Sesuai
janjinya pada benda-benda mati itu, saat ini Ify tengah bergelut dengan
beberapa macam makanan yang sukses bikin dia nelan ludah. Terlebih yang
mengandung coklat. Mulutnya terus bergerak mengeluarkan kata-kata menerangkan
untuk sosok yang di sampingnya. Rio. Tapi sepertinya Rio sendiri terpusat pada
tabletnya. Tinggal sentuhan terakhir Ify menyelesaikan parsel pertama dengan
menyisipkan bunga yang dia buat dari pita.
“TARR--- Eh”
Tak jadi dia
berteriak senang saat memergoki Rio yang sama sekali tak memandangnya. Ify
mendengus. Menyandarkan punggung dengan kasar pada kepala sofa. Melipat tangan
depan dada. Sadar tak ada suara, Rio menurunkan gadgetnya. Langsung menangkap
hasil kombinasi celotehan dan gerakan tangan Ify. Dia menaruh gadget itu di
samping parsel yang memang benar-benar terlihat berbeda dengan yang terpajang
di toko-toko. Simple tapi kece. Matanya berbinar menyentuh bagian bawah parsel.
Membawanya ke pangkuan.
“Baru sadar
kalau Ify udah selesai? Kemana aja tadi?”
Suara Ify
yang terdengar ketus menyadarkan keterpesonaannya akan hasil karya tangan ajaib
pemilik suara. Dia menahan senyum memandang wajah Ify yang tertekuk. Sadar akan
kesalahannya. Memang dia meminta Ify selagi menghias, berkoar-koar setiap
gerakan tangannya. Semacam demo tutorial bikin parsel gitu. Tapi perhatiannya
malah terpusat pada gadget. Awalnya memang memperhatikan, cuma mengabadikan
setiap gerakan Ify membuat parsel berujung dengan mengutak-atik file
pekerjaannya lebih penting untuk dilakukan.
“Kok sensi
sih? Mau kedatangan ya?” godanya sambil mencubit hidung bangir Ify.
“Nggak kok
Kak. Kan udah bulan ini Ify kedatangan.” Ify menanggapi serius.
Rio menaruh parsel
itu kembali ke tempat semula sebelum tertawa melihat perubahan ekspresi wajah
Ify yang tadinya kesal jadi polos-polos oon. Ya ampun Rio. Masak istri sendiri
dikatain oon? Rio menghentikan dengan paksa tertawanya memandang Ify masih
menatapnya serius. Berdeham. Mengambil lagi parsel itu. Meletakkan di antara
dia dan Ify.
“Ini bagus
banget, Sayang. Aku gak nyangka kamu bisa bikin kayak gini.” pujinya setengah-setengah
mengundang dengusan Ify.
“Kakak
gimana sih? Katanya sudah cukup 2 tahun mengenal Ify. Masak Ify jago bikin
beginian Kakak gak tahu.” gerutu Ify dengan wajah tertekuk.
“Aku tahu
kok, cuma rada’ ragu kalau gak lihat secara langsung. Ternyata jago banget ya.”
ujar Rio.
Senyum Ify
mengembang. Rio menghadiahinya dengan usapan di sekitar ubun-ubun. Dia
mengangkat perlahan takut dandanan parselnya rusak. Menggeser tubuh lebih dekat
dengan Rio. Memangku parsel setelah meraih smartphonenya yang ada di atas meja.
Menyodorkannya pada Rio.
“Foto yuk
Kak. Langsung upload intagram.” ajaknya yang langsung diiyakan.
Rio lebih
menggeser lagi duduknya. Tangan kirinya merangkul bahu Ify. Mengangsurkan benda
mungil itu kembali pada Ify.
“Aku gak
bisa. Kamu aja.” ujarnya.
Ify
mengangguk. Dia lupa disini yang jago selfie itu dia. Sambil mengarahkan benda
canggih itu, dia memberi aba-aba.
“Satu… dua…
tiga.”
Masih dengan
posisi dekat satu sama lain, Ify memeriksa hasil jepretannya. Bagus. Senyumnya
sama Rio mirip. Di sampingnya, Rio turut melihat hasil foto bersama mereka.
Makin ganteng aja dia. Walaupun kalah hidung sama Ify, tetap aja pesonanya tak
terkalahkan. Ify mulai membuka akun instagramnya. Dia terus memperhatikan.
Terlihat Ify bingung menggunakan kalimat seperti apa mendeskripsikan foto
mereka.
“Tulis aja,
diorder yuk sist.” celetuknya. Keduanya tertawa.
***
Geleng-geleng
kepala Rio melihat istri mungilnya menaiki tangga menuju kamar mereka dengan
buru-buru. Dia turut mengimbangi langkah cepat Ify. Takut terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan mengingat Ify sedikit ceroboh. Kan gak ada yang lucu kalau
tiba-tiba perjalanan ke lantai 2 ada kejadian Ify jatuh tengkurap. Gadis itu
membuka mukenah dan menaruhnya di sofa kecil tak jauh dari ranjang. Langsung
merebahkan diri. Memeluk guling erat. Rio terkekeh. Menghampiri sofa, mengambil
mukenah putih itu dan melipatnya. Meletakkan di tempat biasa beserta kopiah dan
sarung yang ia kenakan. Baru saja mereka tiba dari masjid menunaikan ibadah
sholat shubuh.
Dia mendekat
ke sisi kanan ranjang di mana Ify berbaring. Berhenti dan jongkok di depan
wajah yang cantiknya tak habis-habis itu. Mengusapnya dengan punggung telapak
kanannya. Menyusuri setiap inchi kulit wajah Ify. Makin memperjelas senyumnya
saat mata yang baru terpejam itu membuka. Reflek Ify memundurkan kepala, sadar
jarak wajahnya dan Rio terlalu dekat. Setengah jengkal sepertinya. Dia
mengerjap-ngerjapkan mata. Rasa kantuk sejak berangkat ke masjid hingga kembali
ke rumah lagi, makin menjadi.
“Katanya mau
ikut bikin kue?” tanya Rio yang kini sudah mengusap pipinya.
“Ngantuk.
Tapi mau ikuttt…” jawabnya merengek.
Kemarin Rio
bilang akan membuat kue lebaran yang setengah bulat terus di atasnya ada keju.
Nastar ya namanya kalau gak salah? Ify lupa, soalnya tahun-tahun sebelumnya
saat dia masih menjadi sosok lain yang tak mau repot-repot menanggapi isi dunia
–hanya terpaku pada dirinya sendiri- dia tak ikut campur masalah persiapan
lebaran. Tiba-tiba sudah ada beberapa toples di atas meja ruang tamu.
Macam-macam makanan tersaji dan kalau tak salah mama membeli jadinya. Maka dari
itu saat Rio mengajak bikin kue, dia heboh. Bayangkan seorang cowok bisa buat
kue. Tapi kalau cowoknya seperti Rio yang dalam hal masak-memasak masuk
kategori jago, sepertinya bukan hal yang sulit membuat kue. Duhh… makin kalah
telak dia sama Rio. Mending gak tahu sekalian deh soal kelebihan Rio di bidang
yang seharusnya dikuasai kaum hawa itu. Jadi minder.
“Lain kali
gak usah nemenin aku kerja. Jadi ngantuk gini kan sekarang?”
Ify hanya
bisa mengangguk. Semalam dia memaksakan diri untuk menemani Rio mengerjakan
tugasnya sebagai general manager di cabang perusahaan mertuanya itu. Itu masih
sebagai general manager yang harus dikerjakan lumayan banyak. Di tambah tugas
kuliah Rio yang ia prediksikan pasti keteteran. Tapi ternyata nggak. Dia lupa
kalau otak Rio makin ke sini ajaibnya melebihi otaknya sendiri. Tak perlu
banyak waktu bagi pemuda itu menuntaskan kewajibannya sebagai mahasiswa jurusan
managemen bisnis. Niatnya untuk masuk jurusan yang berbau IPA diurungkan. Rio
bilang otaknya lebih bersahabat pada apa yang digelutinya sekarang. Cukup masa
SMA saja IPA menjadi sahabat sejati.
“Kamu tidur
la---”
Ify menarik
lengan Rio. Berusaha duduk. SHIT! Ngantuknya belum bisa hilang.
“Tapi Ify
pengen bikin juga.” rengeknya sambil menyandarkan kepala di lengan bawah Rio
yang ia cengkram. Pemuda itu sudah berdiri dari posisi jongkoknya.
Rio menarik
pelan lengannya. Memindahkan kepala Ify ke perutnya. Mengusap puncak kepala Ify
berulang.
“Ya udah. Ntar
kita buat kuenya jam 9.” putusnya.
“Tapi kan
Kakak katanya mau ke kantor jam segitu.” sanggah Ify mengingat rencana Rio.
Tangannya
mengucek-ngucek mata agar kantuknya hilang. Tak berhasil, apalagi dia bersandar
pada Rio. Dia sudah pernah bilang kan kalau tubuh Rio itu bikin ngantuk.
Termasuk perut ratanya ini. Susah payah dia menegakkan kepalanya. Menjauhkan
kepalanya dari bagian tubuh Rio. Mendongak.
Rio
tersenyum memandang wajah Ify yang lusuh. Benar-benar butuh tidur. Matanya sayu
memerah sedikit. Lain kali ia akan melarang keras walaupun Ify merayunya dengan
cara yang benar-benar menguji iman. Bayangkan, Ify meminta izin untuk
menemaninya dengan merengek-rengek. Bukan itu yang bikin masalah. Masalahnya
gadis itu merengek di atas pangkuannya yang lagi duduk di kursi kejayaan.
Menangkup pipinya dan menoel-noelkan hidung bangir itu padanya. Mengancam tidak
akan menghentikan tingkahnya itu sebelum dia mengizinkan. Dia juga gitu
semalam, pertahanan hasrat lelakinya lemah. Jadi tak bisa lama-lama membiarkan
Ify melancarkan aksi tersebut terus menerus jika tak ingin sesuatu di luar kehendak, terjadi.
Ya walaupun sudah nikah, tapi kan dia punya tekad bahwa untuk sekarang hingga
gadis itu kelar kuliah, ia tidak akan meminta/menagih kepemilikannya.
“Biar nanti
aku minta tolong Nesa mengantar berkasnya. Aku kerjain di sini.” tutur Rio.
“Sekarang,
kamu tidur lagi. Nanti aku bangunin.” lanjutnya sambil membaringkan tubuh Ify.
Menaikkan kembali selimut yang tersingkap tadi. Dia mewajarkan Ify yang seperti
ini mengingat jam tidur Ify biasanya paling lambat jam 10 malam, kemarin baru
tidur lewat tengah malam.
Ify
mengangguk. Memeluk guling berlapis kain dengan motif sama seperti ranjang,
setelah mengecup punggung telapak Rio sebagai pamitan. Dia masih merasakan
laki-laki itu mengusap kepalanya. Rio baru melepas sentuhan di rambut hitam
pekat Ify saat mendengar dengkuran halus. Dia beranjak dari tepi ranjang.
Meraih ponselnya yang berada di meja rias. Menghubungi sekretarisnya.
***
CKLEEKK…
Bunyi pintu
ruangan dibuka menghentikannya menatap serius lembaran-lembaran yang dikirim
oleh sekretarisnya beberapa jam lalu dan laptop secara bergantian. Ify muncul
dengan baju rumah terusan lengan pendek bergambar unicorn. Rambut digulung ke
atas sehingga memamerkan leher jenjangnya yang mulus. Terlihat segar dan makin
cantik tentunya. Bibir merah tanpa pewarna bibir itu membetuk lengkungan. Mau
tak mau dia ikut tersenyum. Bola matanya mengikuti tiap gerakan Ify hingga
duduk di hadapannya dengan tangan terlipat di atas meja.
“Ayo Kak kita
bikin kue.” ajak gadis itu dengan mata berbinar memandangnya.
Dia menjawil
hidung bangir Ify. “Bentar ya.” ujarnya lalu kembali fokus pada kertas-kertas
dan laptopnya.
Ify
mengangguk. Masih tak beranjak dari kursi, dia memandang sekeliling ruang kerja
Rio. Foto pernikahan mereka terpajang mulai dari dekat pintu hingga dekat
jendela dengan pengaturan yang tidak terkesan rusuh. Dia beralih pada meja
kerja Rio. Ada satu pigura dengan foto mereka saat masih SMA. Kalau tak salah
saat mereka berlibur ke puncak bersama yang lain di hari setelah pengumuman
kelulusan. Dia masih ingat, Alvin yang mengabadikan momentnya bersama Rio saat
bermain-main di persawahan dekat Villa milik orang tua Cakka itu. Dia jadi
senyum-senyum sendiri mengingat liburan beberapa bulan lalu sebelum menikah.
Sayang sekali Zahra tak bisa ikut, yang memberi efek pada Gabriel sering
diabaikan. Bukan diabaikan sih sebenarnya, cuma pemuda itu sendiri yang
mengasingkan diri tiap mereka sudah berdekatan dengan pasangan masing-masing.
Jadi kangen Gabriel, kakak ketiga setelah Septian dan Alvin. Kakak mainan tapi
serius. Beda bapak beda ibu.
“Nanti kalau
sama-sama punya waktu libur panjang, kita ke sana lagi.”
Senyum Ify
mengembang. Dia mengalihkan perhatian lagi pada Rio yang sudah meletakkan dengan
rapi kertas-kertas putih penuh tulisan itu di atas laptop. Bangkit dari kursi.
Memutar meja mengambil posisi di belakangnya. Tangan kokoh itu mencengkram
lembut pundaknya. Dia menengadah.
“Kakak tahu
aja Ify habis ini bakalan minta ke sana lagi.”
Lagi, Rio
menjawil hidung bangir itu. “I know you so so well, Dear.”
Ify
pura-pura menghembuskan nafas lesu. “Kalau Ify bohong, berarti Kakak tahu
donk?” gerutunya.
Rio tertawa.
“Depend on your doing, Dear. Tapi kebanyakan tahunya. Kenapa? Mau ada niatan bohong
ya? Gak usah macam-macam!”
Ify manyun.
Ujung-ujungnya ngancem. ‘Gak usah macam-macam’ itu kalimat sakral kayaknya. Dia
suka ngeri kalau Rio sudah melontarkan kalimat itu.
“Nggak kok.
Kata Pak Mario Teguh waktu Ify stalking akunnya, cinta itu kejujuran. Bohong
itu kan gak jujur. Jadi kalau bohong berarti itu bukan cinta. Ify kan cinta
sama Kak Rio, ya pasti gak ada niatan bohong.” sanggah Ify dengan senyum lebar
di akhir.
“Aku juga
cinta kamu. Ya udah yuk bikin kue. Kelamaan di sini bikin puasa batal.” ucap
Rio sambil melepas cengkramannya.
Ify
mengangguk, terkekeh mengerti maksud ‘kelamaan di sini bikin puasa batal’. Dia
langsung mendahului Rio yang masih mengambil remote AC. Menghentikan kerja
mesin pendingin ruangan itu. Berlanjut mematikan lampu. Satu hal lagi kebiasaan
yang sangat sederhana dan baik yang baru ia lakukan semenjak menikah. Mematikan
lampu dan alat yang sudah tak digunakan lainnya yang berada di dalam ruangan
selepas menggunakan ruangan tersebut. Hidup berhemat dan go green tentunya.
***
“Kurang
berapa jam lagi gini terus Kak?”
Rio tertawa
renyah mendengar gerutuan Ify yang kedua kalinya. Dia menuntaskan membersihkan
loyang yang ia ambil di lemari paling ujung kanan dapur. Menumpuknya menjadi
satu. Lalu menghampiri Ify di meja makan. Gadis itu tengah mengaduk adonan
dengan mixer. Sebelumnya dia meraih nampan ukuran besar yang menampung tepung terigu, tepung maizena,
vanilli, keju cheddar dan susu bubuk. Bahan-bahan itu akan menyusul 2 kuning
telor, gula halus, dan mentega yang sudah terlebih dahulu dikocok dengan mixer.
Rio duduk di samping kanan Ify.
“Baru juga 10 menit Fy.”
“Hehehe…”
Ify nyengir. Dia sengaja sih.
Selain karena tangan udah ngerasa pegal, juga dia tak mau jauh-jauh dari Rio.
Sial! Gak tahu aja si Ify, tiap Rio di dekat dia selama puasa ini dengan harus
menahan diri untuk tidak menerkam wajah cantiknya, itu jadi ujian terberat Rio.
Rio mengambil alih mixer dari tangan Ify. Mengangsurkan nampan itu ke hadapan
Ify.
“Kamu tuang satu-satu.” perintah
Rio sambil menggoyang-goyang mixer di tangannya.
“Semua kak? Gak kebaanyakan tepung
segini? Ntar hambar kuenya.” tanya Ify melotot.
Rio terkekeh. Ternyata, lebih
susah bikin kue bareng Ify dari pada Ray. Adik satu-satunya itu pernah minta
tolong dia untuk diajarin buat kue. Katanya, teman wanita specialnya ulang
tahun. Dia mau membuat wanita itu klepek-klepek saat tahu dia bisa masak.
Dasar! Walaupun lebih susah, buat kue dengan Ify itu lebih seru. Jika bukan
bulan puasa kayaknya lebih seru. Astaghfirullah
Rio, pahala puasa loe kurang loh ntar!
“Itu udah sesuai takarannya,
Sayang.” jawabnya geregetan.
Ify nyengir lagi. Dia langsung
menuangkan 2 wadah bersisi tepung. Dia tak tahu tepung mana yang maizzena dan
mana yang terigu. Tadi sudah dikasih tahu, tapi lupa. Lanjut wadah kecil yang
isinya menguar aroma-aroma wangi kue. Ini vanilli. Iya, dia ingat. Kemudian
susu bubuk dan keju cedar. Kalau dua itu dia hafal. Tiap hari ketemu.
“Terus setelah ini ngapain, Kak?”
Rio mendongak. “Kamu beneran gak
pernah bikin kue?”
Ify menggeleng lemah.
“Lihat orang bikin kue?”
Ify makin menggeleng lemah. “Mama
suka beli yang udah jadi.”
Rio menghela nafas. Lalu senyum
lagi. Dengan tangan kirinya dia mengusap ubun-ubun Ify. Dia merasa beruntung
tak mempunyai saudara perempuan. Jadinya kan dia yang diandalkan sang Bunda
untuk membantu beliau di dapur. Kenapa bukan Ray? Selain karena cowok itu masih
kecil saat itu, dan keaktifannya melebihi dia dalam bertingkah, artinya gak
anteng. Jadi suka gak betah saat diajak buat kue lebaran yang kebanyakan duduk
di kursi dengan memutar-mutar mixer.
Beruntungnya lagi dia punya istri
yang NOL BESAR dalam hal ini. Ya semuanya harus disyukuri bukan? Harus terima
orang yang kita cintai apa adanya dia, bukan? So, dia harus menjadikan
kelemahan Ify sebagai sosok perempuan ini menjadi kelebihan. Seenggaknya bukan
lagi sebuah kelemahan. Dia merasa bahagia saat berhasil mentransfer ilmu pada
Ify, terlebih dalam hal masak-memasak. Kan lumayan dibuat langkah mempererat
hubungan harmonis suami-istri.
“Kalau gitu, bulan ramadhan selanjutnya
kita gak usah beli. Masih banyak resep kue lebaran selain kue nastar ini yang
aku ingat.” ucapnya.
Sebenarnya dia dan Ify sudah
membeli beberapa kue lebaran. Tinggal menuangkannya pada toples yang dibeli
mereka sebelum bulan ramadhan tiba. Dia jadi ingat Ify yang terlewat heboh memilih-milih
toples di toko perabotan rumah tangga. Gadis itu sampai tak sadar sudah memilih
lebih dari 10 toples dengan bentuk yang unik-unik kalau tak cepat ia tegur. Tak
tega melihat wajah Ify yang memelas karena harus melepas 2 toples yang
kelebihan dari batas maksimal jumlah toples yang dibeli, akhirnya dia mengalah.
Dia memborong semua toples pilihan Ify yang berjumlah 15 toples itu.
“Seriuss kak? Ya Allah… terima
kasih sudah memberi hamba kesempatan menemani sosok pemuda dengan kelebihan
yang bejibun ini.”
***
Merasa adonan cukup rata, Rio
menyuruh Ify mematikan mixer. Setelah Ify berseru berterima kasih pada Allah
karena mendapatkan dirinya sebagai suami, gadis itu dengan giat dan semangat
membara mengambil alih mixer. Mengaduk-aduk adonan itu hingga rata. Benar-benar
dia tak bisa menahan senyum. Bahagia tiap lihat Ify bertingkah seperti itu. Dia
merasa berguna berada di sisi anak gadis Umari.
Oke Bro! Buat loe yang dapet
pasangan manja, terus gak bisa masak. Gak usah ngeluh. Kalau cinta sih gak bakal
ngeluh ya. Saran dari gue, buat hal yang gak seharusnya ada pada diri seorang
istri itu menjadi sesuatu yang bisa nyemangatin loe buat jadi manusia yang
lebih baik. Wajarkan tapi jangan biarkan. Tetap bimbing dia sebagaimana
mestinya tugas seorang istri. Buat happy-happy aja di tengah penatnya kerja.
Kalau sudah begini kan gak ada celah buat loe ngeluh sama Tuhan. Ya gak?
Positive thinking! #YANGINIABAIKAN
“Selainya harus rasa nanas ya
Kak?” tanya Ify tiba-tiba sebelum dia menceburkan tangan ke dalam adonan.
“Nggak harus. kamu mau minta rasa
apa?” jawab dan tanya Rio. Menoleh pada Ify.
“Ify mau rasa selai yang ada di
lemari es dipake’ semua Kak. Jadinya kan bervariasi. Kalau nanas terus kan
bosen.”
Rio mengangguk, “Ya udah. Ambil
semua gih di kulkas. Tanganku udah nyebur.” perintahnya langsung dijalankan
dengan cepat oleh Ify.
Gadis itu berbalik dengan
menenteng kresek. Dia memang menyediakan selai dengan 6 rasa. Strawberry,
nanas, apel, mangga, dan lainnya, yang pasti gak ada ekstrak kulit manggis. Satu-persatu
botol selai itu dikeluarkan oleh Ify dari kresek saat tiba di meja makan dimana
mereka mencetak adonan nastar. Membuka masing-masing tutup. Baru duduk di
samping Rio seperti tadi.
“Bentuknya harus bulet ya Kak?”
tanyanya lagi melihat Rio yang sudah mencetak adonan itu menjadi dua bulatan
nastar di atas loyang.
Rio menghela nafas. Lama-lama
gigit juga hidungnya Ify nih ya. Gemas.
“Nggak harus. Ify mau bentuk apa?”
Dengan mata makin berbinar gadis
itu menjawab, “Hello kitty?”
“Jangan. Ntar kamu diteror.”
“Eh?”
Ify menusuk pinggang Rio dengan
telunjuknya saat sadar maksud dari ucapan Rio.
“Korban CHSI. Padahal kita gak
pernah nonton itu. Ck” desisnya.
“Twitter kan ramai sama itu,
Dear.” sanggah Rio.
“Iya sih. Ya udah unicorn aja Kak,
atau gak stich, gimana?”
Rio berhenti membulat-bulatkan
adonan di tangannya itu. Menatap Ify makin gemas.
“Jangan juga. Ntar bukannya
dimakan malah dikelonin.”
Ify mendengus. “Kakak ishh.”
Rengeknya.
“Udah ayo dibikin!” ucap Rio
menghentikan obrolan aneh mereka.
Ify masih tak menyentuh adonan.
Dia kepikiran sama hasil browsingnya semalam saat menemani Rio. Banyak macam
bentuk kue menyerupai tokoh kartun.
“Angry bird boleh gak Kak?”
tawarnya lagi.
Rio menoleh lagi dan lagi, “Jangan
juga. Ntar kamu dimarahi.” tolaknya.
“Kakakkkkk”
Dia mengalah. Mengambil sedikit
adonan. Sebelumnya melihat dulu bagaimana Rio membentuk bulatan-bulatan itu.
Setelah paham, baru dia mempraktekkan. Dia ratakan dulu. Menuangkan selai di
atasnya. Baru dibulatin. Dia meraih selai rasa buah yang membuat putri salju
nyaris meninggal. Tak butuh waktu lama, adonan itu sudah jadi satu bulatan yang
terlihat lebih kecil dari punya Rio. Eh kok bulatannya menggelinding.
“Bagian bawahnya di ratakan Fy.
Gak full bulet.”
“Ohh…”
Ify mengambil lagi karyanya itu.
Menekan bagian bawah hingga datar, menjadi bentuk setengah bulat. Puas dengan
hasil pertama, dia semakin semangat menyulap adonan itu menjadi kumpulan
setengah bulatan unyu memenuhi loyang.
“Ini olesin di atasanya” perintah
Rio setelah satu loyang cukup terisi lebih dari 20 nastar, sambil mengangsurkan
mangkok kecil beserta kuas khusus membuat kue.
Ify mengangguk. Mengambil alih
kuning telur yang ada dalam mangkok itu dengan kuas dan mengoleskannya di
permukaan atas nastar. Tak perlu banyak waktu, permukaan seluruh nastar itu
berwarna kuning mengkilat.
“Terus Kak?” tanyanya.
“Kasih parutan keju diatasnya.”
Ify mengangguk lagi. Dia meraih
wadah kecil berisi keju yang sudah diparutnya tadi sebelum bikin adonan. Jadi
keju yang diparut ini digunakan buat hiasan. Oh.. dia paham.
“Ya Allah, Dear…”
Ify mendongak mendengar pekikan
Rio, “Kenapa Kak?” tanyanya bingung.
“Gak sebanyak itu juga kejunya.”
jawab Rio benar-benar gemas.
Bayangkan, seluruh permukaan atas
nastar ditaburi keju. Aturan normalnya kan hanya bagian ujung atas permukaan.
Dia mengambil beberapa parutan keju itu dan menaruh di atas nastar.
“Begini aja cukup.” Ucapnya
mengajari.
Ify manyun, “Kalo gitu mah gak
kerasa kejunya Kak. Kurang!”
Rio menaikkan sebelah alis, “Tadi
kan di adonannya juga ada kejunya, Ify.”
“Tapi kan itu gak keliatan kak
Rio.” keukeuh Ify.
“Lah hubungannya?”
Ify bingung, “Ya gak ada. Pokoknya
Ify mau yang begini.”
Rio menghembuskan nafas, “Iya deh
terserah kamu.” pasrahnya. Toh dimakan sendiri kan? Bukan dijual? Kalau dijual
dia yang rugi.
Ify tersenyum cerah. “Gitu donk
Kak. Ify sayang Kak Rio.” ucapnya sambil memakan parutan keju itu tanpa sadar.
“SAYANG! KAMU KAN LAGI PUASA.” pekik
Rio lagi.
“ASTAGHFIRULLAH KAK RIO. IFY
LUPA…”
Ify langsung bangkit, berlari
menuju wastafel yang tak jauh dari tempatnya. Berkumur-kumur.
***
Rio melirik ke samping kirinya
merasakan ada sedikit goncangan. Dia meletakkan sebentar gadget yang selama 30
menit tadi ia geluti sambil menunggu putri tidurnya terjaga –Ify. Segera ia
meraih tangan Ify saat jemari lentik itu meraba-meraba di sekitar kakinya yang
berselonjor. Mungkin merasakan bukan lagi yang ia sentuh itu dadanya, gadis itu
membuka mata sebentar. Lalu kembali memejamkan mata setelah memindahkan kepala
di atas pahanya. Tangan mungil itu memeluk kedua kakinya. Dia terkekeh.
Mengusap sekali puncak kepala Ify sebelum menengadahkan muka bantal itu.
“Bangun! Jangan tidur lagi.”
kekehnya sambil mengusapkan pipi gembul itu dengan ibu jarinya.
“Iya..” sahut Ify dengan suara
serak. Membuka mata sebentar dan merem lagi. Menguap.
“Iya tapi buka donk matanya. Merem
gitu.”
“Iya ini udah…”
Tak tahan Rio menarik hidung
bangir Ify. Bagaimana bisa, bilang ‘iya ini udah’ tapi matanya masih belum
kebuka. Cuma sekilas tapi langsung nutup. Dia menunduk seiring menarik lembut
wajah Ify mendekat padanya. Mencium kedua mata Ify yang masih terpejam kuat
bergantian. Di akhiri dengan kecupan ringan di bibir ranum gadis itu.
“Kakakkkkk”
“Nah, ini baru udah bangun.”
Ify mendengus. Matanya terbuka
sempurna. Tapi kepalanya masih enggan untuk beranjak dari paha Rio. Menikmati
usapan lembut tangan kokoh itu. Jadi ngantuk lagi. Lima menit lagi deh.
“Bangun!” gertak Rio halus seakan
bisa membaca pikirannya.
Dia manyun. Posisinya yang miring,
ia ubah menjadi terlentang. Dengan seperti ini dia bisa melihat wajah Rio.
Teman hidupnya ini lagi mengutak-atik gadget selagi tangan kiri itu beralih
mengusap dahinya. Menoleh sebentar sekedar memberikan senyuman di pagi hari.
Dia tergugah untuk ikut senyum. Padahal tadi mau ngambek. Suara takbir di hari
kemenangan perlahan dapat ia dengar. Dia melirik jam dinding, pukul 4 lebih 10
menit.
“Orang tua kita lagi ngumpul semua
di rumahku, Dear.” ucap Rio memberi tahu informasi seputar keluarganya yang
didapat dari Ray.
Sekarang dia tengah berkomunikasi
dengan bocah tengil itu. Si Ray bilang lagi sibuk mempersiapkan kepulangannya
dengan Ify, sekaligus menyambut keluarga besar dia maupun Ify yang bisa
berkumpul di Jakarta di hari pertama lebarara tahun ini.
Ify kembali memandang wajah tampan
suaminya yang sudah segar. “Rame donk?”
“Iya lah. Kamu mandi gih… habis
ini udah shubuh.” jawabnya sekaligus memerintah.
Wajah Ify mendadak lesu. “Dingin,
Kak… mandinya ntaran deh ya.”
Rio mengalihkan perhatian dari
benda canggih itu, menaikkan alis menatap Ify. “Pake’ air hangat, Ify.”
“Tapi ntar mau berangkat ke
masjidnya gak seger lagi, Kak Rio.”
Rio menghela nafas, “Ya udah
terserah. Cuci mukanya yang bener. Sikat gigi.”
Ify bangkit. Duduk. Memutar badan
menghadap Rio. Mencengkram bahu pemuda itu dan menggoyangkannya. “Ify udah
gedhe Kakak. Udah ngerti!”
Lalu ngibrit. Mengambil handuk di
gantungan khusus handuk. Mengambil sandal khusus untuk mengambil wudhu yang
terletak dekat pintu kamar mandi. Sebelum masuk, dia memutar kepalanya
menghadap Rio yang ternyata mengikuti setiap gerak-geriknya. Senyum Rio yang
kadar manisnya meningkat, membuat dia lupa mau ngapain setelah menengok Rio
sebelum masuk kamar mandi. Akhirnya dia hanya membalas senyuman itu dan
melambai tangan. Cepat-cepat menenggelamkan diri di dalam kamar mandi.
“Lucu banget sih bini gue.”
komentar Rio geleng-geleng kepala setelah istrinya itu masuk kamar mandi.
Ikut bangkit dari ranjang. Menaruh
gadgetnya, dan menyiapkan alat sholatnya dan Ify.
***
“Cantik sekali istriku ini.” puji
Rio yang sudah siap dengan baju taqwa serta sarungnya, berdiri di belakang Ify.
Ify senyum tersipu. Meletakkan
sisir di atas meja. Turut melihat penampilan Rio dari pantulan cermin rias di
hadapannya. Makin cakep aja sih laki gue. Dari dulu kali Fy. Tapi ini hari
nambah-nambah banyak cakepnya. Sehun mah lewat. Lee Min Hoo? Kalah telak.
Walaupun laki gue kalah putih sama mereka, tetep aja jatuhnya di atas mereka. Batinnya bertarung.
“Kakak juga cakep parah. Pasti
nanti di masjid banyak yang modusin Kak Rio.” balas Ify memuji dengan wajah
merenggut di akhir.
“Sabar ya, Sayang…” ucap Rio sok
bersimpatik.
Laki-laki itu langsung putar
badan. Tertawa melihat ekspresi Ify makin tak enak dilihat membuat dia jika
masih bertahan di belakang gadis itu, dipastikan harus wudhu kembali.
“Aku tunggu di bawah. Tolong
bawain sajadahku ya.” pintanya sebelum menutup pintu kamar.
“IYA…" jawab Ify setengah
berteriak.
Melanjutkan menyisir sisi kanan
rambutnya. Setelah rambut setengah bergelombang itu cukup teratur, Ify berdiri
dari kursi. Merapikan baju muslim terusan berwarna putih dengan pernak pernik
menghias di sekitar kerah yang menutupi keseluruhan leher jenjangnya. Senada
dengan baju taqwa Rio. Tanpa memoleskan bedak dan pewarna bibir, dia berlalu
dari meja rias. Mengambil sajadahnya dan Rio setelah memasang mukenah putih
tulang yang dibelikan oleh pemuda itu beberapa hari lalu. Bilangnya, saat seluruh
penghuni kantor tengah heboh mempersiapkan menyambut lebaran, dia turut memesan
mukenah dari salah satu dari mereka di sana. Sebut saja Viza. Wanita yang sudah
bersuami dengan dua anak dan menempati posisi sebagai asisten manajer di
departemen lain perusahaan mertuanya itu mempunyai butik khusus penyambutan
bulan ramadhan dan lebaran. Jadi tanpa susah payah bertemu dengan segerombolan
orang, mukenah yang ia pesan, esoknya sudah berada di atas meja ruangan.
***
Seperti dugaannya, saat turun dari
masjid selepas doa seusai sholat idul fitri itu, beberapa gadis yang sama saat
di malam pertama terawih mengerumuni Rio. Untung saja pemuda itu segera berlari
menghampirinya yang saat itu sibuk mencari alas kaki di antara tumpukan sandal
para jamaah sholat ied. Membantu mencari sandalnya yang ternyata terlempar jauh
dari tempat ia menaruh sandal tadi. Dia terus-terusan memasang senyum menyambut
para gadis itu bersalaman dengan Rio. Walaupun dalam hati gedhek melihat
anak-anak baru gedhe itu tampak memaksa senyum saat telah berhadapan dengannya,
tapi tak masalah. Yang dapat dosa juga siapa? Di hari kemenangan ini, menyambut
segala bentuk isi dunia dengan lapang dada.
“Kak…” panggilnya saat Rio tengah
membuka pintu.
“Hem?” jawab Rio menoleh sekilas.
“Aku sungkem ke Kakak sekarang,
apa nanti sekalian di rumah Kakak?” tanyanya menggaruk-garuk tengkuknya.
Meringis tertahan.
Selama perjalanan tadi, dia
memberi dan menerima uluran jabat tangan penghuni komplek yang dapat dihitung
mengingat banyak yang mudik, dia jadi keingat belum meminta maaf pada Rio. Setelah
pintu berhasil terbuka, Rio menggandeng Ify yang memasang tampang oon –dalam
penglihatannya. Terkekeh sebentar sebelum mendudukkan diri di sofa ruang
keluarga.
“Sekarang! Kamu kan tinggal sama
aku.”
Ify mengangguk sigap. Langsung
mengambil posisi berlutut di hadapan Rio yang kembali menegakkan tubuh dari
sandaran sofa. Dia menaruh kedua telapak tangannya di atas lutut Rio. Menunduk.
Bismillahh…
“Kak Rio… Minal aidzin wal faidzin
ya Kak. Maafin segala kesalahan Ify selama bersama Kakak. Maaf kalau Ify sering
bikin Kakak kesal, nahan marah, nahan emosi, mmm… nahan napsu juga mungkin. Pokoknya
maafin semua kesalahan Ify. Ify akan berusaha ke depannya jadi istri yang lebih
baik dan lebih nurut lagi untuk Kak Rio. Mohon maaf lahir batin. Maafin Ify…”
Hiks… tak terasa air mata keluar
juga dari tempat produksinya. Padahal dia sudah menahan. Kebawa suasana yang
hening mengharukan saat ini. Mata Rio ikut memanas. Dia menghirup nafas dan
menghembuskan perlahan. Menangkup wajah Ify agar mendongak menatapnya. Mengusap
air mata yang mengalir di kedua pipi gembul itu. Tersenyum hangat. Menarik
kedua sudut bibir Ify dengan jempolnya, meminta untuk ikut tersenyum.
“Maafin Kakak juga ya Sayang.”
Sudah, itu saja yang cukup ia
katakan. Ify mengangguk. Memegang tangan Rio yang masih menahan pipinya. Pemuda
itu menunduk. Mengecup dahi, turun ke kedua mata, turun lagi ke hidung, dan
berakhir di bibir. Mengulangnya sebanyak dua kali sebelum menariknya ke dalam
pelukan hangat yang memabukkan. CUKUP!
***
Setelah ritual sungkem kepada
suami itu, dia mengajak Ify memasukkan barang-barang yang akan dibawa ke
Jakarta. Rencana mereka menginap selama 4 hari 3 malam di sana. Semalam mereka
sudah packing, tinggal menaruhnya di mobil. Ify juga ngotot membawa setoples
kue yang mereka bikin sendiri. Masih ingat saat Ify yang tak sengaja memakan
keju untuk mempercantik tampilan nastar.
“Kak… ramadhan selanjutnya, bikin
kuenya pas Ify lagi dapet aja ya Kak. Ify gak mau kejadian barusan keulang. Ya
walaupun itu rezekinya Ify, tapi tetep aja Ify ngerasa gak enak. Malu sama
Allah.”
Dia tertawa saja kala itu. Tanpa menyanggah,
dia mengangguk-anggukkan kepala agar Ify tak semakin sedih. Ada saja istrinya
ini.
“Udah?” tanyanya saat sosok yang
baru saja ia pikirkan muncul dari pintu yang menghubungkan garasi mobil dan
dapur.
Ify mengangguk semangat dengan
memeluk boneka stich yang berukuran lebih besar dari yang biasa nangkring di
mobil Rio. Bibirnya bergerak-gerak mengunyah isi kue dalam toples yang ia
pegang. Masuk mobil setelah Rio membukakan pintu untuknya. Rio memutari depan
mobil. Mengeluarkan mobil itu dari garasi dan berlanjut keluar gerbang.
Setengah berlari dia kembali ke garasi mobil, menguncinya. Dan terakhir
menggembok gerbang sebelum meninggalkan rumah.
***
“PAK ONO…” teriak Ify menongolkan
kepala dari balik jendela mobil satpam rumah orang tua Rio tengah membuka
gerbang lebih lebar.
Ify duduk dengan anteng lagi
setelah mendapat teguran dari Rio. Mobil Rio memasuki halaman luas rumah orang
tuanya. Berhenti tepat di sebelah mobil kedua orang tuanya. Dia makin tak sabar
bertemu dengan keluarga besar dia dan Rio. Pemuda itu menahan gerakannya yang
akan membuka pintu mobil. Lalu lebih dulu turun, baru membuka pintu mobil
untuknya.
“Bonekanya taruh aja dulu di
sini.” perintah Rio lembut sambil mengambil alih boneka stich itu dan
memindahkan di bagian belakang berkumpul dengan koper mereka.
“Kuenya Ify bawa ya Kak. Mau pamer
kalau Ify bisa bikin kue. Hehe..”
Dia mengangguk. Mengacak-acak poni
miring gadis itu sebelum menggandengnya masuk ke dalam rumah. Tampak kedua
orang tua Ify, adiknya dan adik Ify, beberapa saudara dari ayahnya maupun
ibunya, serta beberapa juga dari saudara orang tua Ify. Walaupun tidak begitu
lengkap seenggaknya yang dekat dari Jakarta bisa berkumpul. Maklum saudara
tersebar dari sabang sampai merauke, kecuali timor leste.
“ASSALAMUALAIKUM…”
***
Setelah acara sungkeman keluarga,
mereka berkumpul di ruang keluarga yang sudah disulap sedemikian rupa untuk
menampung dengan nyaman lebih dari 10 orang. Sofa keluarga yang hanya sendiri,
sekarang ada teman-temannya. Tertata dengan formasi setengah lingkaran
menghadap TV layar datar 70 inch. Kebiasaan di hari lebaran pertama yaitu
bersantai dengan keluarga besar.
“Ma…” panggil Ify yang lagi ngemil
kue lebaran. Bukan nastar tapi.
“Iya?” sahut mama Manda yang
memeluk tubuhnya.
Saat ini ia duduk berdampingan
dengan mama mertuanya dengan setengah memeluk wanita paruh baya itu. Mamanya
sendiri lagi sayang-sayangan sama Deva.
“Mama ngidam apa sih waktu hamil
Kak Rio?” tanyanya iseng.
“Kenapa memang?” balik tanya mama
Manda sambil mengusap punggungnya.
Ify terkekeh, “Nggak kenapa Ma.
Cuma----”
“EHEM! Lagi ngomongin aku ya?”
Suara Rio yang tiba-tiba muncul
dari arah belakang memotong kalimat Ify. Kepala Rio mengambil posisi di antara
dia dan mama. Tangannya merangkul hangat kedua wanita yang menempati tahta
tertinggi di hati itu. Mengecup pipi sosok yang telah mengenalkannya pada
dunia, dan pendamping hidup di masa sekarang hingga menemui ajal secara
bergantian.
“Kamu tuh ya… datang-datang
ngagetin.” omel mama manda melepas usapannya di punggung Ify beralih menepuk
pelan pipi Rio.
“Tauk tuh Ma, bikin kaget.” timpal
Ify.
Rio tertawa kecil. Mempererat
rangkulannya. “Rio sayang kalian.” ucapnya lembut kembali menghujani keduanya
kecupan di pipi.
Mama manda tersenyum bahagia.
Kedua tangan beliau menangkup wajah Rio. Menundukkan kepala itu dan mengecup
kening putra sulungnya. Putra kesayangannya yang tak ia sangka sudah berumah
tangga di usia masih 19 tahun. Rio cepat mengusap air mata mama yang sudah akan
mengalir. Tersenyum meminta mama untuk tidak menangis. Mengerti dengan senyum
dan tatapan Rio, mama manda menarik nafas mencegah tangisannya. Rio tak mau
melihat tangisan malaikat hidupnya itu. Cukup saat acara sungkeman tadi. Di
sampingnya, Ify turut menahan air mata yang sudah bersiap untuk diluncurkan. Dia
melirik Deva dan mama yang masih berduaan. Tampak mata keduanya berkaca-kaca.
“Kamu menjaga Ify dengan baik kan Yo?”
tanya mama manda setelah cukup menenngkan diri. Sudah menyingkirkan tangannya
dari pipi Rio. Beralih menggenggam tangan Ify. Gadis itu menoleh. Tersenyum.
“Sudah Mamaku Sayang. Lihat nih
sekarang menantu mama. Udah gak sekurus dulu. Ini pipinya juga makin gembul.”
jawab Rio.
Bibir Ify mengerucut. Mencubit
pelan lengan Rio yang merangkulnya. Pipinya memanas. Masalahnya, Rio bilang
pipinya makin gembul diiringi dengan ciuman-ciuman lembut bertubi-tubi di
pipinya itu. Kan geli. Malu juga di depan mama.
“Udah-udah berhenti cium pipi Ify,
Rio! Kamu gak kasihan sama Ify itu udah panas dingin.”
Ahhh mama… Anak-ibu ini memang
tukang goda ternyata ya. Dia kan makin kepanasan. Dia merengek pada mama Manda.
Mertuanya itu hanya tersenyum. Tapi
turut menghentikan akis Rio dengan menjewer telinga kiri Rio. Pemuda itu
cengengesan. Lalu tertawa.
Gurauan mereka terhenti saat
mendengar seruan Papa Rio yang menyuruh untuk segera ke halaman belakang.
Melakukan foto bersama. Rupanya, duo Papa tidak terlihat di ruang keluarga,
karena mempersiapkan tempat untuk foto keluarga. Mama Manda lebih dulu beranjak
menyambut uluran tangan Mama Gina. Deva
sudah ngacir menyeret Ray yang ternyata tidur. Payah. Dia menyusul dengan
digandeng oleh Rio.
“Tuan Mario sayang Nyonya Mario.”
bisik Rio tepat di telinga kirinya.
Dia menunduk dalam-dalam. Baru
saja panas dinginnya lenyap saat pemuda itu berhenti membanjirinya dengan kecupan
di pipi, sekarang dipanas-dinginin lagi. Pintar-pintar jaga kesehatan jantung
deh loe Fy!
***
Gimana? Udah end nih NIKAH DINI?
WHY NOT? Special Ramadhannya. Terima kasih sudah mau baca dan menunggu cerita
ini. Titik dua bintang plus buka tutup kurung kurawal(?) untuk kalian….
RIFY : Selamat hari raya Idul
Fitri 1435 H RFM:*
bagus gan, kerennnn
BalasHapussouvenir pernikahan murah