Selasa, 29 Juli 2014

NIKAH DINI? WHY NOT? SPECIAL RAMADHAN BAGIAN AKHIR


Sesuai janjinya pada benda-benda mati itu, saat ini Ify tengah bergelut dengan beberapa macam makanan yang sukses bikin dia nelan ludah. Terlebih yang mengandung coklat. Mulutnya terus bergerak mengeluarkan kata-kata menerangkan untuk sosok yang di sampingnya. Rio. Tapi sepertinya Rio sendiri terpusat pada tabletnya. Tinggal sentuhan terakhir Ify menyelesaikan parsel pertama dengan menyisipkan bunga yang dia buat dari pita.
“TARR--- Eh”
Tak jadi dia berteriak senang saat memergoki Rio yang sama sekali tak memandangnya. Ify mendengus. Menyandarkan punggung dengan kasar pada kepala sofa. Melipat tangan depan dada. Sadar tak ada suara, Rio menurunkan gadgetnya. Langsung menangkap hasil kombinasi celotehan dan gerakan tangan Ify. Dia menaruh gadget itu di samping parsel yang memang benar-benar terlihat berbeda dengan yang terpajang di toko-toko. Simple tapi kece. Matanya berbinar menyentuh bagian bawah parsel. Membawanya ke pangkuan.
“Baru sadar kalau Ify udah selesai? Kemana aja tadi?”
Suara Ify yang terdengar ketus menyadarkan keterpesonaannya akan hasil karya tangan ajaib pemilik suara. Dia menahan senyum memandang wajah Ify yang tertekuk. Sadar akan kesalahannya. Memang dia meminta Ify selagi menghias, berkoar-koar setiap gerakan tangannya. Semacam demo tutorial bikin parsel gitu. Tapi perhatiannya malah terpusat pada gadget. Awalnya memang memperhatikan, cuma mengabadikan setiap gerakan Ify membuat parsel berujung dengan mengutak-atik file pekerjaannya lebih penting untuk dilakukan.
“Kok sensi sih? Mau kedatangan ya?” godanya sambil mencubit hidung bangir Ify.
“Nggak kok Kak. Kan udah bulan ini Ify kedatangan.” Ify menanggapi serius.
Rio menaruh parsel itu kembali ke tempat semula sebelum tertawa melihat perubahan ekspresi wajah Ify yang tadinya kesal jadi polos-polos oon. Ya ampun Rio. Masak istri sendiri dikatain oon? Rio menghentikan dengan paksa tertawanya memandang Ify masih menatapnya serius. Berdeham. Mengambil lagi parsel itu. Meletakkan di antara dia dan Ify.
“Ini bagus banget, Sayang. Aku gak nyangka kamu bisa bikin kayak gini.” pujinya setengah-setengah mengundang dengusan Ify.
“Kakak gimana sih? Katanya sudah cukup 2 tahun mengenal Ify. Masak Ify jago bikin beginian Kakak gak tahu.” gerutu Ify dengan wajah tertekuk.
“Aku tahu kok, cuma rada’ ragu kalau gak lihat secara langsung. Ternyata jago banget ya.” ujar Rio.
Senyum Ify mengembang. Rio menghadiahinya dengan usapan di sekitar ubun-ubun. Dia mengangkat perlahan takut dandanan parselnya rusak. Menggeser tubuh lebih dekat dengan Rio. Memangku parsel setelah meraih smartphonenya yang ada di atas meja. Menyodorkannya pada Rio.
“Foto yuk Kak. Langsung upload intagram.” ajaknya yang langsung diiyakan.
Rio lebih menggeser lagi duduknya. Tangan kirinya merangkul bahu Ify. Mengangsurkan benda mungil itu kembali pada Ify.
“Aku gak bisa. Kamu aja.” ujarnya.
Ify mengangguk. Dia lupa disini yang jago selfie itu dia. Sambil mengarahkan benda canggih itu, dia memberi aba-aba.
“Satu… dua… tiga.”
Masih dengan posisi dekat satu sama lain, Ify memeriksa hasil jepretannya. Bagus. Senyumnya sama Rio mirip. Di sampingnya, Rio turut melihat hasil foto bersama mereka. Makin ganteng aja dia. Walaupun kalah hidung sama Ify, tetap aja pesonanya tak terkalahkan. Ify mulai membuka akun instagramnya. Dia terus memperhatikan. Terlihat Ify bingung menggunakan kalimat seperti apa mendeskripsikan foto mereka.
“Tulis aja, diorder yuk sist.” celetuknya. Keduanya tertawa.
***
Geleng-geleng kepala Rio melihat istri mungilnya menaiki tangga menuju kamar mereka dengan buru-buru. Dia turut mengimbangi langkah cepat Ify. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat Ify sedikit ceroboh. Kan gak ada yang lucu kalau tiba-tiba perjalanan ke lantai 2 ada kejadian Ify jatuh tengkurap. Gadis itu membuka mukenah dan menaruhnya di sofa kecil tak jauh dari ranjang. Langsung merebahkan diri. Memeluk guling erat. Rio terkekeh. Menghampiri sofa, mengambil mukenah putih itu dan melipatnya. Meletakkan di tempat biasa beserta kopiah dan sarung yang ia kenakan. Baru saja mereka tiba dari masjid menunaikan ibadah sholat shubuh.
Dia mendekat ke sisi kanan ranjang di mana Ify berbaring. Berhenti dan jongkok di depan wajah yang cantiknya tak habis-habis itu. Mengusapnya dengan punggung telapak kanannya. Menyusuri setiap inchi kulit wajah Ify. Makin memperjelas senyumnya saat mata yang baru terpejam itu membuka. Reflek Ify memundurkan kepala, sadar jarak wajahnya dan Rio terlalu dekat. Setengah jengkal sepertinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata. Rasa kantuk sejak berangkat ke masjid hingga kembali ke rumah lagi, makin menjadi.
“Katanya mau ikut bikin kue?” tanya Rio yang kini sudah mengusap pipinya.
“Ngantuk. Tapi mau ikuttt…” jawabnya merengek.
Kemarin Rio bilang akan membuat kue lebaran yang setengah bulat terus di atasnya ada keju. Nastar ya namanya kalau gak salah? Ify lupa, soalnya tahun-tahun sebelumnya saat dia masih menjadi sosok lain yang tak mau repot-repot menanggapi isi dunia –hanya terpaku pada dirinya sendiri- dia tak ikut campur masalah persiapan lebaran. Tiba-tiba sudah ada beberapa toples di atas meja ruang tamu. Macam-macam makanan tersaji dan kalau tak salah mama membeli jadinya. Maka dari itu saat Rio mengajak bikin kue, dia heboh. Bayangkan seorang cowok bisa buat kue. Tapi kalau cowoknya seperti Rio yang dalam hal masak-memasak masuk kategori jago, sepertinya bukan hal yang sulit membuat kue. Duhh… makin kalah telak dia sama Rio. Mending gak tahu sekalian deh soal kelebihan Rio di bidang yang seharusnya dikuasai kaum hawa itu. Jadi minder.
“Lain kali gak usah nemenin aku kerja. Jadi ngantuk gini kan sekarang?”
Ify hanya bisa mengangguk. Semalam dia memaksakan diri untuk menemani Rio mengerjakan tugasnya sebagai general manager di cabang perusahaan mertuanya itu. Itu masih sebagai general manager yang harus dikerjakan lumayan banyak. Di tambah tugas kuliah Rio yang ia prediksikan pasti keteteran. Tapi ternyata nggak. Dia lupa kalau otak Rio makin ke sini ajaibnya melebihi otaknya sendiri. Tak perlu banyak waktu bagi pemuda itu menuntaskan kewajibannya sebagai mahasiswa jurusan managemen bisnis. Niatnya untuk masuk jurusan yang berbau IPA diurungkan. Rio bilang otaknya lebih bersahabat pada apa yang digelutinya sekarang. Cukup masa SMA saja IPA menjadi sahabat sejati.
“Kamu tidur la---”
Ify menarik lengan Rio. Berusaha duduk. SHIT! Ngantuknya belum bisa hilang.
“Tapi Ify pengen bikin juga.” rengeknya sambil menyandarkan kepala di lengan bawah Rio yang ia cengkram. Pemuda itu sudah berdiri dari posisi jongkoknya.
Rio menarik pelan lengannya. Memindahkan kepala Ify ke perutnya. Mengusap puncak kepala Ify berulang.
“Ya udah. Ntar kita buat kuenya jam 9.” putusnya.
“Tapi kan Kakak katanya mau ke kantor jam segitu.” sanggah Ify mengingat rencana Rio.
Tangannya mengucek-ngucek mata agar kantuknya hilang. Tak berhasil, apalagi dia bersandar pada Rio. Dia sudah pernah bilang kan kalau tubuh Rio itu bikin ngantuk. Termasuk perut ratanya ini. Susah payah dia menegakkan kepalanya. Menjauhkan kepalanya dari bagian tubuh Rio. Mendongak.
Rio tersenyum memandang wajah Ify yang lusuh. Benar-benar butuh tidur. Matanya sayu memerah sedikit. Lain kali ia akan melarang keras walaupun Ify merayunya dengan cara yang benar-benar menguji iman. Bayangkan, Ify meminta izin untuk menemaninya dengan merengek-rengek. Bukan itu yang bikin masalah. Masalahnya gadis itu merengek di atas pangkuannya yang lagi duduk di kursi kejayaan. Menangkup pipinya dan menoel-noelkan hidung bangir itu padanya. Mengancam tidak akan menghentikan tingkahnya itu sebelum dia mengizinkan. Dia juga gitu semalam, pertahanan hasrat lelakinya lemah. Jadi tak bisa lama-lama membiarkan Ify melancarkan aksi tersebut terus menerus jika  tak ingin sesuatu di luar kehendak, terjadi. Ya walaupun sudah nikah, tapi kan dia punya tekad bahwa untuk sekarang hingga gadis itu kelar kuliah, ia tidak akan meminta/menagih kepemilikannya.
“Biar nanti aku minta tolong Nesa mengantar berkasnya. Aku kerjain di sini.” tutur Rio.
“Sekarang, kamu tidur lagi. Nanti aku bangunin.” lanjutnya sambil membaringkan tubuh Ify. Menaikkan kembali selimut yang tersingkap tadi. Dia mewajarkan Ify yang seperti ini mengingat jam tidur Ify biasanya paling lambat jam 10 malam, kemarin baru tidur lewat tengah malam.
Ify mengangguk. Memeluk guling berlapis kain dengan motif sama seperti ranjang, setelah mengecup punggung telapak Rio sebagai pamitan. Dia masih merasakan laki-laki itu mengusap kepalanya. Rio baru melepas sentuhan di rambut hitam pekat Ify saat mendengar dengkuran halus. Dia beranjak dari tepi ranjang. Meraih ponselnya yang berada di meja rias. Menghubungi sekretarisnya.
***
CKLEEKK…
Bunyi pintu ruangan dibuka menghentikannya menatap serius lembaran-lembaran yang dikirim oleh sekretarisnya beberapa jam lalu dan laptop secara bergantian. Ify muncul dengan baju rumah terusan lengan pendek bergambar unicorn. Rambut digulung ke atas sehingga memamerkan leher jenjangnya yang mulus. Terlihat segar dan makin cantik tentunya. Bibir merah tanpa pewarna bibir itu membetuk lengkungan. Mau tak mau dia ikut tersenyum. Bola matanya mengikuti tiap gerakan Ify hingga duduk di hadapannya dengan tangan terlipat di atas meja.
“Ayo Kak kita bikin kue.” ajak gadis itu dengan mata berbinar memandangnya.
Dia menjawil hidung bangir Ify. “Bentar ya.” ujarnya lalu kembali fokus pada kertas-kertas dan laptopnya.
Ify mengangguk. Masih tak beranjak dari kursi, dia memandang sekeliling ruang kerja Rio. Foto pernikahan mereka terpajang mulai dari dekat pintu hingga dekat jendela dengan pengaturan yang tidak terkesan rusuh. Dia beralih pada meja kerja Rio. Ada satu pigura dengan foto mereka saat masih SMA. Kalau tak salah saat mereka berlibur ke puncak bersama yang lain di hari setelah pengumuman kelulusan. Dia masih ingat, Alvin yang mengabadikan momentnya bersama Rio saat bermain-main di persawahan dekat Villa milik orang tua Cakka itu. Dia jadi senyum-senyum sendiri mengingat liburan beberapa bulan lalu sebelum menikah. Sayang sekali Zahra tak bisa ikut, yang memberi efek pada Gabriel sering diabaikan. Bukan diabaikan sih sebenarnya, cuma pemuda itu sendiri yang mengasingkan diri tiap mereka sudah berdekatan dengan pasangan masing-masing. Jadi kangen Gabriel, kakak ketiga setelah Septian dan Alvin. Kakak mainan tapi serius. Beda bapak beda ibu.
“Nanti kalau sama-sama punya waktu libur panjang, kita ke sana lagi.”
Senyum Ify mengembang. Dia mengalihkan perhatian lagi pada Rio yang sudah meletakkan dengan rapi kertas-kertas putih penuh tulisan itu di atas laptop. Bangkit dari kursi. Memutar meja mengambil posisi di belakangnya. Tangan kokoh itu mencengkram lembut pundaknya. Dia menengadah.
“Kakak tahu aja Ify habis ini bakalan minta ke sana lagi.”
Lagi, Rio menjawil hidung bangir itu. “I know you so so well, Dear.”
Ify pura-pura menghembuskan nafas lesu. “Kalau Ify bohong, berarti Kakak tahu donk?” gerutunya.
Rio tertawa. “Depend on your doing, Dear. Tapi kebanyakan tahunya. Kenapa? Mau ada niatan bohong ya? Gak usah macam-macam!”
Ify manyun. Ujung-ujungnya ngancem. ‘Gak usah macam-macam’ itu kalimat sakral kayaknya. Dia suka ngeri kalau Rio sudah melontarkan kalimat itu.
“Nggak kok. Kata Pak Mario Teguh waktu Ify stalking akunnya, cinta itu kejujuran. Bohong itu kan gak jujur. Jadi kalau bohong berarti itu bukan cinta. Ify kan cinta sama Kak Rio, ya pasti gak ada niatan bohong.” sanggah Ify dengan senyum lebar di akhir.
“Aku juga cinta kamu. Ya udah yuk bikin kue. Kelamaan di sini bikin puasa batal.” ucap Rio sambil melepas cengkramannya.
Ify mengangguk, terkekeh mengerti maksud ‘kelamaan di sini bikin puasa batal’. Dia langsung mendahului Rio yang masih mengambil remote AC. Menghentikan kerja mesin pendingin ruangan itu. Berlanjut mematikan lampu. Satu hal lagi kebiasaan yang sangat sederhana dan baik yang baru ia lakukan semenjak menikah. Mematikan lampu dan alat yang sudah tak digunakan lainnya yang berada di dalam ruangan selepas menggunakan ruangan tersebut. Hidup berhemat dan go green tentunya.
***
“Kurang berapa jam lagi gini terus Kak?”
Rio tertawa renyah mendengar gerutuan Ify yang kedua kalinya. Dia menuntaskan membersihkan loyang yang ia ambil di lemari paling ujung kanan dapur. Menumpuknya menjadi satu. Lalu menghampiri Ify di meja makan. Gadis itu tengah mengaduk adonan dengan mixer. Sebelumnya dia meraih nampan ukuran besar yang menampung tepung terigu, tepung maizena, vanilli, keju cheddar dan susu bubuk. Bahan-bahan itu akan menyusul 2 kuning telor, gula halus, dan mentega yang sudah terlebih dahulu dikocok dengan mixer. Rio duduk di samping kanan Ify.
“Baru juga 10 menit Fy.”
“Hehehe…”
Ify nyengir. Dia sengaja sih. Selain karena tangan udah ngerasa pegal, juga dia tak mau jauh-jauh dari Rio. Sial! Gak tahu aja si Ify, tiap Rio di dekat dia selama puasa ini dengan harus menahan diri untuk tidak menerkam wajah cantiknya, itu jadi ujian terberat Rio. Rio mengambil alih mixer dari tangan Ify. Mengangsurkan nampan itu ke hadapan Ify.
“Kamu tuang satu-satu.” perintah Rio sambil menggoyang-goyang mixer di tangannya.
“Semua kak? Gak kebaanyakan tepung segini? Ntar hambar kuenya.” tanya Ify melotot.
Rio terkekeh. Ternyata, lebih susah bikin kue bareng Ify dari pada Ray. Adik satu-satunya itu pernah minta tolong dia untuk diajarin buat kue. Katanya, teman wanita specialnya ulang tahun. Dia mau membuat wanita itu klepek-klepek saat tahu dia bisa masak. Dasar! Walaupun lebih susah, buat kue dengan Ify itu lebih seru. Jika bukan bulan puasa kayaknya lebih seru. Astaghfirullah Rio, pahala puasa loe kurang loh ntar!
“Itu udah sesuai takarannya, Sayang.” jawabnya geregetan.
Ify nyengir lagi. Dia langsung menuangkan 2 wadah bersisi tepung. Dia tak tahu tepung mana yang maizzena dan mana yang terigu. Tadi sudah dikasih tahu, tapi lupa. Lanjut wadah kecil yang isinya menguar aroma-aroma wangi kue. Ini vanilli. Iya, dia ingat. Kemudian susu bubuk dan keju cedar. Kalau dua itu dia hafal. Tiap hari ketemu.
“Terus setelah ini ngapain, Kak?”
Rio mendongak. “Kamu beneran gak pernah bikin kue?”
Ify menggeleng lemah.
“Lihat orang bikin kue?”
Ify makin menggeleng lemah. “Mama suka beli yang udah jadi.”
Rio menghela nafas. Lalu senyum lagi. Dengan tangan kirinya dia mengusap ubun-ubun Ify. Dia merasa beruntung tak mempunyai saudara perempuan. Jadinya kan dia yang diandalkan sang Bunda untuk membantu beliau di dapur. Kenapa bukan Ray? Selain karena cowok itu masih kecil saat itu, dan keaktifannya melebihi dia dalam bertingkah, artinya gak anteng. Jadi suka gak betah saat diajak buat kue lebaran yang kebanyakan duduk di kursi dengan memutar-mutar mixer.
Beruntungnya lagi dia punya istri yang NOL BESAR dalam hal ini. Ya semuanya harus disyukuri bukan? Harus terima orang yang kita cintai apa adanya dia, bukan? So, dia harus menjadikan kelemahan Ify sebagai sosok perempuan ini menjadi kelebihan. Seenggaknya bukan lagi sebuah kelemahan. Dia merasa bahagia saat berhasil mentransfer ilmu pada Ify, terlebih dalam hal masak-memasak. Kan lumayan dibuat langkah mempererat hubungan harmonis suami-istri.
“Kalau gitu, bulan ramadhan selanjutnya kita gak usah beli. Masih banyak resep kue lebaran selain kue nastar ini yang aku ingat.” ucapnya.
Sebenarnya dia dan Ify sudah membeli beberapa kue lebaran. Tinggal menuangkannya pada toples yang dibeli mereka sebelum bulan ramadhan tiba. Dia jadi ingat Ify yang terlewat heboh memilih-milih toples di toko perabotan rumah tangga. Gadis itu sampai tak sadar sudah memilih lebih dari 10 toples dengan bentuk yang unik-unik kalau tak cepat ia tegur. Tak tega melihat wajah Ify yang memelas karena harus melepas 2 toples yang kelebihan dari batas maksimal jumlah toples yang dibeli, akhirnya dia mengalah. Dia memborong semua toples pilihan Ify yang berjumlah 15 toples itu.
“Seriuss kak? Ya Allah… terima kasih sudah memberi hamba kesempatan menemani sosok pemuda dengan kelebihan yang bejibun ini.”
***
Merasa adonan cukup rata, Rio menyuruh Ify mematikan mixer. Setelah Ify berseru berterima kasih pada Allah karena mendapatkan dirinya sebagai suami, gadis itu dengan giat dan semangat membara mengambil alih mixer. Mengaduk-aduk adonan itu hingga rata. Benar-benar dia tak bisa menahan senyum. Bahagia tiap lihat Ify bertingkah seperti itu. Dia merasa berguna berada di sisi anak gadis Umari.
Oke Bro! Buat loe yang dapet pasangan manja, terus gak bisa masak. Gak usah ngeluh. Kalau cinta sih gak bakal ngeluh ya. Saran dari gue, buat hal yang gak seharusnya ada pada diri seorang istri itu menjadi sesuatu yang bisa nyemangatin loe buat jadi manusia yang lebih baik. Wajarkan tapi jangan biarkan. Tetap bimbing dia sebagaimana mestinya tugas seorang istri. Buat happy-happy aja di tengah penatnya kerja. Kalau sudah begini kan gak ada celah buat loe ngeluh sama Tuhan. Ya gak? Positive thinking! #YANGINIABAIKAN
“Selainya harus rasa nanas ya Kak?” tanya Ify tiba-tiba sebelum dia menceburkan tangan ke dalam adonan.
“Nggak harus. kamu mau minta rasa apa?” jawab dan tanya Rio. Menoleh pada Ify.
“Ify mau rasa selai yang ada di lemari es dipake’ semua Kak. Jadinya kan bervariasi. Kalau nanas terus kan bosen.”
Rio mengangguk, “Ya udah. Ambil semua gih di kulkas. Tanganku udah nyebur.” perintahnya langsung dijalankan dengan cepat oleh Ify.
Gadis itu berbalik dengan menenteng kresek. Dia memang menyediakan selai dengan 6 rasa. Strawberry, nanas, apel, mangga, dan lainnya, yang pasti gak ada ekstrak kulit manggis. Satu-persatu botol selai itu dikeluarkan oleh Ify dari kresek saat tiba di meja makan dimana mereka mencetak adonan nastar. Membuka masing-masing tutup. Baru duduk di samping Rio seperti tadi.
“Bentuknya harus bulet ya Kak?” tanyanya lagi melihat Rio yang sudah mencetak adonan itu menjadi dua bulatan nastar di atas loyang.
Rio menghela nafas. Lama-lama gigit juga hidungnya Ify nih ya. Gemas.
“Nggak harus. Ify mau bentuk apa?”
Dengan mata makin berbinar gadis itu menjawab, “Hello kitty?”
“Jangan. Ntar kamu diteror.”
“Eh?”
Ify menusuk pinggang Rio dengan telunjuknya saat sadar maksud dari ucapan Rio.
“Korban CHSI. Padahal kita gak pernah nonton itu. Ck” desisnya.
“Twitter kan ramai sama itu, Dear.” sanggah Rio.
“Iya sih. Ya udah unicorn aja Kak, atau gak stich, gimana?”
Rio berhenti membulat-bulatkan adonan di tangannya itu. Menatap Ify makin gemas.
“Jangan juga. Ntar bukannya dimakan malah dikelonin.”
Ify mendengus. “Kakak ishh.” Rengeknya.
“Udah ayo dibikin!” ucap Rio menghentikan obrolan aneh mereka.
Ify masih tak menyentuh adonan. Dia kepikiran sama hasil browsingnya semalam saat menemani Rio. Banyak macam bentuk kue menyerupai tokoh kartun.
“Angry bird boleh gak Kak?” tawarnya lagi.
Rio menoleh lagi dan lagi, “Jangan juga. Ntar kamu dimarahi.” tolaknya.
“Kakakkkkk”
Dia mengalah. Mengambil sedikit adonan. Sebelumnya melihat dulu bagaimana Rio membentuk bulatan-bulatan itu. Setelah paham, baru dia mempraktekkan. Dia ratakan dulu. Menuangkan selai di atasnya. Baru dibulatin. Dia meraih selai rasa buah yang membuat putri salju nyaris meninggal. Tak butuh waktu lama, adonan itu sudah jadi satu bulatan yang terlihat lebih kecil dari punya Rio. Eh kok bulatannya menggelinding.
“Bagian bawahnya di ratakan Fy. Gak full bulet.”
“Ohh…”
Ify mengambil lagi karyanya itu. Menekan bagian bawah hingga datar, menjadi bentuk setengah bulat. Puas dengan hasil pertama, dia semakin semangat menyulap adonan itu menjadi kumpulan setengah bulatan unyu memenuhi loyang.
“Ini olesin di atasanya” perintah Rio setelah satu loyang cukup terisi lebih dari 20 nastar, sambil mengangsurkan mangkok kecil beserta kuas khusus membuat kue.
Ify mengangguk. Mengambil alih kuning telur yang ada dalam mangkok itu dengan kuas dan mengoleskannya di permukaan atas nastar. Tak perlu banyak waktu, permukaan seluruh nastar itu berwarna kuning mengkilat.
“Terus Kak?” tanyanya.
“Kasih parutan keju diatasnya.”
Ify mengangguk lagi. Dia meraih wadah kecil berisi keju yang sudah diparutnya tadi sebelum bikin adonan. Jadi keju yang diparut ini digunakan buat hiasan. Oh.. dia paham.
“Ya Allah, Dear…”
Ify mendongak mendengar pekikan Rio, “Kenapa Kak?” tanyanya bingung.
“Gak sebanyak itu juga kejunya.” jawab Rio benar-benar gemas.
Bayangkan, seluruh permukaan atas nastar ditaburi keju. Aturan normalnya kan hanya bagian ujung atas permukaan. Dia mengambil beberapa parutan keju itu dan menaruh di atas nastar.
“Begini aja cukup.” Ucapnya mengajari.
Ify manyun, “Kalo gitu mah gak kerasa kejunya Kak. Kurang!”
Rio menaikkan sebelah alis, “Tadi kan di adonannya juga ada kejunya, Ify.”
“Tapi kan itu gak keliatan kak Rio.” keukeuh Ify.
“Lah hubungannya?”
Ify bingung, “Ya gak ada. Pokoknya Ify mau yang begini.”
Rio menghembuskan nafas, “Iya deh terserah kamu.” pasrahnya. Toh dimakan sendiri kan? Bukan dijual? Kalau dijual dia yang rugi.
Ify tersenyum cerah. “Gitu donk Kak. Ify sayang Kak Rio.” ucapnya sambil memakan parutan keju itu tanpa sadar.
“SAYANG! KAMU KAN LAGI PUASA.” pekik Rio lagi.
“ASTAGHFIRULLAH KAK RIO. IFY LUPA…”
Ify langsung bangkit, berlari menuju wastafel yang tak jauh dari tempatnya. Berkumur-kumur.
***
Rio melirik ke samping kirinya merasakan ada sedikit goncangan. Dia meletakkan sebentar gadget yang selama 30 menit tadi ia geluti sambil menunggu putri tidurnya terjaga –Ify. Segera ia meraih tangan Ify saat jemari lentik itu meraba-meraba di sekitar kakinya yang berselonjor. Mungkin merasakan bukan lagi yang ia sentuh itu dadanya, gadis itu membuka mata sebentar. Lalu kembali memejamkan mata setelah memindahkan kepala di atas pahanya. Tangan mungil itu memeluk kedua kakinya. Dia terkekeh. Mengusap sekali puncak kepala Ify sebelum menengadahkan muka bantal itu.
“Bangun! Jangan tidur lagi.” kekehnya sambil mengusapkan pipi gembul itu dengan ibu jarinya.
“Iya..” sahut Ify dengan suara serak. Membuka mata sebentar dan merem lagi. Menguap.
“Iya tapi buka donk matanya. Merem gitu.”
“Iya ini udah…”
Tak tahan Rio menarik hidung bangir Ify. Bagaimana bisa, bilang ‘iya ini udah’ tapi matanya masih belum kebuka. Cuma sekilas tapi langsung nutup. Dia menunduk seiring menarik lembut wajah Ify mendekat padanya. Mencium kedua mata Ify yang masih terpejam kuat bergantian. Di akhiri dengan kecupan ringan di bibir ranum gadis itu.
“Kakakkkkk”
“Nah, ini baru udah bangun.”
Ify mendengus. Matanya terbuka sempurna. Tapi kepalanya masih enggan untuk beranjak dari paha Rio. Menikmati usapan lembut tangan kokoh itu. Jadi ngantuk lagi. Lima menit lagi deh.
“Bangun!” gertak Rio halus seakan bisa membaca pikirannya.
Dia manyun. Posisinya yang miring, ia ubah menjadi terlentang. Dengan seperti ini dia bisa melihat wajah Rio. Teman hidupnya ini lagi mengutak-atik gadget selagi tangan kiri itu beralih mengusap dahinya. Menoleh sebentar sekedar memberikan senyuman di pagi hari. Dia tergugah untuk ikut senyum. Padahal tadi mau ngambek. Suara takbir di hari kemenangan perlahan dapat ia dengar. Dia melirik jam dinding, pukul 4 lebih 10 menit.
“Orang tua kita lagi ngumpul semua di rumahku, Dear.” ucap Rio memberi tahu informasi seputar keluarganya yang didapat dari Ray.
Sekarang dia tengah berkomunikasi dengan bocah tengil itu. Si Ray bilang lagi sibuk mempersiapkan kepulangannya dengan Ify, sekaligus menyambut keluarga besar dia maupun Ify yang bisa berkumpul di Jakarta di hari pertama lebarara tahun ini.
Ify kembali memandang wajah tampan suaminya yang sudah segar. “Rame donk?”
“Iya lah. Kamu mandi gih… habis ini udah shubuh.” jawabnya sekaligus memerintah.
Wajah Ify mendadak lesu. “Dingin, Kak… mandinya ntaran deh ya.”
Rio mengalihkan perhatian dari benda canggih itu, menaikkan alis menatap Ify. “Pake’ air hangat, Ify.”
“Tapi ntar mau berangkat ke masjidnya gak seger lagi, Kak Rio.”
Rio menghela nafas, “Ya udah terserah. Cuci mukanya yang bener. Sikat gigi.”
Ify bangkit. Duduk. Memutar badan menghadap Rio. Mencengkram bahu pemuda itu dan menggoyangkannya. “Ify udah gedhe Kakak. Udah ngerti!”
Lalu ngibrit. Mengambil handuk di gantungan khusus handuk. Mengambil sandal khusus untuk mengambil wudhu yang terletak dekat pintu kamar mandi. Sebelum masuk, dia memutar kepalanya menghadap Rio yang ternyata mengikuti setiap gerak-geriknya. Senyum Rio yang kadar manisnya meningkat, membuat dia lupa mau ngapain setelah menengok Rio sebelum masuk kamar mandi. Akhirnya dia hanya membalas senyuman itu dan melambai tangan. Cepat-cepat menenggelamkan diri di dalam kamar mandi.
“Lucu banget sih bini gue.” komentar Rio geleng-geleng kepala setelah istrinya itu masuk kamar mandi.
Ikut bangkit dari ranjang. Menaruh gadgetnya, dan menyiapkan alat sholatnya dan Ify.
***
“Cantik sekali istriku ini.” puji Rio yang sudah siap dengan baju taqwa serta sarungnya, berdiri di belakang Ify.
Ify senyum tersipu. Meletakkan sisir di atas meja. Turut melihat penampilan Rio dari pantulan cermin rias di hadapannya. Makin cakep aja sih laki gue. Dari dulu kali Fy. Tapi ini hari nambah-nambah banyak cakepnya. Sehun mah lewat. Lee Min Hoo? Kalah telak. Walaupun laki gue kalah putih sama mereka, tetep aja jatuhnya di atas mereka.  Batinnya bertarung.
“Kakak juga cakep parah. Pasti nanti di masjid banyak yang modusin Kak Rio.” balas Ify memuji dengan wajah merenggut di akhir.
“Sabar ya, Sayang…” ucap Rio sok bersimpatik.
Laki-laki itu langsung putar badan. Tertawa melihat ekspresi Ify makin tak enak dilihat membuat dia jika masih bertahan di belakang gadis itu, dipastikan harus wudhu kembali.
“Aku tunggu di bawah. Tolong bawain sajadahku ya.” pintanya sebelum menutup pintu kamar.
“IYA…" jawab Ify setengah berteriak.
Melanjutkan menyisir sisi kanan rambutnya. Setelah rambut setengah bergelombang itu cukup teratur, Ify berdiri dari kursi. Merapikan baju muslim terusan berwarna putih dengan pernak pernik menghias di sekitar kerah yang menutupi keseluruhan leher jenjangnya. Senada dengan baju taqwa Rio. Tanpa memoleskan bedak dan pewarna bibir, dia berlalu dari meja rias. Mengambil sajadahnya dan Rio setelah memasang mukenah putih tulang yang dibelikan oleh pemuda itu beberapa hari lalu. Bilangnya, saat seluruh penghuni kantor tengah heboh mempersiapkan menyambut lebaran, dia turut memesan mukenah dari salah satu dari mereka di sana. Sebut saja Viza. Wanita yang sudah bersuami dengan dua anak dan menempati posisi sebagai asisten manajer di departemen lain perusahaan mertuanya itu mempunyai butik khusus penyambutan bulan ramadhan dan lebaran. Jadi tanpa susah payah bertemu dengan segerombolan orang, mukenah yang ia pesan, esoknya sudah berada di atas meja ruangan.
***
Seperti dugaannya, saat turun dari masjid selepas doa seusai sholat idul fitri itu, beberapa gadis yang sama saat di malam pertama terawih mengerumuni Rio. Untung saja pemuda itu segera berlari menghampirinya yang saat itu sibuk mencari alas kaki di antara tumpukan sandal para jamaah sholat ied. Membantu mencari sandalnya yang ternyata terlempar jauh dari tempat ia menaruh sandal tadi. Dia terus-terusan memasang senyum menyambut para gadis itu bersalaman dengan Rio. Walaupun dalam hati gedhek melihat anak-anak baru gedhe itu tampak memaksa senyum saat telah berhadapan dengannya, tapi tak masalah. Yang dapat dosa juga siapa? Di hari kemenangan ini, menyambut segala bentuk isi dunia dengan lapang dada.
“Kak…” panggilnya saat Rio tengah membuka pintu.
“Hem?” jawab Rio menoleh sekilas.
“Aku sungkem ke Kakak sekarang, apa nanti sekalian di rumah Kakak?” tanyanya menggaruk-garuk tengkuknya. Meringis tertahan.
Selama perjalanan tadi, dia memberi dan menerima uluran jabat tangan penghuni komplek yang dapat dihitung mengingat banyak yang mudik, dia jadi keingat belum meminta maaf pada Rio. Setelah pintu berhasil terbuka, Rio menggandeng Ify yang memasang tampang oon –dalam penglihatannya. Terkekeh sebentar sebelum mendudukkan diri di sofa ruang keluarga.
“Sekarang! Kamu kan tinggal sama aku.”
Ify mengangguk sigap. Langsung mengambil posisi berlutut di hadapan Rio yang kembali menegakkan tubuh dari sandaran sofa. Dia menaruh kedua telapak tangannya di atas lutut Rio. Menunduk. Bismillahh…
“Kak Rio… Minal aidzin wal faidzin ya Kak. Maafin segala kesalahan Ify selama bersama Kakak. Maaf kalau Ify sering bikin Kakak kesal, nahan marah, nahan emosi, mmm… nahan napsu juga mungkin. Pokoknya maafin semua kesalahan Ify. Ify akan berusaha ke depannya jadi istri yang lebih baik dan lebih nurut lagi untuk Kak Rio. Mohon maaf lahir batin. Maafin Ify…”
Hiks… tak terasa air mata keluar juga dari tempat produksinya. Padahal dia sudah menahan. Kebawa suasana yang hening mengharukan saat ini. Mata Rio ikut memanas. Dia menghirup nafas dan menghembuskan perlahan. Menangkup wajah Ify agar mendongak menatapnya. Mengusap air mata yang mengalir di kedua pipi gembul itu. Tersenyum hangat. Menarik kedua sudut bibir Ify dengan jempolnya, meminta untuk ikut tersenyum.
“Maafin Kakak juga ya Sayang.”
Sudah, itu saja yang cukup ia katakan. Ify mengangguk. Memegang tangan Rio yang masih menahan pipinya. Pemuda itu menunduk. Mengecup dahi, turun ke kedua mata, turun lagi ke hidung, dan berakhir di bibir. Mengulangnya sebanyak dua kali sebelum menariknya ke dalam pelukan hangat yang memabukkan. CUKUP!
***
Setelah ritual sungkem kepada suami itu, dia mengajak Ify memasukkan barang-barang yang akan dibawa ke Jakarta. Rencana mereka menginap selama 4 hari 3 malam di sana. Semalam mereka sudah packing, tinggal menaruhnya di mobil. Ify juga ngotot membawa setoples kue yang mereka bikin sendiri. Masih ingat saat Ify yang tak sengaja memakan keju untuk mempercantik tampilan nastar.
“Kak… ramadhan selanjutnya, bikin kuenya pas Ify lagi dapet aja ya Kak. Ify gak mau kejadian barusan keulang. Ya walaupun itu rezekinya Ify, tapi tetep aja Ify ngerasa gak enak. Malu sama Allah.”
Dia tertawa saja kala itu. Tanpa menyanggah, dia mengangguk-anggukkan kepala agar Ify tak semakin sedih. Ada saja istrinya ini.
“Udah?” tanyanya saat sosok yang baru saja ia pikirkan muncul dari pintu yang menghubungkan garasi mobil dan dapur.
Ify mengangguk semangat dengan memeluk boneka stich yang berukuran lebih besar dari yang biasa nangkring di mobil Rio. Bibirnya bergerak-gerak mengunyah isi kue dalam toples yang ia pegang. Masuk mobil setelah Rio membukakan pintu untuknya. Rio memutari depan mobil. Mengeluarkan mobil itu dari garasi dan berlanjut keluar gerbang. Setengah berlari dia kembali ke garasi mobil, menguncinya. Dan terakhir menggembok gerbang sebelum meninggalkan rumah.
***
“PAK ONO…” teriak Ify menongolkan kepala dari balik jendela mobil satpam rumah orang tua Rio tengah membuka gerbang lebih lebar.
Ify duduk dengan anteng lagi setelah mendapat teguran dari Rio. Mobil Rio memasuki halaman luas rumah orang tuanya. Berhenti tepat di sebelah mobil kedua orang tuanya. Dia makin tak sabar bertemu dengan keluarga besar dia dan Rio. Pemuda itu menahan gerakannya yang akan membuka pintu mobil. Lalu lebih dulu turun, baru membuka pintu mobil untuknya.
“Bonekanya taruh aja dulu di sini.” perintah Rio lembut sambil mengambil alih boneka stich itu dan memindahkan di bagian belakang berkumpul dengan koper mereka.
“Kuenya Ify bawa ya Kak. Mau pamer kalau Ify bisa bikin kue. Hehe..”
Dia mengangguk. Mengacak-acak poni miring gadis itu sebelum menggandengnya masuk ke dalam rumah. Tampak kedua orang tua Ify, adiknya dan adik Ify, beberapa saudara dari ayahnya maupun ibunya, serta beberapa juga dari saudara orang tua Ify. Walaupun tidak begitu lengkap seenggaknya yang dekat dari Jakarta bisa berkumpul. Maklum saudara tersebar dari sabang sampai merauke, kecuali timor leste.
“ASSALAMUALAIKUM…”
***
Setelah acara sungkeman keluarga, mereka berkumpul di ruang keluarga yang sudah disulap sedemikian rupa untuk menampung dengan nyaman lebih dari 10 orang. Sofa keluarga yang hanya sendiri, sekarang ada teman-temannya. Tertata dengan formasi setengah lingkaran menghadap TV layar datar 70 inch. Kebiasaan di hari lebaran pertama yaitu bersantai dengan keluarga besar.
“Ma…” panggil Ify yang lagi ngemil kue lebaran. Bukan nastar tapi.
“Iya?” sahut mama Manda yang memeluk tubuhnya.
Saat ini ia duduk berdampingan dengan mama mertuanya dengan setengah memeluk wanita paruh baya itu. Mamanya sendiri lagi sayang-sayangan sama Deva.
“Mama ngidam apa sih waktu hamil Kak Rio?” tanyanya iseng.
“Kenapa memang?” balik tanya mama Manda sambil mengusap punggungnya.
Ify terkekeh, “Nggak kenapa Ma. Cuma----”
“EHEM! Lagi ngomongin aku ya?”
Suara Rio yang tiba-tiba muncul dari arah belakang memotong kalimat Ify. Kepala Rio mengambil posisi di antara dia dan mama. Tangannya merangkul hangat kedua wanita yang menempati tahta tertinggi di hati itu. Mengecup pipi sosok yang telah mengenalkannya pada dunia, dan pendamping hidup di masa sekarang hingga menemui ajal secara bergantian.
“Kamu tuh ya… datang-datang ngagetin.” omel mama manda melepas usapannya di punggung Ify beralih menepuk pelan pipi Rio.
“Tauk tuh Ma, bikin kaget.” timpal Ify.
Rio tertawa kecil. Mempererat rangkulannya. “Rio sayang kalian.” ucapnya lembut kembali menghujani keduanya kecupan di pipi.
Mama manda tersenyum bahagia. Kedua tangan beliau menangkup wajah Rio. Menundukkan kepala itu dan mengecup kening putra sulungnya. Putra kesayangannya yang tak ia sangka sudah berumah tangga di usia masih 19 tahun. Rio cepat mengusap air mata mama yang sudah akan mengalir. Tersenyum meminta mama untuk tidak menangis. Mengerti dengan senyum dan tatapan Rio, mama manda menarik nafas mencegah tangisannya. Rio tak mau melihat tangisan malaikat hidupnya itu. Cukup saat acara sungkeman tadi. Di sampingnya, Ify turut menahan air mata yang sudah bersiap untuk diluncurkan. Dia melirik Deva dan mama yang masih berduaan. Tampak mata keduanya berkaca-kaca.
“Kamu menjaga Ify dengan baik kan Yo?” tanya mama manda setelah cukup menenngkan diri. Sudah menyingkirkan tangannya dari pipi Rio. Beralih menggenggam tangan Ify. Gadis itu menoleh. Tersenyum.
“Sudah Mamaku Sayang. Lihat nih sekarang menantu mama. Udah gak sekurus dulu. Ini pipinya juga makin gembul.” jawab Rio.
Bibir Ify mengerucut. Mencubit pelan lengan Rio yang merangkulnya. Pipinya memanas. Masalahnya, Rio bilang pipinya makin gembul diiringi dengan ciuman-ciuman lembut bertubi-tubi di pipinya itu. Kan geli. Malu juga di depan mama.
“Udah-udah berhenti cium pipi Ify, Rio! Kamu gak kasihan sama Ify itu udah panas dingin.”
Ahhh mama… Anak-ibu ini memang tukang goda ternyata ya. Dia kan makin kepanasan. Dia merengek pada mama Manda. Mertuanya itu hanya tersenyum. Tapi  turut menghentikan akis Rio dengan menjewer telinga kiri Rio. Pemuda itu cengengesan. Lalu tertawa.
Gurauan mereka terhenti saat mendengar seruan Papa Rio yang menyuruh untuk segera ke halaman belakang. Melakukan foto bersama. Rupanya, duo Papa tidak terlihat di ruang keluarga, karena mempersiapkan tempat untuk foto keluarga. Mama Manda lebih dulu beranjak menyambut uluran tangan  Mama Gina. Deva sudah ngacir menyeret Ray yang ternyata tidur. Payah. Dia menyusul dengan digandeng oleh Rio.
“Tuan Mario sayang Nyonya Mario.” bisik Rio tepat di telinga kirinya.
Dia menunduk dalam-dalam. Baru saja panas dinginnya lenyap saat pemuda itu berhenti membanjirinya dengan kecupan di pipi, sekarang dipanas-dinginin lagi. Pintar-pintar jaga kesehatan jantung deh loe Fy!
***
Gimana? Udah end nih NIKAH DINI? WHY NOT? Special Ramadhannya. Terima kasih sudah mau baca dan menunggu cerita ini. Titik dua bintang plus buka tutup kurung kurawal(?) untuk kalian….
RIFY : Selamat hari raya Idul Fitri 1435 H RFM:* 

1 komentar: