dan menuruti permintaan tersiratku.
“Kamu tahu?? Kalau aku disuruh memilih untuk terpisah
denganmu atau dengan mereka, aku lebih memilih terpisah denganmu.”
Dia langsung mengomel. Aku hanya menertawakannya.
“Karena apa? Mereka telah ada sejak aku lahir. Di saat semua orang
mengasingkan diri di dalam rumah ketika mereka datang. Kedua orang tuaku berjalan dikawal oleh mereka. Bunda dan
Ayah berusaha bersahabat dengan mereka agar dapat
mengenalkanku pada dunia, walaupun hanya dunia fana. Mereka menyambutku. Hujan
menyambut kehadiranku di dunia. Menghilangkan peluh yang menetes pada pelipis
Bunda saat melahirkanku. Mereka sudah ku anggap sebagai kembaranku yang terpisah.”
Aku meneruskan celotehanku di tengah hujan. Walaupun pohon yang meneduhkan
kami itu rindang. Tak menutup kemungkinan air hujan tak membasahi kami. Aku
tersenyum cerah melihat mereka menyapaku. Menyapa dengan caranya sendiri. Hujan
kali ini sepertinya hanya semacam gerimis. Aku tahu bagaimana membuat mereka
semua keluar dari kandang.
“Sayang…” Aku memanggilnya. Lantas mendongak untuk melihatnya. Dia
menatapku bertanya. Wajahnya terlihat cemas. Aku hanya tersenyum meyakinkan
bahwa aku baik – baik saja.
“Kamu tahu?? Mereka ini sangat senang melihat kita. Kamu ingat waktu kamu
meminta aku untuk menjadikanmu kekasihku?? Beberapa saat aku menerimamu, mereka
datang. Memberi selamat pada kita. Peristiwa itu tak terlalu penting sih. Yang
membuat aku lebih yakin bahwa mereka lebih sayang padaku, saat Ayah melepas pelukanku. Saat beliau pergi, mereka datang. Menghiburku. Mereka membawa teman si
warna – warni indah yang sering disebut pelangi. Membuat aku sadar, bahwa aku
tak sendiri. Aku masih punya mereka, Bunda, Kakak, dan ditambah tokoh baru yang
sangat aku cinta, yaitu kamu.”
Rasa sakit yang menyerang kepalaku sejak tadi semakin
terasa. Aku sudah semaksimal mungkin memainset pikiranku kalau
rasa sakit itu akan hilang dengan cara berceloteh ria tentang hubunganku dengan
hujan. Tak masuk akal memang. Namun inilah yang tergores dalam kanvas
kehidupanku. Mereka merupakan warna paling terang dan sering ku gunakan saat
melukiskan kehidupanku dari saat aku dini hingga hampir berusia 17 tahun. Atau
mungkin aku terlalu berlebihan memberi perhatian pada mereka? Mungkin itu masuk
dalam hitungan. Sel – sel kanker yang tumbuh di dalam otakku saja sampai –
sampai berkelebihan membuat fisikku juga berlebihan kadar kelemasannya. Hahaha
aku hanya tertawa mengingat apa yang menyerang otakku sekarang. Mereka menjadi
warna tersendiri. Warna yang sebelumnya tersembunyi di balik beberapa warna,
dan sekarang terlihat jelas dalam kanvas.
***
Letakkanlah tanganmu di atas bahuku….
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu…
Di depan sana cahaya kecil tuk memandu….
Tak hilang arah kita berjalan…… menghadapinya….
Suasana mencekam menyelimuti ruangan dengan aroma khas obat menusuk.
Kekasihku kembali terbaring lemah karena fisik yang tak berdaya setelah bercengkrama
dengan hujan sore tadi. Seberapa keras aku menentang
keinginannya, tapi hingga setahun berjalan hubungan kami, aku selalu kalah. Dia
memiliki senjata kuat yang seketika meruntuhkan pendirianku, mata sayu dan suara lirih. Apabila kedua senjata itu yang ia gencarkan saat kami berselisih, pasti seketika aku diam dan tak melawan.
Aku memang laki – laki bodoh yang tak dapat menjaga sosok yang ku miliki walau
belum seutuhnya. Andai saja aku tadi terus memaksanya untuk tak bermain bersama
mereka. Bermain dengan bayangannya-katanya. Kondisinya tak akan seperti ini.
Suara ketukan kaki menyadarkanku yang tengah menunduk di ruang tunggu.
Mereka. Kakak laki – laki kekasihku dan bundanya. Seperti biasa aku menyambut
mereka dangan bersalaman. Lantas kembali duduk di kursi ruang tunggu.
“Bagaimana keadaan Ify?”
“Rio juga belum tahu Tante, dokter masih belum keluar dari tadi.”
Aku menjawab sekenanya, karena memang kecemasan ini melanda. Sudah sekitar
2 jam menunggu salah satu dari mereka yang menangani Ify tak kunjung keluar.
“Dia masih hidup?”
Degh… suara ketus sekilas pelan namun jelas itu menyentakku. Aku langsung
menatapnya tajam. Persetan dengan statusnya sebagai saudara kandung gadisku.
Dengan kalap aku langsung menarik krah kemejanya. Aku tak habis pikir dengan
apa yang ada dalam otaknya. Di sana. Adiknya tengah berjuang melawan pasukan
kuat dengan jumlah banyak, dia dengan seenaknya mengatakan apakah gadis itu
masih hidup?? Itu suatu pertanyaan polos atau doa yang sangat ingin ia
kabulkan?
Aku melirik Bunda Ify. Beliau hanya diam. Aku tahu bagaimana kondisi
keluarga Ify. Semenjak ayahnya meninggal dalam suatu kecelakaan, seluruh
keluarga besar menyalahkan gadis itu. Kenapa? Alasan mereka sangat tidak logis.
Cuma dikarenakan sang Ayah keluar untuk membelikan buku yang diminta Ify, gadis
itu langsung di sudutkan. Mereka selalu berkata, andai saja waktu itu Ify tak
merengek meminta sebuah buku, pasti pria yang sudah tenang di sana tidak akan
pergi. Sungguh sangat – sangat tak bisa terpikir
olehku. Saat gadis itu mengatakan bahwa ia divonis mengidap penyakit mematikan
itu, mereka hanya diam. Bukan prihatin, tapi tak peduli. Kalau saat itu aku tak
mendesak Ify –yang memang pintar menyembunyikan rahasia- pasti aku tak akan tahu bagaimana keluarga satu – satunya memperlakukan dia.
Suara decitan pintu membuatku membatalkan niat untuk menghajar teman
sebayaku. Aku langsung menerobos setelah meminta izin pada dokter. Kedua orang
itu tak aku biarkan untuk masuk dalam ruang inap Ify. Tapi sepertinya mereka
tidak keberatan, karena memang mereka tak berniat untuk meminta masuk apalagi
bertanya pada dokter perihal kondisi bagian dari keluarganya.
***
Seperti biasa, aku kalah dalam perdebatan sengit pagi tadi. Sekarang kami
berada dalam medan perlombaan lukis tingkat nasional. Dia –gadisku- sebulan
lalu memenangkan lomba lukis mewakili sekolah hingga tahap nasional ini. Selain
ia jago dalam merangkai kata – kata membentuk beberapa bait puisi indah menyentuh,
ia juga lihai dalam memadukan beberapa warna dalam kanvas. Dalam hal adu kata,
aku memang kalah telak dengannya walaupun aku juga suka dunia tulis, lebih
tepatnya aku lebih suka menulias bentuk pendeskripsian kehidupan dibanding
menuliskan satu kata dengan banyak makna.
Selama proses lomba yang diberi durasi 2 jam lebih 30 menit, senyum yang
menjadi favoritku selalu menghiasi wajahnya. Entah kenapa diantara puluhan
orang yang ikut serta dalam lomba, hanya dia yang terlihat paling bersinar di mataku. Mataku tak pernah lepas menatapnya yang terus menggoreskan
warna pada kanvas berukuran sedang itu. Dahiku
mengernyit melihat tangan itu terhenti. Keringat mulai menetes di pelipisnya. Genggaman kuas pada tangannya terlihat menguat. Aku telah ingin bangkit, namun dia terlebih dahulu mencegahku dengan
memberikan sebuah kepastian melalui gerak bibirnya.
“Aku baik – baik saja”
Akhirnya sampai di penghujung acara. Ify telah duduk santai
sambil menggigit kecil roti rasa coklat kesukaannya yang aku beli 30 menit
sebelum berakhir durasi melukis. Kami berada pada barisan tak terlalu belakang
namun hanya ada kami yang berada dalam barisan tersebut. Dia terlihat tenang
padahal pengumuman juara akan di umumkan di atas stage ukuran kecil dekat
tempat melukis tadi.
“Kamu yakin menang?”
Dia menoleh.
Menyeringai lucu dan menggeleng.
“Kenapa?”
Hanya
gerakan bahu yang menjawab.
“Tadi
emangnya ngelukis apa?”
Memang
sebelum dia melukis, dia berpesan agar aku tak boleh melihatnya.
“Kamu”
Aku diam
mengangkat sebelah alisku. Aku?? Diriku?
“Kenapa?”
Sebelum
menjawab ia memandang sosok yang berstatus sebagai juri perlombaan memberi
beberapa kalimat untuk seluruh peserta. Lantas menghadapku sekilas dan
menyandarkan kembali tubuh mungil seraya mencuil beberapa bagian roti yang
tinggal setengah itu. Gemas dengan tingkahnya, poni yang mulai panjang melebihi
alisnya aku acak – acak hingga terlihat sedikit berantakan.
“Temanya kan
suasana hati, jadinya aku lukis kamu”
“Kok?”
Aku masih
tak puas dengan jawabannya.
“Ihhhh… kok
kamu kepo gini sih? Gak bisa diam ya?”
“Iya iya
ak------”
Suaraku
terpotong oleh juri yang mulai mengumumkan pemenang lomba. Juara 3 dan 2 terlewat
begitu saja dengan tak disebutkannya nama Dify Alyssa. Dia masih tetap tenang.
Roti yang sedari tadi ia geluti telah kandas. Aku langsung menggenggam telapak tangannya
dan membawanya ke pangkuanku. Meyakinkan bahwa dia pasti menang.
“Juara 1
dengan total nilai 289 diraih oleh Denis Pradani Dewi.”
Aku langsung
menatapnya. Tak ada raut kekecewaan. Sinar matanya masih tetap sama. Cerah
ceria.
Beberapa
menit terlewat. Suara ucapan selamat dari para guru yang mengantarkannya ke
perlombaan terdengar beruntut. Rasa bangga menjalari tubuhku. Setelah
segerombolan beberapa orang itu kembali pada tempat masing – masing, aku
memeluknya. Dia berhasil. Berhasil membawa predikat sebagai pemenang sejati
perlombaan ini. Dia berhasil merebut juara sebagai “lukisan terfavorit” yang
melebihi ketiga juara lainnya.
“Kamu aja deh
yang maju ngewakilin aku”
Aku
menatapnya bingung.
“Aku males mau
kesana. Kamu aja yang ke sana”
Aku
menggeleng kuat – kuat. Melipat dada membuang muka.
“Kak…”
Shit… Suara
lirih itu mengahancurkan benteng pertahananku. Dengan kesal aku bangkit dan
menuruti permintaannya. Dia hanya terkekeh geli.
***
Aku hanya
tertawa melihatnya menggerutu akibat permintaanku. Rasa sakit di sekujur tubuh
yang sedari awal aku datang ke tempat ini semakin menjadi. Roti yang aku
jadikan pelarian agar sakit itu hilang tak memberi efek apapun. Saat pengumuman
pemenang dibacakan, aku hanya menatapnya biasa. Aku mencoba mencari fokus lain
agar tak terlalu memperhatikan pegal – pegal di seluruh tubuhku. Tiba – tiba
saja, di puncak pengumuman terakhir, sakit itu juga ikut memuncak. Bibir bawah
yang sedari tadi aku gigit agar tak mengeluarkan erangan terasa sedikit asin.
Darah mulai menyeruak akibat perbuatan gigiku.
Blas……
Tiba – tiba
rasa sakit itu perlahan lenyap. Aku tersenyum dan bersyukur tak sampai
mengambil perhatiannya. Tiba – tiba dia memelukku. Aku bingung. Ada apa? Apa
dia tahu kalau aku...
“Selamat
sayang, aku bangga padamu”
Aku menang?
Ya tuhan, segitu kuatnya mereka yang beragresi militer menyerang tubuhku sampai
– sampai aku tak sadar kalau aku menjadi pemenang. Dengan perasaan bahagia tak
dapat aku utarakan dalam hal apapun, aku bersiap bangkit dari kursi yang ku
duduki. Tapi kok? Kakiku susah membuatku berdiri dari kursi dan menghampiri
stage. Sekali lagi aku coba. Kenapa ini? Rio terus memanggilku. Aku menatapnya
dan meminta ia mewakiliku. Dengan alasan tak jelas namun berhasil, ia
mewakiliku untuk mengambil penghargaan atas karyaku. Ya Allah… Ada apa dengan
kedua kakiku?
Dia kembali
dengan kedua tangan memegang piala, medali dan sebuah hadiah uang. Aku menyeriangai.
Dia masih memandangku kesal dan berpamit untuk menaruh penghargaan itu di
mobilnya.
“Ayo kita
pulang.”
Aku
menghembuskan nafas. Kenapa saat dia tadi menaruh hadiah itu aku tak memikirkan
hal ini? Keringat dingin mengalir ke seluruh tubuh. Aku memainkan jemariku
seraya berfikir.
“Kak…
Gendong Ify donk…hehehehe”
“Nggak, kamu
berat”
“Yah….
Anggap jadi hadiah atas keberhasilan Ify. Gendong…”
Sebisa
mungkin aku mengeluarkan suara dengan nada sangat manja. Dia mengernyit, aku
tahu dia heran dengan sikapku. Selama kami berpacaran, aku tak pernah
menggunakan nada manja untuk meminta sesuatu padanya. Paling aku hanya memakai
suara lirih yang menjadi senjataku. Aku mengulurkan kedua tanganku meminta
untuk segera dituruti. Dia langsung menjongkokkan diri dengan membelakangiku.
Buset dah, kenapa masih ada jarak mau ke punggungnya.
“Ayo!”
Mataku mulai
memanas. Aku harus gimana?Pantas saja sakit itu hilang. Sudah terganti sama
kakiku yang mati rasa.
“Kak…”
***
Lagi – lagi
aku tak becus menjadi seorang kekasih yang baik untuk Ify. Kenapa rasa peka
sama sekali tak mau melekat padaku? Setidaknya saat bersama Ify. Sudah jelas –
jelas wajah Ify mengisyaratkan sebuah kecemasan, kesakitan, kepasrahan, aku
malah menyadarinya saat gadis itu tergeletak saat akan kembali ke rumah sakit?
Kakinya yang mati rasa saja aku baru tahu setelah dokter menjelaskan beberapa
hal buruk mengenai kondisi gadis itu.
Di tambah
keberadaan kami di tempat ini, tempat saat aku menyatakan perasaanku padanya
membuatku kesal akan diriku sendiri. Yap, lagi – lagi aku tak bisa menolak
permintaannya. Rintikan air yang semula hanya satu dua tetes langsung menjadi berkelompok.
Dokter memasrahkan padaku untuk menuruti permintaan Ify atau pun tidak. Dia
meminta bermain dengan hujan karena ingin membagi kebahagiaannya meraih juara
dalam lomba kemarin pada mereka.
“Kak…”
Aku menunduk
menatapnya yang terduduk di pangkuanku.
“Aku pernah
buat Kakak kesal ya waktu aku bilang aku lebih memilih mereka dibanding Kakak?”
Perasaanku
mulai tak enak. Di tambah ia memanggilku dengan embel – embel ‘kakak’.
“Nggak kok.
Kenapa memang?”
“Bo’ong
banget dah.”
Hening lagi.
Dia meringsek menyamankan sandarannya di dadaku. Tanganku masih bertengger di
tangan lentik yang berada di perutnya.
“Kak…”
“Hm?”
“Kalau aku
tidur di sini boleh gak?”
“Nggak. Kita
balik ke rumah sakit.”
“Aku gak
mau.”
“Sayang…”
“Kakak…”
“Terserah
kamu”
Aku
mendengus kesal. Tawa renyah namun lemas terdengar miris di telingaku. Kami
kembali diam memandang hujan dari bawah pohon rindang. Pikiranku melayang mengingat
kejadian setahun yang lalu. Dia sempat mengerjaiku. Membuang bunga yang aku
kasih sebagai wujud dia menerimaku jadi kekasihnya. Aku sempat patah semangat
saat dia melempar jauh bunga itu, namun langsung lega saat dia berucap “Aku gak
mau nerima bunga itu. Aku maunya nerima Kakak apa adanya”
Lamunanku
lenyap merasakan sandaran itu memberat. Aku menggoyangkan lengan tanganku.
Memanggilnya berulang kali. Tak ada respon. Dengan panik aku menegakkan tubuhku
yang semula bersandar pada batang pohon. Memanggil – manggil namanya. Tak
terasa air mata keluar dari kelopak mataku. Ya tuhan… aku tak ingin kehilangan
gadis mungil menyebalkan ini. Aku sangat mencintainya.
Suara tawa
menghentikan kelakuan dan tangisanku. Aku menatap Ify tak percaya. Gadis ini
memang dari dulu jahil, bahkan di saat kondisinya seperti ini. Sangat
menyebalkan.
“Parnoan
banget sih jadi orang. Di bohongin gini aja udah nangis, gimana ntar beneran?”
“YA ALLAH, IFY…
kamu tuh ya. Kamu tahu aku sampai lupa napas normal lihat kamu kayak tadi. Aku
sam----”
“Kamu sayang
banget ya sama aku?”
Ucapanku
terpotong oleh kalimatnya yang terlontar dengan mimik wajah serius.
“Gak perlu
aku jawab seharusnya kamu sudah tahu.”
Dia langsung
memelukku. Mengucapkan kata maaf berulang kali. Aku hanya membalas pelukannya.
Jantungku masih berdetak cepat. Belum bisa menyesuaikan kembali. Rasanya
seperti sport jantung.
“Aku…juga…men
hhhh cintaimu…”
***
“…………..itulah
sedikit cuplikan kisah yang tertulis dalam novel pertama saya. Mungkin ada yang
ingin bertanya?”
Sekarang aku
berada dalam sebuah forum yang dikhususkan untukku mengupas novel pertama yang
berhasil aku terbitkan. Belum sebulan masa penjualan. Novel – novelku yang
sebar di beberapa toko telah kandas. Aku mendapatkan anugerah yang tak pernah
aku bayangkan sebelumnya, selain Ify. Mereka menyambut antusias novel pertamaku
dengan judul “Hujan terindah” yang terisnpirasi oleh ceritaku sendiri. Aku
memasukkan tokoh seseorang yang telah pergi setahun yang lalu. Seseorang yang
memberikan banyak kenangan dan banyak inspirasi untukku. Sosok gadis tegar yang
memberikan goresan indah untuk sekolah walau fisiknya tak mendukung.
Aku masih
ingat bagaimana dia berpesan.
“Jangan
simpan aku dalam hatimu. Jangan ikat aku dalam hidupmu. Aku tak mau
jadi penghalang untuk cinta yang baru saat dia dan kamu bertemu. Tapi yang
harus kamu tahu, walau aku tak ingin ada dalam bagian hidupmu, aku masih
bersilaturahmi melalui mereka, karena aku sekarang bagian dari mereka yang selalu mengiringmu, hujan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar