Minggu, 20 Juli 2014

NIKAH DINI? WHY NOT? SPECIAL RAMADHAN BAGIAN C {PILPRES, BAJU LEBARAN, & PARSEL}






Pulang tarawih malam ini, Ify dibuat jalan dengan langkah panjang mengikuti suaminya yang terkesan ingin cepat-cepat tiba di rumah. Ify sampai harus mengangkat bawahan mukenah hingga batas lutut. Sesuai nasihat Rio, dia mengenakan celana kain panjang dengan atasan sweater rajut. Berulang kali dia melihat Rio bolak-balik memandang jam tangan. Entah apa yang dikejar Rio. Mau bertanya, pasti dicuekin jika pemuda itu dalam kondisi seperti ini. Kalau nggak, dijawab “ntar juga tahu”. Jadi diam aja ikuti yang Rio lakukan.
“Ck… kuncinya kenapa gak bisa?” gerutu Rio yang menyatukan kunci dengan gemboknya.
Ify mengambil alih kunci dari genggaman Rio. Pemuda itu mundur selangkah. Memberi ruang.
“Kalau bukanya buru-buru, kebanyakan gak bisanya. Gerbang juga ingin diperlakukan halus kali.” ucap Ify sambil memutar pelan kunci. Memang akhir2 ini gembok dan kuncinya suka rewel.
“Iya-iya Sayang. Maaf,  buru-burunya gak bisa ditunda.” balas Rio mengusap pipinya lembut.
“Emang ken---”
Ify urung bertanya. Laki-laki itu sudah berlalu. Berlari-lari kecil menyusuri halaman depan menuju teras. Dia menahan senyum. Buru-buru sih boleh, tapi kan percuma mau lebih dulu tiba di depan pintu utama, kunci pintu juga masih berada dalama genggamannya. Sengaja dia memperlambat menutup gerbang dan menguncinya kembali. Rio pasti mencak-mencak di teras sana. Hihihi…
“SAYANG CEPETAN DONK… KEBURU MULAI ACARANYA.”
Apa dia bilang? Teriakan Rio tertangkap saat dia balik badan setelah memastikan gerbang dalam keadaan aman. Tak mau terpengaruh oleh ketergesaan Rio, dia memperlambat jalannya. Sengaja. Baru setengah jarak melewati halaman, sosok itu berjalan cepat ke arahnya dengan tatapan tak sabar. Ya Allah… ada apa sih sama Rio? Gerakan kilat Rio yang menyambar kunci di genggaman telapak kirinya membuatnya kaget.
“Mulai bandel?”
Dia nyengir, “Nggak kok. Ada apa sih?”
“Ntar juga tahu.”
Nah kan? Lagi. Apa dia bilang? Jawabannya pasti itu. Kesal, dia merampas lagi kunci di tangan kanan Rio sebelum pemuda itu berbalik. Dia menantang Rio yang menatapnya tajam. Lalu sekilas berganti memandangnya lembut. Dia tersentak merasakan bibir Rio menyapu permukaan sudut bibirnya. Tak sadar kunci sudah kembali berada di tangan Rio lagi setelah melepas sentuhannya. Curang.
“Gak usah bandel! Itu masih hukuman pertama buat kamu yang bikin aku terlambat nonton acara penting debat capres terakhir. Hukuman selanjutnya, aku tunggu kamu di ruang keluarga. Bawain cemilan sekaligus. Gak pake’ lama.”
Setelah berkata-kata penuh ancaman dan perintah seperti itu tepat di telinga kirinya, Rio balik badan. Meninggalkannya yang masih terpaku. Jadi selama ini? Eh maksudnya, jadi ketergesaan Rio selama perjalanan pulang tarawih itu karena ada acara debat capres? Ya Tuhan… Ify menghentakkan kaki sebelum berlari menuju pintu utama yang dibiarkan terbuka. Dengan bantingan cukup keras dia menutup pintu itu sekaligus menguncinya, mengundang suara Rio beristighfar di ruang keluarga sana.
“Kamu mau kemana?” tanya Rio saat dia mulai menaiki tangga.
“Kamar.”
Tanpa menoleh pada Ify lagi –terfokus dengan acara TV di depannya- dia membalas,
“Kamu gak lupa kan omongan aku tadi di depan?”
“Nggak.” ketusnya.
“Terus?”
Ify menghela nafas. Dosa Fy jutek sama suami. Abisan dia ngeselin. Ingat perjuangan Rio mengikat loe Fy. Hufttt… Dia memilih menghampiri Rio. Duduk di samping pemuda itu.
“Ngambek?” tanya Rio menoleh sekilas.
Ify mendengus. Laki-laki kalau udah fokus pada sesuatu yang disuka, dan dianggap penting, sering lupa kalau ada orang yang dicinta. Cewek juga gitu, mainannya ngambek. Idihhh.
“Iya.” akunya melipat tangan depan dada.
Rio tak merespon. Matanya terus fokus pada acara penting baginya yang 5 tahun sekali tayang. Debat-debat sebelumnya dia mengikuti dengan baik dan masih ingat beberapa yang diomongin masing-masing capres. Pak jokowi dengan kartu perseginya dan pak Parbowo dengan kata ‘bocor’nya. Untuk dia sendiri hingga debat kelima ini masih bimbang menentukan pilihan. Oleh karena itu dia bertingkah heboh menyambut acara ini akan tayang, dan Ify menghambat dia menonton tepat waktu. Iklan dimainkan bersamaan dengan Ify beranjak dari posisinya. Sigap dia menarik lengan bawah Ify. Menjatuhkan tubuh gadis itu pada pangkuannya. Memeluk erat dari belakang.
“Ngambek mulu? Gak auss?”
Ify sudah akan menyemprot, tapi ingat status hidup. Rio suami Ify. Catat! Dia diam. Faktor lain dia memilih diam, karena harus mengatur debaran jantung. Bayangkan duduk di paha Rio dengan punggung bersandar pada dada bidang pemuda itu ditambah lengan Rio yang melingkar di sekitar perut. Menumpu tangan di atas tangannya. Nyaman-nyaman bikin nervous. Catat lagi!
“Kok diam?” tegur Rio yang menambah ser-seran(?) dengan menaruh dagu di bahu kanannya.
“Lepas.” pintanya.
“Nggak.” tolak Rio makin mengeratkan pelukannya.
“Kak…”
“Dear…”
“Terserah!”
“Oke!”
Hening……..
***
Empat puluh lima menit berlalu. Tertinggal rasa nyaman yang ia rasakan sekarang di pangkuan Rio. Malah dia yang semakin manja dengan memutar badan 90 derajat. Menenggelamkan muka di lekukan leher Rio. Tangan kanannya melepaskan diri dari kurungan. Merayap ke sekitar dada Rio membuat dia dengan mudah merasakan perubahan ritme nafas Rio. Hihihi… godain boleh kali ya… Dasar! Sebelumnya aja malu-malu guguk.
“Kak…” panggilnya dengan menyisipkan sedikit desahan pada suaranya. Di bumbui menghembuskan nafas dengan kuat menerpa permukaan leher Rio.
Mati-matian Rio mengatur nafas. Bingung harus menanggapi sikap mendadak Ify ini bagaimana. Merutuki dirinya sendiri yang menggoda Ify dengan mengurung gadis itu bertujuan mendapat hiburan tambahan melihat Ify seperti cacing kepanasan tiap kali dia sentuh. Kok jadi senjata makan tuan begini. Sekali-kali kek tuan makan senjata.
“Kak… Ify sayang Kakak karena Allah.”
Tiba-tiba saja kalimat itu yang terlontar dari mulutnya. Mungkin efek sore tadi dia menonton film Hafalan Sholat Delisa. Perempuan cantik itu mengatakan bahwa dia mencintai sang bunda karena Allah sesuai yang dikatakan ustadznya dimana berujung dengan dia mendapat sebatang coklat. Berhubung dia sendiri tak lagi bersama ibunda tercinta, jadi kalimat itu untuk suaminya saja saat ini.
Rio tertegun. Sampai tak menyadari tangan Ify melingkar nyaman sekitar lehernya. Bacotan penting yang bisa menjadi tambahan info untuk memilih pemimpin negara yang tepat, dihiraukannya. Tak ada lagi suara lanjutan dari Ify. Hanya terdengar nafas teratur. Terlelap kah Alyssa?
“Dear…” panggilnya sambil mengusap-usap punggung Ify.
“Ify sayang Kakak karena Allah…”
Lagi. Itu yang dia dengar. Menyejukkan, tapi buat dia cemas. Pemikiran-pemikiran buruk merayap pelan, bergerombol menguasai isi otak. Panik, dia mencoba melepas sentuhannya pada Ify. Menjauhkan tubuh Ify agar bisa melihat wajah cantik itu. Dalam penglihatannya, Ify tersenyum manis. Terlihat indah dan menghangatkan hati. Gemas, dia menangkup pipi Ify. Mendekatkan muka, dan menoel-noelkan hidungnya pada hidung bangir Ify.
“Ada apa sih di balik adik Ify ini bilang gitu ke kakak Rio? Mau minta dibeliin sesuatu ya?”
Senyum yang ia pertahankan hanya untuk Rio seorang, kandas. Terganti dengan bibir maju beberapa centi. Menggembungkan pipi. Mood bicara jatuh, rasa kesalnya tersalurkan melalui pukulan-pukulan ringin di dada lebar Rio. Bikin tambah kesal, si Rio malah tertawa. Barang sebentar, lalu menghujaninya dengan kecupan-kecupan lembut di sekitar kedua pipinya yang ia gembulin. Membuat dia geli dan kupu-kupu mungil kasat mata itu mulai bermain nakal di sekitar perutnya. Dia menghentikan kelakuan Rio dengan menahan wajah cowok itu agar menjaga jarak dengannya. Senyum manisnya muncul lagi. Entah ada apa dengan malam ini, yang pasti dia terdorong untuk bersikap manis pada Rio. Semacam membalas perbuatan baik nan sweet meskipun rada’ ngeselin cowok tampan berstatus suaminya ini.
“Adik Alyssa cinta Kakak Mario karena Allah.” ucap Ify lagi dengan versi berbeda dari sebelumnya.
Benar-benar tak tahan, Rio meraih remote di sebelahnya. Menekan tombol off. Percuma menonton tapi fokusnya bubar. Gak dapat apa-apa. Tanpa pemberitahuan, dia menggendong tubuh mungil itu ala bridal style. Membawanya ke kamar mereka. Dia harus tidur jika tak ingin naluriah cowoknya yang ia tekan habis-habisan hingga 4-5 tahun mendatang baru bisa berlaku untuk Ify –hanya Ify-, muncul tiba-tiba. Dalam gendongannya, Ify tak memberontak. Aneh. Malah menatapnya lembut dengan senyum lebih pada cengiran mengarah padanya. Makin aneh. Dia kecup bibir bawah gadis itu sebelum membuka pintu kamar.
Ify berteriak senang dalam hati. Ancaman hukuman yang disampaikan Rio di halaman tadi sepertinya dilupakan. Dia terbebas dari rasa khawatir memikirkan hukuman yang diberikan oleh Rio. Pemuda hitam manis itu kan tak pernah bermain-main dengan ucapannya. Pasti dipraktekkan. Seperti saat dia membuat kesalahan dulu. Hukumannya memang jauh dari kata kejam, cuma sukses bikin dia olahraga jatung. Oleh karena itu dia semakin memanfaatkan kondisi ini sebaik dan semaksimal mungkin. Tapi, sungguh dari hati dia mengucapkan kalimat sayang itu pada Rio, walaupun ada keselip maksud lain di dalamnya.
“Jangan lepas.” pintanya saat Rio meraih telapak tangannya yang bertautan di tengkuk pemuda itu.
Meskipun masih bingung dengan sikap Ify yang mendadak manja tak ada angin tak ada hujan begini, dia tetap menuruti permintaan itu. Mengangkat kembali tubuh Ify yang baru saja ia baringkan untuk lebih menjorok ke sebelah kanan ranjang agar dia bisa turut merebahkan diri langsung tanpa melepas pelukan Ify di lehernya. Biasanya, dia yang mendekat pada Ify, sekarang gadis itu terlebih dulu memepetkan diri pada tubuhnya. Lagi-lagi makin aneh. Oke! Jujur dia suka perubahan ini, tapi cukup bikin cemas. Langsung teringat cerita teman-temannya yang mempunyai sosok berarti dalam hidup tiba-tiba bertingkah aneh, dan ternyata besoknya meninggal. Astaghfirullah…
“Kakak kenapa geleng-geleng kepala?”
Rio tersadar. Dia tertunduk membalas tatapan Ify. “Kamu sehat kan? Kamu dalam kondisi ora popo kan?”
Ify manyun, “Ya Allah… Ify sehat walafiat Kakak. Gimana sih? Ify nolak, Kak Rio kesal. Ify ngerespon, Kak Rionya malah gini.” gerutunya.
Sebelum niatan melepas ikatan di leher itu, Rio lebih dulu menghalau dengan langsung memeluk pinggangnya. Sesuatu menyentuh puncak kepalanya bertubi-tubi. Lagi-lagi Rio menghujaninya dengan kecupan-kecupan ringin. Errr… bikin perut geli.
“Adik Alyssa sayang Kakak Mario karena Allah.” Dia mengulangnya lagi.
“Iya Sayang, iya. Asal jangan sampai kebalik ya.” ucap Rio menjawab ungkapan Ify.
Dalam pelukannya dia merasa Ify memberontak ringan. Dia melonggarkan pelukan di pinggang Ify. Memberi ruang antara dia dan Ify.
“Kebalik gimana Kak?” tanya Ify memundurkan wajah sejengkal karena masih terlalu dekat dengannya. Begini pun, hidungnya masih bersentuhan dengan dagu Rio.
“Kebalik jadi Adik Alyssa sayang Allah karena Kakak Mario. Awas aja sampai itu terjadi!”
Ify diam sesaat. Mengulang kembali kalimat yang dimaksud kebalik oleh Rio. Sayang Allah karena kakak Mario.
“Astaghfirullahaladzim. Naudzubillahiminzalik.” Ucapnya menyebut setelah benar-benar sadar.
Rio mendiamkan Ify yang masih berkali-kali beristighfar. Ibu jarinya mengusap lembut pipi Ify menenangkan.
“Tegur keras Ify ya Kak kalau sampai Ify begitu.” pinta Ify dengan wajah penuh kekhawatiran.
Oke saat ini dia tidak seperti kalimat kebalik tersebut. Namun ke depannya siapa yang tahu kan? The power of love jika tidak dikendalikan dengan benar bisa-bisa menyebabkan buta. Bisa-bisa sampai menutup mata terhadap si pembuat cinta, Allah. Jadinya ya gitu, Aku Cinta Allah Karena Kamu. Astaghfirullah…
Kekhawatirannya bertambah saat mengingat bagaimana perilaku teman-teman wanitanya yang in relationship sama lawan jenis. Tak sedikit dari mereka baru melaksanakan sholat 5 waktu setelah mendapat pesan dari sang pacar.Itu salah satu bentuk kongkrit bukan? Beribadah menunggu diperhatikan pacar.
“Aku gak akan melakukan teguran. Sebisa mungkin kku akan lebih dulu mencegah hal itu, Dear. Teguran itu salah satu bentuk pengobatan. Seperti yang kita, mencegah itu lebih baik dari pada mengobati.” tuturnya lemah lembut dengan nada tegas yang nyata. Tangannya masih bermain-main dengan pipi Ify. Enggan untuk beranjak.
“Ify milik Kakak.” lirih Ify.
Dia hanya tersenyum. Memperbaiki posisi kepala Ify lebih nyaman di atas lengan kirinya. Gadis itu bereaksi semakin menyembunyikan wajah di dadanya. Jemari lentik itu mengetuk-ngetuk secara berirama di sana.
“Kamu pilih siapa nanti?” tanyanya mengalihkan topik setelah cukup hening.
“Maksud Kakak?”
“Presiden.” Jelasnya.
“Oh itu. Gak tahu, lihat ntar pas udah di TPS.” jawab Ify sekenanya. Gak bohong dia memang bingung.
“Kok gitu? Ini penting loh Dear.”
Ify berhenti mentoel-toel dada Rio dengan jarinya. “Iya sih. Cuma bagi Ify, siapa pun bapak negaranya, selama Ify masih bareng Kak Rio, gak ngaruh apa-apa. Baru kalau Kak Rio capresnya, itu ngaruh. Ify pasti bakalan dicuekin sama hal-hal yang berbau politik itu. Cukup sama berkas-berkas perusahaan aja perhatian kakak ke Ify terbagi.” celotehnya tak jelas.
Dia sendiri tak tahu kenapa sampai itu yang keluar. Masalah politik dia NOL BESAR. Cuma tahu Pak Wi itu gubernur kota kelahirannya, dan Pak Wo mantan perwira. Udah itu saja. Cukup. Kalau dilihat dari wajah sih, Pak Wi sejenis sama Rio. Muka sabar tapi dalamnya tegas. Kayaknya sih. Dia kan bukan psikolog. Nah kalau Pak Wo, tegasnya terlihat langsung. Entah dia pilih siapa. Pilih Kak Rio aja deh yang menuntunnya ke masa depan cerah. EHEM BANGET DEH FY-_-
“Gak nyambung banget sihhh.” gemas Rio mencubit hidung bangir Ify.
“Biarin. Kakak sendiri pilih siapa?” tanyanya tanpa melihat Rio. Dada pemuda itu lebih asik untuk dipandangi.
“Rahasia.”
Ify melotot, “Loh kok gitu? Antara suami-istri itu harus terbuka loh Kak. Gak boleh rahasia-rahasiaan. Tadi kakak tanya sama Ify, Ify jawab.”
“Hahaha… Kok emosi?” Tawa kecil Rio. Ibu jari dan telunjuk kanannya bekerja sama menggoyang-goyangkan pipi kanan Ify. Gemas.
“Ya abisnya Ka---”
“Aku juga gak tahu pilih siapa. Kamu sih godain aku tadi. Aku sampai ninggalin debat terakhir itu jadinya kan.”
Ify nyengir, “Hehehe… Abisnya Ify gak ngerti mereka ngomong apa. Males jadinya.”
Itu alasan yang ia beri tahu pada Rio. Prosentase bohongnya 95,99%. Gak lucu kan kalau dia mengutarakan alasan sebenarnya. Bisa-bisa Rio ingat lagi sama hukuman yang akan diberikan padanya. Dia menguap. Menutupnya dengan dada Rio. Lalu menggeliat sebentar makin mempewekan(?) diri dalam pelukan Rio. Tangannya beralih menuju pinggang Rio. Memeluknya erat.
“Ify bobok ya Kak.” izinnya langsung memejamkan mata. Padahal tadi gak ngantuk akut seperti ini. Parah nih, badan Rio bikin ngantuk.
“Doa dulu.” cegah Rio menarik wajah Ify dari persembunyiannya.
Mata Ify mengerjap-ngerjap, “Udah…”
Tak lama suara dengkuran halus terdengar. Dia menggeleng-gelengkan kepala akan kecepatan terlelapnya Ify. Lalu menjulurkan tangan mengambil ponsel canggihnya yang ada di tepi nakas. Sambil menjaga Ify agar tidak merasa terganggu, dia membuka email. Sebelum buka tadi Papa mengirim file untuk segera ia pelajari, sekaligus mengambil materi yang dikirimkan oleh teman sekelasnya. Menghabiskan energi mata tersisa.
***
Ify terlebih dahulu menuju mobil setelah melakukan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia berusia 17 tahun. Hari rabu tepat tanggal 9 juli, Indonesia mengadakan pesta rakyat yang tergelar setiap 5 tahun sekali. Sepanjang perjalanan menuju mobil, hingga berada di dalam mobil, tak henti-hentinya dia menggerutu. Ruangan selebar halaman depan rumahnya itu berisi orang-orang yang membuatnya gedhek. Pertama. Saat dia memasuki ruangan dengan digiring Rio, seorang gadis yang dulu pernah diselamatkan oleh Rio dari copet memisahkan tautan tangan mereka. Gadis itu izin meminjam Rio untuk menghilangkan dilemma akan pilih siapa nanti di dalam kotak TPS. Penting gak sih? Dia aja yang baru dapat wangsit akan pilih siapa saat melihat foto kedua kandidat di kertas pemungutan suara, biasa aja.
Kedua. Terlepasnya dia dari Rio menimbulkan kebete’an berkelajutan. Saat dia menghampiri tempat pengambilan kertas pemungutan ketika namanya terpanggil, sosok yang  mendapat tugas memantau jalannya pesta rakyat di wilayahnya ini mencegah. Meragukan dia memenuhi syarat usia sebagai peserta pesta rakyat. Dengan sewot, dia menegaskan bahwa dia sudah berusia 17 tahun lebih. Eh ternyata, si bapaknya cuma bercanda. Puasa-puasa juga, dibikin sewot.
Ketiga. Sebelum Ify menjabarkan faktor terakhir yang membuatnya kesal setelah keluar dari ruangan itu, pintu mobil bagian pengemudi terbuka. Rio. Pemuda itu masuk setelah membalas pamitan si gadis tengil tadi. Setelah memastikan pintu mobil tertutup rapat, Rio mengambil kunci di saku kemeja. Mengaktifkan kembali kerja mesin mobil. Sambil menjalankan perlahan kendaraan roda empat itu, dia menoleh pada Ify yang kondisi bibirnya makin maju. Gadisnya ngambek sama petugas di TPS tadi. Ada-ada saja.
“Makanya kalau dibilangin itu nurut. Aku kan udah bilang, rambutnya dikuncir satu aja. Kamu sih ngeyel mau kuncir 2 segala.” ucapnya.
“Ishh… Ify kan udah lama gak dikuncir 2 Kak. Mana Ify tahu gara-gara Ify kuncir 2 begini disangka anak SMP. Lagian gak lihat body Ify kali ya si Pak Tua itu.” gerutu Ify.
Rio terkekeh, “Kamu tuh ya. Errr… bikin gemas mulu. Untung puasa. Kamu jadi orang sok tinggi gitu. Kamu sama si Oca anaknya Pak Yudi yang nunggu di depan tadi masih kalah tinggi. Padahal dia masih kelas 1 SMP.”
Ify menoleh cepat, “Ya ampun, kalau itu mah jangan bandingin Ify sama Oca, Kak. Kak Rio aja kalah tinggi sama dia. Dia itu korban kemunculan gen resesif Pak Yudi sama Bu Yudi. Kakak lihat kan orang tuanya pada gak tinggi, eh dianya malah tinggi sendiri.”
“Udah ah.. kenapa jadi ngomongin orang. Kamu mau kemana?” tanya Rio dengan pandangan fokus ke depan. Jalanan terihat lumayan sepi.
“Mau beli baju buat lebaran?” lanjutnya tak mendapat jawaban Ify.
“Boleh. Sekaligus kita beli bahan-bahan bikin parsel yuk Kak. Tiap tahun keluarga Ify suka bagi-bagi parsel gitu.”
Rio menoleh sekilas, tersenyum. “Aku mau ngajak, udah keduluan kamu. Beli jadinya aja ya.”
Ify menggeleng tegas. “Gak mau. Ify kan pingin ngehias sendiri.”
“Emang bisa?” tanya Rio dengan nada meremehkan.
“Bisa donk. Tiap tahunnya Ify kan bikin parsel. Gak pernah beli jadinya langsung.” jawabnya kesal.
“Percaya deh percaya.”
Ify makin dibuat geregetan sama Rio,”Ishhh Kakak. Kok kayaknya gak percaya gitu. Tangan Ify itu ajaib tauk kalau disuruh bikin parsel. Ramadhan kemarin, bahkan Ify semua yang hias. Kakak sih waktu itu gak ada kabar. Gak ada ke rumah sama sekali.”
Ganti Rio yang melotot. “Kamu kan tahu tahun kemarin itu aku sibuk persiapan melamar kamu, Sayang. Jadi sengaja gak komunikasi sama kamu.”
“Hehehe… ya udah, pokoknya parselnya bikin sendiri ya Kak.” pinta Ify dengan nada manja.
“Iya.”
“YEY…” serunya mendapat setuju dari Rio.
Dia bangkit dari duduknya dengan menumpu tangan di bahu Rio. Baru akan mendekati wajah Rio, dia diam. Ada yang salah. Dia balik duduk lagi. Menunduk dalam. Puasa. Mengecup suami walaupun di pipi diusahakan tidak dilakukan dalam keadaan puasa. Dia manusia biasa, syahwat kemana-mana. Rio tak bisa menahan tawanya melihat kelakuan Ify. Gemas, dia mengacak-ngacak poni miring gadis yang mengalihkan perhatian pada jalanan itu. Dia tahu Ify akan mengecup pipinya sebagai tanda terima kasih telah menuruti permintaannya.
“Ntar malem aja ya tanda terima kasihnya.”
MPOSSS… makan tuh malu Fy. 
***
“Ya Allah… gak mau lagi deh Ify ke Mall pertengahan ramadhan begini. Ujian!” keluh Ify setelah membuka pintu utama dan melangkah lebar menuju sofa keluarga.
Di belakangnya, Rio menenteng tiga kresek besar sekaligus berisi bahan-bahan parsel. Tertinggal keranjang untuk tempat parsel dan plastik hias untuk membungkus, di garasi mobil. Ify yang sudah merebahkan diri di sofa, menepuk jidat melihat Rio bergerak-gerak berusaha menyingkirkan gorden yang memisah ruang keluarga dan ruang tamu. Segera dia mengambil alih satu kresek yang terlihat paling enteng dari tangan kanan Rio.
“Mau kemana Kak?” tanyanya melihat Rio akan berlalu.
“Keranjang sama plastiknya masih di mobil.” jawab Rio.
“Duduk dulu deh Kak. Istirahat. Biar ntar Ify yang ambil.” cegah Ify.
Rio menurut. Dia juga capek. Berputar-putar mengitari mall yang manusianya bejibun. Hampir saja dia kehilangan jejak Ify saat di daerah kasir. Belum lagi membawa hasil buruan mereka. Untung saja Ify mengurungkan niat membeli baju. Dari awal Ify memang tidak terlalu antusias. Biar membeli di Ol Shop saja katanya. Dia bersandar nyaman diikuti Ify. Matany terpaku melihat jam dinding yang saat itu pas lurus di hadapannya. Setengah dua belas. Gila. Jadi selama 3 jam setengah dia berada di dalam mall. Benar kata Ify, gak lagi datang ke mall di pertengahan ramadhan. Cobaan…!
“Ify heran deh lihat orang-orang di Mall itu. Baju baru penting banget ya Kak? Perasaan gak harus kan? Udah ada lagunya juga.” tanya Ify sambil memain-mainkan ponselnya.
Baru saja ia membuka akun instagramnya. Mengirim foto selfie setelah melakukan praktek demokrasi bersama Rio di dalam mobil mereka. Langsung saja beberapa teman-temannya mengirim coment. Sebagian mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Mungkin sebagian itu baru tahu dia dan Rio menikah. Coment-an yang mengundang perhatian sekarang yaitu diorder yuk sist! Iseng dia membuka akun salah satu Ol Shop itu. Keantusiasannya untuk membeli baju buat lebaran seperti tahun kemarin. Biasa. Kan baju-baju yang dulu masih ada. Tapi kalau ada yang tertarik, boleh lah ya dibeli.
“Yang kamu tanyakan ini sejenis dengan kamu tanya soal makan manis-manis saat berbuka itu. Jadi jawabannya sama, baju baru saat lebaran itu persepsi masyarakat. Sudah menjadi sunnah nabi, beliau mengenakan pakaian paling bagus yang beliau punta pada hari raya, baik idul fitri maupun idul adha. Hal itu juga dilakukan para sahabatnya. Cuma di sini masalahnya, masyarakat salah kaprah mengenai pakaian paling bagus itu adalah pakaian yang baru dibeli. Padahal gak harus beli. Nah ini nih yang sampai sekarang jadi kebiasaan. Membeli baju baru itu jadi hal penting dilakukan menjelang lebaran.” jelas Rio dengan mata terpejam.
Ify mengangguk-anggukan kepala, “Jadi orang-orang pada nyimpulin sendiri ya Kak? Hihihi… lucu ya. Ify juga lucu, kan Ify sempat buat keputusan beli baju baru tiap lebaran waktu masih SD dulu itu wajib. Baru pas SMP udah biasa aja. Minat ya beli, gak minat, pake’ yang udah dibeli.”
Ify kalau sudah seperti ini membuat Rio susah menahan diri untuk tidak ngapa-ngapain gadis itu. Jadinya dia memilih mencubit singkat kedua pipi dan hidung bangir Ify sebelum beranjak menuju lantai satu. Badannya gerah, minta diguyur.
“Setelah ambil barang-barang yang di mobil, langsung mandi terus sholat. Aku tunggu di kamar.” ucapnya sebelum benar-benar menaiki anak tangga pertama.
“Oke!” balasnya langsung ikut beranjak dari sofa.
Berlari kecil keluar rumah. Mengambil keranjang parsel dan pembungkusnya di garasi mobil. Sebelum kembali ke ruang keluarga, dia mengunci pintu utama. Lalu mengumpulkan wadah parsel itu bersama isi-isinya. Dia menarik lebih dekat mereka-mereka agar kekerabatannya menguat. Apaan sih!
“Baik-baik ya… ntar sore Ify permak kalian. Dahhh.”
***
Sesuai janjinya pada benda-benda mati itu, saat ini Ify tengah bergelut dengan beberapa macam makanan yang sukses bikin dia nelan ludah. Terlebih yang mengandung coklat. Mulutnya terus bergerak mengeluarkan kata-kata menerangkan untuk sosok yang di sampingnya. Rio. Tapi sepertinya Rio sendiri terpusat pada tabletnya. Tinggal sentuhan terakhir Ify menyelesaikan parsel pertama dengan menyisipkan bunga yang dia buat dari pita.
“TARR--- Eh”
Tak jadi dia berteriak senang saat memergoki Rio yang sama sekali tak memandangnya. Ify mendengus. Menyandarkan punggung dengan kasar pada kepala sofa. Melipat tangan depan dada. Sadar tak ada suara, Rio menurunkan gadgetnya. Langsung menangkap hasil kombinasi celotehan dan gerakan tangan Ify. Dia menaruh gadget itu di samping parsel yang memang benar-benar terlihat berbeda dengan yang terpajang di toko-toko. Simple tapi kece. Matanya berbinar menyentuh bagian bawah parsel. Membawanya ke pangkuan.
“Baru sadar kalau Ify udah selesai? Kemana aja tadi?”
Suara Ify yang terdengar ketus menyadarkan keterpesonaannya akan hasil karya tangan ajaib pemilik suara. Dia menahan senyum memandang wajah Ify yang tertekuk. Sadar akan kesalahannya. Memang dia meminta Ify selagi menghias, berkoar-koar setiap gerakan tangannya. Semacam demo tutorial bikin parsel gitu. Tapi perhatiannya malah terpusat pada gadget. Awalnya memang memperhatikan, cuma mengabadikan setiap gerakan Ify membuat parsel berujung dengan mengutak-atik file pekerjaannya lebih penting untuk dilakukan.
“Kok sensi sih? Mau kedatangan ya?” godanya sambil mencubit hidung bangir Ify.
“Nggak kok Kak. Kan udah bulan ini Ify kedatangan.” Ify menanggapi serius.
Rio menaruh parsel itu kembali ke tempat semula sebelum tertawa melihat perubahan ekspresi wajah Ify yang tadinya kesal jadi polos-polos oon. Ya ampun Rio. Masak istri sendiri dikatain oon? Rio menghentikan dengan paksa tertawanya memandang Ify masih menatapnya serius. Berdeham. Mengambil lagi parsel itu. Meletakkan di antara dia dan Ify.
“Ini bagus banget, Sayang. Aku gak nyangka kamu bisa bikin kayak gini.” pujinya setengah-setengah mengundang dengusan Ify.
“Kakak gimana sih? Katanya sudah cukup 2 tahun mengenal Ify. Masak Ify jago bikin beginian Kakak gak tahu.” gerutu Ify dengan wajah tertekuk.
“Aku tahu kok, cuma rada’ ragu kalau gak lihat secara langsung. Ternyata jago banget ya.” ujar Rio.
Senyum Ify mengembang. Rio menghadiahinya dengan usapan di sekitar ubun-ubun. Dia mengangkat perlahan takut dandanan parselnya rusak. Menggeser tubuh lebih dekat dengan Rio. Memangku parsel setelah meraih smartphonenya yang ada di atas meja. Menyodorkannya pada Rio.
“Foto yuk Kak. Langsung upload intagram.” ajaknya yang langsung diiyakan.
Rio lebih menggeser lagi duduknya. Tangan kirinya merangkul bahu Ify. Mengangsurkan benda mungil itu kembali pada Ify.
“Aku gak bisa. Kamu aja.” ujarnya.
Ify mengangguk. Dia lupa disini yang jago selfie itu dia. Sambil mengarahkan benda canggih itu, dia memberi aba-aba.
“Satu… dua… tiga.”
Masih dengan posisi dekat satu sama lain, Ify memeriksa hasil jepretannya. Bagus. Senyumnya sama Rio mirip. Di sampingnya, Rio turut melihat hasil foto bersama mereka. Makin ganteng aja dia. Walaupun kalah hidung sama Ify, tetap aja pesonanya tak terkalahkan. Ify mulai membuka akun instagramnya. Dia terus memperhatikan. Terlihat Ify bingung menggunakan kalimat seperti apa mendeskripsikan foto mereka.
“Tulis aja, diorder yuk sist.” celetuknya. Keduanya tertawa.
***


1 komentar: