Assalamualaikum... Malaam minggu ini ketemu lagi:) gak telat kan?? Hohoho...
Ya sudah monggo dinikmati....
Selamat membaca...........
Ketukan
pintu menghentikan gerakan jemari Rio di atas keyboard laptop. Dia berseru
menyuruh sosok di luar sana untuk segera masuk. Dari jenis suaranya, itu Ify.
“Assalamualaikum
Wr. Wb. Kak Rio suaminya Ify.”
Salam ceria
terdengar setelah pintu terbuka setengah lebar. Ify masuk dengan menenteng tas
punggungnya. Gadis itu masih tampak fresh sore ini dengan kemeja panjang motif
bunga-bunga dan rok kembang semata kaki. Separuh rambut diikat tinggi. Helaian
rambut yang tersisa dibiarkan menggantung menyentuh punggungnya. Terlihat lebih
anggun, dan dewasa.
Setelah
mengucap salam dan tersenyum manis pada suaminya, dia mengambil posisi setengah
berbaring di sofa berukuran jumbo, namun terlihat kecil di ruang kerja Rio yang
luas. Di lihat dari gerakan Rio, pemuda itu akan menghampiri. Berjalan pelan. Lalu
duduk di sampingnya. Kembali ia menegakkan tubuh. Meraih punggung telapak kanan
Rio dan mengecupnya.
“Eittssss…
Puasa Kakakku yang rajin ibadah dan bekerja. Selain, menahan lapar dan dahaga,
Kakak masih ingat kan menahan syahwat masuk hitungan(?). Gak ada cium-cium.”
serunya sesaat setelah menyalami Rio, pemuda itu menarik punggungnya.
Mempersempit jarak wajah mereka. Berniat menyentuhkan bibir itu ke keningnya.
“Istriku
tersayang, Adikku tercinta, dengar baik-baik suami sekaligus Kakakmu yang
ganteng ini ya. Mencium istri adalah bagian dari curahan kasih sayang,
cinta, dan perhatian seorang suami. Kebiasan mencium istri di saat-saat
tertentu, seperti saat meninggalkan istri untuk pergi kerja, dan bertemu istri
kembali setelah beberapa jam terpisah oleh waktu kerja itu hukumnya adalah
ibadah. Selain mendapatkan kenikmatan dunia juga pahala akhirat nyicil masuk
surga. Mengerti, ADIK IFY SAYANG?”
Lemah
lembut penuh geregetan, Rio menjelaskan dengan penekanan-penekanan beberapa
kata. Kedua tangannyanya mencengkram bahu Ify. Wajahnya menunduk, menyetarakan
dengan Ify. Senyum manis, terlewat dibuat-buat karena Ify bikin geregetan terus
mengembang. Bibir gadis itu mengerucut. Menepis pelan kedua tangannya di bahu.
Melipat tangan di depan dada. Membuang muka.
“Tapi
kan sekarang puasa, Kakak Mariooo.” Ify ngotot. Dia kan benar.
Rio
tersenyum tipis, “Perlu kamu tahu di bulan Ramadhan, kebiasaan mencium istri
juga dilakukan oleh Rasulullah SAW, Alyssa. Dalam hal ini, istri beliau sendiri,
‘Aisyah yang memberi penjelasan. “Rasulullah SAW mencium dan menyentuhnya dalam
keadaan puasa.” (Riwayat Muslim). Dalam riwayat yang lain juga disebutkan, “Beliau
menciumnya pada bulan Ramadhan dan beliau sedang berpuasa.” Berdasarkan
beberapa hadist tersebut, sebagian ulama beropini, mencium istri di bulan
ramadhan itu boleh.”
Rio
mengambil jeda beberapa detik. Mengambil nafas, menghembuskannya. Pusing yang
mendera sejak siang tadi, makin menjadi.
“Sebagian
lagi berpendapat jika mencium istri dilakukan dengan menyertai syahwat, maka
hukumnya bukan ibadah, tapi makruh. Seperti yang kamu bilang tadi, karena
esensi puasa itu salah satunya adalah menahan syahwat. Sebagian ulama ini
menguatkan dengan opini tambahannya bahwa Nabi ketika mencium istrinya di bulan
Ramadhan tidak disertai syahwat. Seperti yang kita ketahui, Nabi adalah orang
yang paling mampu menahan syahwatnya, bukan? Nah, yang seperti itu sulit dilakukan
manusia biasa, seperti aku dan kaum adam lainnya. Jadi, kamu sudah benar tadi
nyegah aku biar gak nyium kamu. Hehehe.”
Kelopak
mata Ify terbuka lebar. Dia benar kan? Rio mengajak jalan-jalan dulu sebelum
membenarkan apa yang dia bilang tadi. Dia melepas lipatan tangannya dan
menghempaskan. Sudah akan menghukum Rio dengan cubitan-cubitan pedasnya, tapi
urung saat melihat pemuda itu sudah bersandar di kepala sofa.
Mengusap seluruh wajah dengan telapak tangannya. Lalu memijat daerah pangkal
hidung ke bawah, berulang.
Ify
menaikkan sebelah alis, “Kakak kenapa? Capek?” tanyanya.
Tanpa
membuka matanya yang mulai terpejam, Rio menjawab, “Nggak. Cuma pusing.”
Panik, Ify
memindah tas punggung yang berada di samping kanannya, ke bawah sofa. Dia
bangkit. Melangkah menuju ruangan lain di dalam ruang kerja Rio. Bersebelahan
dengan toilet. Di dalam ruangan berukuran lebih besar dari toilet itu terdapat
bad berukuran kecil, hanya cukup membaringkan satu orang. Dia mengambil bantal
kepala. Membawanya ke sofa. Rio masih dalam keadaan sama sebelum ditinggal
tadi.
“Kak…”
panggilnya setelah duduk kembali di sofa. Punggungnya bersentuhan dengan lengan
kanan sofa.
“Hmm”
“Mijat suami
di saat puasa boleh gak, Kak?” tanyanya sambil melepas widges yang ia kenakan.
Menaikkan kaki ke badan sofa. Bersila.
Rio membuka
mata. Menoleh. Mendapati Ify tengah meringis lucu menunjuk bantal di atas
pangkuannya. “Boleh. Yang gak boleh pijat plus-plus.” jawabnya tak bisa menahan
senyum langsung mendapat sentuhan keras Ify di pinggang.
Tanpa
menunggu perintah, Rio memutar tubuhnya 90 derajat menghadap arah yang sama
dengan Ify. Perlahan, menurunkan bobot tubuhnya hingga menyentuh sofa, dan
kepalanya yang pening menyentuh bantal. Bola matanya bergerak ke atas. Melihat
wajah cantik istrinya dalam posisi seperti ini. Hanya sebentar, takut
pikirannya kemana-mana, dia memejamkan mata.
“Mana yang
sakit Kak?” tanya Ify setelah Rio benar-benar nyaman berbaring.
“Pangkal
hidung bagian yang ketekan kaca mata.” jawab Rio. Kedua tangannya berada di
sisi kanan-kiri tubuh.
“Yang ini?”
tanya Ify lagi sambil menyentuh bagian yang dimaksud Rio dengan telunjuknya.
“He’em.”
Tanpa banyak
kata lagi, Ify mulai memberi tekanan dengan kedua jempolnya dari bagian ujung
bawah hidung Rio hingga batas akhir alis, berulang kali. Tak jarang ia melihat
Rio mengernyitkan dahi merespon pijatan jempolnya, terlebih di bagian yang
sakit. Semenjak setahun lalu, Rio mengenakan kaca mata. Namun hanya saat
bekerja. Selain karena minusnya masih kecil -kalau tak salah ingat seperempat
untuk yang kanan, dan setengah yang kiri- juga katanya kaca mata membuat
keunyuan pemuda itu berkurang. Jadi kelihatan dewasa banget. Kayak umur 25
tahunan. Cukup pikiran aja yang dewasa, muka biarin tetap remaja. Katanya
begitu.
“Jam
setengah lima, bangunin aku ya semisal aku ketiduran.” pinta Rio.
“Iya,
Sayang.” jawabnya lembut.
***
Rio
tersentak dalam tidurnya saat merasakan getaran di saku celana. Setengah
linglung dia mengangkat kepala yang sudah enakan. Namun kembali pusing karena
dibangunin dengan cara tidak benar.
“Masih jam 4
lebih, Kak.”
Ucapan Ify
diabaikannya. Merogoh benda mungil yang membuatnya terjaga itu dengan cepat.
Melihat si pemanggil.
Mama
calling…
“Assalamualaikum,
Ma? Ada apa?” sapanya merasa heran.
“……”
“Di jalan?
Ngapain, Ma? Rio di kantor.”
“……”
“Astaghfirullah
Mama, Rio lupa. Maaf, Ma maaf…”
“…….”
“Tap---”
“……”
“Iya Ma,
Iya… Waalaikumussalam…”
Diam
beberapa saat. Ponselnya sudah tergeletak diantara pahanya. Dia menghela nafas.
Memandang lurus ke depan beberapa saat, lalu menurunkan kedua kakinya yang juga
terangkat ke badan sofa. Berbalik menghadap Ify. Menatap Ify sekejap, sebelum
menggeletakkan kepala tertelungkup di atas bantal. Dahi Ify mengkerut. Heran.
Tak urung dia menggerakkan jemari-jemarinya mengusap rambut hitam pekat Rio.
“Kenapa,
Kak?” tanyanya setelah cukup membiarkan Rio bungkam.
Tanpa
mengangkat kepala, hanya memunculkan wajah dengan memiringkan posisi kepala,
Rio menjawab,
“Mama Manda.
Aku lupa kalau sekarang kita diajak buka bersama di rumah kamu.”
Ify
mendelik. Dia menoleh pada jam dinding yang tertempel dekat meja kerja Rio.
Setengah lima kurang 10 menit. Perjalanan ke sana 2 jam jika mulus. Kalau
macet, minimal 2 kali lipatnya.
“Terus
gimana?” tanyanya lagi, hati-hati.
“Aku udah
bilang Mama, kita gak usah, lain waktu aja. Mama tetap ngotot nyuruh datang,
bakalan ditunggu jam berapa pun. Gimana nih, Sayang?” jawab Rio merajuk.
Dia lelah
hari ini. Energinya habis termakan saat meeting siang tadi. Ngoceh-ngoceh
selama kurang lebih 2 jam non-stop. Biasanya dia langsung minum, tadi hanya
bisa nelan ludah. Tenggorokan benar-benar kering.
“Tetap
datang aja ya Kak. Tapi pake’ supir, jangan Kakak yang nyetir biar Kakak bisa
istirahat lagi. Gimana?”
Ify memberi
penawaran. Di sela-sela menikmati usapan Ify, Rio mengangguk.
“Ponselku
mana, Dear?” tanyanya linglung.
Ify langsung
melihat-lihat liar sekitar sofa. Cukup sulit dia meraih ponsel di samping tubuh
pemiliknya. Hati-hati dia mencondongkan badan, tak ingin Rio terusik di
pangkuannya.
“Ini Kak…”
ucapnya selagi menyerahkan ponsel itu.
Tak berminat
bangkit, Rio mengambil alih ponselnya. Mencari-cari nomor salah satu supir
kantor yang sekiranya hari ini kosong. Alih-alih menyanggah ponsel di telinga
kanannya, tangan yang lain meraih tangan Ify yang sudah menggantung di samping
wajahnya. Membawanya ke atas kepala.
“Usap
lagiii…” Rajuknya.
***
Setengah
perjalanan sudah dilalui dengan mulus. Mereka menjeda perjalanan di masjid
dekat mini market saat adzan maghrib sayup-sayup mulai terdengar. Setelahnya, berkunjung
di toko baju yang tertangkap oleh mata. Waktu yang mepet, membuat mereka tak
sempat kembali ke rumah hanya untuk berganti pakaian. Keduanya membersihkan
diri di toilet dalam kantor Rio. Separuh perjalanan lagi, menguji kesabaran.
Mobil yang mereka tumpangi bergerak-gerak seperti siput. Mulai memasuki wilayah
Jakarta.
“Kak Rio gak
mau tidur lagi? Lumayan masih lama.” Tawar Ify sambil menepuk-nepuk bantal
stich di pangkuannya.
Salah satu
tangannya memegang kurma yang digigit-gigit kecil. Selama kurang lebih satu jam
tadi, Rio menerima tawarannya untuk beristirahat di mobil. Tanpa dibangunkan,
pemuda itu terjaga saat mendengar suara adzan, dan langsung menyuruh supir yang
berusia 30an itu menghentikan perjalanan di masjid. Rio menggeleng. Memilih
bersandar di pintu mobil. Kakinya ia selonjorkan. Menumpu pada pangkuan Ify.
“Gak papa
ya?” izinnya.
Ify
mengangguk. Menyamankan posisi kaki Rio. Memijat ujung kelima jari kaki Rio
setelah menelan habis kurmanya. Ini mungkin kali kedua dia menyentuh kaki Rio,
dan berdekatan. Dia suka aroma kaki suaminya ini. Searoma sama tubuh
pemiliknya.
“Kak…”
panggilnya seusai menikmati memandang jemari kaki Rio yang ukurannya lebih
besar darinya. Pantes ukuran sepatu atau sandal Rio besar, orang jari-jarinya
segedhe gajah(?) begini.
“Hmm?” sahut
Rio. Membuka mata, melihat Ify yang menatapnya.
“Tadi Kakak
pas beli kurma kenapa rempong sekali?? Kayak ibu-ibu nyari diskonan.” tanyanya.
Sejak keluar
dari mini market terakhir yang dikunjungi itu, dia sudah ingin bertanya hal
ini. Beberapa mini market yang berbaris rapi di sebelah kanan dan kiri jalan,
disapa satu-persatu oleh Rio hanya untuk membeli kurma sesuai keinginannya. Dia
yang tak mengerti apa-apa hanya pasrah digandeng keluar masuk mini market,
hingga mendekati ujung akhir, Rio menjatuhkan pilihan pada kurma yang tak jauh
berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Letak perbedaannya di warna kulit kurma, dan
harga. Kurma yang dipilih Rio ini dengan harga sangat mahal, dibanding yang
lain.
“Kurma-kurma
yang cuma aku lirik tadi itu kurma yang diimport dalam kemasan-kemasan di bulan
ramadhan berupa manisan kurma, bukan kurma segar lagi. Manisan kurma yang
didatangkan ke Indonesia itu kandungan gulanya berlipat-lipat kadarnya supaya
awet hingga tiba ke Indonesia. Makanya itu aku ajak kamu jalan-jalan cari kurma
yang asli. Jarang sih adanya, cuma kita beruntung pas di mini market mendekati
terakhir, aku temu itu kurma.” jelas Rio, memasang senyum hangatnya.
“Ify baru
tahu, Kak. Bedanya apa kurma asli sama yang udah jadi manisan kurma?”
Selama hidup
bersama keluarga, dia hanya tinggal makan saja kurma yang disediakan di meja
makan saat berbuka.
“Dari bentuk
luarnya bisa dilihat kalau kita cermat. Terus juga rasa kurma yang asli tidak
terlalu manis.”
Ify
mengangguk-anggukkan kepala. Pantas saja dia mampu menghabiskan 3 kurma
sekaligus, tanpa dijeda dengan meneguk air. Biasanya dia sedikit enggan untuk
memakan kurma, paling cuma sebiji. Berharap itu sudah menjalankan sunnah. Kalau
yang dibeli Rio ini seperti pemuda itu bilang, rasanya tak terlalu manis. Dia
memang tidak terlalu suka yang kelewat manis, apalagi makannya bareng Rio.
Tanpa gula juga tetap manis. Manis banget malah! EHEM.
“Oh ya, kamu
sering dengar gak orang-orang bilang jika gak ada kurma, buka puasa bisa
diawali dengan makan yang manis-manis?”
Ganti Rio
yang bertanya. Pemuda itu menegakkan tubuh. Mengangkat sedikit kedua kakinya,
mengambil bantal stich Ify yang biasa nongkrong di mobil. Menurunkan lagi
kakinya, menyentuh langsung kain yang menutup paha Ify. Meletakkan bantal itu
di bawah kepala. Lama-lama sakit, kepala terus-terusan terbentuk kaca jendela
mobil.
“Sering,
Kak. Malah Ify sekeluarga sering begitu kalau Papa pulang kerja lupa gak bawa
kurma.” jawab Ify sambil kembali membenarkan posisi kaki Rio.
“Itu salah!”
ucap Rio.
“Kamu tahu
pernyataan itu asal mulanya dari siapa? Nggak kan? Memang gak jelas.”
Ify
mengangguk. Iya juga sih. Dia cuma sering dengar orang-orang bilang seperti
itu. Bahkan penjual es buah langganan keluarganya dulu juga menawarkan
dagangannya dengan mengungkit kalimat “makan yang manis-manis dulu sebelum
berbuka”.
“Pernyataan itu muncul dengan sendirinya. Orang-orang salah
persepsi dengan kisah Rasulullah yang makan atau minum yang manis-manis saat
berbuka. Menyetarakan Rasulullah berbuka dengan kurma, jika tidak ada diganti
dengan yang manis-manis. Itu salah. Nabi Muhammad Saw berkata : "Apabila berbuka salah satu kamu, maka
hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka
berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.” Jadi, penggantinya
langsung air jika tidak ada kurma muda, atau kurma kering. Bukan manis-manis
yang dipikir orang setara sama manisnya kurma itu." jelas Rio.
“Kamu tahu
kan, manis-manisan itu mengandung apa? Dan efeknya ke tubuh gimana?” lanjutnya
bertanya.
Untuk
kesekian kalinya Ify mengangguk. Rio tak lagi menjelaskan kelanjutannya
mengenai kandungan dalam kurma dan manisan-manisan yang kata orang bisa
digunakan sebagai pengganti kurma. Dia sangat paham Ify lebih mengerti
bagian-bagian itu. Karbohidrat yang terkandung dalam gula yang dicampur ke
dalam manisan-manisan itu merupakan karbohidrat sederhana dimana tidak
membutuhkan waktu lama untuk diproses menjadi glikogen. Sehingga kadar gula
akan melonjak naik. Sedangkan karbohidrat komplek yang terkadung dalam kurma,
itu naiknya perlahan. Jelas sekali karbohidrat dalam manisan-manisan itu sangat
tidak baik untuk kesehatan. Berbicara mengenai hal ini berhubungan dengan
indeks glikemik yaitu laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh.
Makin tinggi indeks tersebut dalam makanan, makin cepat makanan itu diubah
menjadi gula, sehingga tubuh makin cepat pula menghasilkan respon insulin.
Semakin tingginya respon insulin ini mengakibatkan tubuh makin menimbun lemak.
Jika dalam keadaan puasa, dimana perut kosong langsung dibanjiri dengan
makanan-makananan manis, tahulah gimana tubuh merespon nantinya. Lebih cepat merangsang
tubuh menimbun lemak. Inilah yang menyebabkan di bulan puasa banyak yang lemas,
mengantuk, bahkan merasa bobot tubuh makin bertambah. Jadi menerapkan kalimat
“makan yang manis-manis sebelum berbuka dengan nasi” itu kurang benar. Kalau
tidak ada kurma, langsung diganti dengan air, dan dilanjut dengan nasi serta
lauk-pauk, itu lebih baik dilakukan.
“Hehehe…
maunya menjalankan sunnah, malah membahayakan diri sendiri kalau gini ceritanya
ya Kak.” ujar Ify setelah beberapa lama diam. Menjabarkan dalam angan jawaban
untuk pertanyaan Rio tadi.
“Benar
banget. Pintar deh istriku ini. Sini aku kasih hadiah.” balas Rio langsung
mencondongkan tubuh ke depan. Membiarkan bantal terlepas dari jepitannya, dan
jatuh. Meraih bagian belakang kepala Ify. Mendekatkan kening gadis itu untuk ia
kecup.
“Tumben
kalem?” tanya Rio setelah melepas kecupannya. Biasanya kan Ify
mendelik-mendelik tak ikhlas tiap ia kecup.
“Hehehe… Ify
kangen Kak.” Jujur Ify. Bayangin biasanya tiap hari Rio suka nyosor sembarang,
jadi kalem tiap lihat dan bareng dia. Dia kan juga merasa hampa. IFY STREESSS!
“Hahahaha…”
tawanya membahana.
Pipi Ify
yang merona tak selamat dari jepitan jempol dan telunjuknya. Menggerakkan ke
kanan-kiri. Lalu beralih mengacak-acak rambut Ify. Menggemaskan sekali gadis
cantik ini. Ternyata benar kata ustadz-ustadz saat sengaja tak sengaja dia
mendengarkan ceramah secara langsung maupun lewat media, enak kalau pacaran
setelah nikah. Apalagi sama seorang gadis. Bahagianya itu luar biasa.
***
“ASSALAMUALAIKUM
WR. WB. KAMI DATANG” teriak keduanya saat menginjakkan kaki di teras rumah
keluarga Ify.
Tak lama,
langsung muncul dua bocah yang sangat dirindukan oleh Ify maupun Rio, adik-adik
mereka. Selangkah lebih maju memasuki pintu, Ify merentangkan kedua tangannya
menyambut Deva yang berlari-lari kecil ke arahnya, diikuti Ray. Pelukan saudara
itu terjadi. Ify sempat terhuyung yang langsung dihalau Rio. Deva menerjangnya.
Memeluknya kuat-kuat. Dapat ia rasakan bagian bahu kanannya basah. Deva
menangis sepertinya. Dia jadi tersentuh. Tak menyangka adik laki-laki
satu-satunya sangat merindukan kehadirannya.
“Loe jahat
banget sih, Kak. Masak baru datang jam segini? Udah ditunggu dari sore tadi
juga.” rengek Deva dalam pelukannya.
“Macet, Dev.
Udah ah lepas. Badan loe berat.”
Ify mulai
mengurai pelukannya, namun Deva masih menguatkan kedudukannya. Melingkarkan
kuat tangan itu di punggungnya. Dia hanya bisa pasrah. Mengusap punggung Deva
berulang. Baru sadar ternyata tinggi Deva sudah melebihi tingginya. Rio dan Ray
yang menyaksikan pertemuan saudara lawan jenis itu hanya tersenyum. Saling
memandang satu sama lain. Lalu…
“APA KABAR
BRO? SEHAT KAN LOE?” teriak Ray.
Kaget,
reflek Rio menoyor kepala Ray. Baru menyadari, rambut gondrong Ray sudah
dipangkas. Seperti makhluk laki-laki pada umumnya sekarang. Terlihat lebih
fresh.
“Loe mah
gitu Kak. Peluk gue kek, eh malah kekerasan dalam persaudaaraan begini.” Omel
Ray mengusap-usap ubun-ubunnya yang terkena sentuhan kasar dari Rio.
“Salah loe
teriak-teriak, stress. Jarak loe sama gue cuma kepisah lima jengkal Ray.”
“Biar heboh
donk Kak. Kan lama gue gak pandang-pandangan mesrah sama loe.”
“Ji----”
“Apa sih nih
kok tengkar. Ganggu gue sama kak Ify.” omel Deva melepas pelukannya pada Ify.
Berkacak pinggang menatap adik-kakak di sampingnya.
Tiba-tiba
Ray menggeser posisinya. Mendorong tubuhnya menjauh dari Ify. Mengambil tempat
di hadapan Ify. Tersenyum manis. Merentangkan kedua tangan, dan akan memeluk
tubuh mungil kakak perempuannya kalau tak dihalangi oleh tubuh tinggi menjulang
Rio. Alhasil jidatnya bertatapan dengan dagu Rio.
“Kok loe sih
Kak?” gerutu Ray mengusap dahinya.
Rio
mendelik, “Mau apa loe?” tanyanya garang. Di belakang punggungnya, Ify
mengetuk-ngetukkan jari.
“Meluk Ify
lah. Kan gue kangen juga sama Ify. Semenjak Ify nikah sama loe, makhluk cantik
di sekitar gue berkurang satu.”
Kembali, Rio
menoyor Ray. Namun di bagian dahi. Menatapnya garang.
“Apaan sih
loe Kak.” Marah Ray. Di belakangnya, Deva cekikikan.
“KAK IFY! Gak
ada peluk-peluk. Ify istri gue.”
“Lah Deva
tadi meluk Ify---”
“KAK IFY,
Ray.” Potong Rio.
“Iya KAK
IFY. Kenapa loe bolehin?” tanya Ray tak terima dengan sikap Rio yang
dipandangnya diskriminasi.
“Deva itu
kan adiknya Ify, Cakeppp. Nah loe?” jawab Rio gemas.
“Gue kan
adiknya juga.” balas Ray ngotot.
“ADIK IPAR
RAY, ADIK IPAR. Gak ada ikatan darah. Jadi bukan mahram bersentuhan sama Ify.
Gak boleh.”
“Kok loe
jadi posesif begini sih Kak? Gue kan laki-laki baik, adik loe pula.”
“Gue
sekarang udah jadi suami. Tugas suami menjaga istrinya dari orang-orang macam
loe yang suka nyosor sembarangan. Walaupun loe adik gue, tetap gak boleh.”
Tanpa banyak
bacot, Ray berlalu. Malas jika berhadapan dengan kakaknya yang seperti ini. Dia
mendelik mendapati Deva tertawa di atas penderitaan orang. Gagal deh dapat
pelukan dari orang cantik. Dasar kak Rio! Umpatnya dalam hati. Kembali pada
Rio, pemuda itu langsung menarik Ify kembali ke sampingnya. Memasuki pelosok
rumah Ify yang sudah taka sing bagi Rio. Dulu, selama menjadi calon menantu
yang baik, dia sering mengapel. Tapi bukan Ify yang dia apelin, tapi kedua
orang tuanya Ify. Terlebih Mama Gina, mengingat Ify sering tak dapat ditemui
saat dia berkunjung karena saat itu Ify disibukkan dengan bimbel persiapan UN
dan masuk perguruang tinggi.
Ify hanya
bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Rio. Dia membenarkan apa yang
dibilang Deva, suaminya ini posesif. Tapi untungnya masih dalam batas wajar.
Kalau tidak posesif kan bahaya juga akan keselamatannya. Bisa-bisa jika Rio tak
mempunyai sifat posesif, dia disentuh-sentuh cowok lain, Rionya malah diam, gak
peduli. Kiamat!
Sesampainya
di ruang makan, dia bisa melihat seluruh keluarga Rio dan keluarganya berkumpul
memenuhi meja makan. Bergantian dengan Rio terlebih dahulu, menyalami kedua
orang tuanya dan orang tua Rio. Lalu mengambil tempat berseberangan dengan
mereka. Di antara Deva dan Ray. Rio sudah terlebih dahulu menarik kursi untuk
dia duduki di samping Deva, tak mengizinkannya menduduki kursi yang disodorkan
oleh Ray. Bocah yang usianya hanya selisih beberapa bulan dengannya itu
mendengus.
Dengan
tatapan tajamnya, Rio menggertak Ray. Bukannya kenapa, semenjak Adiknya itu
tahu bahwa umurnya dan Ify hanya selisih 3 bulan yang artinya bisa disama
ratakan dengan umurnya, sehingga memanggil Ify tidak dengan embel-embel Kak,
membuat dia sedikit waspada. Gimana pun dia lelaki. Tahu bagaimana seorang
laki-laki di hadapkan dengan gadis secantik Ify. Suka kalap! Walaupun adik
sendiri, dia tetap tak akan membiarkan Ray berdekatan dengan Ify.
“Bagaimana
dengan rumah tangga kalian?” tanya Papa Ify di sela-sela berbuka yang cukup
terlambat. Mereka tiba tepat pukul setengah 8.
Rio
mendongak, “Alhamdulillah hingga saat ini mulus-mulus aja, Pa.”
Ify
mengangguk memantapkan jawaban Rio.
“Ify udah
gedhe juga ternyata ya.” ucap Papanya.
“Maksud
Papa?” tanyanya bingung.
“Ya biasanya
kalau gak ketemu Papa lama suka nangis-nangis, sekarang nggak. Ternyata Rio
berhasil menggantikan Papa.”
Ify
meringis, “Papa… Gak gitu Pa. If--”
“Iya-iya
Papa hanya bercanda, Sayang.”
Fyuhh… Ify
bernafas lega. Dia sudah merasa tak enak dengan Papanya. Memang tidak salah
yang Papa katakan, semenjak menikah dia jadi gak semanja biasanya pada Papa.
Biasanya dia memeluk Papanya dan tak melepas hingga dia terlelap, jika sudah
bertemu Papa. Tadi hanya cium tangan, cium pipi sama peluk sebentar. Rio memang
berhasil menggantikan posisi Papa. Bukankah setelah menikah, suami memang
mengambil alih tugas seorang Ayah istrinya?
“Setelah ini
berduaan ya, Pa… hehehe. Ify mau cerita banyak.”
Papanya
hanya mengangguk mengiyakan. Lantas melanjutkan makan. Ify menoleh pada Rio.
Meminta izin. Rio mengangguk mengerti. Selanjutnya berjalan dengan semestinya.
Selesai berbuka, para wanita membersihkan meja makan, sedangkan pria-pria
menyiapkan karpet dan perlengkapan sholat. Mereka menggunakan ruang keluarga
yang cukup luas sebagai tempat melaksanakan sholat isya’ dan tarawih. Keduanya
memanfaatkan moment ini menuntaskan rindu pada keluarga. Sekaligus cadangan untuk
beberapa bulan ke depan mengingat mereka tak bisa sering-sering bolak-balik Bandung-Jakarta.
Jujur, tak ada yang bisa membuat lebih bahagia selain berkumpul dengan
keluarga.
Selamat
terus menjalankan ibadah puasa teman-teman…
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar