Sabtu, 12 Juli 2014

NIKAH DINI?? WHY NOT?? SPECIAL RAMADHAN BAGIAN B


Assalamualaikum... Malaam minggu ini ketemu lagi:) gak telat kan?? Hohoho... 

Ya sudah monggo dinikmati....

Selamat membaca...........







Ketukan pintu menghentikan gerakan jemari Rio di atas keyboard laptop. Dia berseru menyuruh sosok di luar sana untuk segera masuk. Dari jenis suaranya, itu Ify.
“Assalamualaikum Wr. Wb. Kak Rio suaminya Ify.”
Salam ceria terdengar setelah pintu terbuka setengah lebar. Ify masuk dengan menenteng tas punggungnya. Gadis itu masih tampak fresh sore ini dengan kemeja panjang motif bunga-bunga dan rok kembang semata kaki. Separuh rambut diikat tinggi. Helaian rambut yang tersisa dibiarkan menggantung menyentuh punggungnya. Terlihat lebih anggun, dan dewasa.
Setelah mengucap salam dan tersenyum manis pada suaminya, dia mengambil posisi setengah berbaring di sofa berukuran jumbo, namun terlihat kecil di ruang kerja Rio yang luas. Di lihat dari gerakan Rio, pemuda itu akan menghampiri. Berjalan pelan. Lalu duduk di sampingnya. Kembali ia menegakkan tubuh. Meraih punggung telapak kanan Rio dan mengecupnya.
“Eittssss… Puasa Kakakku yang rajin ibadah dan bekerja. Selain, menahan lapar dan dahaga, Kakak masih ingat kan menahan syahwat masuk hitungan(?). Gak ada cium-cium.” serunya sesaat setelah menyalami Rio, pemuda itu menarik punggungnya. Mempersempit jarak wajah mereka. Berniat menyentuhkan bibir itu ke keningnya.
“Istriku tersayang, Adikku tercinta, dengar baik-baik suami sekaligus Kakakmu yang ganteng ini ya. Mencium istri adalah bagian dari curahan kasih sayang, cinta, dan perhatian seorang suami. Kebiasan mencium istri di saat-saat tertentu, seperti saat meninggalkan istri untuk pergi kerja, dan bertemu istri kembali setelah beberapa jam terpisah oleh waktu kerja itu hukumnya adalah ibadah. Selain mendapatkan kenikmatan dunia juga pahala akhirat nyicil masuk surga. Mengerti, ADIK IFY SAYANG?”
Lemah lembut penuh geregetan, Rio menjelaskan dengan penekanan-penekanan beberapa kata. Kedua tangannyanya mencengkram bahu Ify. Wajahnya menunduk, menyetarakan dengan Ify. Senyum manis, terlewat dibuat-buat karena Ify bikin geregetan terus mengembang. Bibir gadis itu mengerucut. Menepis pelan kedua tangannya di bahu. Melipat tangan di depan dada. Membuang muka.
“Tapi kan sekarang puasa, Kakak Mariooo.” Ify ngotot. Dia kan benar.
Rio tersenyum tipis, “Perlu kamu tahu di bulan Ramadhan, kebiasaan mencium istri juga dilakukan oleh Rasulullah SAW, Alyssa. Dalam hal ini, istri beliau sendiri, ‘Aisyah yang memberi penjelasan. “Rasulullah SAW mencium dan menyentuhnya dalam keadaan puasa.” (Riwayat Muslim). Dalam riwayat yang lain juga disebutkan, “Beliau menciumnya pada bulan Ramadhan dan beliau sedang berpuasa.” Berdasarkan beberapa hadist tersebut, sebagian ulama beropini, mencium istri di bulan ramadhan itu boleh.”
Rio mengambil jeda beberapa detik. Mengambil nafas, menghembuskannya. Pusing yang mendera sejak siang tadi, makin menjadi.
“Sebagian lagi berpendapat jika mencium istri dilakukan dengan menyertai syahwat, maka hukumnya bukan ibadah, tapi makruh. Seperti yang kamu bilang tadi, karena esensi puasa itu salah satunya adalah menahan syahwat. Sebagian ulama ini menguatkan dengan opini tambahannya bahwa Nabi ketika mencium istrinya di bulan Ramadhan tidak disertai syahwat. Seperti yang kita ketahui, Nabi adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya, bukan? Nah, yang seperti itu sulit dilakukan manusia biasa, seperti aku dan kaum adam lainnya. Jadi, kamu sudah benar tadi nyegah aku biar gak nyium kamu. Hehehe.”
Kelopak mata Ify terbuka lebar. Dia benar kan? Rio mengajak jalan-jalan dulu sebelum membenarkan apa yang dia bilang tadi. Dia melepas lipatan tangannya dan menghempaskan. Sudah akan menghukum Rio dengan cubitan-cubitan pedasnya, tapi urung saat melihat pemuda itu sudah bersandar di kepala sofa. Mengusap seluruh wajah dengan telapak tangannya. Lalu memijat daerah pangkal hidung ke bawah, berulang.
Ify menaikkan sebelah alis, “Kakak kenapa? Capek?” tanyanya.
Tanpa membuka matanya yang mulai terpejam, Rio menjawab, “Nggak. Cuma pusing.”
Panik, Ify memindah tas punggung yang berada di samping kanannya, ke bawah sofa. Dia bangkit. Melangkah menuju ruangan lain di dalam ruang kerja Rio. Bersebelahan dengan toilet. Di dalam ruangan berukuran lebih besar dari toilet itu terdapat bad berukuran kecil, hanya cukup membaringkan satu orang. Dia mengambil bantal kepala. Membawanya ke sofa. Rio masih dalam keadaan sama sebelum ditinggal tadi.
“Kak…” panggilnya setelah duduk kembali di sofa. Punggungnya bersentuhan dengan lengan kanan sofa.
“Hmm”
“Mijat suami di saat puasa boleh gak, Kak?” tanyanya sambil melepas widges yang ia kenakan. Menaikkan kaki ke badan sofa. Bersila.
Rio membuka mata. Menoleh. Mendapati Ify tengah meringis lucu menunjuk bantal di atas pangkuannya. “Boleh. Yang gak boleh pijat plus-plus.” jawabnya tak bisa menahan senyum langsung mendapat sentuhan keras Ify di pinggang.
Tanpa menunggu perintah, Rio memutar tubuhnya 90 derajat menghadap arah yang sama dengan Ify. Perlahan, menurunkan bobot tubuhnya hingga menyentuh sofa, dan kepalanya yang pening menyentuh bantal. Bola matanya bergerak ke atas. Melihat wajah cantik istrinya dalam posisi seperti ini. Hanya sebentar, takut pikirannya kemana-mana, dia memejamkan mata.
“Mana yang sakit Kak?” tanya Ify setelah Rio benar-benar nyaman berbaring.
“Pangkal hidung bagian yang ketekan kaca mata.” jawab Rio. Kedua tangannya berada di sisi kanan-kiri tubuh.
“Yang ini?” tanya Ify lagi sambil menyentuh bagian yang dimaksud Rio dengan telunjuknya.
“He’em.”
Tanpa banyak kata lagi, Ify mulai memberi tekanan dengan kedua jempolnya dari bagian ujung bawah hidung Rio hingga batas akhir alis, berulang kali. Tak jarang ia melihat Rio mengernyitkan dahi merespon pijatan jempolnya, terlebih di bagian yang sakit. Semenjak setahun lalu, Rio mengenakan kaca mata. Namun hanya saat bekerja. Selain karena minusnya masih kecil -kalau tak salah ingat seperempat untuk yang kanan, dan setengah yang kiri- juga katanya kaca mata membuat keunyuan pemuda itu berkurang. Jadi kelihatan dewasa banget. Kayak umur 25 tahunan. Cukup pikiran aja yang dewasa, muka biarin tetap remaja. Katanya begitu.
“Jam setengah lima, bangunin aku ya semisal aku ketiduran.” pinta Rio.
“Iya, Sayang.” jawabnya lembut.
***
Rio tersentak dalam tidurnya saat merasakan getaran di saku celana. Setengah linglung dia mengangkat kepala yang sudah enakan. Namun kembali pusing karena dibangunin dengan cara tidak benar.
“Masih jam 4 lebih, Kak.”
Ucapan Ify diabaikannya. Merogoh benda mungil yang membuatnya terjaga itu dengan cepat. Melihat si pemanggil.
Mama calling…
“Assalamualaikum, Ma? Ada apa?” sapanya merasa heran.
“……”
“Di jalan? Ngapain, Ma? Rio di kantor.”
“……”
“Astaghfirullah Mama, Rio lupa. Maaf, Ma maaf…”
“…….”
“Tap---”
“……”
“Iya Ma, Iya… Waalaikumussalam…”
Diam beberapa saat. Ponselnya sudah tergeletak diantara pahanya. Dia menghela nafas. Memandang lurus ke depan beberapa saat, lalu menurunkan kedua kakinya yang juga terangkat ke badan sofa. Berbalik menghadap Ify. Menatap Ify sekejap, sebelum menggeletakkan kepala tertelungkup di atas bantal. Dahi Ify mengkerut. Heran. Tak urung dia menggerakkan jemari-jemarinya mengusap rambut hitam pekat Rio.
“Kenapa, Kak?” tanyanya setelah cukup membiarkan Rio bungkam.
Tanpa mengangkat kepala, hanya memunculkan wajah dengan memiringkan posisi kepala, Rio menjawab,
“Mama Manda. Aku lupa kalau sekarang kita diajak buka bersama di rumah kamu.”
Ify mendelik. Dia menoleh pada jam dinding yang tertempel dekat meja kerja Rio. Setengah lima kurang 10 menit. Perjalanan ke sana 2 jam jika mulus. Kalau macet, minimal 2 kali lipatnya.
“Terus gimana?” tanyanya lagi, hati-hati.
“Aku udah bilang Mama, kita gak usah, lain waktu aja. Mama tetap ngotot nyuruh datang, bakalan ditunggu jam berapa pun. Gimana nih, Sayang?” jawab Rio merajuk.
Dia lelah hari ini. Energinya habis termakan saat meeting siang tadi. Ngoceh-ngoceh selama kurang lebih 2 jam non-stop. Biasanya dia langsung minum, tadi hanya bisa nelan ludah. Tenggorokan benar-benar kering.
“Tetap datang aja ya Kak. Tapi pake’ supir, jangan Kakak yang nyetir biar Kakak bisa istirahat lagi. Gimana?”
Ify memberi penawaran. Di sela-sela menikmati usapan Ify, Rio mengangguk.
“Ponselku mana, Dear?” tanyanya linglung.
Ify langsung melihat-lihat liar sekitar sofa. Cukup sulit dia meraih ponsel di samping tubuh pemiliknya. Hati-hati dia mencondongkan badan, tak ingin Rio terusik di pangkuannya.
“Ini Kak…” ucapnya selagi menyerahkan ponsel itu.
Tak berminat bangkit, Rio mengambil alih ponselnya. Mencari-cari nomor salah satu supir kantor yang sekiranya hari ini kosong. Alih-alih menyanggah ponsel di telinga kanannya, tangan yang lain meraih tangan Ify yang sudah menggantung di samping wajahnya. Membawanya ke atas kepala.
“Usap lagiii…” Rajuknya.
***
Setengah perjalanan sudah dilalui dengan mulus. Mereka menjeda perjalanan di masjid dekat mini market saat adzan maghrib sayup-sayup mulai terdengar. Setelahnya, berkunjung di toko baju yang tertangkap oleh mata. Waktu yang mepet, membuat mereka tak sempat kembali ke rumah hanya untuk berganti pakaian. Keduanya membersihkan diri di toilet dalam kantor Rio. Separuh perjalanan lagi, menguji kesabaran. Mobil yang mereka tumpangi bergerak-gerak seperti siput. Mulai memasuki wilayah Jakarta.
“Kak Rio gak mau tidur lagi? Lumayan masih lama.” Tawar Ify sambil menepuk-nepuk bantal stich di pangkuannya.
Salah satu tangannya memegang kurma yang digigit-gigit kecil. Selama kurang lebih satu jam tadi, Rio menerima tawarannya untuk beristirahat di mobil. Tanpa dibangunkan, pemuda itu terjaga saat mendengar suara adzan, dan langsung menyuruh supir yang berusia 30an itu menghentikan perjalanan di masjid. Rio menggeleng. Memilih bersandar di pintu mobil. Kakinya ia selonjorkan. Menumpu pada pangkuan Ify.
“Gak papa ya?” izinnya.
Ify mengangguk. Menyamankan posisi kaki Rio. Memijat ujung kelima jari kaki Rio setelah menelan habis kurmanya. Ini mungkin kali kedua dia menyentuh kaki Rio, dan berdekatan. Dia suka aroma kaki suaminya ini. Searoma sama tubuh pemiliknya.
“Kak…” panggilnya seusai menikmati memandang jemari kaki Rio yang ukurannya lebih besar darinya. Pantes ukuran sepatu atau sandal Rio besar, orang jari-jarinya segedhe gajah(?) begini.
“Hmm?” sahut Rio. Membuka mata, melihat Ify yang menatapnya.
“Tadi Kakak pas beli kurma kenapa rempong sekali?? Kayak ibu-ibu nyari diskonan.” tanyanya.
Sejak keluar dari mini market terakhir yang dikunjungi itu, dia sudah ingin bertanya hal ini. Beberapa mini market yang berbaris rapi di sebelah kanan dan kiri jalan, disapa satu-persatu oleh Rio hanya untuk membeli kurma sesuai keinginannya. Dia yang tak mengerti apa-apa hanya pasrah digandeng keluar masuk mini market, hingga mendekati ujung akhir, Rio menjatuhkan pilihan pada kurma yang tak jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Letak perbedaannya di warna kulit kurma, dan harga. Kurma yang dipilih Rio ini dengan harga sangat mahal, dibanding yang lain.
“Kurma-kurma yang cuma aku lirik tadi itu kurma yang diimport dalam kemasan-kemasan di bulan ramadhan berupa manisan kurma, bukan kurma segar lagi. Manisan kurma yang didatangkan ke Indonesia itu kandungan gulanya berlipat-lipat kadarnya supaya awet hingga tiba ke Indonesia. Makanya itu aku ajak kamu jalan-jalan cari kurma yang asli. Jarang sih adanya, cuma kita beruntung pas di mini market mendekati terakhir, aku temu itu kurma.” jelas Rio, memasang senyum hangatnya.
“Ify baru tahu, Kak. Bedanya apa kurma asli sama yang udah jadi manisan kurma?”
Selama hidup bersama keluarga, dia hanya tinggal makan saja kurma yang disediakan di meja makan saat berbuka.
“Dari bentuk luarnya bisa dilihat kalau kita cermat. Terus juga rasa kurma yang asli tidak terlalu manis.”
Ify mengangguk-anggukkan kepala. Pantas saja dia mampu menghabiskan 3 kurma sekaligus, tanpa dijeda dengan meneguk air. Biasanya dia sedikit enggan untuk memakan kurma, paling cuma sebiji. Berharap itu sudah menjalankan sunnah. Kalau yang dibeli Rio ini seperti pemuda itu bilang, rasanya tak terlalu manis. Dia memang tidak terlalu suka yang kelewat manis, apalagi makannya bareng Rio. Tanpa gula juga tetap manis. Manis banget malah! EHEM.
“Oh ya, kamu sering dengar gak orang-orang bilang jika gak ada kurma, buka puasa bisa diawali dengan makan yang manis-manis?”
Ganti Rio yang bertanya. Pemuda itu menegakkan tubuh. Mengangkat sedikit kedua kakinya, mengambil bantal stich Ify yang biasa nongkrong di mobil. Menurunkan lagi kakinya, menyentuh langsung kain yang menutup paha Ify. Meletakkan bantal itu di bawah kepala. Lama-lama sakit, kepala terus-terusan terbentuk kaca jendela mobil.
“Sering, Kak. Malah Ify sekeluarga sering begitu kalau Papa pulang kerja lupa gak bawa kurma.” jawab Ify sambil kembali membenarkan posisi kaki Rio.
“Itu salah!” ucap Rio.
“Kamu tahu pernyataan itu asal mulanya dari siapa? Nggak kan? Memang gak jelas.”
Ify mengangguk. Iya juga sih. Dia cuma sering dengar orang-orang bilang seperti itu. Bahkan penjual es buah langganan keluarganya dulu juga menawarkan dagangannya dengan mengungkit kalimat “makan yang manis-manis dulu sebelum berbuka”.
“Pernyataan itu muncul dengan sendirinya. Orang-orang salah persepsi dengan kisah Rasulullah yang makan atau minum yang manis-manis saat berbuka. Menyetarakan Rasulullah berbuka dengan kurma, jika tidak ada diganti dengan yang manis-manis. Itu salah. Nabi Muhammad Saw berkata : "Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.” Jadi, penggantinya langsung air jika tidak ada kurma muda, atau kurma kering. Bukan manis-manis yang dipikir orang setara sama manisnya kurma itu." jelas Rio.
“Kamu tahu kan, manis-manisan itu mengandung apa? Dan efeknya ke tubuh gimana?” lanjutnya bertanya.
Untuk kesekian kalinya Ify mengangguk. Rio tak lagi menjelaskan kelanjutannya mengenai kandungan dalam kurma dan manisan-manisan yang kata orang bisa digunakan sebagai pengganti kurma. Dia sangat paham Ify lebih mengerti bagian-bagian itu. Karbohidrat yang terkandung dalam gula yang dicampur ke dalam manisan-manisan itu merupakan karbohidrat sederhana dimana tidak membutuhkan waktu lama untuk diproses menjadi glikogen. Sehingga kadar gula akan melonjak naik. Sedangkan karbohidrat komplek yang terkadung dalam kurma, itu naiknya perlahan. Jelas sekali karbohidrat dalam manisan-manisan itu sangat tidak baik untuk kesehatan. Berbicara mengenai hal ini berhubungan dengan indeks glikemik yaitu laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi indeks tersebut dalam makanan, makin cepat makanan itu diubah menjadi gula, sehingga tubuh makin cepat pula menghasilkan respon insulin. Semakin tingginya respon insulin ini mengakibatkan tubuh makin menimbun lemak. Jika dalam keadaan puasa, dimana perut kosong langsung dibanjiri dengan makanan-makananan manis, tahulah gimana tubuh merespon nantinya. Lebih cepat merangsang tubuh menimbun lemak. Inilah yang menyebabkan di bulan puasa banyak yang lemas, mengantuk, bahkan merasa bobot tubuh makin bertambah. Jadi menerapkan kalimat “makan yang manis-manis sebelum berbuka dengan nasi” itu kurang benar. Kalau tidak ada kurma, langsung diganti dengan air, dan dilanjut dengan nasi serta lauk-pauk, itu lebih baik dilakukan.
“Hehehe… maunya menjalankan sunnah, malah membahayakan diri sendiri kalau gini ceritanya ya Kak.” ujar Ify setelah beberapa lama diam. Menjabarkan dalam angan jawaban untuk pertanyaan Rio tadi.
“Benar banget. Pintar deh istriku ini. Sini aku kasih hadiah.” balas Rio langsung mencondongkan tubuh ke depan. Membiarkan bantal terlepas dari jepitannya, dan jatuh. Meraih bagian belakang kepala Ify. Mendekatkan kening gadis itu untuk ia kecup.
“Tumben kalem?” tanya Rio setelah melepas kecupannya. Biasanya kan Ify mendelik-mendelik tak ikhlas tiap ia kecup.
“Hehehe… Ify kangen Kak.” Jujur Ify. Bayangin biasanya tiap hari Rio suka nyosor sembarang, jadi kalem tiap lihat dan bareng dia. Dia kan juga merasa hampa. IFY STREESSS!
“Hahahaha…” tawanya membahana.
Pipi Ify yang merona tak selamat dari jepitan jempol dan telunjuknya. Menggerakkan ke kanan-kiri. Lalu beralih mengacak-acak rambut Ify. Menggemaskan sekali gadis cantik ini. Ternyata benar kata ustadz-ustadz saat sengaja tak sengaja dia mendengarkan ceramah secara langsung maupun lewat media, enak kalau pacaran setelah nikah. Apalagi sama seorang gadis. Bahagianya itu luar biasa.
***
“ASSALAMUALAIKUM WR. WB. KAMI DATANG” teriak keduanya saat menginjakkan kaki di teras rumah keluarga Ify.
Tak lama, langsung muncul dua bocah yang sangat dirindukan oleh Ify maupun Rio, adik-adik mereka. Selangkah lebih maju memasuki pintu, Ify merentangkan kedua tangannya menyambut Deva yang berlari-lari kecil ke arahnya, diikuti Ray. Pelukan saudara itu terjadi. Ify sempat terhuyung yang langsung dihalau Rio. Deva menerjangnya. Memeluknya kuat-kuat. Dapat ia rasakan bagian bahu kanannya basah. Deva menangis sepertinya. Dia jadi tersentuh. Tak menyangka adik laki-laki satu-satunya sangat merindukan kehadirannya.
“Loe jahat banget sih, Kak. Masak baru datang jam segini? Udah ditunggu dari sore tadi juga.” rengek Deva dalam pelukannya.
“Macet, Dev. Udah ah lepas. Badan loe berat.”
Ify mulai mengurai pelukannya, namun Deva masih menguatkan kedudukannya. Melingkarkan kuat tangan itu di punggungnya. Dia hanya bisa pasrah. Mengusap punggung Deva berulang. Baru sadar ternyata tinggi Deva sudah melebihi tingginya. Rio dan Ray yang menyaksikan pertemuan saudara lawan jenis itu hanya tersenyum. Saling memandang satu sama lain. Lalu…
“APA KABAR BRO? SEHAT KAN LOE?” teriak Ray.
Kaget, reflek Rio menoyor kepala Ray. Baru menyadari, rambut gondrong Ray sudah dipangkas. Seperti makhluk laki-laki pada umumnya sekarang. Terlihat lebih fresh.
“Loe mah gitu Kak. Peluk gue kek, eh malah kekerasan dalam persaudaaraan begini.” Omel Ray mengusap-usap ubun-ubunnya yang terkena sentuhan kasar dari Rio.
“Salah loe teriak-teriak, stress. Jarak loe sama gue cuma kepisah lima jengkal Ray.”
“Biar heboh donk Kak. Kan lama gue gak pandang-pandangan mesrah sama loe.”
“Ji----”
“Apa sih nih kok tengkar. Ganggu gue sama kak Ify.” omel Deva melepas pelukannya pada Ify. Berkacak pinggang menatap adik-kakak di sampingnya.
Tiba-tiba Ray menggeser posisinya. Mendorong tubuhnya menjauh dari Ify. Mengambil tempat di hadapan Ify. Tersenyum manis. Merentangkan kedua tangan, dan akan memeluk tubuh mungil kakak perempuannya kalau tak dihalangi oleh tubuh tinggi menjulang Rio. Alhasil jidatnya bertatapan dengan dagu Rio.
“Kok loe sih Kak?” gerutu Ray mengusap dahinya.
Rio mendelik, “Mau apa loe?” tanyanya garang. Di belakang punggungnya, Ify mengetuk-ngetukkan jari.
“Meluk Ify lah. Kan gue kangen juga sama Ify. Semenjak Ify nikah sama loe, makhluk cantik di sekitar gue berkurang satu.”
Kembali, Rio menoyor Ray. Namun di bagian dahi. Menatapnya garang.
“Apaan sih loe Kak.” Marah Ray. Di belakangnya, Deva cekikikan.
“KAK IFY! Gak ada peluk-peluk. Ify istri gue.”
“Lah Deva tadi meluk Ify---”
“KAK IFY, Ray.” Potong Rio.
“Iya KAK IFY. Kenapa loe bolehin?” tanya Ray tak terima dengan sikap Rio yang dipandangnya diskriminasi.
“Deva itu kan adiknya Ify, Cakeppp. Nah loe?” jawab Rio gemas.
“Gue kan adiknya juga.” balas Ray ngotot.
“ADIK IPAR RAY, ADIK IPAR. Gak ada ikatan darah. Jadi bukan mahram bersentuhan sama Ify. Gak boleh.”
“Kok loe jadi posesif begini sih Kak? Gue kan laki-laki baik, adik loe pula.”
“Gue sekarang udah jadi suami. Tugas suami menjaga istrinya dari orang-orang macam loe yang suka nyosor sembarangan. Walaupun loe adik gue, tetap gak boleh.”
Tanpa banyak bacot, Ray berlalu. Malas jika berhadapan dengan kakaknya yang seperti ini. Dia mendelik mendapati Deva tertawa di atas penderitaan orang. Gagal deh dapat pelukan dari orang cantik. Dasar kak Rio! Umpatnya dalam hati. Kembali pada Rio, pemuda itu langsung menarik Ify kembali ke sampingnya. Memasuki pelosok rumah Ify yang sudah taka sing bagi Rio. Dulu, selama menjadi calon menantu yang baik, dia sering mengapel. Tapi bukan Ify yang dia apelin, tapi kedua orang tuanya Ify. Terlebih Mama Gina, mengingat Ify sering tak dapat ditemui saat dia berkunjung karena saat itu Ify disibukkan dengan bimbel persiapan UN dan masuk perguruang tinggi.
Ify hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Rio. Dia membenarkan apa yang dibilang Deva, suaminya ini posesif. Tapi untungnya masih dalam batas wajar. Kalau tidak posesif kan bahaya juga akan keselamatannya. Bisa-bisa jika Rio tak mempunyai sifat posesif, dia disentuh-sentuh cowok lain, Rionya malah diam, gak peduli. Kiamat!
Sesampainya di ruang makan, dia bisa melihat seluruh keluarga Rio dan keluarganya berkumpul memenuhi meja makan. Bergantian dengan Rio terlebih dahulu, menyalami kedua orang tuanya dan orang tua Rio. Lalu mengambil tempat berseberangan dengan mereka. Di antara Deva dan Ray. Rio sudah terlebih dahulu menarik kursi untuk dia duduki di samping Deva, tak mengizinkannya menduduki kursi yang disodorkan oleh Ray. Bocah yang usianya hanya selisih beberapa bulan dengannya itu mendengus.
Dengan tatapan tajamnya, Rio menggertak Ray. Bukannya kenapa, semenjak Adiknya itu tahu bahwa umurnya dan Ify hanya selisih 3 bulan yang artinya bisa disama ratakan dengan umurnya, sehingga memanggil Ify tidak dengan embel-embel Kak, membuat dia sedikit waspada. Gimana pun dia lelaki. Tahu bagaimana seorang laki-laki di hadapkan dengan gadis secantik Ify. Suka kalap! Walaupun adik sendiri, dia tetap tak akan membiarkan Ray berdekatan dengan Ify.
“Bagaimana dengan rumah tangga kalian?” tanya Papa Ify di sela-sela berbuka yang cukup terlambat. Mereka tiba tepat pukul setengah 8.
Rio mendongak, “Alhamdulillah hingga saat ini mulus-mulus aja, Pa.”
Ify mengangguk memantapkan jawaban Rio.
“Ify udah gedhe juga ternyata ya.” ucap Papanya.
“Maksud Papa?” tanyanya bingung.
“Ya biasanya kalau gak ketemu Papa lama suka nangis-nangis, sekarang nggak. Ternyata Rio berhasil menggantikan Papa.”
Ify meringis, “Papa… Gak gitu Pa. If--”
“Iya-iya Papa hanya bercanda, Sayang.”
Fyuhh… Ify bernafas lega. Dia sudah merasa tak enak dengan Papanya. Memang tidak salah yang Papa katakan, semenjak menikah dia jadi gak semanja biasanya pada Papa. Biasanya dia memeluk Papanya dan tak melepas hingga dia terlelap, jika sudah bertemu Papa. Tadi hanya cium tangan, cium pipi sama peluk sebentar. Rio memang berhasil menggantikan posisi Papa. Bukankah setelah menikah, suami memang mengambil alih tugas seorang Ayah istrinya?
“Setelah ini berduaan ya, Pa… hehehe. Ify mau cerita banyak.”
Papanya hanya mengangguk mengiyakan. Lantas melanjutkan makan. Ify menoleh pada Rio. Meminta izin. Rio mengangguk mengerti. Selanjutnya berjalan dengan semestinya. Selesai berbuka, para wanita membersihkan meja makan, sedangkan pria-pria menyiapkan karpet dan perlengkapan sholat. Mereka menggunakan ruang keluarga yang cukup luas sebagai tempat melaksanakan sholat isya’ dan tarawih. Keduanya memanfaatkan moment ini menuntaskan rindu pada keluarga. Sekaligus cadangan untuk beberapa bulan ke depan mengingat mereka tak bisa sering-sering bolak-balik Bandung-Jakarta. Jujur, tak ada yang bisa membuat lebih bahagia selain berkumpul dengan keluarga.

Selamat terus menjalankan ibadah puasa teman-teman…

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar