Pulang
tarawih malam ini, Ify dibuat jalan dengan langkah panjang mengikuti suaminya
yang terkesan ingin cepat-cepat tiba di rumah. Ify sampai harus mengangkat
bawahan mukenah hingga batas lutut. Sesuai nasihat Rio, dia mengenakan celana
kain panjang dengan atasan sweater rajut. Berulang kali dia melihat Rio
bolak-balik memandang jam tangan. Entah apa yang dikejar Rio. Mau bertanya,
pasti dicuekin jika pemuda itu dalam kondisi seperti ini. Kalau nggak, dijawab
“ntar juga tahu”. Jadi diam aja ikuti yang Rio lakukan.
“Ck…
kuncinya kenapa gak bisa?” gerutu Rio yang menyatukan kunci dengan gemboknya.
Ify
mengambil alih kunci dari genggaman Rio. Pemuda itu mundur selangkah. Memberi
ruang.
“Kalau
bukanya buru-buru, kebanyakan gak bisanya. Gerbang juga ingin diperlakukan
halus kali.” ucap Ify sambil memutar pelan kunci. Memang akhir2 ini gembok dan
kuncinya suka rewel.
“Iya-iya
Sayang. Maaf, buru-burunya gak bisa
ditunda.” balas Rio mengusap pipinya lembut.
“Emang
ken---”
Ify urung
bertanya. Laki-laki itu sudah berlalu. Berlari-lari kecil menyusuri halaman
depan menuju teras. Dia menahan senyum. Buru-buru sih boleh, tapi kan percuma
mau lebih dulu tiba di depan pintu utama, kunci pintu juga masih berada dalama
genggamannya. Sengaja dia memperlambat menutup gerbang dan menguncinya kembali.
Rio pasti mencak-mencak di teras sana. Hihihi…
“SAYANG
CEPETAN DONK… KEBURU MULAI ACARANYA.”
Apa dia
bilang? Teriakan Rio tertangkap saat dia balik badan setelah memastikan gerbang
dalam keadaan aman. Tak mau terpengaruh oleh ketergesaan Rio, dia memperlambat
jalannya. Sengaja. Baru setengah jarak melewati halaman, sosok itu berjalan
cepat ke arahnya dengan tatapan tak sabar. Ya Allah… ada apa sih sama Rio?
Gerakan kilat Rio yang menyambar kunci di genggaman telapak kirinya membuatnya
kaget.
“Mulai
bandel?”
Dia nyengir,
“Nggak kok. Ada apa sih?”
“Ntar juga
tahu.”
Nah kan?
Lagi. Apa dia bilang? Jawabannya pasti itu. Kesal, dia merampas lagi kunci di
tangan kanan Rio sebelum pemuda itu berbalik. Dia menantang Rio yang menatapnya
tajam. Lalu sekilas berganti memandangnya lembut. Dia tersentak merasakan bibir
Rio menyapu permukaan sudut bibirnya. Tak sadar kunci sudah kembali berada di
tangan Rio lagi setelah melepas sentuhannya. Curang.
“Gak usah bandel!
Itu masih hukuman pertama buat kamu yang bikin aku terlambat nonton acara
penting debat capres terakhir. Hukuman selanjutnya, aku tunggu kamu di ruang
keluarga. Bawain cemilan sekaligus. Gak pake’ lama.”
Setelah
berkata-kata penuh ancaman dan perintah seperti itu tepat di telinga kirinya,
Rio balik badan. Meninggalkannya yang masih terpaku. Jadi selama ini? Eh
maksudnya, jadi ketergesaan Rio selama perjalanan pulang tarawih itu karena ada
acara debat capres? Ya Tuhan… Ify menghentakkan kaki sebelum berlari menuju
pintu utama yang dibiarkan terbuka. Dengan bantingan cukup keras dia menutup
pintu itu sekaligus menguncinya, mengundang suara Rio beristighfar di ruang
keluarga sana.
“Kamu mau
kemana?” tanya Rio saat dia mulai menaiki tangga.
“Kamar.”
Tanpa
menoleh pada Ify lagi –terfokus dengan acara TV di depannya- dia membalas,
“Kamu gak
lupa kan omongan aku tadi di depan?”
“Nggak.”
ketusnya.
“Terus?”
Ify menghela
nafas. Dosa Fy jutek sama suami. Abisan dia ngeselin. Ingat perjuangan
Rio mengikat loe Fy. Hufttt… Dia
memilih menghampiri Rio. Duduk di samping pemuda itu.
“Ngambek?”
tanya Rio menoleh sekilas.
Ify
mendengus. Laki-laki kalau udah fokus pada sesuatu yang disuka, dan dianggap
penting, sering lupa kalau ada orang yang dicinta. Cewek juga gitu, mainannya ngambek. Idihhh.
“Iya.”
akunya melipat tangan depan dada.
Rio tak
merespon. Matanya terus fokus pada acara penting baginya yang 5 tahun sekali
tayang. Debat-debat sebelumnya dia mengikuti dengan baik dan masih ingat
beberapa yang diomongin masing-masing capres. Pak jokowi dengan kartu
perseginya dan pak Parbowo dengan kata ‘bocor’nya. Untuk dia sendiri hingga
debat kelima ini masih bimbang menentukan pilihan. Oleh karena itu dia
bertingkah heboh menyambut acara ini akan tayang, dan Ify menghambat dia
menonton tepat waktu. Iklan dimainkan bersamaan dengan Ify beranjak dari posisinya.
Sigap dia menarik lengan bawah Ify. Menjatuhkan tubuh gadis itu pada
pangkuannya. Memeluk erat dari belakang.
“Ngambek
mulu? Gak auss?”
Ify sudah
akan menyemprot, tapi ingat status hidup. Rio
suami Ify. Catat! Dia diam. Faktor lain dia memilih diam, karena harus
mengatur debaran jantung. Bayangkan duduk di paha Rio dengan punggung bersandar
pada dada bidang pemuda itu ditambah lengan Rio yang melingkar di sekitar perut.
Menumpu tangan di atas tangannya. Nyaman-nyaman bikin nervous. Catat lagi!
“Kok diam?”
tegur Rio yang menambah ser-seran(?) dengan menaruh dagu di bahu kanannya.
“Lepas.”
pintanya.
“Nggak.”
tolak Rio makin mengeratkan pelukannya.
“Kak…”
“Dear…”
“Terserah!”
“Oke!”
Hening……..
***
Empat puluh
lima menit berlalu. Tertinggal rasa nyaman yang ia rasakan sekarang di pangkuan
Rio. Malah dia yang semakin manja dengan memutar badan 90 derajat.
Menenggelamkan muka di lekukan leher Rio. Tangan kanannya melepaskan diri dari
kurungan. Merayap ke sekitar dada Rio membuat dia dengan mudah merasakan
perubahan ritme nafas Rio. Hihihi… godain boleh kali ya… Dasar!
Sebelumnya aja malu-malu guguk.
“Kak…”
panggilnya dengan menyisipkan sedikit desahan pada suaranya. Di bumbui menghembuskan
nafas dengan kuat menerpa permukaan leher Rio.
Mati-matian
Rio mengatur nafas. Bingung harus menanggapi sikap mendadak Ify ini bagaimana.
Merutuki dirinya sendiri yang menggoda Ify dengan mengurung gadis itu bertujuan
mendapat hiburan tambahan melihat Ify seperti cacing kepanasan tiap kali dia
sentuh. Kok jadi senjata makan tuan begini. Sekali-kali kek tuan makan senjata.
“Kak… Ify
sayang Kakak karena Allah.”
Tiba-tiba
saja kalimat itu yang terlontar dari mulutnya. Mungkin efek sore tadi dia
menonton film Hafalan Sholat Delisa. Perempuan cantik itu mengatakan bahwa dia
mencintai sang bunda karena Allah sesuai yang dikatakan ustadznya dimana
berujung dengan dia mendapat sebatang coklat. Berhubung dia sendiri tak lagi
bersama ibunda tercinta, jadi kalimat itu untuk suaminya saja saat ini.
Rio
tertegun. Sampai tak menyadari tangan Ify melingkar nyaman sekitar lehernya.
Bacotan penting yang bisa menjadi tambahan info untuk memilih pemimpin negara
yang tepat, dihiraukannya. Tak ada lagi suara lanjutan dari Ify. Hanya
terdengar nafas teratur. Terlelap kah Alyssa?
“Dear…”
panggilnya sambil mengusap-usap punggung Ify.
“Ify sayang
Kakak karena Allah…”
Lagi. Itu
yang dia dengar. Menyejukkan, tapi buat dia cemas. Pemikiran-pemikiran buruk
merayap pelan, bergerombol menguasai isi otak. Panik, dia mencoba melepas
sentuhannya pada Ify. Menjauhkan tubuh Ify agar bisa melihat wajah cantik itu.
Dalam penglihatannya, Ify tersenyum manis. Terlihat indah dan menghangatkan
hati. Gemas, dia menangkup pipi Ify. Mendekatkan muka, dan menoel-noelkan
hidungnya pada hidung bangir Ify.
“Ada apa sih
di balik adik Ify ini bilang gitu ke kakak Rio? Mau minta dibeliin sesuatu ya?”
Senyum yang
ia pertahankan hanya untuk Rio seorang, kandas. Terganti dengan bibir maju
beberapa centi. Menggembungkan pipi. Mood bicara jatuh, rasa kesalnya
tersalurkan melalui pukulan-pukulan ringin di dada lebar Rio. Bikin tambah
kesal, si Rio malah tertawa. Barang sebentar, lalu menghujaninya dengan
kecupan-kecupan lembut di sekitar kedua pipinya yang ia gembulin. Membuat dia
geli dan kupu-kupu mungil kasat mata itu mulai bermain nakal di sekitar perutnya.
Dia menghentikan kelakuan Rio dengan menahan wajah cowok itu agar menjaga jarak
dengannya. Senyum manisnya muncul lagi. Entah ada apa dengan malam ini, yang
pasti dia terdorong untuk bersikap manis pada Rio. Semacam membalas perbuatan
baik nan sweet meskipun rada’ ngeselin cowok tampan berstatus suaminya ini.
“Adik Alyssa
cinta Kakak Mario karena Allah.” ucap Ify lagi dengan versi berbeda dari
sebelumnya.
Benar-benar
tak tahan, Rio meraih remote di sebelahnya. Menekan tombol off. Percuma
menonton tapi fokusnya bubar. Gak dapat apa-apa. Tanpa pemberitahuan, dia
menggendong tubuh mungil itu ala bridal style. Membawanya ke kamar mereka. Dia
harus tidur jika tak ingin naluriah cowoknya yang ia tekan habis-habisan hingga
4-5 tahun mendatang baru bisa berlaku untuk Ify –hanya Ify-, muncul tiba-tiba.
Dalam gendongannya, Ify tak memberontak. Aneh. Malah menatapnya lembut dengan
senyum lebih pada cengiran mengarah padanya. Makin aneh. Dia kecup bibir bawah
gadis itu sebelum membuka pintu kamar.
Ify
berteriak senang dalam hati. Ancaman hukuman yang disampaikan Rio di halaman
tadi sepertinya dilupakan. Dia terbebas dari rasa khawatir memikirkan hukuman
yang diberikan oleh Rio. Pemuda hitam manis itu kan tak pernah bermain-main dengan
ucapannya. Pasti dipraktekkan. Seperti saat dia membuat kesalahan dulu.
Hukumannya memang jauh dari kata kejam, cuma sukses bikin dia olahraga jatung.
Oleh karena itu dia semakin memanfaatkan kondisi ini sebaik dan semaksimal
mungkin. Tapi, sungguh dari hati dia mengucapkan kalimat sayang itu pada Rio,
walaupun ada keselip maksud lain di dalamnya.
“Jangan
lepas.” pintanya saat Rio meraih telapak tangannya yang bertautan di tengkuk
pemuda itu.
Meskipun
masih bingung dengan sikap Ify yang mendadak manja tak ada angin tak ada hujan
begini, dia tetap menuruti permintaan itu. Mengangkat kembali tubuh Ify yang
baru saja ia baringkan untuk lebih menjorok ke sebelah kanan ranjang agar dia
bisa turut merebahkan diri langsung tanpa melepas pelukan Ify di lehernya.
Biasanya, dia yang mendekat pada Ify, sekarang gadis itu terlebih dulu
memepetkan diri pada tubuhnya. Lagi-lagi makin aneh. Oke! Jujur dia suka
perubahan ini, tapi cukup bikin cemas. Langsung teringat cerita teman-temannya
yang mempunyai sosok berarti dalam hidup tiba-tiba bertingkah aneh, dan
ternyata besoknya meninggal. Astaghfirullah…
“Kakak
kenapa geleng-geleng kepala?”
Rio
tersadar. Dia tertunduk membalas tatapan Ify. “Kamu sehat kan? Kamu dalam
kondisi ora popo kan?”
Ify manyun,
“Ya Allah… Ify sehat walafiat Kakak. Gimana sih? Ify nolak, Kak Rio kesal. Ify
ngerespon, Kak Rionya malah gini.” gerutunya.
Sebelum
niatan melepas ikatan di leher itu, Rio lebih dulu menghalau dengan langsung
memeluk pinggangnya. Sesuatu menyentuh puncak kepalanya bertubi-tubi. Lagi-lagi
Rio menghujaninya dengan kecupan-kecupan ringin. Errr… bikin perut geli.
“Adik Alyssa
sayang Kakak Mario karena Allah.” Dia mengulangnya lagi.
“Iya Sayang,
iya. Asal jangan sampai kebalik ya.” ucap Rio menjawab ungkapan Ify.
Dalam
pelukannya dia merasa Ify memberontak ringan. Dia melonggarkan pelukan di
pinggang Ify. Memberi ruang antara dia dan Ify.
“Kebalik
gimana Kak?” tanya Ify memundurkan wajah sejengkal karena masih terlalu dekat
dengannya. Begini pun, hidungnya masih bersentuhan dengan dagu Rio.
“Kebalik
jadi Adik Alyssa sayang Allah karena Kakak Mario. Awas aja sampai itu terjadi!”
Ify diam
sesaat. Mengulang kembali kalimat yang dimaksud kebalik oleh Rio. Sayang Allah karena kakak Mario.
“Astaghfirullahaladzim.
Naudzubillahiminzalik.” Ucapnya menyebut setelah benar-benar sadar.
Rio
mendiamkan Ify yang masih berkali-kali beristighfar. Ibu jarinya mengusap
lembut pipi Ify menenangkan.
“Tegur keras
Ify ya Kak kalau sampai Ify begitu.” pinta Ify dengan wajah penuh kekhawatiran.
Oke saat ini
dia tidak seperti kalimat kebalik tersebut. Namun ke depannya siapa yang tahu
kan? The power of love jika tidak dikendalikan dengan benar bisa-bisa
menyebabkan buta. Bisa-bisa sampai menutup mata terhadap si pembuat cinta,
Allah. Jadinya ya gitu, Aku Cinta Allah
Karena Kamu. Astaghfirullah…
Kekhawatirannya
bertambah saat mengingat bagaimana perilaku teman-teman wanitanya yang in
relationship sama lawan jenis. Tak sedikit dari mereka baru melaksanakan sholat
5 waktu setelah mendapat pesan dari sang pacar.Itu salah satu bentuk kongkrit
bukan? Beribadah menunggu diperhatikan pacar.
“Aku gak
akan melakukan teguran. Sebisa mungkin kku akan lebih dulu mencegah hal itu,
Dear. Teguran itu salah satu bentuk pengobatan. Seperti yang kita, mencegah itu
lebih baik dari pada mengobati.” tuturnya lemah lembut dengan nada tegas yang
nyata. Tangannya masih bermain-main dengan pipi Ify. Enggan untuk beranjak.
“Ify milik
Kakak.” lirih Ify.
Dia hanya
tersenyum. Memperbaiki posisi kepala Ify lebih nyaman di atas lengan kirinya.
Gadis itu bereaksi semakin menyembunyikan wajah di dadanya. Jemari lentik itu
mengetuk-ngetuk secara berirama di sana.
“Kamu pilih
siapa nanti?” tanyanya mengalihkan topik setelah cukup hening.
“Maksud
Kakak?”
“Presiden.”
Jelasnya.
“Oh itu. Gak
tahu, lihat ntar pas udah di TPS.” jawab Ify sekenanya. Gak bohong dia memang
bingung.
“Kok gitu?
Ini penting loh Dear.”
Ify berhenti
mentoel-toel dada Rio dengan jarinya. “Iya sih. Cuma bagi Ify, siapa pun bapak
negaranya, selama Ify masih bareng Kak Rio, gak ngaruh apa-apa. Baru kalau Kak
Rio capresnya, itu ngaruh. Ify pasti bakalan dicuekin sama hal-hal yang berbau
politik itu. Cukup sama berkas-berkas perusahaan aja perhatian kakak ke Ify
terbagi.” celotehnya tak jelas.
Dia sendiri
tak tahu kenapa sampai itu yang keluar. Masalah politik dia NOL BESAR. Cuma
tahu Pak Wi itu gubernur kota kelahirannya, dan Pak Wo mantan perwira. Udah itu
saja. Cukup. Kalau dilihat dari wajah sih, Pak Wi sejenis sama Rio. Muka sabar
tapi dalamnya tegas. Kayaknya sih. Dia kan bukan psikolog. Nah kalau Pak Wo,
tegasnya terlihat langsung. Entah dia pilih siapa. Pilih Kak Rio aja deh yang
menuntunnya ke masa depan cerah. EHEM
BANGET DEH FY-_-
“Gak
nyambung banget sihhh.” gemas Rio mencubit hidung bangir Ify.
“Biarin.
Kakak sendiri pilih siapa?” tanyanya tanpa melihat Rio. Dada pemuda itu lebih
asik untuk dipandangi.
“Rahasia.”
Ify melotot,
“Loh kok gitu? Antara suami-istri itu harus terbuka loh Kak. Gak boleh
rahasia-rahasiaan. Tadi kakak tanya sama Ify, Ify jawab.”
“Hahaha… Kok
emosi?” Tawa kecil Rio. Ibu jari dan telunjuk kanannya bekerja sama
menggoyang-goyangkan pipi kanan Ify. Gemas.
“Ya abisnya
Ka---”
“Aku juga
gak tahu pilih siapa. Kamu sih godain aku tadi. Aku sampai ninggalin debat
terakhir itu jadinya kan.”
Ify nyengir,
“Hehehe… Abisnya Ify gak ngerti mereka ngomong apa. Males jadinya.”
Itu alasan
yang ia beri tahu pada Rio. Prosentase bohongnya 95,99%. Gak lucu kan kalau dia
mengutarakan alasan sebenarnya. Bisa-bisa Rio ingat lagi sama hukuman yang akan
diberikan padanya. Dia menguap. Menutupnya dengan dada Rio. Lalu menggeliat
sebentar makin mempewekan(?) diri dalam pelukan Rio. Tangannya beralih menuju
pinggang Rio. Memeluknya erat.
“Ify bobok
ya Kak.” izinnya langsung memejamkan mata. Padahal tadi gak ngantuk akut
seperti ini. Parah nih, badan Rio bikin ngantuk.
“Doa dulu.”
cegah Rio menarik wajah Ify dari persembunyiannya.
Mata Ify
mengerjap-ngerjap, “Udah…”
Tak lama
suara dengkuran halus terdengar. Dia menggeleng-gelengkan kepala akan kecepatan
terlelapnya Ify. Lalu menjulurkan tangan mengambil ponsel canggihnya yang ada
di tepi nakas. Sambil menjaga Ify agar tidak merasa terganggu, dia membuka
email. Sebelum buka tadi Papa mengirim file untuk segera ia pelajari, sekaligus
mengambil materi yang dikirimkan oleh teman sekelasnya. Menghabiskan energi
mata tersisa.
***
Ify terlebih
dahulu menuju mobil setelah melakukan kewajibannya sebagai warga negara
Indonesia berusia 17 tahun. Hari rabu tepat tanggal 9 juli, Indonesia
mengadakan pesta rakyat yang tergelar setiap 5 tahun sekali. Sepanjang
perjalanan menuju mobil, hingga berada di dalam mobil, tak henti-hentinya dia
menggerutu. Ruangan selebar halaman depan rumahnya itu berisi orang-orang yang
membuatnya gedhek. Pertama. Saat dia memasuki ruangan dengan digiring Rio,
seorang gadis yang dulu pernah diselamatkan oleh Rio dari copet memisahkan
tautan tangan mereka. Gadis itu izin meminjam Rio untuk menghilangkan dilemma
akan pilih siapa nanti di dalam kotak TPS. Penting gak sih? Dia aja yang baru
dapat wangsit akan pilih siapa saat melihat foto kedua kandidat di kertas pemungutan
suara, biasa aja.
Kedua.
Terlepasnya dia dari Rio menimbulkan kebete’an berkelajutan. Saat dia
menghampiri tempat pengambilan kertas pemungutan ketika namanya terpanggil,
sosok yang mendapat tugas memantau
jalannya pesta rakyat di wilayahnya ini mencegah. Meragukan dia memenuhi syarat
usia sebagai peserta pesta rakyat. Dengan sewot, dia menegaskan bahwa dia sudah
berusia 17 tahun lebih. Eh ternyata, si bapaknya cuma bercanda. Puasa-puasa
juga, dibikin sewot.
Ketiga.
Sebelum Ify menjabarkan faktor terakhir yang membuatnya kesal setelah keluar
dari ruangan itu, pintu mobil bagian pengemudi terbuka. Rio. Pemuda itu masuk
setelah membalas pamitan si gadis tengil tadi. Setelah memastikan pintu mobil
tertutup rapat, Rio mengambil kunci di saku kemeja. Mengaktifkan kembali kerja
mesin mobil. Sambil menjalankan perlahan kendaraan roda empat itu, dia menoleh
pada Ify yang kondisi bibirnya makin maju. Gadisnya ngambek sama petugas di TPS
tadi. Ada-ada saja.
“Makanya
kalau dibilangin itu nurut. Aku kan udah bilang, rambutnya dikuncir satu aja.
Kamu sih ngeyel mau kuncir 2 segala.” ucapnya.
“Ishh… Ify
kan udah lama gak dikuncir 2 Kak. Mana Ify tahu gara-gara Ify kuncir 2 begini
disangka anak SMP. Lagian gak lihat body Ify kali ya si Pak Tua itu.” gerutu
Ify.
Rio
terkekeh, “Kamu tuh ya. Errr… bikin gemas mulu. Untung puasa. Kamu jadi orang
sok tinggi gitu. Kamu sama si Oca anaknya Pak Yudi yang nunggu di depan tadi
masih kalah tinggi. Padahal dia masih kelas 1 SMP.”
Ify menoleh
cepat, “Ya ampun, kalau itu mah jangan bandingin Ify sama Oca, Kak. Kak Rio aja
kalah tinggi sama dia. Dia itu korban kemunculan gen resesif Pak Yudi sama Bu
Yudi. Kakak lihat kan orang tuanya pada gak tinggi, eh dianya malah tinggi
sendiri.”
“Udah ah..
kenapa jadi ngomongin orang. Kamu mau kemana?” tanya Rio dengan pandangan fokus
ke depan. Jalanan terihat lumayan sepi.
“Mau beli
baju buat lebaran?” lanjutnya tak mendapat jawaban Ify.
“Boleh.
Sekaligus kita beli bahan-bahan bikin parsel yuk Kak. Tiap tahun keluarga Ify
suka bagi-bagi parsel gitu.”
Rio menoleh
sekilas, tersenyum. “Aku mau ngajak, udah keduluan kamu. Beli jadinya aja ya.”
Ify
menggeleng tegas. “Gak mau. Ify kan pingin ngehias sendiri.”
“Emang
bisa?” tanya Rio dengan nada meremehkan.
“Bisa donk.
Tiap tahunnya Ify kan bikin parsel. Gak pernah beli jadinya langsung.” jawabnya
kesal.
“Percaya deh
percaya.”
Ify makin
dibuat geregetan sama Rio,”Ishhh Kakak. Kok kayaknya gak percaya gitu. Tangan
Ify itu ajaib tauk kalau disuruh bikin parsel. Ramadhan kemarin, bahkan Ify
semua yang hias. Kakak sih waktu itu gak ada kabar. Gak ada ke rumah sama
sekali.”
Ganti Rio
yang melotot. “Kamu kan tahu tahun kemarin itu aku sibuk persiapan melamar
kamu, Sayang. Jadi sengaja gak komunikasi sama kamu.”
“Hehehe… ya
udah, pokoknya parselnya bikin sendiri ya Kak.” pinta Ify dengan nada manja.
“Iya.”
“YEY…”
serunya mendapat setuju dari Rio.
Dia bangkit
dari duduknya dengan menumpu tangan di bahu Rio. Baru akan mendekati wajah Rio,
dia diam. Ada yang salah. Dia balik duduk lagi. Menunduk dalam. Puasa. Mengecup
suami walaupun di pipi diusahakan tidak dilakukan dalam keadaan puasa. Dia
manusia biasa, syahwat kemana-mana. Rio tak bisa menahan tawanya melihat
kelakuan Ify. Gemas, dia mengacak-ngacak poni miring gadis yang mengalihkan
perhatian pada jalanan itu. Dia tahu Ify akan mengecup pipinya sebagai tanda
terima kasih telah menuruti permintaannya.
“Ntar malem
aja ya tanda terima kasihnya.”
MPOSSS… makan tuh malu Fy.
***
“Ya Allah…
gak mau lagi deh Ify ke Mall pertengahan ramadhan begini. Ujian!” keluh Ify setelah
membuka pintu utama dan melangkah lebar menuju sofa keluarga.
Di
belakangnya, Rio menenteng tiga kresek besar sekaligus berisi bahan-bahan
parsel. Tertinggal keranjang untuk tempat parsel dan plastik hias untuk
membungkus, di garasi mobil. Ify yang sudah merebahkan diri di sofa, menepuk
jidat melihat Rio bergerak-gerak berusaha menyingkirkan gorden yang memisah
ruang keluarga dan ruang tamu. Segera dia mengambil alih satu kresek yang
terlihat paling enteng dari tangan kanan Rio.
“Mau kemana
Kak?” tanyanya melihat Rio akan berlalu.
“Keranjang
sama plastiknya masih di mobil.” jawab Rio.
“Duduk dulu
deh Kak. Istirahat. Biar ntar Ify yang ambil.” cegah Ify.
Rio menurut.
Dia juga capek. Berputar-putar mengitari mall yang manusianya bejibun. Hampir
saja dia kehilangan jejak Ify saat di daerah kasir. Belum lagi membawa hasil
buruan mereka. Untung saja Ify mengurungkan niat membeli baju. Dari awal Ify
memang tidak terlalu antusias. Biar membeli di Ol Shop saja katanya. Dia
bersandar nyaman diikuti Ify. Matany terpaku melihat jam dinding yang saat itu
pas lurus di hadapannya. Setengah dua belas. Gila. Jadi selama 3 jam setengah
dia berada di dalam mall. Benar kata Ify, gak lagi datang ke mall di
pertengahan ramadhan. Cobaan…!
“Ify heran
deh lihat orang-orang di Mall itu. Baju baru penting banget ya Kak? Perasaan
gak harus kan? Udah ada lagunya juga.” tanya Ify sambil memain-mainkan
ponselnya.
Baru saja ia
membuka akun instagramnya. Mengirim foto selfie setelah melakukan praktek
demokrasi bersama Rio di dalam mobil mereka. Langsung saja beberapa
teman-temannya mengirim coment. Sebagian mengucapkan selamat atas pernikahan
mereka. Mungkin sebagian itu baru tahu dia dan Rio menikah. Coment-an yang
mengundang perhatian sekarang yaitu diorder
yuk sist! Iseng dia membuka akun salah satu Ol Shop itu. Keantusiasannya
untuk membeli baju buat lebaran seperti tahun kemarin. Biasa. Kan baju-baju
yang dulu masih ada. Tapi kalau ada yang tertarik, boleh lah ya dibeli.
“Yang kamu
tanyakan ini sejenis dengan kamu tanya soal makan manis-manis saat berbuka itu.
Jadi jawabannya sama, baju baru saat lebaran itu persepsi masyarakat. Sudah
menjadi sunnah nabi, beliau mengenakan pakaian paling bagus yang beliau punta
pada hari raya, baik idul fitri maupun idul adha. Hal itu juga dilakukan para
sahabatnya. Cuma di sini masalahnya, masyarakat salah kaprah mengenai pakaian
paling bagus itu adalah pakaian yang baru dibeli. Padahal gak harus beli. Nah
ini nih yang sampai sekarang jadi kebiasaan. Membeli baju baru itu jadi hal
penting dilakukan menjelang lebaran.” jelas Rio dengan mata terpejam.
Ify
mengangguk-anggukan kepala, “Jadi orang-orang pada nyimpulin sendiri ya Kak?
Hihihi… lucu ya. Ify juga lucu, kan Ify sempat buat keputusan beli baju baru
tiap lebaran waktu masih SD dulu itu wajib. Baru pas SMP udah biasa aja. Minat
ya beli, gak minat, pake’ yang udah dibeli.”
Ify kalau
sudah seperti ini membuat Rio susah menahan diri untuk tidak ngapa-ngapain
gadis itu. Jadinya dia memilih mencubit singkat kedua pipi dan hidung bangir
Ify sebelum beranjak menuju lantai satu. Badannya gerah, minta diguyur.
“Setelah
ambil barang-barang yang di mobil, langsung mandi terus sholat. Aku tunggu di
kamar.” ucapnya sebelum benar-benar menaiki anak tangga pertama.
“Oke!”
balasnya langsung ikut beranjak dari sofa.
Berlari
kecil keluar rumah. Mengambil keranjang parsel dan pembungkusnya di garasi
mobil. Sebelum kembali ke ruang keluarga, dia mengunci pintu utama. Lalu
mengumpulkan wadah parsel itu bersama isi-isinya. Dia menarik lebih dekat
mereka-mereka agar kekerabatannya menguat. Apaan
sih!
“Baik-baik
ya… ntar sore Ify permak kalian. Dahhh.”
***
Sesuai
janjinya pada benda-benda mati itu, saat ini Ify tengah bergelut dengan
beberapa macam makanan yang sukses bikin dia nelan ludah. Terlebih yang
mengandung coklat. Mulutnya terus bergerak mengeluarkan kata-kata menerangkan
untuk sosok yang di sampingnya. Rio. Tapi sepertinya Rio sendiri terpusat pada
tabletnya. Tinggal sentuhan terakhir Ify menyelesaikan parsel pertama dengan
menyisipkan bunga yang dia buat dari pita.
“TARR--- Eh”
Tak jadi dia
berteriak senang saat memergoki Rio yang sama sekali tak memandangnya. Ify
mendengus. Menyandarkan punggung dengan kasar pada kepala sofa. Melipat tangan
depan dada. Sadar tak ada suara, Rio menurunkan gadgetnya. Langsung menangkap
hasil kombinasi celotehan dan gerakan tangan Ify. Dia menaruh gadget itu di
samping parsel yang memang benar-benar terlihat berbeda dengan yang terpajang
di toko-toko. Simple tapi kece. Matanya berbinar menyentuh bagian bawah parsel.
Membawanya ke pangkuan.
“Baru sadar
kalau Ify udah selesai? Kemana aja tadi?”
Suara Ify
yang terdengar ketus menyadarkan keterpesonaannya akan hasil karya tangan ajaib
pemilik suara. Dia menahan senyum memandang wajah Ify yang tertekuk. Sadar akan
kesalahannya. Memang dia meminta Ify selagi menghias, berkoar-koar setiap
gerakan tangannya. Semacam demo tutorial bikin parsel gitu. Tapi perhatiannya
malah terpusat pada gadget. Awalnya memang memperhatikan, cuma mengabadikan
setiap gerakan Ify membuat parsel berujung dengan mengutak-atik file
pekerjaannya lebih penting untuk dilakukan.
“Kok sensi
sih? Mau kedatangan ya?” godanya sambil mencubit hidung bangir Ify.
“Nggak kok
Kak. Kan udah bulan ini Ify kedatangan.” Ify menanggapi serius.
Rio menaruh parsel
itu kembali ke tempat semula sebelum tertawa melihat perubahan ekspresi wajah
Ify yang tadinya kesal jadi polos-polos oon. Ya ampun Rio. Masak istri sendiri
dikatain oon? Rio menghentikan dengan paksa tertawanya memandang Ify masih
menatapnya serius. Berdeham. Mengambil lagi parsel itu. Meletakkan di antara
dia dan Ify.
“Ini bagus
banget, Sayang. Aku gak nyangka kamu bisa bikin kayak gini.” pujinya
setengah-setengah mengundang dengusan Ify.
“Kakak
gimana sih? Katanya sudah cukup 2 tahun mengenal Ify. Masak Ify jago bikin beginian
Kakak gak tahu.” gerutu Ify dengan wajah tertekuk.
“Aku tahu
kok, cuma rada’ ragu kalau gak lihat secara langsung. Ternyata jago banget ya.”
ujar Rio.
Senyum Ify
mengembang. Rio menghadiahinya dengan usapan di sekitar ubun-ubun. Dia
mengangkat perlahan takut dandanan parselnya rusak. Menggeser tubuh lebih dekat
dengan Rio. Memangku parsel setelah meraih smartphonenya yang ada di atas meja.
Menyodorkannya pada Rio.
“Foto yuk
Kak. Langsung upload intagram.” ajaknya yang langsung diiyakan.
Rio lebih
menggeser lagi duduknya. Tangan kirinya merangkul bahu Ify. Mengangsurkan benda
mungil itu kembali pada Ify.
“Aku gak
bisa. Kamu aja.” ujarnya.
Ify
mengangguk. Dia lupa disini yang jago selfie itu dia. Sambil mengarahkan benda
canggih itu, dia memberi aba-aba.
“Satu… dua…
tiga.”
Masih dengan
posisi dekat satu sama lain, Ify memeriksa hasil jepretannya. Bagus. Senyumnya
sama Rio mirip. Di sampingnya, Rio turut melihat hasil foto bersama mereka.
Makin ganteng aja dia. Walaupun kalah hidung sama Ify, tetap aja pesonanya tak
terkalahkan. Ify mulai membuka akun instagramnya. Dia terus memperhatikan.
Terlihat Ify bingung menggunakan kalimat seperti apa mendeskripsikan foto
mereka.
“Tulis aja, diorder
yuk sist.” celetuknya. Keduanya tertawa.
***
nice share gan, kerennn artikelnya, bagus
BalasHapusSouvenir Pernikahan Kediri